LOGINIbu kota Negara Tarbo terlihat sangat megah. Jalan Jimbaran begitu lebar sampai bisa menampung sepuluh kereta berjalan berdampingan. Di kedua sisinya, deretan toko berdiri rapat dengan atap-atap melengkung sekaligus bertingkat, balok-balok berukir, dan bangunan dihiasi lukisan indah.Aroma kain sutra halus, perhiasan dari emas, perak, dan giok, serta rempah-rempah dari negara asing bercampur dalam udara dingin Jalan Jimbaran, lalu membentuk wangi yang mewah sekaligus unik. Orang-orang berpakaian mewah berlalu-lalang, teriakan para pedagang, suara roda kereta kuda, serta alunan musik dari restoran menyatu menjadi lautan hiruk pikuk.Ibu kota Negara Tarbo yang menjadi tempat tinggal keluarga terkaya di dunia, Keluarga Gutawa, ini benar-benar membuat orang terpana."Kemewahan ibu kota Negara Tarbo memang nomor satu di dunia," kata Ikhsanun dari samping dengan nada yang terdengar bangga.Hari ini, Ikhsanun mengenakan jubah brokat ungu tua yang lebih mewah. Kerah serta ujung lengannya tersu
Mendengar ucapan Andini, Enes secara refleks menoleh ke arah Soekarno. Setengah wajah Soekarno tertutup topeng khusus, tetapi topeng itu juga tidak mampu menutupi aura membunuh yang terpancar dari ekspresi Soekarno.Sebagai pasukan, Enes sangat memahami aura membunuh ini. Aura ini hanya dimiliki orang yang pernah berjalan di antara lautan darah serta tumpukan mayat dan meresap sampai ke tulang. Orang seperti ini bahkan lebih berpengalaman daripada para pasukan yang hidup di medan perang selama bertahun-tahun. Meskipun sengaja disembunyikan, aura itu tetap tidak bisa hilang sepenuhnya.Melihat Enes tidak berbicara, Andini kembali berkata, "Selain menyembuhkan penyakit dan menyelamatkan orang, Lembah Raja Obat juga punya jaringan intelijen dan pasukan sendiri. Soekarno adalah pemimpin dari Aula Aroma Misterius. Selain dia, kali ini aku juga membawa banyak orang. Kak Enes sama sekali nggak menyadarinya?"Mendengar perkataan itu, Enes secara refleks melihat ke sekeliling. Namun, dia tidak
Enes pergi ke dapur dan menyiapkan dua porsi daging serta satu porsi sayur untuk Andini. Saat membawa makanan ke depan pintu kamar Andini, dia secara refleks menarik napas dalam-dalam. Meskipun terpaksa, memang terasa agak tidak pantas mengunci Andini seperti itu. Oleh karena itu, nada bicaranya pun tiba-tiba menjadi jauh lebih lembut."Andin, Kak Enes sudah buatkan makanan, cobalah dulu," kata Enes.Namun, tidak ada reaksi dari dalam kamar itu.Enes mengira Andini pasti sedang marah, sehingga dia mengosongkan satu tangan untuk membuka pintu. Dia melihat Andini sedang duduk di depan meja dengan secangkir teh di tangannya dan ekspresi datar, tetapi Andini tidak meliriknya sedikit pun. Melihat itu, Andini jelas sekali sedang marah.Dia yang memang merasa bersalah pun hanya bisa tersenyum. "Bahkan kakak iparmu pun memuji masakan Kak Enes. Ayo, coba dulu."Saat mengatakan itu, Enes melangkah masuk ke dalam ruangan.Namun, tak diduga, debu dari balok kayu tua di atas kepala Enes tiba-tiba b
Mengetahui Enes sedang mengkhawatirkannya, Andini tersenyum makin cerah. "Kak Enes, tenang saja, sekarang aku adalah Kepala Lembah dari Lembah Raja Obat."Mendengar perkataan itu, Enes sempat mengira dia sudah salah dengar. Dia menatap lurus ke arah Andini cukup lama, lalu bertanya, "Kamu ... bilang apa? Kepala Lembah dari Lembah Raja Obat?""Ya."Andini menganggukkan kepalanya. "Sekarang aku ini sudah hebat. Ilmu pengobatanku hebat, kemampuanku menawarkan racun juga hebat. Kalau aku pergi ke Negara Tarbo, aku pasti bisa membantu Kak Rangga."Setelah menatap Andini seperti itu cukup lama, Enes baru akhirnya mengerti maksud Andini. Namun, dia langsung mengibaskan tangannya dan berkata, "Nggak boleh, nggak boleh pergi."Namun, Andini tetap bersikeras. "Kak Enes!"Enes mengernyitkan alisnya. "Nggak ada diskusi. Meskipun ilmu pengobatan dan kemampuan menawarkan racunmu hebat, tapi apa gunanya? Kalau Keluarga Gutawa menangkapmu, kamu pernah pikir apa yang akan terjadi? Mereka ingin kamu men
Surya sebenarnya tidak mendengar terlalu banyak tentang perkataan Ikhsanun. Dia merasa orang-orang Keluarga Gutawa tidak bisa dipercaya, termasuk Ikhsanun. Bagaimanapun juga, saat itu Rangga pergi bersama orang-orang Keluarga Gutawa, tetapi sekarang semua kesalahan malah dialihkan ke Pangeran Kedua. Apa saja yang sudah terjadi di balik layar, semuanya masih penuh tanda tanya.Kedua mayat yang berada di dalam ruangan sudah dibawa pergi dan bekas darah pun sudah dibersihkan, tetapi udaranya masih dipenuhi bau amis yang samar-samar. Sedikit demi sedikit, semua itu menekan dan mengusik saraf Surya.Surya menahan tatapannya yang dingin, lalu menoleh ke arah Ikhsanun dan berkata, "Tuan Ikhsanun, istirahatlah yang baik. Malam ini, para pembunuh itu seharusnya nggak akan datang lagi."Ikhsanun menganggukkan kepala saat mendengar perkataan itu, lalu kembali berterima kasih. "Terima kasih untuk malam ini, Pangeran Surya."Surya tersenyum, lalu berbalik dan kembali ke kamarnya sendiri.Keesokan h
Surya berpikir malam ini sepertinya tidak akan tenang.Saat larut malam tiba, pos pemberhentian itu tenggelam dalam keheningan.Surya berbaring di atas ranjang dengan tanpa melepaskan pakaiannya dan sebuah belati yang telah terhunus berada di samping tangannya. Cahaya bulan menembus kisi-kisi jendela dan meninggalkan bayangan samar-samar di lantai.Saat tiba-tiba terdengar suara genting yang diinjak seseorang dengan pelan dari atap, mata Surya langsung terbuka. Dia menahan napas, lalu bangkit dari ranjang dengan pelan. Pada saat itu, terdengar suara benturan dari kamar sebelah tempat Ikhsanun menginap dan diikuti suara bertarung. Tanpa ragu sedikit pun, dia keluar dari kamar dan langsung menendang pintu kamar Ikhsanun hingga terbuka.Di dalam kamar, tiga pria berpakaian hitam sedang mengepung Ikhsanun. Salah satu pedang panjang mereka telah merobek lengan bajunya dan darah menetes dari lengannya ke lantai.Melihat itu, Surya segera memelesat masuk dan menusuk ke arah pembunuh yang pali







