Share

Chapter 12 : Teka-teki foto

"Ini pertama kalinya Deri seperti ini."

"Entah kenapa, akhir-akhir ini kantor terasa kacau. Bahkan, kudengar wakil direktur harus--"

Obrolan antar para model pun seketika terhenti, saat Vian menyentuh bahu seorang pria yang menyuarakan isi hatinya dengan lantang. Tanpa mempedulikan Bia yang merasa terasingkan dilingkaran mereka.

Duduk bersama, tetapi dalam perbincangan tidak ada yang mengajak Bia untuk buka suara. Sejak tadi hanya riuh angin yang turut menghibur telinga dan hatinya.

"Masalah kantor, aku rasa itu bukanlah urusan kita. Ini memang pertama kalinya Deri mendadak meninggalkan lokasi, terlebih Deri tidak memberitahukan jadwal besok," ungkap Vian mencoba menyudahi hal yang bisa Vian sadari kalau Bia merasa kurang nyaman di meja makan ini. "Daripada berasumsi sendiri yang mungkin akan menimbulkan kesan negatif, lebih baik kita kembali dan menunggu perintah Deri," lanjutnya.

Bia menarik samar ujung bibirnya. Entah mengapa, ia merasa Vian sedang membelanya. Padahal, sejak tadi tidak ada yang menyinggung. Mereka hanya sekedar mendiamkannya saja. 

Benar, sepulang dari sini ... Bia akan langsung mencari semua informasi tentang Vian!

Orang seperti Vian itulah yang bisa dibilang malaikat berwujud manusia. Bukan dirinya yang hanya memiliki kecantikan atau Karina yang mempunyai banyak harta, tetapi tidak memiliki hati nurani.

Semua diam membisu. Masing-masing tatapan mereka tertuju ke arah yang berbeda. Ada yang memandang canggung pada piring-piring kosong di meja mereka. Pun ada yang menoleh ke arah pantai. Lautan bersorak ombak berada beberapa meter dari tempat singgah mereka untuk makan. Semua orang di sana tahu, kalau Vian sedang menegur dan memperingatkan mereka.

"Kalau begitu, setelah ini tidak kembali ke kantor, tidak apa-apa 'kan?"

Semua mata pun tertuju pada Bia. Hanya melihat, tidak ada yang berniat menjawab.

"Yah ... tidak masalah. Kenapa? Apa kamu ada kencan?" jawab Vian tersenyum menggoda.

"Ah, bukan--"

"Vian, kita kembali ke kantor, yuk!" sela salah satu modeling wanita. Clara, sejak tadi selalu menatap sinis Bia. "Sudah lama kita tidak kumpul bersama," lanjut Clara.

"Itu semua karena jadwal kita berbeda," timpal Vian malas.

"Ayolah, luangkan waktumu untuk kita. Jangan--"

"Bia."

Suara Bariton yang Bia kenal terdengar. Dengan cepat Bia menoleh ke belakang. Memandang bingung seorang Dion yang berdiri dengan senyuman khasnya. Senyuman yang dulu paling Bia suka.

"Apa yang--" Bia kembali merapatkan bibir saat ingat keberadaannya sekarang. Hati hanya bisa berharap agar di antara mereka tidak ada yang mengenali Dion. Orang yang selalu berada di belakang Karina. Tentu wajah Dion juga pasti sudah terekspos di mana pun.

"Bi?" panggil Vian. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya.

"Tidak apa-apa. Aku pergi dulu," balas Bia berpamitan.

Sebaiknya ia harus cepat-cepat menjauh, sebelum ada yang menyadari siapa Dion. 

Akan merepotkan jika di tempat kerja atau orang-orang tahu bahwa dirinya memiliki hubungan dengan Sindari.

Meninggalkan obrolan yang membosankan memang sangat Bia tunggu sejak tadi. Namun, berjalan berdampingan bersama dengan Dion pum rasanya percuma.

"Dari mana kamu tahu aku ada di sini?" tanya Bia.

Ah sial, otak dan hatinya benar-benar tidak bisa sejalan jika sudah bersama Dion. Isi kepala memberi perintah untuk mengabaikan pria itu. Namun, hati dan mulut malah mengingkarinya. Cinta pertama ... apalagi cinta yang terpendam memang sulit dihilangkan.

 Bia butuh emosi tinggi untuk bisa mengontrol keinginan hatinya.

"Itu--"

"Tidak. Jangan dijawab," sela Bia, telapak tangannya berdiri tegak di udara. Sebagai tanda agar Dion lebih baik diam. "Aku sudah tahu jawabannya," sambungnya. Berpikir ... hanya untuk mencari informasi tentangnya, bagi Dion tentu sangatlah mudah. Seperti meledakkan balon saja.

Buktinya, Dion selalu tahu kapan waktu ia pulang dan pergi bekerja.

"Kenapa kamu terus menghindariku?" alih Dion membuka topik baru. Pria itu tahu betul isi kepala Bia saat ini. "Kamu masih belum percaya, kalau aku melepaskan pekerjaanku untuk dirimu?"

Bia menghentikan langkahnya, menoleh dan memandang penuh kecewa pada Dion. Sebaiknya ia hentikan saja obrolan mengesalkan ini. Bia sungguh sedang tidak ingin berdebat dengan siapa pun.

"Dion."

"Kakak, aku lebih suka kamu memanggilku sepertu itu," potong Dion dengan jari jemari memegang beberapa helaian rambut Bia yang terikat satu.

Suara rendah yang terdengar menenangkan di telinga Bia, membuat ia menelan kecut salivanya. Sungguh, ingin sekali ia melupakan semuanya dan kembali seperti dulu.

Namun, Bia takut hatinya akan tersakiti lagi. Tiga tahun lalu, Dion sungguh memberikan luka yang cukup dalam di hati Bia. Terlalu pedih sampai bisa mengalahkan luka yang diberikan orang tuanya.

Ketidakacuhan Dion, penolakan dan sikap dingin yang dalam sehari berubah tanpa aba ... membuat Bia takut kepada cinta pertamanya itu.

Bia menepis tangan Dion. "Bermimpilah sepuasmu! Dan berhentilah mengikutiku!" serunya kesal, kemudian berbalik pergi, menjauhi Dion.

Dion menarik kecil sudut bibirnya. Menunduk dengan kedua tangan bertenger di pinggang, lalu menolehkan kepala ke arah yang berlawanan dengan kepergian Bia.

Jelas sekali terlihat, Vian Handika tengah menonton pertengkaran dirinya dengan Bia.

"Dasar bodoh!" maki Dion dalam hati. Bukan untuk Vian ataupun dirinya, melainkan makian itu untuk Bia.

Bagaimana bisa wanita itu tidak menyadari penguntit yang sejak awal mengikuti mereka. Padahal Bia seharusnya bisa bersikap lebih waspada dan peka jika berada di tempat umum seperti ini.

Ck! Tidak bisakah Bia membuatnya tidak cemas sehari saja?

Dion pun kembali mengejar Bia dan mengabaikan Vian. Menurutnya, Vian hanyalah seekor serangga yang sangat mudah untuk dijatuhkan.

"Bia!" seru Dion memanggil Bia yang sudah sampai ke tempat parkir. Wanita itu sedang memainkan ponselnya. Dion bisa menebak kalau Bia pasti sedang memesan taksi online. Sebab Dion tahu, Aretha tidak bisa menjemputnya hari ini.

"Aku yang akan mengantarmu pulang," ucap Dion, seraya mengambil cepat benda pipih itu, lalu membatalkan pesanan taksi online di ponsel Bia. Dugaannya benar.

"Kamu benar-benar menyebalkan!" cebik Bia, kesal sekali dengan Dion yang bertingkah seenaknya itu.

"It's okay, Bi." Dion pun mengulum senyum yang sudah lama tidak pernah lagi diterbitkan di depan Bia. "Kamu bebas berpikir atau memaki apapun tentangku ... tapi, saat ini kita benar-benar perlu bicara," sambungnya.

"Bicara?" Bia mendengus lucu. "Apa di antara kita masih ada yang bisa dibicarakan, hm?" lanjutnya dengan nada sarkas. Mata bulatnya memandang sinis Dion.

"Banyak. Banyak sekali yang perlu kita bicarakan. Haah ...." Dion menundukkan kepala, dirinya juga bingung harus dimulai dari mana. Semua masalah di antara mereka nampak pelik dan menyebalkan.

"Apa? Kenapa diam? Baru sadar bahwa tidak ada yang perlu kita bicarakan, benar 'kan?"

Dion menggeleng, dagunya kembali terangkat dan memandang serius Bia. "Sebelum itu, aku mohon padamu untuk segera keluar dari Chette company."

Apa? Bia tergugu dengan kening mengerut heran. Kenapa tba-tiba membicarakan perusahaan tempatnya bekerja? "Kamu benar-benar egois, Di," ungkap Bia kecewa.

"Ini demi kebaikanmu, Bi."

"Hah! Kebaikan apa? Maksudmu, baik untuk dirimu jika berhasil menjalankan tugas dari orang tua itu, iya 'kan?" dengus Bia tidak suka.

"Apa yang kulakuan tidak ada hubungannya dengan nyonya Karina. Ini murni karena aku mencemaskanmu, Bia!"

"See? Kamu bahkan masih menyebutnya dengan panggilan itu," sindir Bia. Jika Dion benar-benar memilihnya, tentu pria itu akan memanggil Karina dengan sebutan ibu.

Haah ... kecurigaan Bia membuat Dion frustasi sendiri. Namun, Dion tidak bisa menyalahkan Bia. Sebab yang merubah Bia menjadi seperti itu adalah dirinya.

"Pelaku penyebaran foto-fotomu ... ada di sana," akui Dion, akhirnya bisa mengungkapkan satu dari rasa cemasnya.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status