"Tentu saja, kalau kamu mau memberikan bunga ini untuk temanmu."
Bia berdecak malas. "Di antara pertukaran ini, aku rasa yang paling dirugikan adalah bapak sendiri. Jadi, terima kasih untuk tawarannya," ucapnya kemudian melenggang pergi meninggalkan Noah yang mengulum senyum.
"Haah, sayang sekali kalau begitu," gumam Noah memeluk buket bunga yang sia-sia saja ia pesan dengan sedikit pemaksaan. Menatap punggung Bia yang kian menjauh dan berbaur dengan para model lainnya.
Paras Bia memang cantik, tubuhnya yang tinggi dan ramping menambah keindahan yang seolah sengaja Tuhan ciptakan hanya untuk Bia. Namun sayang, semua itu tidak mampu menggetarkan hati Noah.
"Aku tidak melarangmu mendekati wanita manapun, tapi tidak untuk wanita itu dan orang-orang di sekitarnya." Suara bariton mengganggu Noah yang masih betah menatap para modelingnya.
Noah mendebas napasnya kembali. Tanpa menoleh ke samping, ia sudah tahu siapa yang berbicara. "Ini, pertemuan pertama kalian, bukan?" ucapnya memilih mengabaikan wejangan atasan sekaligus temannya.
Kenzie Alexander Riley menarik satu sudut bibirnya. Kenzie tahu mengapa Noah bertanya seperti itu. Dari kejauhan tadi, Kenzie sudah mengamati mereka berdua. Apalagi perubahan mimik wajah Bia ketika melihatnya.
"Ini kedua kalinya dia melihatku," ucap Kenzie yang kemudian berbalik untuk melanjutkan langkahnya. "Dan ingat, jangan bertindak bodoh."
"Bisa kutebak, pertemuan pertama kalian tidak menarik," ujar Noah mengekori Kenzie. Ia kembali mengabaikan teguran Kenzie.
"Mana informasi yang kuminta?" seru Kenzi, seraya membuka lembaran-lembaran kertas yang diberikan sekretarisnya beberapa saat lalu, sebelum dirinya menyuruh para sekretaris untuk pergi lebih dulu.
Noah terkekeh. "Tidak bisakah kamu meminta itu pada sekretarismu?"
Kening pria tiga puluh tiga tahun itu mengerut samar, kemudian menyerahkan lembaran ditangannya kepada Noah. "Tidak lihat, kedua sekretarisku sedang tidak ada di sampingku," balas Kenzie santai. Menatap lurus ke pintu lift. Sebuah lift khusus yang hanya digunakan untuknya.
"Minta pada mereka nanti," celetuk kesal Noah. "Dan tolong diingat, sudah terlalu banyak tugas yang kamu limpahkan kepadaku, Ken."
Agak kesal pada atasan sekaligus temannya itu. Jika ingin membuatnya memainkan segala peran, seharusnya Kenzie melepaskan ia dari jabatan wakil direktur.
Meski menyebalkan dan melelahkan. Namun, ia bisa apa? Menolak pun rasanya sangat disayangkan, karena ia sedang butuh uang yang sangat banyak.
"Urus itu," titah Kenzie pada Noah. "Aku akan memberikan dua bulan gaji kalau kamu menyelesaikan pekerjaan itu dalam waktu satu minggu," lanjutnya yang kemudian masuk ke dalam lift.
"Dasar berengsek!" umpat Noah begitu melihat seringaian licik Kenzie. "Apa dia sengaja menyiksaku dengan semua pekerjaan ini? Hah!" lanjutnya menggerutu kesal. Tidak peduli pada tatapan aneh yang mengarah padanya.
"Haah ... lihat saja nanti!" umpat Noah seraya menyugar rambut pendeknya ke belakang.
Ting!
Pintu lift yang tepat berada di samping lift khusus pun terbuka. Noah segera masuk ke sana, menekan tombol di mana lantai ruang kerjanya berada. Sambil menunggu perjalanan singkatnya, Noah memilih untuk memeriksa dokumen yang baru saja diberikan Kenzie.
Hm? Noah mengerutkan dahi. Membaca setiap kalimat yang ada di dalam dokumen. "Bukankah ini, biodata milik model naik daun kita, Vian Handika?" gumamnya.
"Sial," umpat Noah ketika isi dalam dokumen itu mulai terlihat serius. Sepertinya masalah ini tidak akan selesai hanya dalam waktu satu minggu.
Vian handika, seorang pria berusia dua puluh delapan tahun. Pria yang dikenal sebagai pria sempurna dan pekerja keras. Lima tahun lalu, Vian memasuki dunia permodelan.
Obsesinya begitu besar untuk bisa mencapai puncak kejayaan yang sedang Vian nikmati saat ini. Pun tentu saja tidak mudah untuk sampai ke tempatnya saat ini.
Sekarang, pria yang sedang diselidiki masa lalunya itu sedang menatap tajam dan tegas ke arah kamera.
Sudah tiga jam sejak menginjakkan kaki ke pasir pantai. Vian masih betah memamerkan kemolekan wajah dan gerakan yang terus membuat sang fotografer terpukau.
"Good!" seru bangga si fotografer, menjadikan lautan sebagai background pemotretan kali ini.
Pakaian pantai berwarna biru dengan gradiasi putih dan hijau muda menjadi item jual mereka. Trend pakaian pantai yang akan mereka umumkan minggu ini membawa tema nuansa summer.
"Bia! Apa Bia sudah selesai?" Kembali, pria yang memegang kamera itu berseru.
"Sudah!" sambar seorang wanita yang baru selesai memberikan sentuhan make up di wajah Bia.
Riasan yang terlihat natural menjadikan wajah Bia semakin segar dipandang. Balutan kemeja oversized berwarna kuning dipadukan dengan rok plisket selutut berwarna baby blue, membawa kesan ceria dan bersemangat.
"Bia, tunggu," seru Deri menangkap lengan Bia.
"Ya?" jawab Bia menghentikan langkahnya.
"Mendadak ada rapat penting yang harus aku hadiri. Tolong sampaikan pada para model bahwa setelah ini tidak ada jadwal lain," lanjut Deri to the point, pria itu sudah melepas pergelangan tangan Bia.
Bia mengerutkan kening. "Kenapa harus aku? Kamu bisa mengumumkannya sekarang, Der," bingungnya.
"Mereka semua sedang dalam pemotretan. Hanya kamu yang ada didekatku, oke? Oh, sampaikan maaf untuk mereka karena jadwal aku hentikan di sini. Tunggu saja kabar dariku untuk pekerjaan selanjutnya."
Eh? "Hei! Deri!" Bia melepas topi pantai dari kepala. Hatinya kesal melihat Deri sudah melarikan diri begitu saja. "Sial! Reaksi apa lagi yang akam mereka tunjukan nanti, jika aku yang mengatakannya?" lanjutnya bergumam.
Sejak di mobil pun semua orang yang melihat akan tahu, kalau rekan kerjanya sedang membatasi diri untuk tidak terlalu dekat dengannya.
Padahal dikesan pertama perkenalan, Bia jelas merasakan kebaikan dari mereka. Entah sejak kapan dan karena apa mereka membuat jarak darinya.
Hanya Vian yang masih mau mengajaknya berbicara, bahkan bercanda. Jika Bia masih berstatus Sindari, mungkin sudah Bia tinggalkan tempat ini dengan angkuh.
Suara teriakan juru foto profesional Elle kembali terdengar keras bersamaan dengan deru angin yang semakin lama semakin menyerbu kencang.
Bia berjalan cepat menghampiri spot pemotretan dan mendengarkan intruksi dengan tenang. Saat sudah mengerti, Bia pun mulai mempersiapkan diri untuk menampilkan pose sesuai dengan tema pengambilan gambar kali ini.
"Apa yang Deri bicarakan denganmu?" ucap Vian pelan.
Pria itu kembali menjadi partner Bia, setelah setengah jam lalu melakukan solo foto.
Senyum lebar yang cantik itu pun Bia tutupi dengan topi rotan berwarna cokelat muda. Topi khas pantai yang melebar cantik.
"Dia memintaku untuk menyampaikan pada kalian semua," ucap pelan Bia sembari berpose sesuai dengan intruksi yang diberikan beberapa saat lalu.
"Menyampaikan apa?" timpal Vian cepat. Mengatur ekspresi dan gaya, sekaligus bertanya tentang hal yang membuatnya penasaran itu ... cukup sulit.
"Setelah ini, tidak ada jadwal lagi. Kita hanya harus menunggu kabar dari Deri untuk jadwal pemotretan selanjutnya."
"I see. Biar aku saja yang mengatakan itu," tawar Vian.
Ucapan sederhana, tetapi rasanya mampu mengangkat beban berat yang Bia rasakan beberapa menit lalu.
"Vian, kamu memang seorang dewa!" Hampir saja Bia berteriak untuk rasa syukur yang datang tiba-tiba ini.
Setelah ini, Bia berjanji untuk membeli semua majalah tentang Vian!
Bersambung ....
Sudah pukul sebelas malam, Bia berjalan lelah menuju lift di sana. Membuka satu persatu benda yang membuat wajahnya tersembunyi seharian ini.Masuk ke dalam lift, tangan yang menggenggam topi dan masker itu menekan angka sepuluh. Lantai di mana apartemen Bia berada. Menyandarkan punggung, Bia menghembuskan napas sambil memandang langit lift.Merasakan ayunan kotak besi yang perlahan mulai naik. Bia teringat perasaan beberapa jam lalu, melihat toko SunnyDay dengan kepala matanya sendiri benar-benar membuat hatinya perih.Toko itu masih dalam perbaikan. Kerusakan yang cukup parah menurut Bia, sampai Aretha harus mengosongkan tokonya."Kenapa kamu memilih untuk diam?" gumam Bia.Tidak habis pikir, sejak dulu Aretha lebih memilih untuk menyembunyikan masalahnya sendiri. "Lalu, apa gunanya aku?" lanjut Bia berbisik dalam hati. "Bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"Ting! Denting lift bergema, tanda bahwa Bia sudah sampai pada lantai tujuan.Melangkah lunglai ke luar, melewati satu
Rumah besar nan cantik. Bia kembali menginjakkan kakinya ke sana. Berjalan dengan tatapan mengintimidasi, panas kesal di hatinya pun kian membesar. Tidak ada keinginan dari Bia untuk meredupkannya."Nona?""Jangan ikut campur," balas Bia ketus, melewati sekretaris sekaligus pengurus mansion Sindari.Pria itu terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Bia yang tiba-tiba. Sudah pasti tidak ada yang mengira anak terusir itu akan datang secepat ini."Nona, saat ini bukan waktu yang--""Cukup. Aku tidak butuh saranmu!" potong Bia tanpa mengubah pandangan yang tertuju pada sebuah pintu kayu berukiran indah delapan meter di depannya.Melewati tempat yang menjadi kenangan atas pengusirannya dari rumah. Bia menggerutu sebal dalam hati, bahkan kepalanya tidak lelah memutar gambar-gambar kenangan kejam itu."Nona, Tuan--"Bia menghentikan kakinya tiba-tiba lalu menajamkan mata memandang pria yang juga ikut memandangnya. "Aku menghargai saranmu, tetapi aku datang ke sini bukan sebagai tamu yang ha
"Bi, apa Aretha tidak mengatakan padamu? SunnyDay dihancurkan oleh sekelompok orang tidak dikenal." Hah? Bia sontak menghentikan kaki-kakinya. Memandang lekat dua mata yang posisinya sedikit lebih tinggi. “Dihancurkan? Oleh siapa?" Bia menggeleng cepat. "Ah, maksudku, kapan kejadiannya?” tanyanya, kebingungan benar-benar sedang meneror hati dan pikirannya. “Kau ingat, malam saat kamu pindah ke apartemen? Selepas dari sana, aku mengantarkan dia kembali dan tokonya, sudah hancur berantakan.” Bia tergugu lemas. Apa ... ini, sungguhan? Bagaimana bisa ia baru mendengar hal mengejutkan ini sekarang? Kemarin Aretha mengunjunginya seolah tidak terjadi apapun, bahkan temannya itu malah menghiburnya. “Sahabat macam apa aku ini? Lagi-lagi hal buruk terjadi pada Aretha,” batin Bia. “Kamu, sudah menyelidikinya?” tanya Bia, kembali melangkahkan kakinya.
“Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga
Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang
"Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya