Home / Romansa / Putri Pewaris Yang Terusir / Chapter 6 : Dulu Dan Sekarang, Berbeda.

Share

Chapter 6 : Dulu Dan Sekarang, Berbeda.

Author: DaisyLia
last update Last Updated: 2023-12-04 16:25:16

Chette Lipacchi.

Bia menyipitkan mata, menatap lurus pada huruf-huruf terpampang besar di atas gedung pencakar langit.

Chette Lipacchi, salah satu cabang perusahaan yang menerbitkan majalah Elle di Indonesia ... Bia sungguh tidak percaya kalau ia akan kembali ke tempat ini.

Kemarin, Bia setuju untuk menjadi model di majalah Elle. Sekarang, Bia datang untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak Chette.

"Aku tidak sabar untuk melihat reaksinya," gumam Bia.

Ia menerka-nerka, bagaimana jika Karina tahu kalau anak bungsunya, ah ... salah, maksudnya anak yang telah dibuang bekerja sama dengan perusahaan yang paling Karina benci, mungkinkah sang ibu akan mengirimkan setumpuk masalah untuknya atau untuk perusahaan ini?

Melangkah masuk dengan percaya diri ke dalam gedung. Kedatangan Bia cukup menarik atensi orang-orang di sana.

Bia begitu cantik dengan busana kemeja merah marun, model kerah berenda yang sedikit terbuka di bagian dada. Tinggi yang semampai membuat kaki-kaki berselimut levis itu terlihat lebih jenjang.

"Permisi," sapa Bia pada seorang resepsionis. "Bisa bertemu dengan--"

"Bia."

Wanita bersurai panjang tergerai di sana sontak menoleh mendengar namanya disebut. Bia tergugu, mematung terkejut dengan keberadaan Dion yang sudah berdiri dua langkah didekatnya.

"Kenapa ... dia bisa ada di sini?" batin Bia. Tidak mungkin pria itu ada urusan di sini atau mungkin saja Karina sudah tahu dirinya mendapatkan tawaran kerja sama di tempat ini. Oleh karena itu, Karina memerintahkan Dion datang ke tempat ini. "Apa lagi yang diinginkan orang tua itu dariku?" lanjut Bia mengutarakan kecurigaannya. Jika praduganya benar, Karina sungguh ibu yang kejam.

"Ibu. Panggil dia ibu, bukan orang tua itu," balas Dion, kaki-kaki bersepatu kulitnya menggambil satu langkah kecil.

Bia mendengus malas mendengar nasihat Dion. "Di depanmu, dia membuangku."

"Kalau kamu kembali dan meminta maaf, nyonya akan menerimamu kembali," jawab Dion memberi saran.

Bia mengerutkan kening, memandang pria di depannya dengan tatapan tidak mengerti. Meminta maaf? Apa Dion belum mengenal sifat ibunya? Pertengkaran mereka tidak akan bisa selesai hanya dengan meminta maaf!

Haah ... abaikan saja. Bia sudah terlanjur menyelam ke dalam lautan. Lagi pula, hatinya sudah terlanjur sakit ditampar dan diusir di depan banyak orang. Bahkan sebelum dirinya menjelaskan duduk perkara bahwa ada orang yang menjebak dirinya.

"Aku tidak tahu apa rencanamu sampai bisa berada di sini, tetapi apapun itu ... urungkan niatmu," lanjut Dion dengan nada rendah. Terdengar hangat di telinga Bia. Jika mereka masih sedekat dulu, mungkin Bia akan mengangguk menurut tanpa berpikir lagi. Namun sekarang, Bia merasa ucapan Dion tidak lagi terasa tulus.

"Itu bukan urusanmu," cebik Bia, kemudian kembali fokus pada tujuannya. Ia harus belajar melupakan masa lalunya, seperti Dion ... berubah tanpa aba.

Baru kali ini diabaikan secara terang-terangan. Dion pun memandang sendu wanita keras kepala yang sedang berbincang dengan yang lain. Ingin hati segera membawa Bia ke dalam rengkuhannya. Namun, Dion sudah berjanji untuk memposisikan dirinya hanya sebagai pengabdi Sindari.

"Bia ...." Dion kembali memanggil dengan suara rendah. Mengikuti Bia dari belakang. "Kamu harus kembali, kemarin nyonya tidak--"

"Zafanya?"

Dion langsung menghentikan langkah dan ucapannya. Melihat seorang pria mendatangi Bia, rahang Dion mengeras tidak suka.

"Oh, Pak Noah! Saya baru saja ingin ke ruangan anda," ujar Bia sopan.

"Dan saya baru saja ingin menunggu anda di sini." Noah tertawa renyah, kemudian melirik pada Dion. "Em, lalu ...."

Bia yang mengikuti arah mata Noah pun mengerti. "Ah, ada satu pengakuan yang ingin saya sampaikan," ujarnya, mengalihkan atensi Noah seraya mengajak sang jurnalis untuk menjauh dari Dion.

Pria berkemeja biru dengan dasi yang selaras pun mengabaikan Dion yang tergugu di tempat. Mata almond Noah kembali memandang wajah Bia yang menawarkan tersenyum.

"Sepertinya perjalanan ke ruangan saya akan menarik," balas Noah disusul kekehan ringan. Renyah tawa yang menulari si pendengar.

Memperhatikan Noah sejak kemarin ... Bia menilai bahwa Noah itu tipe pria easy going. Mudah berbaur, ramah dan tegas. Sayang sekali, wajah tampan Noah harus berakhir sebagai seorang jurnalis. Padahal, jika Noah menjadi seorang model ... Bia yakin, akan ada banyak kaum hawa yang mengidolakan Noah.

Jujur saja, sejak pertemuan pertama mereka ... sifat Noah, mengingatkan Bia pada pria yang dirindukan hatinya.

"Bia." Lagi, Dion memanggil saat dua orang yang ia perhatikan sudah menekan tombol lift. Wajah datar Dion kini mulai menampakan gurat kecemasan. Sayangnya, hanya Noah yang melihat perubahan ekspresi Dion.

"Pak Noah, sebenarnya--"

"Aku tidak akan menyerah, meski kamu mengabaikanku," sela Dion gigih demi mendapatkan atensi Bia.

Noah pun melirik Bia yang menunduk, menghela napas dan memejamkan mata. "Em, sepertinya di antara kalian ada urusan yang harus diselesaikan lebih dulu."

"Tidak, tidak--"

"Kita perlu bicara sekarang, Bi." Kembali, Dion memotong ucapan anak majikannya.

"Tenang saja, saya akan menunggu di bawah tangga di sana," sambar Noah menunjukkan anak tangga yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Noah pun tersenyum pada Dion, kemudian langsung mengambil tindakan untuk menjauh. Memberi ruang pada calon model yang masih betah menjadi perbincangan panas saat ini.

"Apa maumu?" ketus Bia, dua tangannya langsung terlipat di dada.

Dion mengedarkan pandangannya dengan cepat ke sekeliling. "Apa perusahaan ini menawarkan kerja sama denganmu?"

"Kalau tidak ada yang penting, tolong jangan ganggu hidupku lagi!" tegas Bia.

"Jika benar urungkan niatmu, Bia."

Bia menatap sinis dan tersenyum kecut. "Kenapa? Apa karena orang itu sangat membenci tempat ini?"

Dion langsung menggeleng. "Tidak, bukan--"

"Kamu pun tahu, bekerja di tempat ini adalah impianku sejak dulu."

"Dulu dan sekarang itu berbeda. Kamu tidak tahu apa yang terjadi--"

"Cukup, Kak."

Tubuh Dion tersentak. Mematung mendengar kembali panggilan untuknya. Kakak, entah sudah berapa lama tidak mendengar Bia memanggilnya seperti itu.

"Aku bukan lagi bagian dari Sindari," ucap Bia dengan kepala menunduk, suaranya terdengar bergetar.

Padahal malam itu, ia sudah bertekad untuk tidak lagi menangisi hal ini. Ia juga sudah berniat untuk menjadi Bia yang baru, Bia tanpa nama Sindari dan Bia tanpa kenangan tentang Dion.

Namun, ternyata hatinya masih begitu lemah atau mungkin disudut hati masih tersimpan sedikit harapan. Bia pun tidak mengerti pada dirinya sendiri. Mengapa sejak dulu masih saja berharap pada sang ibu. Masih saja berpikir, kalau Karina akan berubah demi anak-anaknya.

"Kamu masih bagian dari--"

"Kamu benar, dulu dan sekarang itu berbeda." Bia mengangkat kepala. Kedua matanya sedikit berkaca, rasanya ingin menangis seperti anak kecil di depan pria ini. Seperti dulu ... di saat hidupnya terasa melelahkan. "Jadi, terima saja kenyataan bahwa aku bukan lagi anak majikanmu. Kamu dan aku hanya orang asing."

Bersambung ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 23 : Kata Kunci

    Sudah pukul sebelas malam, Bia berjalan lelah menuju lift di sana. Membuka satu persatu benda yang membuat wajahnya tersembunyi seharian ini.Masuk ke dalam lift, tangan yang menggenggam topi dan masker itu menekan angka sepuluh. Lantai di mana apartemen Bia berada. Menyandarkan punggung, Bia menghembuskan napas sambil memandang langit lift.Merasakan ayunan kotak besi yang perlahan mulai naik. Bia teringat perasaan beberapa jam lalu, melihat toko SunnyDay dengan kepala matanya sendiri benar-benar membuat hatinya perih.Toko itu masih dalam perbaikan. Kerusakan yang cukup parah menurut Bia, sampai Aretha harus mengosongkan tokonya."Kenapa kamu memilih untuk diam?" gumam Bia.Tidak habis pikir, sejak dulu Aretha lebih memilih untuk menyembunyikan masalahnya sendiri. "Lalu, apa gunanya aku?" lanjut Bia berbisik dalam hati. "Bukankah kita berjanji untuk selalu bersama?"Ting! Denting lift bergema, tanda bahwa Bia sudah sampai pada lantai tujuan.Melangkah lunglai ke luar, melewati satu

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 22 : Menanggung Sendiri

    Rumah besar nan cantik. Bia kembali menginjakkan kakinya ke sana. Berjalan dengan tatapan mengintimidasi, panas kesal di hatinya pun kian membesar. Tidak ada keinginan dari Bia untuk meredupkannya."Nona?""Jangan ikut campur," balas Bia ketus, melewati sekretaris sekaligus pengurus mansion Sindari.Pria itu terlihat cukup terkejut dengan kedatangan Bia yang tiba-tiba. Sudah pasti tidak ada yang mengira anak terusir itu akan datang secepat ini."Nona, saat ini bukan waktu yang--""Cukup. Aku tidak butuh saranmu!" potong Bia tanpa mengubah pandangan yang tertuju pada sebuah pintu kayu berukiran indah delapan meter di depannya.Melewati tempat yang menjadi kenangan atas pengusirannya dari rumah. Bia menggerutu sebal dalam hati, bahkan kepalanya tidak lelah memutar gambar-gambar kenangan kejam itu."Nona, Tuan--"Bia menghentikan kakinya tiba-tiba lalu menajamkan mata memandang pria yang juga ikut memandangnya. "Aku menghargai saranmu, tetapi aku datang ke sini bukan sebagai tamu yang ha

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 21 : Jadikan Aku Bonekamu

    "Bi, apa Aretha tidak mengatakan padamu? SunnyDay dihancurkan oleh sekelompok orang tidak dikenal." Hah? Bia sontak menghentikan kaki-kakinya. Memandang lekat dua mata yang posisinya sedikit lebih tinggi. “Dihancurkan? Oleh siapa?" Bia menggeleng cepat. "Ah, maksudku, kapan kejadiannya?” tanyanya, kebingungan benar-benar sedang meneror hati dan pikirannya. “Kau ingat, malam saat kamu pindah ke apartemen? Selepas dari sana, aku mengantarkan dia kembali dan tokonya, sudah hancur berantakan.” Bia tergugu lemas. Apa ... ini, sungguhan? Bagaimana bisa ia baru mendengar hal mengejutkan ini sekarang? Kemarin Aretha mengunjunginya seolah tidak terjadi apapun, bahkan temannya itu malah menghiburnya. “Sahabat macam apa aku ini? Lagi-lagi hal buruk terjadi pada Aretha,” batin Bia. “Kamu, sudah menyelidikinya?” tanya Bia, kembali melangkahkan kakinya.

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 20 : Kubur Skandal Dengan Skandal

    “Kamu mau berbicara banyak tentang apa saja yang terjadi di sini ‘kan? Dan tentang skandalmu itu ... aku ingin membantumu membersihkan namamu kembali,” ujar Vian, kemudian menarik sebuah pintu besi.Menoleh ke sekeliling, memastikan keadaan aman sebelum dirinya masuk. Vian pun membawa Bia ke salah satu ruangan yang hanya diisi dengan tangga-tangga.“Kemari.” Vian memposisikan Bia membelakangi tangga. “Sekarang katakan, apa yang mau kamu bicarakan?”Bia membuka masker hidung beruangnya. Mengatur napas yang terengah karena menyesuaikan langkah besar Vian.“Skandalku, apa kamu mendengar sesuatu dari Deri atau yang lain tentang itu?” ucap Bia memulai interogasinya.“Maksudmu?” tanya Vian kurang mengerti. Semua orang di kota ini tentu tahu tentang skandal Bia.“Ah, maksudku ... mendengar bagaimana mereka menyelesaikan skandalku.” Bia mengusap kasar wajahnya. Terlalu banyak yang ingin di dengar, sampai bingung untuk mengutarakannya.Vian diam dengan kening yang dikerutkan. Ia berpikir, baga

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 19 : Cara Melindungi

    Bibir tebal yang tersorot matahari itu terliat semakin padat. Kulit putih bersih dan bulu mata yang tumbuh dengan pas, membuat manik sehitam malam itu terlihat semakin tegas. Kenzie Alexander Riley menatap tajam ke luar gedung. Kedua tangannya saling bertautan di belakang punggung. “Hebat sekali wanita itu. Sindari memang selalu pandai membuat rugi orang lain,” ujar Kenzie. Rahangnya mengeras, tidak suka dengan laporan yang dikirimkan sekretarisnya satu jam lalu.“Dia hanya melakukan yang dia bisa, untuk melindungi dirinya,” sahut Noah, kemudian duduk di atas armrest sofa gelap di sana.Kenzie berbalik dan memandang tidak suka pada sahabat yang tersenyum cerah kepadanya. “Akhir-akhir ini kamu dan Deri sering membelanya?” sindirnya, kemudian berjalan kembali dan duduk di kursi kerja. “Wanita itu telah menguras kantongku, kamu seharusnya cemas. Jika uangku menipis, maka uang jajanmu juga menipis.”“Hei, tidak bisakah kamu melupakan uang saat kita sedang berdiskusi? Atau setidaknya jang

  • Putri Pewaris Yang Terusir   Chapter 18 : Akun Burung Biru

    "Aku tidak bisa diam saja. Ar, maaf. Mulai saat ini, aku tidak akan lagi menjadi wanita polos dan baik hati!" Aretha terdiam memandang Bia yang terlihat menahan emosi. Ada alasan mengapa wanita itu ingin Bia menjadi karakter yang berbeda. Selama ini Bia selalu menantang langsung siapapun yang membuatnya tidak senang. Sikap keras kepala dan berani Bia bahkan membuat Karina murka. Aretha tidak ingin karir Bia hancur seperti yang lalu. Bekerja di mana pun, Bia akan dipecat hanya dalam hitungan hari. Mungkin memang benar, darah itu lebih kental daripada air dan mungkin Bia sendiri tidak sadar, bahwa sifatnya benar-benar sama dengan para Sindari yang lain. Apalagi saat ini, sahabatnya itu bekerja di tempat yang akan selalu dipantau oleh mata sosial. Kesalahan sedikit saja akan langsung mengundang banyak pro dan kontra. Namun, sejak awal Bia sudah berusaha keras menjaga citra dirinya ... tetapi tetap saja, kejadian seperti ini terus muncul seolah Bia memang salah. Bia tidak seharusnya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status