Chette Lipacchi.
Bia menyipitkan mata, menatap lurus pada huruf-huruf terpampang besar di atas gedung pencakar langit.
Chette Lipacchi, salah satu cabang perusahaan yang menerbitkan majalah Elle di Indonesia ... Bia sungguh tidak percaya kalau ia akan kembali ke tempat ini.
Kemarin, Bia setuju untuk menjadi model di majalah Elle. Sekarang, Bia datang untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak Chette.
"Aku tidak sabar untuk melihat reaksinya," gumam Bia.
Ia menerka-nerka, bagaimana jika Karina tahu kalau anak bungsunya, ah ... salah, maksudnya anak yang telah dibuang bekerja sama dengan perusahaan yang paling Karina benci, mungkinkah sang ibu akan mengirimkan setumpuk masalah untuknya atau untuk perusahaan ini?
Melangkah masuk dengan percaya diri ke dalam gedung. Kedatangan Bia cukup menarik atensi orang-orang di sana.
Bia begitu cantik dengan busana kemeja merah marun, model kerah berenda yang sedikit terbuka di bagian dada. Tinggi yang semampai membuat kaki-kaki berselimut levis itu terlihat lebih jenjang.
"Permisi," sapa Bia pada seorang resepsionis. "Bisa bertemu dengan--"
"Bia."
Wanita bersurai panjang tergerai di sana sontak menoleh mendengar namanya disebut. Bia tergugu, mematung terkejut dengan keberadaan Dion yang sudah berdiri dua langkah didekatnya.
"Kenapa ... dia bisa ada di sini?" batin Bia. Tidak mungkin pria itu ada urusan di sini atau mungkin saja Karina sudah tahu dirinya mendapatkan tawaran kerja sama di tempat ini. Oleh karena itu, Karina memerintahkan Dion datang ke tempat ini. "Apa lagi yang diinginkan orang tua itu dariku?" lanjut Bia mengutarakan kecurigaannya. Jika praduganya benar, Karina sungguh ibu yang kejam.
"Ibu. Panggil dia ibu, bukan orang tua itu," balas Dion, kaki-kaki bersepatu kulitnya menggambil satu langkah kecil.
Bia mendengus malas mendengar nasihat Dion. "Di depanmu, dia membuangku."
"Kalau kamu kembali dan meminta maaf, nyonya akan menerimamu kembali," jawab Dion memberi saran.
Bia mengerutkan kening, memandang pria di depannya dengan tatapan tidak mengerti. Meminta maaf? Apa Dion belum mengenal sifat ibunya? Pertengkaran mereka tidak akan bisa selesai hanya dengan meminta maaf!
Haah ... abaikan saja. Bia sudah terlanjur menyelam ke dalam lautan. Lagi pula, hatinya sudah terlanjur sakit ditampar dan diusir di depan banyak orang. Bahkan sebelum dirinya menjelaskan duduk perkara bahwa ada orang yang menjebak dirinya.
"Aku tidak tahu apa rencanamu sampai bisa berada di sini, tetapi apapun itu ... urungkan niatmu," lanjut Dion dengan nada rendah. Terdengar hangat di telinga Bia. Jika mereka masih sedekat dulu, mungkin Bia akan mengangguk menurut tanpa berpikir lagi. Namun sekarang, Bia merasa ucapan Dion tidak lagi terasa tulus.
"Itu bukan urusanmu," cebik Bia, kemudian kembali fokus pada tujuannya. Ia harus belajar melupakan masa lalunya, seperti Dion ... berubah tanpa aba.
Baru kali ini diabaikan secara terang-terangan. Dion pun memandang sendu wanita keras kepala yang sedang berbincang dengan yang lain. Ingin hati segera membawa Bia ke dalam rengkuhannya. Namun, Dion sudah berjanji untuk memposisikan dirinya hanya sebagai pengabdi Sindari.
"Bia ...." Dion kembali memanggil dengan suara rendah. Mengikuti Bia dari belakang. "Kamu harus kembali, kemarin nyonya tidak--"
"Zafanya?"
Dion langsung menghentikan langkah dan ucapannya. Melihat seorang pria mendatangi Bia, rahang Dion mengeras tidak suka.
"Oh, Pak Noah! Saya baru saja ingin ke ruangan anda," ujar Bia sopan.
"Dan saya baru saja ingin menunggu anda di sini." Noah tertawa renyah, kemudian melirik pada Dion. "Em, lalu ...."
Bia yang mengikuti arah mata Noah pun mengerti. "Ah, ada satu pengakuan yang ingin saya sampaikan," ujarnya, mengalihkan atensi Noah seraya mengajak sang jurnalis untuk menjauh dari Dion.
Pria berkemeja biru dengan dasi yang selaras pun mengabaikan Dion yang tergugu di tempat. Mata almond Noah kembali memandang wajah Bia yang menawarkan tersenyum.
"Sepertinya perjalanan ke ruangan saya akan menarik," balas Noah disusul kekehan ringan. Renyah tawa yang menulari si pendengar.
Memperhatikan Noah sejak kemarin ... Bia menilai bahwa Noah itu tipe pria easy going. Mudah berbaur, ramah dan tegas. Sayang sekali, wajah tampan Noah harus berakhir sebagai seorang jurnalis. Padahal, jika Noah menjadi seorang model ... Bia yakin, akan ada banyak kaum hawa yang mengidolakan Noah.
Jujur saja, sejak pertemuan pertama mereka ... sifat Noah, mengingatkan Bia pada pria yang dirindukan hatinya.
"Bia." Lagi, Dion memanggil saat dua orang yang ia perhatikan sudah menekan tombol lift. Wajah datar Dion kini mulai menampakan gurat kecemasan. Sayangnya, hanya Noah yang melihat perubahan ekspresi Dion.
"Pak Noah, sebenarnya--"
"Aku tidak akan menyerah, meski kamu mengabaikanku," sela Dion gigih demi mendapatkan atensi Bia.
Noah pun melirik Bia yang menunduk, menghela napas dan memejamkan mata. "Em, sepertinya di antara kalian ada urusan yang harus diselesaikan lebih dulu."
"Tidak, tidak--"
"Kita perlu bicara sekarang, Bi." Kembali, Dion memotong ucapan anak majikannya.
"Tenang saja, saya akan menunggu di bawah tangga di sana," sambar Noah menunjukkan anak tangga yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Noah pun tersenyum pada Dion, kemudian langsung mengambil tindakan untuk menjauh. Memberi ruang pada calon model yang masih betah menjadi perbincangan panas saat ini.
"Apa maumu?" ketus Bia, dua tangannya langsung terlipat di dada.
Dion mengedarkan pandangannya dengan cepat ke sekeliling. "Apa perusahaan ini menawarkan kerja sama denganmu?"
"Kalau tidak ada yang penting, tolong jangan ganggu hidupku lagi!" tegas Bia.
"Jika benar urungkan niatmu, Bia."
Bia menatap sinis dan tersenyum kecut. "Kenapa? Apa karena orang itu sangat membenci tempat ini?"
Dion langsung menggeleng. "Tidak, bukan--"
"Kamu pun tahu, bekerja di tempat ini adalah impianku sejak dulu."
"Dulu dan sekarang itu berbeda. Kamu tidak tahu apa yang terjadi--"
"Cukup, Kak."
Tubuh Dion tersentak. Mematung mendengar kembali panggilan untuknya. Kakak, entah sudah berapa lama tidak mendengar Bia memanggilnya seperti itu.
"Aku bukan lagi bagian dari Sindari," ucap Bia dengan kepala menunduk, suaranya terdengar bergetar.
Padahal malam itu, ia sudah bertekad untuk tidak lagi menangisi hal ini. Ia juga sudah berniat untuk menjadi Bia yang baru, Bia tanpa nama Sindari dan Bia tanpa kenangan tentang Dion.
Namun, ternyata hatinya masih begitu lemah atau mungkin disudut hati masih tersimpan sedikit harapan. Bia pun tidak mengerti pada dirinya sendiri. Mengapa sejak dulu masih saja berharap pada sang ibu. Masih saja berpikir, kalau Karina akan berubah demi anak-anaknya.
"Kamu masih bagian dari--"
"Kamu benar, dulu dan sekarang itu berbeda." Bia mengangkat kepala. Kedua matanya sedikit berkaca, rasanya ingin menangis seperti anak kecil di depan pria ini. Seperti dulu ... di saat hidupnya terasa melelahkan. "Jadi, terima saja kenyataan bahwa aku bukan lagi anak majikanmu. Kamu dan aku hanya orang asing."
Bersambung ....
Suasana yang tenang, bahkan detak jam pun tidak terdengar. Pemandangan yang indah dari balik kaca besar, meski hanya melihat luasnya kota dan gedung pencakar langit yang seolah saling bersaing ... wanita di sana tetap menyukainya.Nuansa keabu-abuan yang dihias dekorasi hitam dan putih, sedikit membuat Bia bisa menilai seperti apa sosok Noah saat bekerja. Aura ruangan di sana seperti ruang kerja sang ibu, serius dan tanpa ampun.Bibir tipis yang terukir cantik itu pun kembali menyesap sisa teh yang sudah tak lagi hangat. Bia kini benar-benar bisa merasa tentram setelah apa yang terjadi pada dirinya beberapa hari lalu. Ditinggalkan pemilik ruangan, cukup untuk Bia merenungkan diri. Mengoreksi, memilah dan menata apa yang harus ia lakukan mulai saat ini."Maaf menunggu lama," ujar Noah sesaat setelah masuk ke dalam ruang kerjanya. Noah berjalan menghampiri Bia dengan beberapa berkas yang ada di tangan kiri."It's okay. Saya justru berterima kasih untuk waktu yang telah pak Noah sediakan
Kilat cahaya menerangi sasana malam di sana. Semua bernuansa gelap dengan beberapa warna berbeda sebagai pemanis untuk menghidupkan panggung.Bia berpose di antara daun-daun panjang yang terhias beberapa pita merah. Ia duduk di lantai berkarpet rumput dengan dua kaki yang terlipat. Bibir tipis merah mudanya tersenyum ceria, tangan kanannya memeluk jemari pria tampan dengan kemeja hitam terbuka. Warna pakaian yang bertolak dengan Bia. Gaun putih setipis sutra nampak anggun, lengan baju pendeknya menari tertiup angin.Tidak bisa dipungkiri, Zafanya Bia dan Vian Handika menjadi pasangan sempurna di atas panggung. Mereka terlihat serasi membawakan fashion bertema alam malam."Okay! Break!" Teriakan nyaring dari pria yang menggenggam erat kamera.Puluhan take sudah diabadikan sang fotografer sedari pagi. Merasa puas. Kini sudah waktunya untuk mengakhiri.Vian--model ternama yang baru-baru ini menduduki peringkat atas di dunia fashion--mengulurkan tangan pada Bia."Thanks," ujar Bia seraya
"Hei, apa terjadi masalah di sana?""Huh?" Bia mengedipkan mata. Lamunannya tersadar kembali setelah mendengar teguran Aretha. "Ah, tidak ada. Bukankah sudah kubilang, orang-orang di sana terus saja memujiku," lanjutnya. Masih belum jelas. Jadi, Aretha tidak perlu tahu tentang pria yang menandang benci padanya di lobi tadi.Aretha yang sedang mengemudi pun melirik curiga. "Aku bersyukur kalau memang seperti itu. Ingat Bi, jangan membuat masalah seperti saat kamu bekerja di restoran dulu.""Hei! Dulu itu bukan kesalahanku! Ya, Tuhan ...." Bia mengelak tidak terima. Kenapa juga Aretha masih mengingat kejadian itu? Itu pengalaman yang cukup menyebalkan! Baru bekerja satu hari, ia sudah dipecat."Iya, itu bukan salahmu. Pokoknya, selama mereka tidak melecehkanmu. Ingat untuk selalu menahan emosimu," saran Aretha seraya memutar kemudi untuk mencari tempat parkir. Mereka sudah sampai di sebuah restoran."Ya Tuhan ...." Bia menghela napas sembari memutar bola mata. "Apa di matamu aku terliha
Bia akui, cinta pertama itu sungguh seperti sebuah keramat. Sulit dimiliki dan sulit dilepas dari hati juga pikirian. Perasaan suci, tetapi akan mengutukmu selamanya.Cinta pertama memiliki tempat yang tidak akan pernah hilang. Sampai berpuluh tahun pun akan tetap bisa menggetarkan hati dengan caranya sendiri.Haah ... Bia menghela napas setelah membaca pesan yang entah sudah berapa kali masuk ke ponselnya pagi ini. Ia sudah tidak lagi mengenal Dion dengan baik.Sudah dua hari, Bia terus mengabaikan pesan Dion. Pun mengabaikan kehadiran pria itu saat menjemput atau menunggunya di depan rumah atap Aretha, tempat yang kini menjadi rumah Bia.Dion sungguh sudah seperti seorang pengangguran yang hanya memiliki jadwal untuk mengganggu Bia.Ya Tuhan ... belum mulai bekerja, tetapi hati sudah dihantui rasa yang Bia sendiri pun sulit menggambarkannya."Ada apa? Ada yang sudah membuatmu bosan pagi ini?"Bia yang sedang duduk di kursi kantin langsung menolehkan kepala ke belakang. "Ah ... Hei,
"Tentu saja, kalau kamu mau memberikan bunga ini untuk temanmu."Bia berdecak malas. "Di antara pertukaran ini, aku rasa yang paling dirugikan adalah bapak sendiri. Jadi, terima kasih untuk tawarannya," ucapnya kemudian melenggang pergi meninggalkan Noah yang mengulum senyum."Haah, sayang sekali kalau begitu," gumam Noah memeluk buket bunga yang sia-sia saja ia pesan dengan sedikit pemaksaan. Menatap punggung Bia yang kian menjauh dan berbaur dengan para model lainnya.Paras Bia memang cantik, tubuhnya yang tinggi dan ramping menambah keindahan yang seolah sengaja Tuhan ciptakan hanya untuk Bia. Namun sayang, semua itu tidak mampu menggetarkan hati Noah."Aku tidak melarangmu mendekati wanita manapun, tapi tidak untuk wanita itu dan orang-orang di sekitarnya." Suara bariton mengganggu Noah yang masih betah menatap para modelingnya.Noah mendebas napasnya kembali. Tanpa menoleh ke samping, ia sudah tahu siapa yang berbicara. "Ini, pertemuan pertama kalian, bukan?" ucapnya memilih meng
"Ini pertama kalinya Deri seperti ini.""Entah kenapa, akhir-akhir ini kantor terasa kacau. Bahkan, kudengar wakil direktur harus--"Obrolan antar para model pun seketika terhenti, saat Vian menyentuh bahu seorang pria yang menyuarakan isi hatinya dengan lantang. Tanpa mempedulikan Bia yang merasa terasingkan dilingkaran mereka.Duduk bersama, tetapi dalam perbincangan tidak ada yang mengajak Bia untuk buka suara. Sejak tadi hanya riuh angin yang turut menghibur telinga dan hatinya."Masalah kantor, aku rasa itu bukanlah urusan kita. Ini memang pertama kalinya Deri mendadak meninggalkan lokasi, terlebih Deri tidak memberitahukan jadwal besok," ungkap Vian mencoba menyudahi hal yang bisa Vian sadari kalau Bia merasa kurang nyaman di meja makan ini. "Daripada berasumsi sendiri yang mungkin akan menimbulkan kesan negatif, lebih baik kita kembali dan menunggu perintah Deri," lanjutnya.Bia menarik samar ujung bibirnya. Entah mengapa, ia merasa Vian sedang membelanya. Padahal, sejak tadi t
"Orang yang menyebarkan foto-fotomu ... ada di sana.”Apa? Lidah Bia membeku, pikirannya mencerna ucapan pria di depannya. Meski ia tahu bahwa Dion tidak akan berbicara omong kosong. Namun, bagaimana jika pria ini bertindak atas titah sang ibu, Karina? Bagaimanapun, Dion sudah menjadi pengikut yang begitu patuh dengan Sindari.“Katakan, apa tujuanmu mengatakan itu?”Dion menghela napas. Mencari ketenangan dari hembusan angin pantai. Memang akan sulit menjelaskan pada Bia soal ini. Dion tahu, Bia tidak akan percaya begitu saja kepadanya.“Aku mengerti kamu tidak akan mempercayaiku begitu saja, tapi--”“Omong kosong.” Bia mendengus seraya membuang muka. Menatap lautan yang sudah cukup jauh untuk dijangkau mata. Laut cantik dengan deburan ombak yang seolah menyuruhnya untuk segera datang kepadanya.Mungkin jika dilihat dari kacamata orang lain, kehidupannya tidak ada yang perlu dicemaskan atau bahkan terlalu indah untuk dibayangkan seperti cerita dongeng yang tak nyata.Memiliki orang tu
Masih terang, langit pun cerah dengan gundukan awan-awan yang terlihat cantik. Tidak ada alasan untuk tetap bersedih jika melihat langit biru di sana.Namun sayang, keindahan di luar tidak bisa membawa keceriaan pada wajah dari wanita yang berdiri masam di dalam toko SunnyDay.Bia tahu alasan mengapa sahabatnya memasang wajah seperti itu. Tentu saja karena pria yang sudah mengantar dirinya ke tempat ini.“Kenapa dia yang mengantarmu?” cecar Aretha begitu Bia masuk ke dalam toko. Rasa dingin menyambut tubuhnya, setelah beberapa detik matahari menghangatkan kulitnya.Bia mengerakan dua bahunya malas. “Dia mendatangiku ke lokasi pemotretan. Aku sudah menyuruhnya kembali, tetapi--”Ting!Semua pasang mata terarah ke pintu kaca yang mendentingkan lonceng kecil toko. Dion masuk dengan melebarkan senyumannya.“Ho ... lihat, siapa ini?" sapa Aretha tidak bersahabat. Kedua tangannya terlipat di dada. "Kamu tahu 'kan, kalau dirimu tidak akan pernah bisa diterima di sini,” sinisnya.Dion menarik