Share

Chapter 6 : Dulu Dan Sekarang, Berbeda.

Chette Lipacchi.

Bia menyipitkan mata, menatap lurus pada huruf-huruf terpampang besar di atas gedung pencakar langit.

Chette Lipacchi, salah satu cabang perusahaan yang menerbitkan majalah Elle di Indonesia ... Bia sungguh tidak percaya kalau ia akan kembali ke tempat ini.

Kemarin, Bia setuju untuk menjadi model di majalah Elle. Sekarang, Bia datang untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak Chette.

"Aku tidak sabar untuk melihat reaksinya," gumam Bia.

Ia menerka-nerka, bagaimana jika Karina tahu kalau anak bungsunya, ah ... salah, maksudnya anak yang telah dibuang bekerja sama dengan perusahaan yang paling Karina benci, mungkinkah sang ibu akan mengirimkan setumpuk masalah untuknya atau untuk perusahaan ini?

Melangkah masuk dengan percaya diri ke dalam gedung. Kedatangan Bia cukup menarik atensi orang-orang di sana.

Bia begitu cantik dengan busana kemeja merah marun, model kerah berenda yang sedikit terbuka di bagian dada. Tinggi yang semampai membuat kaki-kaki berselimut levis itu terlihat lebih jenjang.

"Permisi," sapa Bia pada seorang resepsionis. "Bisa bertemu dengan--"

"Bia."

Wanita bersurai panjang tergerai di sana sontak menoleh mendengar namanya disebut. Bia tergugu, mematung terkejut dengan keberadaan Dion yang sudah berdiri dua langkah didekatnya.

"Kenapa ... dia bisa ada di sini?" batin Bia. Tidak mungkin pria itu ada urusan di sini atau mungkin saja Karina sudah tahu dirinya mendapatkan tawaran kerja sama di tempat ini. Oleh karena itu, Karina memerintahkan Dion datang ke tempat ini. "Apa lagi yang diinginkan orang tua itu dariku?" lanjut Bia mengutarakan kecurigaannya. Jika praduganya benar, Karina sungguh ibu yang kejam.

"Ibu. Panggil dia ibu, bukan orang tua itu," balas Dion, kaki-kaki bersepatu kulitnya menggambil satu langkah kecil.

Bia mendengus malas mendengar nasihat Dion. "Di depanmu, dia membuangku."

"Kalau kamu kembali dan meminta maaf, nyonya akan menerimamu kembali," jawab Dion memberi saran.

Bia mengerutkan kening, memandang pria di depannya dengan tatapan tidak mengerti. Meminta maaf? Apa Dion belum mengenal sifat ibunya? Pertengkaran mereka tidak akan bisa selesai hanya dengan meminta maaf!

Haah ... abaikan saja. Bia sudah terlanjur menyelam ke dalam lautan. Lagi pula, hatinya sudah terlanjur sakit ditampar dan diusir di depan banyak orang. Bahkan sebelum dirinya menjelaskan duduk perkara bahwa ada orang yang menjebak dirinya.

"Aku tidak tahu apa rencanamu sampai bisa berada di sini, tetapi apapun itu ... urungkan niatmu," lanjut Dion dengan nada rendah. Terdengar hangat di telinga Bia. Jika mereka masih sedekat dulu, mungkin Bia akan mengangguk menurut tanpa berpikir lagi. Namun sekarang, Bia merasa ucapan Dion tidak lagi terasa tulus.

"Itu bukan urusanmu," cebik Bia, kemudian kembali fokus pada tujuannya. Ia harus belajar melupakan masa lalunya, seperti Dion ... berubah tanpa aba.

Baru kali ini diabaikan secara terang-terangan. Dion pun memandang sendu wanita keras kepala yang sedang berbincang dengan yang lain. Ingin hati segera membawa Bia ke dalam rengkuhannya. Namun, Dion sudah berjanji untuk memposisikan dirinya hanya sebagai pengabdi Sindari.

"Bia ...." Dion kembali memanggil dengan suara rendah. Mengikuti Bia dari belakang. "Kamu harus kembali, kemarin nyonya tidak--"

"Zafanya?"

Dion langsung menghentikan langkah dan ucapannya. Melihat seorang pria mendatangi Bia, rahang Dion mengeras tidak suka.

"Oh, Pak Noah! Saya baru saja ingin ke ruangan anda," ujar Bia sopan.

"Dan saya baru saja ingin menunggu anda di sini." Noah tertawa renyah, kemudian melirik pada Dion. "Em, lalu ...."

Bia yang mengikuti arah mata Noah pun mengerti. "Ah, ada satu pengakuan yang ingin saya sampaikan," ujarnya, mengalihkan atensi Noah seraya mengajak sang jurnalis untuk menjauh dari Dion.

Pria berkemeja biru dengan dasi yang selaras pun mengabaikan Dion yang tergugu di tempat. Mata almond Noah kembali memandang wajah Bia yang menawarkan tersenyum.

"Sepertinya perjalanan ke ruangan saya akan menarik," balas Noah disusul kekehan ringan. Renyah tawa yang menulari si pendengar.

Memperhatikan Noah sejak kemarin ... Bia menilai bahwa Noah itu tipe pria easy going. Mudah berbaur, ramah dan tegas. Sayang sekali, wajah tampan Noah harus berakhir sebagai seorang jurnalis. Padahal, jika Noah menjadi seorang model ... Bia yakin, akan ada banyak kaum hawa yang mengidolakan Noah.

Jujur saja, sejak pertemuan pertama mereka ... sifat Noah, mengingatkan Bia pada pria yang dirindukan hatinya.

"Bia." Lagi, Dion memanggil saat dua orang yang ia perhatikan sudah menekan tombol lift. Wajah datar Dion kini mulai menampakan gurat kecemasan. Sayangnya, hanya Noah yang melihat perubahan ekspresi Dion.

"Pak Noah, sebenarnya--"

"Aku tidak akan menyerah, meski kamu mengabaikanku," sela Dion gigih demi mendapatkan atensi Bia.

Noah pun melirik Bia yang menunduk, menghela napas dan memejamkan mata. "Em, sepertinya di antara kalian ada urusan yang harus diselesaikan lebih dulu."

"Tidak, tidak--"

"Kita perlu bicara sekarang, Bi." Kembali, Dion memotong ucapan anak majikannya.

"Tenang saja, saya akan menunggu di bawah tangga di sana," sambar Noah menunjukkan anak tangga yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.

Noah pun tersenyum pada Dion, kemudian langsung mengambil tindakan untuk menjauh. Memberi ruang pada calon model yang masih betah menjadi perbincangan panas saat ini.

"Apa maumu?" ketus Bia, dua tangannya langsung terlipat di dada.

Dion mengedarkan pandangannya dengan cepat ke sekeliling. "Apa perusahaan ini menawarkan kerja sama denganmu?"

"Kalau tidak ada yang penting, tolong jangan ganggu hidupku lagi!" tegas Bia.

"Jika benar urungkan niatmu, Bia."

Bia menatap sinis dan tersenyum kecut. "Kenapa? Apa karena orang itu sangat membenci tempat ini?"

Dion langsung menggeleng. "Tidak, bukan--"

"Kamu pun tahu, bekerja di tempat ini adalah impianku sejak dulu."

"Dulu dan sekarang itu berbeda. Kamu tidak tahu apa yang terjadi--"

"Cukup, Kak."

Tubuh Dion tersentak. Mematung mendengar kembali panggilan untuknya. Kakak, entah sudah berapa lama tidak mendengar Bia memanggilnya seperti itu.

"Aku bukan lagi bagian dari Sindari," ucap Bia dengan kepala menunduk, suaranya terdengar bergetar.

Padahal malam itu, ia sudah bertekad untuk tidak lagi menangisi hal ini. Ia juga sudah berniat untuk menjadi Bia yang baru, Bia tanpa nama Sindari dan Bia tanpa kenangan tentang Dion.

Namun, ternyata hatinya masih begitu lemah atau mungkin disudut hati masih tersimpan sedikit harapan. Bia pun tidak mengerti pada dirinya sendiri. Mengapa sejak dulu masih saja berharap pada sang ibu. Masih saja berpikir, kalau Karina akan berubah demi anak-anaknya.

"Kamu masih bagian dari--"

"Kamu benar, dulu dan sekarang itu berbeda." Bia mengangkat kepala. Kedua matanya sedikit berkaca, rasanya ingin menangis seperti anak kecil di depan pria ini. Seperti dulu ... di saat hidupnya terasa melelahkan. "Jadi, terima saja kenyataan bahwa aku bukan lagi anak majikanmu. Kamu dan aku hanya orang asing."

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status