Suasana yang tenang, bahkan detak jam pun tidak terdengar. Pemandangan yang indah dari balik kaca besar, meski hanya melihat luasnya kota dan gedung pencakar langit yang seolah saling bersaing ... wanita di sana tetap menyukainya.
Nuansa keabu-abuan yang dihias dekorasi hitam dan putih, sedikit membuat Bia bisa menilai seperti apa sosok Noah saat bekerja. Aura ruangan di sana seperti ruang kerja sang ibu, serius dan tanpa ampun.
Bibir tipis yang terukir cantik itu pun kembali menyesap sisa teh yang sudah tak lagi hangat. Bia kini benar-benar bisa merasa tentram setelah apa yang terjadi pada dirinya beberapa hari lalu. Ditinggalkan pemilik ruangan, cukup untuk Bia merenungkan diri. Mengoreksi, memilah dan menata apa yang harus ia lakukan mulai saat ini.
"Maaf menunggu lama," ujar Noah sesaat setelah masuk ke dalam ruang kerjanya. Noah berjalan menghampiri Bia dengan beberapa berkas yang ada di tangan kiri.
"It's okay. Saya justru berterima kasih untuk waktu yang telah pak Noah sediakan."
Noah menaikan satu alisnya. Tidak mengerti, tetapi sepertinya ia sudah berbuat baik untuk icon wajah baru Elle.
"Begitukah? Kalau begitu ...." Noah yang sudah berdiri di samping Bia pun mengulurkan tangan. "Selamat bergabung dengan Elle," ucap Noah, uluran tangannya pun disambut hangat oleh Bia.
Ini sudah hampir empat jam sejak peristiwa Dion mengganggu jalan masa depan Bia. Beberapa saat lalu, kontrak kerja sama selama satu tahun sudah ia baca dengan teliti. Bia pun sudah mengoreksi tentang kesepakatan yang menurutnya sedikit memberatkan untuknya.
Seperti klausul pasal tentang waktu kerja, kondisi kerja, tempat pekerjaan, persentase pemotongan, dan masa berlaku kontrak.
Awalnya Bia ditawarkan untuk menjadi model eksklusif majalah Elle selama tiga tahun. Namun, ucapan Dion terus mengusik pikirannya. Oleh karena itu, sesaat tadi ada perdebatan antara Bia dengan Noah.
Noah duduk pada sofa panjang di depan Bia. "Ini salinan kontrak kerja sama kita dan ...."
Seorang pria masuk di waktu yang tepat, menginterupsi perbincangan mereka. Pria dengan rambut ikal, berkemeja kuning gading dengan sedikit garis horizontal merah. Lengan baju panjangnya digulung sampai siku. "Ah, kebetulan sekali. Dia Deri. Orang yang akan mengurus semua hal untuk dirimu." lanjut Noah, kemudian memperkenalkan Bia pada Deri, seorang Booker.
Deri-lah orang yang akan mencarikan pekerjaan untuk Bia, mencocokan penampilan dengan tema yang diminta klien. Deri juga bertugas ketat untuk menjaga berat badan Bia.
"Saya pikir pak Noah yang akan mengurus semua itu untukku," balas Bia, setelah memberikan senyum perkenalan pada Deri.
Noah tersenyum miring. "Kenapa anda berpikir begitu?"
Bia mengangkat cepat dua bahunya. "Yaah ... pak Noah mewawancaraiku, lalu menjemputku di lobi dan juga mengurus kontrak kerja sama kita." Noah hanya seorang jurnalis, kenapa harus menambah pekerjaan dengan mengurus yang lain?
Noah terbahak sambil menepuk bahu Deri yang sudah duduk di sampingnya. Benar juga. Wajar saja model yang sedang menjadi perbincangan panas ini berpikir seperti itu.
"Seseorang memintaku melakukan itu, karena calon model kita adalah wanita yang sedang dicari banyak kompetitor Jadi, saya ditugaskan untuk mengurus hal penting ini." Noah mencondongkan badannya,
"Ah, jadi pak Noah orang yang paling dipercaya diantara pegawai lainnya, bukan begitu pak Deri?"
Semua atensi pun langsung mengarah pada Deri.
Deri mengedikkan bahu, memberikan jawaban yang ambigu. "Cukup panggil nama saja. Kita akan bertemu setiap hari, jadi harus lebih akrab dari kamu dan Noah," ucapnya, membalas dengan topik yang berbeda.
"Apa kita terlihat akrab di mata orang lain?" sela Noah diakhiri dengan kekehan ringan.
"Mungkin saja," sambar Bia tidak peduli. Penilaian tentang Noah langsung berubah setelah ia berdebat dengan Dion. "Kalau begitu, panggil saja aku Bia dan aku mohon bantuan kalian selama satu tahun ke depan," sambung Bia mengikuti alur, melirik Noah yang tersenyum tipis.
Cukup mengganggu. Ucapan Dion yang mengatakan kalau semuanya sudah berbeda. Ekspresi Dion pun terlihat seperti manusia. Sudah beberapa tahun Dion berubah menjadi manusia tanpa ekspresi dan hari ini pria itu memunculkan wajah cemas setelah sekian lama. Hal ini tentu tidak bisa diabaikan Bia. Meski tadi ia terlihat tidak peduli pada semua ucapan Dion.
"Apa pria tadi kekasihmu?"
Pertanyaan Noah membuat dua atensi di sana tertuju padanya. Bia terdiam beberapa detik, menduga-duga mengapa Noah menanyakan itu. Padahal sejak tadi sikapnya seolah acuh, tidak peduli pada status Dion.
"Apa pak Noah takut aku akan membuat masalah dengan perusahaan ini karena itu?" jawab Bia menantang.
Noah menyeringai. "Tidak, bukan itu maksudku. Kamu direkrut untuk menjadi seorang model bukan girl band. Jadi, hal itu tidak akan menjadi masalah."
"Lalu?" cecar Bia menyudutkan Noah.
Noah menaikkan dua bahu. "Yaah ... hanya perasaan manusiawi, seperti penasaran?" ujarnya dengan nada interogatif.
Bia terkekeh. Sekarang, justru ia penasaran ... apa benar hanya itu alasannya?
"Bukan kekasih, dia hanya seorang fans saja," jawab Bia menjelaskan asal.
"Oh iya, aku sudah melihat portofoliomu dan itu sebuah karya terindah yang pernah aku lihat. Kamu sudah tiga tahun menggeluti dunia permodelan 'kan?" sambar Deri mengisi obrolan mereka. Meski ia cukup penasaran pada siapa pria yang dibicarakan mereka.
"Benar, sudah tiga tahun aku menjadi model ekslusif temanku dan aku tidak secantik atau sehebat yang kamu katakan. Maha karya itu dibuat oleh tangan profesional," balas Bia. Ia sungguh hanya berpose senaknya. Aretha-lah yang terlalu hebat sampai membuat dirinya bisa menjadi secantik itu.
Deri menggeleng, tidak sependapat. "Bia, ekspresimu bisa tersampaikan dengan baik. Semua yang melihat akan ikut merasakannya. Kamu juga setuju 'kan Noah?"
Noah menyenderkan punggungnya ke sofa dan menyilangkan kaki. "Benar, aku setuju. Ada satu foto dirimu yang bisa aku rasakan kesedihan yang mendalam. Sampai aku ingin mencari, siapa yang sudah membuatmu hingga terlihat tersiksa seperti itu."
Ah, Bia tahu foto yang mana yang Noah maksud. Bahkan, ucapan Aretha pun sama ketika foto tiga tahun lalu itu di cetak. Ia juga ingat, perasaan apa yang terikat di hatinya. Sampai bisa tergambarkan jelas seperti itu.
"Begitukah? Kalau begitu, terima kasih untuk penilaian dan pujiannya." Bia melirik jam yang melingkar di lengan kirinya. "Sudah lewat dari jam makan siang, apa kita akan pergi makan atau ...."
Noah berdiri seraya merapikan tepi bajunya. "Bagaimana kalau Kita pergi makan siang bersama, sekaligus mengenalkan pada orang-orang di sini. Kalau Zafanya Bia bekerja sama dengan Elle?"
"Ide bagus, tapi aku minta maaf harus menolaknya. Aku harus memberitahu tim dan mempersiapkan lauching model eksklusif kita dari sekarang." Deri ikut berdiri dan memandang Bia. "Oh iya, besok kamu akan kuhubungi kembali. Jadi, lakukan perawatan untuk seluruh kulitmu. Jangan sampai ada yang terlewat," sambung Deri, diakhiri dengan kedipan satu matanya.
Bersambung ....
Kilat cahaya menerangi sasana malam di sana. Semua bernuansa gelap dengan beberapa warna berbeda sebagai pemanis untuk menghidupkan panggung.Bia berpose di antara daun-daun panjang yang terhias beberapa pita merah. Ia duduk di lantai berkarpet rumput dengan dua kaki yang terlipat. Bibir tipis merah mudanya tersenyum ceria, tangan kanannya memeluk jemari pria tampan dengan kemeja hitam terbuka. Warna pakaian yang bertolak dengan Bia. Gaun putih setipis sutra nampak anggun, lengan baju pendeknya menari tertiup angin.Tidak bisa dipungkiri, Zafanya Bia dan Vian Handika menjadi pasangan sempurna di atas panggung. Mereka terlihat serasi membawakan fashion bertema alam malam."Okay! Break!" Teriakan nyaring dari pria yang menggenggam erat kamera.Puluhan take sudah diabadikan sang fotografer sedari pagi. Merasa puas. Kini sudah waktunya untuk mengakhiri.Vian--model ternama yang baru-baru ini menduduki peringkat atas di dunia fashion--mengulurkan tangan pada Bia."Thanks," ujar Bia seraya
"Hei, apa terjadi masalah di sana?""Huh?" Bia mengedipkan mata. Lamunannya tersadar kembali setelah mendengar teguran Aretha. "Ah, tidak ada. Bukankah sudah kubilang, orang-orang di sana terus saja memujiku," lanjutnya. Masih belum jelas. Jadi, Aretha tidak perlu tahu tentang pria yang menandang benci padanya di lobi tadi.Aretha yang sedang mengemudi pun melirik curiga. "Aku bersyukur kalau memang seperti itu. Ingat Bi, jangan membuat masalah seperti saat kamu bekerja di restoran dulu.""Hei! Dulu itu bukan kesalahanku! Ya, Tuhan ...." Bia mengelak tidak terima. Kenapa juga Aretha masih mengingat kejadian itu? Itu pengalaman yang cukup menyebalkan! Baru bekerja satu hari, ia sudah dipecat."Iya, itu bukan salahmu. Pokoknya, selama mereka tidak melecehkanmu. Ingat untuk selalu menahan emosimu," saran Aretha seraya memutar kemudi untuk mencari tempat parkir. Mereka sudah sampai di sebuah restoran."Ya Tuhan ...." Bia menghela napas sembari memutar bola mata. "Apa di matamu aku terliha
Bia akui, cinta pertama itu sungguh seperti sebuah keramat. Sulit dimiliki dan sulit dilepas dari hati juga pikirian. Perasaan suci, tetapi akan mengutukmu selamanya.Cinta pertama memiliki tempat yang tidak akan pernah hilang. Sampai berpuluh tahun pun akan tetap bisa menggetarkan hati dengan caranya sendiri.Haah ... Bia menghela napas setelah membaca pesan yang entah sudah berapa kali masuk ke ponselnya pagi ini. Ia sudah tidak lagi mengenal Dion dengan baik.Sudah dua hari, Bia terus mengabaikan pesan Dion. Pun mengabaikan kehadiran pria itu saat menjemput atau menunggunya di depan rumah atap Aretha, tempat yang kini menjadi rumah Bia.Dion sungguh sudah seperti seorang pengangguran yang hanya memiliki jadwal untuk mengganggu Bia.Ya Tuhan ... belum mulai bekerja, tetapi hati sudah dihantui rasa yang Bia sendiri pun sulit menggambarkannya."Ada apa? Ada yang sudah membuatmu bosan pagi ini?"Bia yang sedang duduk di kursi kantin langsung menolehkan kepala ke belakang. "Ah ... Hei,
"Tentu saja, kalau kamu mau memberikan bunga ini untuk temanmu."Bia berdecak malas. "Di antara pertukaran ini, aku rasa yang paling dirugikan adalah bapak sendiri. Jadi, terima kasih untuk tawarannya," ucapnya kemudian melenggang pergi meninggalkan Noah yang mengulum senyum."Haah, sayang sekali kalau begitu," gumam Noah memeluk buket bunga yang sia-sia saja ia pesan dengan sedikit pemaksaan. Menatap punggung Bia yang kian menjauh dan berbaur dengan para model lainnya.Paras Bia memang cantik, tubuhnya yang tinggi dan ramping menambah keindahan yang seolah sengaja Tuhan ciptakan hanya untuk Bia. Namun sayang, semua itu tidak mampu menggetarkan hati Noah."Aku tidak melarangmu mendekati wanita manapun, tapi tidak untuk wanita itu dan orang-orang di sekitarnya." Suara bariton mengganggu Noah yang masih betah menatap para modelingnya.Noah mendebas napasnya kembali. Tanpa menoleh ke samping, ia sudah tahu siapa yang berbicara. "Ini, pertemuan pertama kalian, bukan?" ucapnya memilih meng
"Ini pertama kalinya Deri seperti ini.""Entah kenapa, akhir-akhir ini kantor terasa kacau. Bahkan, kudengar wakil direktur harus--"Obrolan antar para model pun seketika terhenti, saat Vian menyentuh bahu seorang pria yang menyuarakan isi hatinya dengan lantang. Tanpa mempedulikan Bia yang merasa terasingkan dilingkaran mereka.Duduk bersama, tetapi dalam perbincangan tidak ada yang mengajak Bia untuk buka suara. Sejak tadi hanya riuh angin yang turut menghibur telinga dan hatinya."Masalah kantor, aku rasa itu bukanlah urusan kita. Ini memang pertama kalinya Deri mendadak meninggalkan lokasi, terlebih Deri tidak memberitahukan jadwal besok," ungkap Vian mencoba menyudahi hal yang bisa Vian sadari kalau Bia merasa kurang nyaman di meja makan ini. "Daripada berasumsi sendiri yang mungkin akan menimbulkan kesan negatif, lebih baik kita kembali dan menunggu perintah Deri," lanjutnya.Bia menarik samar ujung bibirnya. Entah mengapa, ia merasa Vian sedang membelanya. Padahal, sejak tadi t
"Orang yang menyebarkan foto-fotomu ... ada di sana.”Apa? Lidah Bia membeku, pikirannya mencerna ucapan pria di depannya. Meski ia tahu bahwa Dion tidak akan berbicara omong kosong. Namun, bagaimana jika pria ini bertindak atas titah sang ibu, Karina? Bagaimanapun, Dion sudah menjadi pengikut yang begitu patuh dengan Sindari.“Katakan, apa tujuanmu mengatakan itu?”Dion menghela napas. Mencari ketenangan dari hembusan angin pantai. Memang akan sulit menjelaskan pada Bia soal ini. Dion tahu, Bia tidak akan percaya begitu saja kepadanya.“Aku mengerti kamu tidak akan mempercayaiku begitu saja, tapi--”“Omong kosong.” Bia mendengus seraya membuang muka. Menatap lautan yang sudah cukup jauh untuk dijangkau mata. Laut cantik dengan deburan ombak yang seolah menyuruhnya untuk segera datang kepadanya.Mungkin jika dilihat dari kacamata orang lain, kehidupannya tidak ada yang perlu dicemaskan atau bahkan terlalu indah untuk dibayangkan seperti cerita dongeng yang tak nyata.Memiliki orang tu
Masih terang, langit pun cerah dengan gundukan awan-awan yang terlihat cantik. Tidak ada alasan untuk tetap bersedih jika melihat langit biru di sana.Namun sayang, keindahan di luar tidak bisa membawa keceriaan pada wajah dari wanita yang berdiri masam di dalam toko SunnyDay.Bia tahu alasan mengapa sahabatnya memasang wajah seperti itu. Tentu saja karena pria yang sudah mengantar dirinya ke tempat ini.“Kenapa dia yang mengantarmu?” cecar Aretha begitu Bia masuk ke dalam toko. Rasa dingin menyambut tubuhnya, setelah beberapa detik matahari menghangatkan kulitnya.Bia mengerakan dua bahunya malas. “Dia mendatangiku ke lokasi pemotretan. Aku sudah menyuruhnya kembali, tetapi--”Ting!Semua pasang mata terarah ke pintu kaca yang mendentingkan lonceng kecil toko. Dion masuk dengan melebarkan senyumannya.“Ho ... lihat, siapa ini?" sapa Aretha tidak bersahabat. Kedua tangannya terlipat di dada. "Kamu tahu 'kan, kalau dirimu tidak akan pernah bisa diterima di sini,” sinisnya.Dion menarik
“Di sini?” tanya Bia memandang sebuah papan nama apartemen. Sebagian wajahnya tertutup masker hitam.Satu setengah jam lalu, Deri datang ke toko SunnyDay untuk menjemput dirinya. Bia pun sudah menceritakan semua pada Aretha dan Dion, tentu mereka meminta Bia untuk menolak. Akan tetapi, kontrak kerjasama mengharuskan Bia mengikuti aturan perusahaan.Padahal, Dion berkata akan menanggung biaya denda pembatalan kontrak. Namun Bia menolak. Bagaimanapun, Bia belum sepenuhnya percaya pada Dion dan ia ingin mencari tahu kebenaran dari ucapan Dion Mahesa.“Ya, aku harap kamu menyukainya dan jangan sungkan untuk memberitahu aku apa pun jika ada yang membuatmu tidak nyaman.”Deri mengembangkan senyum. Pria itu masih saja bawel dan ramah kepadanya, tetapi entah mengapa rasanya ada yang berbeda. Mungkin cara melihat Deri ke arahnya. Meski bibir itu tersenyum ramah, tatapan Deri seolah sedang menyembunyikan sesuatu.“Ini berlebihan,” akui Bia, sambil mengikuti bookernya masuk ke dalam lobi.“Tidak