"Dia pasti kelelahan menangis," bisik Aretha dalam hati, setelah memandang jam dinding yang sudah tertuju pada angka sepuluh.
Menjauh dari dapur mini, kedua tangan Aretha dengan cepat membawa dua piring yang berisi makanan berbeda. Meletakkan perlahan piring-piring itu ke atas meja, Aretha tidak ingin membuat suara yang akan membangunkan bayi besarnya, Bia."Haah ...." Aretha menghela napas, tangan-tangannya berada di pinggang. Selesai sudah untuk urusan sarapan mereka. Aretha pun menyambar dan membawa segelas teh hangat menuju jendela yang sudah menerangi ruangan kecilnya. Menikmati teh sambil memandang keluar sudah menjadi kebiasaan Aretha."Huh?" Kening Aretha mengerut dalam. Tidak lama, dua matanya pun membelalak. "Bi, Bia! Bangun!"Teriakan Aretha cukup mengejutkan Bia yang baru dua jam memejamkan mata. Kesadaran pun langsung terkumpul bersamaan dengan degup jantung yang meningkat cepat.Dengan mata yang masih berat, Bia refleks duduk menghadap Aretha. "Ada apa?" ucap Bia dengan suara parau. Tubuhnya lemas, mungkin karena ia hanya tidur sebentar. Pun tidur dengan keadaan pikiran kacau, sekarang kepalanya tak henti berdenyut.Bia pun berkedip setelah menyeka dua matanya yang bengkak karena menangis semalaman.Pergi setelah mendengar keputusan dari sang ibu, hati siapa yang tidak hancur? Sejak ayah dan ibunya berpisah, Bia terus saja membantah perintah Karina, bahkan dicaci maki pun sudah menjadi makanan sehari-harinya.Bia memang benci dengan marga Sindari. Namun, dibuang dari keluarganya ... Bia tidak pernah membayangkan itu. Lebih baik ia diasingkan di pulau terkecil!"Cepat kemari." Aretha menggigit kecil bibirnya, lalu berdecak. "Sial, apa-apaan mereka? Bagaimana mereka bisa tahu kamu tinggal di sini?" lanjut Aretha cemas. Di bawah rumah sewanya, sudah ada beberapa orang yang melihat ke arah jendelanya.Bia menghela napas sambil menyugar rambut. Dahinya sedikit panas, sepertinya ia demam. "Uh, tidak bisakah kamu ceritakan saja apa yang terjadi di luar sana? Kepalaku--""Sepertinya mereka wartawan yang ingin mewawancaraimu.""Apa?" Bia sontak membulatkan mata, bergerak cepat ke bibir ranjang. Mengabaikan pusing serta denyut yang semakin menusuk kepala. "Jangan bercanda, kenapa juga harus ada wartawan?" lanjutnya, mengelak untuk percaya.Aretha melirik sinis Bia yang turun dari ranjang, lalu kembali memandang jendela yang hanya ditutupi tirai tipis. "Silakan kamu lihat sendiri," ujarnya kemudian menjauh dari bingkai berkaca di sana. Mendekati meja bundar untuk menaruh kembali teh hangat yang sudah tidak lagi Aretha inginkan.Bahkan awalnya pun, Aretha tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya sendiri. Baru semalam jantung Aretha dikejutkan dengan kabar Bia diusir dari rumah. Sekarang, mereka harus kembali menghadapi masalah yang entah disebabkan oleh siapa."Ah, kenapa hidupku jadi seperti ini sih?!" gerutu Bia kesal. Wanita yang belum berganti pakaian sejak kemarin itu sudah berdiri, mengintip ke luar dari balik tirai.Beberapa orang berkemeja dan berseragam ada di bawah sana. Melihat itu, Bia sudah menduga kalau orang suruhannya tidak berhasil menjalankan tugas. Entahlah, ponsel Bia mati total sejak kembali pulang ke rumah Aretha.Rasanya dendam sekali pada orang yang menyebarkan foto dirinya. Orang itu tentu tahu kalau Bia bagian dari Sindari, meski media tidak menambahkan marga kebanggaan sang ibu diakhir namanya."Jadi, apa rencanamu?"Rencana? Bia melipat kedua tangannya di dada, bersandar sambil memperhatikan orang-orang di bawah sana mulai menaiki tangga spiral. "Apa lagi, tentu aku akan menjadi benalu di sini," ucapnya santai.Aretha terkekeh. "Kalau begitu, jadilah benalu yang berguna untukku.""Dasar, bukankah sejak dulu aku selalu berguna untukmu?" cebik Bia bergurau. Ia sungguh belum memikirkan apapun untuk rencana hidupnya nanti."Yah, memang--"Tok, tok!Ketukan pintu membuat atensi dua wanita langsung beralih pada pintu. Bia dan Aretha pun saling memandang sebelum wanita bersurai pendek di sana beranjak untuk mengecek siapa yang datang berkunjung."Siapa?" ucap Aretha dengan sedikit keras. Berdiri di belakang pintu dengan pikiran yang menduga-duga, mungkin dibalik daun pintu ini adalah salah satu orang yang tadi berada di bawah rumah sewanya."Permisi, apakah benar Zafanya Bia tinggal di sini?" Suara pria membalas. Hanya membalas, bukan menjawab pertanyaan Aretha.Aretha memandang Bia yang mendekat ke arahnya. "Saya bertanya, anda siapa?""Ah, saya perwakilan dari majalah Elle."Elle? Ulang Bia dalam hati. Ia sudah berdiri bersama dengan Aretha di belakang pintu.Elle, perusahaan majalah fashion yang sudah mendunia. Siapa yang tidak kenal dengan Elle? Bahkan Bia pun mengenal majalah itu sejak kecil.Dulu, Bia bercita-cita untuk bekerja di sana, bukan sebagai model. Namun, sebagai pegawai Elle.Hal yang lebih penting, bagaimana bisa berita tentang dirinya sampai membuat Elle tertarik dengannya? Ia cuma seorang model freelance di bawah naungan Aretha yang hanya menjual beberapa macam barang di toko kecil dan juga secara online."Maaf, tapi--"Gila! Lidah Aretha kelu, matanya membelalak terkejut melihat perbuatan Bia yang tidak dimengerti olehnya. Jelas, Aretha ingin menjawab kalau apa yang dicari orang itu tidak ada di rumahnya.Namun, Bia malah terang-terangan membuka pintu dan sekarang ... wanita yang menjadi perbincangan panas di media sedang tersenyum manis setelah memperkenalkan dirinya.Terlebih lagi, apa Bia tidak sadar kalau dirinya belum cuci muka? Bia itu paling tidak suka menunjukkan wajah bangun tidurnya."Untuk ...." Bia menelusuri pandang ke belakang pria yang ada dihadapannya. Beberapa orang dari perusahaan berbeda juga ada di sana. Mereka memberondong pertanyaan yang intinya adalah sama. Semua ingin lebih kenal dengan Zafanya Bia."Maaf, saya hanya akan mengizinkan perwakilan dari majalah Elle untuk mewawancari saya," lanjut Bia.Ucapan yang semakin menyerukan tawaran-tawaran menarik dari pihak lain. Namun sayang, ketertarikan Bia sudah jatuh pada perusahaan Elle.Tanpa pikir panjang, Bia pun mempersilakan tiga orang perwakilan dari Elle untuk masuk ke rumahnya--ralat--rumah sewa Aretha.Melirik pada Aretha yang memandang kesal meminta penjelasan."Aku berencana untuk memakai idemu waktu itu," bisik Bia.Sudah terlanjur basah, kenapa tidak sekalian saja ia menyelam di lautan?Lagi pula, ini Elle! Bia tidak akan melewatkan kesempatan emas ini. Dari yang ia dengar, cukup sulit untuk bergabung dengan perusahaan itu dan sekarang, tanpa harus bersusah payah, kesempatan emas ini datang sendiri kepadanya! Bia sungguh senang sampai melupakan kesedihan yang baru beberapa jam lalu diusir oleh Karina.Aretha mendengus tidak percaya. Padahal saat itu idenya ditolak mentah-mentah oleh Bia. Biarlah, Aretha memang terkadang tidak mengerti apa yang dipikirkan Bia. Sahabatnya memang selalu bertindak impulsif. Membuat Aretha harus memiliki perbekalan nyawa yang banyak."Saya Noah Evander, jurnalis majalah Elle," ucap pria berkemeja hitam bergaris putih. Memperkenalkan diri seraya menyerahkan kartu nama pada Bia yang sudah duduk manis bersama dengan Aretha."Jika tidak keberatan, boleh saya meminta izin untuk merekam semua perbincangan kita?" lanjut Noah."Silakan, tetapi tidak dengan kamera," tegas Aretha menjawab.Menurut Aretha, akan berbahaya jika rumah kecil, imut nan berantakan miliknya terekspos ke media. Bia juga pasti tidak ingin wajah bangun tidurnya dilihat banyak orang nanti.Bersambung ....Chette Lipacchi.Bia menyipitkan mata, menatap lurus pada huruf-huruf terpampang besar di atas gedung pencakar langit.Chette Lipacchi, salah satu cabang perusahaan yang menerbitkan majalah Elle di Indonesia ... Bia sungguh tidak percaya kalau ia akan kembali ke tempat ini.Kemarin, Bia setuju untuk menjadi model di majalah Elle. Sekarang, Bia datang untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan pihak Chette."Aku tidak sabar untuk melihat reaksinya," gumam Bia.Ia menerka-nerka, bagaimana jika Karina tahu kalau anak bungsunya, ah ... salah, maksudnya anak yang telah dibuang bekerja sama dengan perusahaan yang paling Karina benci, mungkinkah sang ibu akan mengirimkan setumpuk masalah untuknya atau untuk perusahaan ini?Melangkah masuk dengan percaya diri ke dalam gedung. Kedatangan Bia cukup menarik atensi orang-orang di sana.Bia begitu cantik dengan busana kemeja merah marun, model kerah berenda yang sedikit terbuka di bagian dada. Tinggi yang semampai membuat kaki-kaki berselimut
Suasana yang tenang, bahkan detak jam pun tidak terdengar. Pemandangan yang indah dari balik kaca besar, meski hanya melihat luasnya kota dan gedung pencakar langit yang seolah saling bersaing ... wanita di sana tetap menyukainya.Nuansa keabu-abuan yang dihias dekorasi hitam dan putih, sedikit membuat Bia bisa menilai seperti apa sosok Noah saat bekerja. Aura ruangan di sana seperti ruang kerja sang ibu, serius dan tanpa ampun.Bibir tipis yang terukir cantik itu pun kembali menyesap sisa teh yang sudah tak lagi hangat. Bia kini benar-benar bisa merasa tentram setelah apa yang terjadi pada dirinya beberapa hari lalu. Ditinggalkan pemilik ruangan, cukup untuk Bia merenungkan diri. Mengoreksi, memilah dan menata apa yang harus ia lakukan mulai saat ini."Maaf menunggu lama," ujar Noah sesaat setelah masuk ke dalam ruang kerjanya. Noah berjalan menghampiri Bia dengan beberapa berkas yang ada di tangan kiri."It's okay. Saya justru berterima kasih untuk waktu yang telah pak Noah sediakan
Kilat cahaya menerangi sasana malam di sana. Semua bernuansa gelap dengan beberapa warna berbeda sebagai pemanis untuk menghidupkan panggung.Bia berpose di antara daun-daun panjang yang terhias beberapa pita merah. Ia duduk di lantai berkarpet rumput dengan dua kaki yang terlipat. Bibir tipis merah mudanya tersenyum ceria, tangan kanannya memeluk jemari pria tampan dengan kemeja hitam terbuka. Warna pakaian yang bertolak dengan Bia. Gaun putih setipis sutra nampak anggun, lengan baju pendeknya menari tertiup angin.Tidak bisa dipungkiri, Zafanya Bia dan Vian Handika menjadi pasangan sempurna di atas panggung. Mereka terlihat serasi membawakan fashion bertema alam malam."Okay! Break!" Teriakan nyaring dari pria yang menggenggam erat kamera.Puluhan take sudah diabadikan sang fotografer sedari pagi. Merasa puas. Kini sudah waktunya untuk mengakhiri.Vian--model ternama yang baru-baru ini menduduki peringkat atas di dunia fashion--mengulurkan tangan pada Bia."Thanks," ujar Bia seraya
"Hei, apa terjadi masalah di sana?""Huh?" Bia mengedipkan mata. Lamunannya tersadar kembali setelah mendengar teguran Aretha. "Ah, tidak ada. Bukankah sudah kubilang, orang-orang di sana terus saja memujiku," lanjutnya. Masih belum jelas. Jadi, Aretha tidak perlu tahu tentang pria yang menandang benci padanya di lobi tadi.Aretha yang sedang mengemudi pun melirik curiga. "Aku bersyukur kalau memang seperti itu. Ingat Bi, jangan membuat masalah seperti saat kamu bekerja di restoran dulu.""Hei! Dulu itu bukan kesalahanku! Ya, Tuhan ...." Bia mengelak tidak terima. Kenapa juga Aretha masih mengingat kejadian itu? Itu pengalaman yang cukup menyebalkan! Baru bekerja satu hari, ia sudah dipecat."Iya, itu bukan salahmu. Pokoknya, selama mereka tidak melecehkanmu. Ingat untuk selalu menahan emosimu," saran Aretha seraya memutar kemudi untuk mencari tempat parkir. Mereka sudah sampai di sebuah restoran."Ya Tuhan ...." Bia menghela napas sembari memutar bola mata. "Apa di matamu aku terliha
Bia akui, cinta pertama itu sungguh seperti sebuah keramat. Sulit dimiliki dan sulit dilepas dari hati juga pikirian. Perasaan suci, tetapi akan mengutukmu selamanya.Cinta pertama memiliki tempat yang tidak akan pernah hilang. Sampai berpuluh tahun pun akan tetap bisa menggetarkan hati dengan caranya sendiri.Haah ... Bia menghela napas setelah membaca pesan yang entah sudah berapa kali masuk ke ponselnya pagi ini. Ia sudah tidak lagi mengenal Dion dengan baik.Sudah dua hari, Bia terus mengabaikan pesan Dion. Pun mengabaikan kehadiran pria itu saat menjemput atau menunggunya di depan rumah atap Aretha, tempat yang kini menjadi rumah Bia.Dion sungguh sudah seperti seorang pengangguran yang hanya memiliki jadwal untuk mengganggu Bia.Ya Tuhan ... belum mulai bekerja, tetapi hati sudah dihantui rasa yang Bia sendiri pun sulit menggambarkannya."Ada apa? Ada yang sudah membuatmu bosan pagi ini?"Bia yang sedang duduk di kursi kantin langsung menolehkan kepala ke belakang. "Ah ... Hei,
"Tentu saja, kalau kamu mau memberikan bunga ini untuk temanmu."Bia berdecak malas. "Di antara pertukaran ini, aku rasa yang paling dirugikan adalah bapak sendiri. Jadi, terima kasih untuk tawarannya," ucapnya kemudian melenggang pergi meninggalkan Noah yang mengulum senyum."Haah, sayang sekali kalau begitu," gumam Noah memeluk buket bunga yang sia-sia saja ia pesan dengan sedikit pemaksaan. Menatap punggung Bia yang kian menjauh dan berbaur dengan para model lainnya.Paras Bia memang cantik, tubuhnya yang tinggi dan ramping menambah keindahan yang seolah sengaja Tuhan ciptakan hanya untuk Bia. Namun sayang, semua itu tidak mampu menggetarkan hati Noah."Aku tidak melarangmu mendekati wanita manapun, tapi tidak untuk wanita itu dan orang-orang di sekitarnya." Suara bariton mengganggu Noah yang masih betah menatap para modelingnya.Noah mendebas napasnya kembali. Tanpa menoleh ke samping, ia sudah tahu siapa yang berbicara. "Ini, pertemuan pertama kalian, bukan?" ucapnya memilih meng
"Ini pertama kalinya Deri seperti ini.""Entah kenapa, akhir-akhir ini kantor terasa kacau. Bahkan, kudengar wakil direktur harus--"Obrolan antar para model pun seketika terhenti, saat Vian menyentuh bahu seorang pria yang menyuarakan isi hatinya dengan lantang. Tanpa mempedulikan Bia yang merasa terasingkan dilingkaran mereka.Duduk bersama, tetapi dalam perbincangan tidak ada yang mengajak Bia untuk buka suara. Sejak tadi hanya riuh angin yang turut menghibur telinga dan hatinya."Masalah kantor, aku rasa itu bukanlah urusan kita. Ini memang pertama kalinya Deri mendadak meninggalkan lokasi, terlebih Deri tidak memberitahukan jadwal besok," ungkap Vian mencoba menyudahi hal yang bisa Vian sadari kalau Bia merasa kurang nyaman di meja makan ini. "Daripada berasumsi sendiri yang mungkin akan menimbulkan kesan negatif, lebih baik kita kembali dan menunggu perintah Deri," lanjutnya.Bia menarik samar ujung bibirnya. Entah mengapa, ia merasa Vian sedang membelanya. Padahal, sejak tadi t
"Orang yang menyebarkan foto-fotomu ... ada di sana.”Apa? Lidah Bia membeku, pikirannya mencerna ucapan pria di depannya. Meski ia tahu bahwa Dion tidak akan berbicara omong kosong. Namun, bagaimana jika pria ini bertindak atas titah sang ibu, Karina? Bagaimanapun, Dion sudah menjadi pengikut yang begitu patuh dengan Sindari.“Katakan, apa tujuanmu mengatakan itu?”Dion menghela napas. Mencari ketenangan dari hembusan angin pantai. Memang akan sulit menjelaskan pada Bia soal ini. Dion tahu, Bia tidak akan percaya begitu saja kepadanya.“Aku mengerti kamu tidak akan mempercayaiku begitu saja, tapi--”“Omong kosong.” Bia mendengus seraya membuang muka. Menatap lautan yang sudah cukup jauh untuk dijangkau mata. Laut cantik dengan deburan ombak yang seolah menyuruhnya untuk segera datang kepadanya.Mungkin jika dilihat dari kacamata orang lain, kehidupannya tidak ada yang perlu dicemaskan atau bahkan terlalu indah untuk dibayangkan seperti cerita dongeng yang tak nyata.Memiliki orang tu