Share

Chapter 5 : Tamu Tak Diundang.

"Dia pasti kelelahan menangis," bisik Aretha dalam hati, setelah memandang jam dinding yang sudah tertuju pada angka sepuluh.

Menjauh dari dapur mini, kedua tangan Aretha dengan cepat membawa dua piring yang berisi makanan berbeda. Meletakkan perlahan piring-piring itu ke atas meja, Aretha tidak ingin membuat suara yang akan membangunkan bayi besarnya, Bia.

"Haah ...." Aretha menghela napas, tangan-tangannya berada di pinggang. Selesai sudah untuk urusan sarapan mereka. Aretha pun menyambar dan membawa segelas teh hangat menuju jendela yang sudah menerangi ruangan kecilnya. Menikmati teh sambil memandang keluar sudah menjadi kebiasaan Aretha.

"Huh?" Kening Aretha mengerut dalam. Tidak lama, dua matanya pun membelalak. "Bi, Bia! Bangun!"

Teriakan Aretha cukup mengejutkan Bia yang baru dua jam memejamkan mata. Kesadaran pun langsung terkumpul bersamaan dengan degup jantung yang meningkat cepat.

Dengan mata yang masih berat, Bia refleks duduk menghadap Aretha. "Ada apa?" ucap Bia dengan suara parau. Tubuhnya lemas, mungkin karena ia hanya tidur sebentar. Pun tidur dengan keadaan pikiran kacau, sekarang kepalanya tak henti berdenyut.

Bia pun berkedip setelah menyeka dua matanya yang bengkak karena menangis semalaman.

Pergi setelah mendengar keputusan dari sang ibu, hati siapa yang tidak hancur? Sejak ayah dan ibunya berpisah, Bia terus saja membantah perintah Karina, bahkan dicaci maki pun sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Bia memang benci dengan marga Sindari. Namun, dibuang dari keluarganya ... Bia tidak pernah membayangkan itu. Lebih baik ia diasingkan di pulau terkecil!

"Cepat kemari." Aretha menggigit kecil bibirnya, lalu berdecak. "Sial, apa-apaan mereka? Bagaimana mereka bisa tahu kamu tinggal di sini?" lanjut Aretha cemas. Di bawah rumah sewanya, sudah ada beberapa orang yang melihat ke arah jendelanya.

Bia menghela napas sambil menyugar rambut. Dahinya sedikit panas, sepertinya ia demam. "Uh, tidak bisakah kamu ceritakan saja apa yang terjadi di luar sana? Kepalaku--"

"Sepertinya mereka wartawan yang ingin mewawancaraimu."

"Apa?" Bia sontak membulatkan mata, bergerak cepat ke bibir ranjang. Mengabaikan pusing serta denyut yang semakin menusuk kepala. "Jangan bercanda, kenapa juga harus ada wartawan?" lanjutnya, mengelak untuk percaya.

Aretha melirik sinis Bia yang turun dari ranjang, lalu kembali memandang jendela yang hanya ditutupi tirai tipis. "Silakan kamu lihat sendiri," ujarnya kemudian menjauh dari bingkai berkaca di sana. Mendekati meja bundar untuk menaruh kembali teh hangat yang sudah tidak lagi Aretha inginkan.

Bahkan awalnya pun, Aretha tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya sendiri. Baru semalam jantung Aretha dikejutkan dengan kabar Bia diusir dari rumah. Sekarang, mereka harus kembali menghadapi masalah yang entah disebabkan oleh siapa.

"Ah, kenapa hidupku jadi seperti ini sih?!" gerutu Bia kesal. Wanita yang belum berganti pakaian sejak kemarin itu sudah berdiri, mengintip ke luar dari balik tirai.

Beberapa orang berkemeja dan berseragam ada di bawah sana. Melihat itu, Bia sudah menduga kalau orang suruhannya tidak berhasil menjalankan tugas. Entahlah, ponsel Bia mati total sejak kembali pulang ke rumah Aretha.

Rasanya dendam sekali pada orang yang menyebarkan foto dirinya. Orang itu tentu tahu kalau Bia bagian dari Sindari, meski media tidak menambahkan marga kebanggaan sang ibu diakhir namanya.

"Jadi, apa rencanamu?"

Rencana? Bia melipat kedua tangannya di dada, bersandar sambil memperhatikan orang-orang di bawah sana mulai menaiki tangga spiral. "Apa lagi, tentu aku akan menjadi benalu di sini," ucapnya santai.

Aretha terkekeh. "Kalau begitu, jadilah benalu yang berguna untukku."

"Dasar, bukankah sejak dulu aku selalu berguna untukmu?" cebik Bia bergurau. Ia sungguh belum memikirkan apapun untuk rencana hidupnya nanti.

"Yah, memang--"

Tok, tok!

Ketukan pintu membuat atensi dua wanita langsung beralih pada pintu. Bia dan Aretha pun saling memandang sebelum wanita bersurai pendek di sana beranjak untuk mengecek siapa yang datang berkunjung.

"Siapa?" ucap Aretha dengan sedikit keras. Berdiri di belakang pintu dengan pikiran yang menduga-duga, mungkin dibalik daun pintu ini adalah salah satu orang yang tadi berada di bawah rumah sewanya.

"Permisi, apakah benar Zafanya Bia tinggal di sini?" Suara pria membalas. Hanya membalas, bukan menjawab pertanyaan Aretha.

Aretha memandang Bia yang mendekat ke arahnya. "Saya bertanya, anda siapa?"

"Ah, saya perwakilan dari majalah Elle."

Elle? Ulang Bia dalam hati. Ia sudah berdiri bersama dengan Aretha di belakang pintu.

Elle, perusahaan majalah fashion yang sudah mendunia. Siapa yang tidak kenal dengan Elle? Bahkan Bia pun mengenal majalah itu sejak kecil.

Dulu, Bia bercita-cita untuk bekerja di sana, bukan sebagai model. Namun, sebagai pegawai Elle.

Hal yang lebih penting, bagaimana bisa berita tentang dirinya sampai membuat Elle tertarik dengannya? Ia cuma seorang model freelance di bawah naungan Aretha yang hanya menjual beberapa macam barang di toko kecil dan juga secara online.

"Maaf, tapi--"

Gila! Lidah Aretha kelu, matanya membelalak terkejut melihat perbuatan Bia yang tidak dimengerti olehnya. Jelas, Aretha ingin menjawab kalau apa yang dicari orang itu tidak ada di rumahnya.

Namun, Bia malah terang-terangan membuka pintu dan sekarang ... wanita yang menjadi perbincangan panas di media sedang tersenyum manis setelah memperkenalkan dirinya.

Terlebih lagi, apa Bia tidak sadar kalau dirinya belum cuci muka? Bia itu paling tidak suka menunjukkan wajah bangun tidurnya.

"Untuk ...." Bia menelusuri pandang ke belakang pria yang ada dihadapannya. Beberapa orang dari perusahaan berbeda juga ada di sana. Mereka memberondong pertanyaan yang intinya adalah sama. Semua ingin lebih kenal dengan Zafanya Bia.

"Maaf, saya hanya akan mengizinkan perwakilan dari majalah Elle untuk mewawancari saya," lanjut Bia.

Ucapan yang semakin menyerukan tawaran-tawaran menarik dari pihak lain. Namun sayang, ketertarikan Bia sudah jatuh pada perusahaan Elle.

Tanpa pikir panjang, Bia pun mempersilakan tiga orang perwakilan dari Elle untuk masuk ke rumahnya--ralat--rumah sewa Aretha.

Melirik pada Aretha yang memandang kesal meminta penjelasan.

"Aku berencana untuk memakai idemu waktu itu," bisik Bia.

Sudah terlanjur basah, kenapa tidak sekalian saja ia menyelam di lautan?

Lagi pula, ini Elle! Bia tidak akan melewatkan kesempatan emas ini. Dari yang ia dengar, cukup sulit untuk bergabung dengan perusahaan itu dan sekarang, tanpa harus bersusah payah, kesempatan emas ini datang sendiri kepadanya! Bia sungguh senang sampai melupakan kesedihan yang baru beberapa jam lalu diusir oleh Karina.

Aretha mendengus tidak percaya. Padahal saat itu idenya ditolak mentah-mentah oleh Bia. Biarlah, Aretha memang terkadang tidak mengerti apa yang dipikirkan Bia. Sahabatnya memang selalu bertindak impulsif. Membuat Aretha harus memiliki perbekalan nyawa yang banyak.

"Saya Noah Evander, jurnalis majalah Elle," ucap pria berkemeja hitam bergaris putih. Memperkenalkan diri seraya menyerahkan kartu nama pada Bia yang sudah duduk manis bersama dengan Aretha.

"Jika tidak keberatan, boleh saya meminta izin untuk merekam semua perbincangan kita?" lanjut Noah.

"Silakan, tetapi tidak dengan kamera," tegas Aretha menjawab.

Menurut Aretha, akan berbahaya jika rumah kecil, imut nan berantakan miliknya terekspos ke media. Bia juga pasti tidak ingin wajah bangun tidurnya dilihat banyak orang nanti.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status