Share

A Special Person for A Special One

El memijat batang hidungnya yang tinggi setelah meletakkan kembali tablet ke atas meja kerjanya. Email dari sebuah rumah produksi baru saja ia buka. Tawaran film layar lebar lagi. Yang ketiga dalam bulan ini. Dua judul yang sebelumnya ditolak mentah-mentah oleh El karena tidak sesuai dengan image-nya. Tapi, email barusan membuat El sedikit goyah.

            Kali ini Sutarjo Pramudya, seorang sutradara muda yang beberapa bulan lalu mendapatkan penghargaan dari sebuah ajang bergengsi di luar negeri. Film pendek debutannya menang dalam kategori ‘Penyutradaraan Terbaik’. El sudah menonton film itu dan sepertinya masa depan sutradara tersebut cukup menjanjikan. Sejujurnya, meskipun belum bisa memberi keputusan, El menyukai ide cerita yang mereka tawarkan.

            El melirik jam dinding yang tergantung di depan pintu. Sudah lewat tengah malam. Harlan sudah pulang setelah mengantar makanan ke dalam kamar Aby. El sendiri sama sekali belum keluar dari kamar dan tidak berminat menemui anak itu.

            El kemudian melangkah keluar ketika mendapati lemari es kecil di dekat meja kerjanya sudah kosong. Hanya ada beberapa kaleng minuman ringan dan El membutuhkan segelas air putih untuk membasahi kerongkongannya yang kering.

            Tangannya terulur, menyalakan lampu ruang tengah. El masih sempat meregangkan otot-otot punggung sebelum matanya menangkap bercak-bercak merah di lantai marmer yang putih itu. El berjongkok, kemudian mengecek dengan ujung jarinya. Tak perlu waktu lama, aroma anyir itu mencapai cuping hidungnya.

            “Kakinya kena kaca. Untung tadi ada anak sekolah yang nolongin.”

           

El mendesah berat. Sekarang, apalagi yang sedang dilakukan anak itu? Pergi tanpa pamit, mengacaukan rumah, dan sekarang mencelakakan dirinya sendiri?

            Setelah berulang kali mempertimbangkan segala hal, dengan ragu El menarik gagang pintu kamar Aby. Ia memutarnya dengan sangat hati-hati hingga bunyi ‘ceklek’ itu nyaris tak terdengar. Saat pintu terbuka, El langsung disambut oleh gelap. Cahaya dari luarlah yang berhasil membuat El menangkap sosok yang sedang terduduk, bersandar di bawah tempat tidur sambil memeluk lututnya. Dalam senyap, El bisa mendengar suara napasnya yang naik turun tak beraturan.

            “Hei?”

v

            Saat Aby menyandarkan kepala ke ranjang, ia sudah merasa wajahnya memanas. Keringat dingin membasahi dahi hingga membuat poninya basah. Padahal pendingin ruangan sudah dinyalakan Harlan sebelum ia pergi.

            Matanya belum juga mau terpejam dan pandangannya berkunang-kunang. Aby tahu ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Sepertinya, luka di kaki membuat suhu badannya naik dan perasaannya jadi tidak enak. Sejak sore tadi, luka itu seperti menarik-narik otot betisnya hingga terasa pegal.

            Selagi masih memiliki kekuatan, Aby menyeret langkahnya keluar kamar, mencari tempat di mana ia bisa menemukan air panas. Setelah menuang dari dispenser, ia kemudian mematikan lampu ruang tengah tanpa menyadari kalau luka di telapak kakinya yang dibalut perban itu sudah meninggalkan jejak-jejak di sana.

            Lampu kamar yang dimatikan sama sekali tak menolong. Aby malah merasa napasnya sesak dan kakinya berdenyut-denyut hebat. Ia berusaha menahan diri untuk tidak merintih apalagi menangis. Aby hanya berulang kali mengecek apakah nomor mamanya sudah aktif dan sayangnya ia harus menelan kekecewaan.

            Satu jam lamanya Aby terduduk tanpa melakukan apa pun kecuali memeluk lututnya erat-erat dan mengatupkan rahangnya kuat-kuat sambil terus memantrai diri kalau ia akan baik-baik saja. Sampai akhirnya, ia mendengar suara langkah kaki dan cahaya yang masuk menerobos melalui celah pintu. Barulah ia mengangkat kepala.

            Laki-laki jangkung, bermata hazel, dan punya rambut pirang yang dikuncir aneh di belakang kepalanya itu muncul di depan Aby.

            Dan, dengan gerakan bibir yang sangat canggung, sepotong kata meluncur dari mulutnya. “Hei?”

v

            Ini sudah yang ketiga kalinya Harlan menguap. El sendiri masih duduk di depan televisi yang menyala dengan volume sedang tanpa benar-benar ditonton. Harlan tahu mata El menatap kosong layar yang sedang menayangkan film dokumenter Perang Dunia kedua itu. Sejak menelepon Harlan hingga Dokter Bima pulang, El sama sekali tidak bergerak dari posisinya sekarang.

            Setelah memastikan Aby benar-benar tidur, Harlan kemudian memakaikan selimut hingga sebatas dada gadis itu. Mematikan lampu kamar yang terang benderang dan menyalakan lampu tidur redup kekuningan. Ia lalu melangkah keluar.

            “Gimana?” tanya El saat ia menyadar kehadiran Harlan melalui ekor matanya. Harlan duduk di sofa tunggal di sebelah kiri El dengan mata merah.

            “Enggak apa-apa. Cuma demam karena luka di kakinya. Sudah dijahit sama dokter. Aku udah bilang sama Abigail untuk nggak keluar selama tiga hari ke depan,” jelas Harlan. “El...” Harlan menghentikan kata-katanya sambil berpikir bagaimana ia bisa menyampaikan pesan dari Hadian Munir pada El tanpa membuat bocah itu uring-uringan lagi.

            El melirik Harlan sebentar kemudian menarik napas panjang. “Gue tahu. Gue minta maaf udah gangguin tidur lo. Gue bener-bener nggak tahu harus ngapain tadi. Anak itu udah mau pingsan sementara gue sama sekali nggak punya ilmu apa pun soal pertolongan pertama dan semacamnya.”

            Harlan tersenyum tipis. El sepertinya benar-benar panik tadi. Harlan bahkan tidak sempat menjawab apa pun saat tadi El menelepon dan menyuruhnya datang. “Bukan itu maksudku, El.”

            “Lalu?”

            “Kemarin aku ke kantor Hadian Munir waktu kamu lagi shooting. Beliau menyampaikan beberapa pesan dari Bunda Bayu.”

            “Soal Abigail?”

            Harlan mengangguk kemudian menyerahkan catatan yang sejak tadi ia simpan di dalam saku jaketnya. “Catatan ini dibuat oleh Bunda Bayu.”

            El menerimanya. Lalu, hanya menatap sampul batiknya tanpa minat dan menaruhnya di atas tumpukan majalah di bawah meja kaca yang ada di depannya. “Makasih.”

            “El….”

            “Hmm.”

            “Hadian Munir ... maksudku, Bunda Bayu ... beliau benar-benar berharap kamu bisa menjaga Abigail dengan baik. Dia bilang ... Abigail itu istimewa. Sama istimewanya dengan kamu dulu.”

            Harlan langsung menghentikan kata-katanya begitu El menoleh dan menatapnya tajam. “Maksudnya?”

            “Abigail nggak sama dengan anak-anak lain. Seperti kamu yang berbeda dengan anak-anak yang lain dulu. Kalian sama-sama istimewa. Itu sebabnya Bunda Bayu memilih kamu. Agar kalian bisa saling melengkapi,” sambung Harlan meniru ucapan Bunda Bayu yang didengarnya melalui Hadian Munir.

            El tersenyum pahit kemudian memijit batang hidungnya kuat-kuat. Yang namanya penjelasan seharusnya membuat seseorang menjadi paham. Tapi, kenapa ini malah membuat El semakin bingung?

v

            Askar tersenyum menatap hasil foto dari kamera digitalnya. Gambar seorang ibu yang menggendong anak sambil mengamen terbingkai apik di sana. Askar mengusap layar dengan ujung jari, kemudian dengan sangat hati-hati kembali membidik objek lain di jalanan yang ramai itu. Kali ini, seorang pengemis yang sudah kehilangan kedua kakinya. Askar baru mulai menghitung dalam hati saat tiba-tiba seseorang menarik ujung kaus yang dipakainya. Askar refleks menoleh.

            “Risa? Pulang sekolah kok nggak ganti baju dulu? Kak Dinda mana?” tanya Askar seraya berjongkok di depan gadis berseragam putih merah itu.

            “Lagi bantu Mang Dadang jualan,” jawabnya. Sekarang mereka berdua sudah berjalan beriringan. “Bang Askar....”

            “Hmm?” Askar masih sibuk mematikan kamera dan menggantungnya kembali di leher hingga tak bisa melihat wajah memelas Risa yang menatapnya. Menyadari Askar tak memerhatikannya dengan serius, Risa terdiam, menghentikan langkah-langkah kecilnya. “Kenapa, Sa?”

            “Sandal Kak Dinda putus lagi, Bang. Padahal kemaren kan udah dilem sama Bang Askar. Jadi, tadi kakak pergi jualan nggak pake sandal. Kakinya kena batu.”

            Astaga!

            Askar baru ingat sekarang apa yang sudah dijanjikannya pada Dinda seminggu yang lalu. Sandal! Ya, sandal merah muda dengan kepala Hello Kitty besar yang beberapa hari ini selalu ada di dalam tasnya. Askar buru-buru membuka zipper ranselnya dan mengeluarkan plastik hitam dari sana. “Bang Askar lupa,” katanya sambil tertawa lebar.

            Risa yang tadi tertunduk, langsung tersenyum sumringah menyambut bungkusan itu. Tangan kecilnya bergerak lincah, mengeluarkan isinya. Sepasang sandal cantik kemudian ia letakkan di dekat kakinya. Mata Risa berbinar-binar. “Waaaah. Bagusnya....”

            Askar mau tak mau ikut tertawa juga bersama Risa. Apalagi saat ia melihat gadis itu melepas sandal karet usang yang dia pakai, kemudian menggantinya dengan sandal dari Askar. Ia tersenyum, menggoyang-goyangkan kaki yang sudah berbalut sandal kebesaran itu.

            “Risa mau juga?” tawar Askar. Ia jadi merasa bersalah membelikan sandal yang terlalu ‘wah’ itu untuk Dinda, sementara ia membiarkan Risa setia dengan sandal karet yang sudah menipis di bagian belakangnya itu.

Risa buru-buru menggeleng. “Enggak! Sandal Risa masih bagus kok. Kata kakak, nanti kalau ada uang, kakak yang mau beliin buat Risa,” sahutnya manis. Bocah itu kemudian memasukkan sandal karet miliknya ke dalam plastik di tangannya. “Risa pinjam dulu sebentar, aaah.”

Askar sama sekali tidak bisa berhenti menatap wajah itu. Saat Risa berpamitan dan berlari-lari kecil menjauhinya, kepala Hello Kitty itu bergoyang-goyang. Dan, entah kenapa, Askar malah teringat pada seseorang.

Apa-apaan ini?”

 “Sandal. Kenapa?”

Nggak usah.”

Askar masih ingat dengan jelas bagaimana ekspresi Abigail saat melihat sandal imut itu. Tanpa disadari, kedua ujung bibir Askar terangkat, membentuk sebuah senyuman lebar. Apalagi sekarang? Apa si Little Red Riding Hood itu punya trauma terhadap Hello Kitty?

            Askar tertawa kecil. Sekarang ia tahu, ia tak ingin memotret apa pun lagi hari ini. Kecuali....

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status