Share

Kenali Ibumu Ini, Nak

Aku tersenyum menyeringai melihat Delon berlari tunggang langgang dikejar 4 laki-laki itu. Mungkin detak jantungnya sekarang berpacu sangat cepat saking takutnya. Itu belum sebanding dengan ketakutanku karena hampir kehilangan putri kesayanganku. Aku mempercepat langkah dan langsung masuk ke dalam rumah sakit.

“Bu Rahimah? Darimana saja? Saya cariin dari tadi tak nampak.”

Dokter Rian menghampiriku. Wajahnya yang bersih menyejukkan hati. Andai aku masih punya anak perempuan lajang, lelaki seperti ini yang kuharapkan jadi jodohnya.

“Saya baru makan, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?”

“Jangan bersikap formal begitu, Bu. Panggil saja saya Rian, tanpa embel-embel dokter. Saya seusia Raka. Ibu bisa menganggap saya seperti anak sendiri.”

“Kamu baik sekali, Nak. Orang tuamu pasti bangga memiliki anak sepertimu.”

Rian tertawa sekilas. “Saya baik berkali-kali kok, Bu, bukan cuma sekali baiknya.”

Sepertinya dia berusaha menghiburku. Aku tersenyum tipis, menghargai usahanya untuk membuatku terhibur. 

“Di rumah sakit ini, kamu adalah dokter yang akan menyembuhkan putriku. Saya lebih senang memanggilmu dokter. Kalau di luar, saya kan memanggil namamu.”

“Baiklah, Bu. Saya tak bisa memaksa.” Dia tersenyum lagi. 

“Lalu bagaimana keadaan Alina, Dokter?” Aku sudah penasaran dengan hasilnya, meskipun harap-harap cemas dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

 “Lihatlah ke dalam, Bu, sekalian akan saya jelaskan apa yang terjadi padanya.”

Aku menarik napas panjang untuk menyiapkan hati kalau ada kabar buruk dan berjalan mengikuti dokter Rian. Di atas ranjang pasien, tubuh putriku terbaring dan ditempeli banyak alat. Kini dia sedang tertidur.

“Sebelumnya saya ikut prihatin terhadap hal yang menimpa putri Ibu. Saya juga dulu sempat pernah ketemu Alina sekali, tak menyangka kalau gadis lucu yang selalu diceritakan Raka kini mengalami kejadian tragis,” ujar Doter Rian. Wajahnya kelihatan sedih sambil memandangi wajah putriku.

“Begitulah hidup, Nak. Rencana boleh yang baik-baik saja, tapi ada bebarapa hal yang tak bisa kita kendalikan sesuai keinginan.”

Aku berdiri di samping ranjang putriku. Mataku berembun melihat wajah tirusnya.

“Semoga Alina dan Ibu kuat, ya.”

Aku mengusap mata dengan cepat dan menganggukkan kepala. Aku tak boleh terus-terusan menangis.

“Lambungnya Alina sudah jarang terisi makanan dan tiba-tiba makan banyak. Karena belum terbiasa, perutnya tidak bisa menerima makanan itu dengan baik dan berakhir muntah-muntah,” jelas sang dokter. Aku memelotot dan menyibak sedikit selimutnya. Aku baru menyadari kalau baju Alina sudah berganti.

 “Lalu siapa yang membersihkan muntahannya, Dok?” Aku merasa bersalah. Sebagai seorang Ibu tak bisa menjaganya dengan baik. “Dan siapa yang mengganti bajunya?” lanjutku.

Dokter Rian tersenyum. “Ada perawat yang membersihkan dan mengganti bajunya, Bu.”

“Lalu kalau anak saya memuntahkan semua kue yang tadi dimakannya dan sekarang pun tidak makan, bagaimana dia bisa pulih, Dok? Dia tadi begitu lapar saat kusodorkan kue. Saya tak tahu kalau bisa menyebabkan dia muntah.”

“Untuk sementara, cairan infus ini akan membantu, Bu. Karena pergelangan tangannya sangat kurus, cuku susah untuk menusukkan jarum infusnya. Selalu keluar dari kulitnya, sehingga terpaksa kami memakai jarum untuk anak-anak.”

Pantas cairan infus yang berjalan lambat dari kantungnya. Tak terasa air mataku meleleh lagi. Putriku sudah dewasa, tapi dia harus memakai jarum infus anak-anak. Dia tak ubahnya seperti bayi yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.

“Tapi dia tak ada penyakit serius, kan, Dok?”

“Kita akan lihat perkembangannya, Bu. Dia harus dirawat inap sampai kondisinya lebih baik. Saya lihat, tubuh Alina cukup kuat menghadapi kelaparan, tapi hatinya sekarang sangat rapuh. Hatinya seperti menyerah dengan keadaan, tapi nyatanya tubuh kurusnya masih bisa bertahan. Orang-orang terdekatnya harus memberikan semangat padanya.”

“Iya, Dok. Raka dan bapaknya akan berangkat nanti malam ke sini dan besok pagi baru sampai. Semoga kehadiran mereka nanti bisa membawa perubahan positif.”

“Aamiin. Baguslah kalau Raka datang, Bu. Kalau begitu, saya tinggal dulu. Kata dokter Hera, anaknya Alina akan segera dipindahkan ke ruangan ini juga.”

Ah, cucuku. Kamu jadi terabaikan lagi. Sekarang, entah dimana mertua dari putriku. Tadi kata-katanya begitu manis, ingin menyelesaikan semua ini dengan baik-baik. Namun, mendampingi cucunya saja tidak mau.

“Apa cucu saya sudah mau membuka matanya, Dok? Dia sudah bangun?”

“Sudah, Bu. Alhamdulillah, sepertinya dia belum banyak mengonsumsi obat tidur. Bayi itu harus dipindahkan ke sini, berharap agar Alina mau merespon suara tangisan atau ocehan anaknya.”

“Pokoknya lakukan yang terbaik, Dokter. Saya ini hanya orang kampung yang pengetahuannya sangat minim. Berapa pun biayanya, kalau orang-orang jah*at itu tak mau membayarnya, saya akan menjual kebun di kampung. Yang penting Alina-ku bisa berkumpul lagi dengan kami,” pintaku.

“Pastinya, Bu. Itu tugas kami. Terlebih pasien adalah adik dari teman saya, sekuat tenaga akan saya perjuangan kesembuhannya. Ibu adalah orang tua terbaik buat Alina. Tak peduli orang kampung atau kota, andai terlahir kembali, saya yakin Alina akan tetap memilih lahir dari rahim seorang ibu yang hebat seperti Bu Rahimah. Seperti nama Ibu yang artinya penyayang, saya melihat ketulusan dan kasih sayang tak terhingga dari sorot mata Ibu. Pokoknya bukan hanya Alina yang harus kuat, tapi Ibu juga,” tandasnya sambil mengusap lenganku.

Ya Allah, aku seperti memiliki anak lelaki di sini. dokter seusia anakku ini sangat baik dan perhatian. Ya, benar katanya, aku harus kuat.

Aku duduk di kursi dekat ranjang Alina, mengusap-usap rambutnya yang belum kering sempurna. Alina-ku sejak kecil suka merawat rambutnya dan dibiarkan panjang sepunggung. Dia akan menagis jika disuruh potong rambut, kecuali hanya merapikan. Tapi tadi pagi aku sudah memotong rambutnya secara asal-asalan. Pendek sekali dan bentuknya tak beraturan. Jangankan memberontak, menangis pun tidak.

Tidurlah yang nyeyak, Nak. Tapi setelah kamu bangun, kenali ibumu ini. Kamu harus cerita banyak pada Ibu, luapkan semuanya, Nak. Kamu jangan pendam sendirian luka hatimu, Alina. Ada Ibu di sini, siap mendengar semua keluhan hatimu.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
Alina yg kuat
goodnovel comment avatar
nurdianis
cepat sembuh ya alina
goodnovel comment avatar
Siti Nur
ceritanya menarik,tpi knp hrs pke koin sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status