Share

Kenali Ibumu Ini, Nak

Author: Intan Resa
last update Last Updated: 2023-01-03 22:33:45

Aku tersenyum menyeringai melihat Delon berlari tunggang langgang dikejar 4 laki-laki itu. Mungkin detak jantungnya sekarang berpacu sangat cepat saking takutnya. Itu belum sebanding dengan ketakutanku karena hampir kehilangan putri kesayanganku. Aku mempercepat langkah dan langsung masuk ke dalam rumah sakit.

“Bu Rahimah? Darimana saja? Saya cariin dari tadi tak nampak.”

Dokter Rian menghampiriku. Wajahnya yang bersih menyejukkan hati. Andai aku masih punya anak perempuan lajang, lelaki seperti ini yang kuharapkan jadi jodohnya.

“Saya baru makan, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?”

“Jangan bersikap formal begitu, Bu. Panggil saja saya Rian, tanpa embel-embel dokter. Saya seusia Raka. Ibu bisa menganggap saya seperti anak sendiri.”

“Kamu baik sekali, Nak. Orang tuamu pasti bangga memiliki anak sepertimu.”

Rian tertawa sekilas. “Saya baik berkali-kali kok, Bu, bukan cuma sekali baiknya.”

Sepertinya dia berusaha menghiburku. Aku tersenyum tipis, menghargai usahanya untuk membuatku terhibur. 

“Di rumah sakit ini, kamu adalah dokter yang akan menyembuhkan putriku. Saya lebih senang memanggilmu dokter. Kalau di luar, saya kan memanggil namamu.”

“Baiklah, Bu. Saya tak bisa memaksa.” Dia tersenyum lagi. 

“Lalu bagaimana keadaan Alina, Dokter?” Aku sudah penasaran dengan hasilnya, meskipun harap-harap cemas dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.

 “Lihatlah ke dalam, Bu, sekalian akan saya jelaskan apa yang terjadi padanya.”

Aku menarik napas panjang untuk menyiapkan hati kalau ada kabar buruk dan berjalan mengikuti dokter Rian. Di atas ranjang pasien, tubuh putriku terbaring dan ditempeli banyak alat. Kini dia sedang tertidur.

“Sebelumnya saya ikut prihatin terhadap hal yang menimpa putri Ibu. Saya juga dulu sempat pernah ketemu Alina sekali, tak menyangka kalau gadis lucu yang selalu diceritakan Raka kini mengalami kejadian tragis,” ujar Doter Rian. Wajahnya kelihatan sedih sambil memandangi wajah putriku.

“Begitulah hidup, Nak. Rencana boleh yang baik-baik saja, tapi ada bebarapa hal yang tak bisa kita kendalikan sesuai keinginan.”

Aku berdiri di samping ranjang putriku. Mataku berembun melihat wajah tirusnya.

“Semoga Alina dan Ibu kuat, ya.”

Aku mengusap mata dengan cepat dan menganggukkan kepala. Aku tak boleh terus-terusan menangis.

“Lambungnya Alina sudah jarang terisi makanan dan tiba-tiba makan banyak. Karena belum terbiasa, perutnya tidak bisa menerima makanan itu dengan baik dan berakhir muntah-muntah,” jelas sang dokter. Aku memelotot dan menyibak sedikit selimutnya. Aku baru menyadari kalau baju Alina sudah berganti.

 “Lalu siapa yang membersihkan muntahannya, Dok?” Aku merasa bersalah. Sebagai seorang Ibu tak bisa menjaganya dengan baik. “Dan siapa yang mengganti bajunya?” lanjutku.

Dokter Rian tersenyum. “Ada perawat yang membersihkan dan mengganti bajunya, Bu.”

“Lalu kalau anak saya memuntahkan semua kue yang tadi dimakannya dan sekarang pun tidak makan, bagaimana dia bisa pulih, Dok? Dia tadi begitu lapar saat kusodorkan kue. Saya tak tahu kalau bisa menyebabkan dia muntah.”

“Untuk sementara, cairan infus ini akan membantu, Bu. Karena pergelangan tangannya sangat kurus, cuku susah untuk menusukkan jarum infusnya. Selalu keluar dari kulitnya, sehingga terpaksa kami memakai jarum untuk anak-anak.”

Pantas cairan infus yang berjalan lambat dari kantungnya. Tak terasa air mataku meleleh lagi. Putriku sudah dewasa, tapi dia harus memakai jarum infus anak-anak. Dia tak ubahnya seperti bayi yang terjebak dalam tubuh orang dewasa.

“Tapi dia tak ada penyakit serius, kan, Dok?”

“Kita akan lihat perkembangannya, Bu. Dia harus dirawat inap sampai kondisinya lebih baik. Saya lihat, tubuh Alina cukup kuat menghadapi kelaparan, tapi hatinya sekarang sangat rapuh. Hatinya seperti menyerah dengan keadaan, tapi nyatanya tubuh kurusnya masih bisa bertahan. Orang-orang terdekatnya harus memberikan semangat padanya.”

“Iya, Dok. Raka dan bapaknya akan berangkat nanti malam ke sini dan besok pagi baru sampai. Semoga kehadiran mereka nanti bisa membawa perubahan positif.”

“Aamiin. Baguslah kalau Raka datang, Bu. Kalau begitu, saya tinggal dulu. Kata dokter Hera, anaknya Alina akan segera dipindahkan ke ruangan ini juga.”

Ah, cucuku. Kamu jadi terabaikan lagi. Sekarang, entah dimana mertua dari putriku. Tadi kata-katanya begitu manis, ingin menyelesaikan semua ini dengan baik-baik. Namun, mendampingi cucunya saja tidak mau.

“Apa cucu saya sudah mau membuka matanya, Dok? Dia sudah bangun?”

“Sudah, Bu. Alhamdulillah, sepertinya dia belum banyak mengonsumsi obat tidur. Bayi itu harus dipindahkan ke sini, berharap agar Alina mau merespon suara tangisan atau ocehan anaknya.”

“Pokoknya lakukan yang terbaik, Dokter. Saya ini hanya orang kampung yang pengetahuannya sangat minim. Berapa pun biayanya, kalau orang-orang jah*at itu tak mau membayarnya, saya akan menjual kebun di kampung. Yang penting Alina-ku bisa berkumpul lagi dengan kami,” pintaku.

“Pastinya, Bu. Itu tugas kami. Terlebih pasien adalah adik dari teman saya, sekuat tenaga akan saya perjuangan kesembuhannya. Ibu adalah orang tua terbaik buat Alina. Tak peduli orang kampung atau kota, andai terlahir kembali, saya yakin Alina akan tetap memilih lahir dari rahim seorang ibu yang hebat seperti Bu Rahimah. Seperti nama Ibu yang artinya penyayang, saya melihat ketulusan dan kasih sayang tak terhingga dari sorot mata Ibu. Pokoknya bukan hanya Alina yang harus kuat, tapi Ibu juga,” tandasnya sambil mengusap lenganku.

Ya Allah, aku seperti memiliki anak lelaki di sini. dokter seusia anakku ini sangat baik dan perhatian. Ya, benar katanya, aku harus kuat.

Aku duduk di kursi dekat ranjang Alina, mengusap-usap rambutnya yang belum kering sempurna. Alina-ku sejak kecil suka merawat rambutnya dan dibiarkan panjang sepunggung. Dia akan menagis jika disuruh potong rambut, kecuali hanya merapikan. Tapi tadi pagi aku sudah memotong rambutnya secara asal-asalan. Pendek sekali dan bentuknya tak beraturan. Jangankan memberontak, menangis pun tidak.

Tidurlah yang nyeyak, Nak. Tapi setelah kamu bangun, kenali ibumu ini. Kamu harus cerita banyak pada Ibu, luapkan semuanya, Nak. Kamu jangan pendam sendirian luka hatimu, Alina. Ada Ibu di sini, siap mendengar semua keluhan hatimu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Rahma Wati
Alina yg kuat
goodnovel comment avatar
nurdianis
cepat sembuh ya alina
goodnovel comment avatar
Siti Nur
ceritanya menarik,tpi knp hrs pke koin sih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Ending

    Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Gadis yang Dikenalkan Mama

    Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Mama Mau Menjodohkanku

    Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Ide Gila Mama

    *Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Belum Siap Kecewa Lagi

    Aku pulang ke kafe cukup terkejut dengan kedatangan Papa dan Mama, menunggu di bagian depan. Mungkin karena aku belum mengabari mereka sepulang dari rumah Elsa kemarin, makanya sampai menyusul ke sini. Aku menyalami keduanya dan langsung mengajak mereka masuk ke kafe yang hampir akan tutup jam segini.“Papa dan Mama kok bisa di sini? Gak ngasih kabar pula? Naik apa ke sini, Pa, Ma?” cecarku.Kami kini memang hanya punya satu kenderaan roda empat, yaitu yang sering kugunakan. Semenjak pernah merasakan lumpuh, meski sudah sembuh, Papa tidak kepengen lagi mengemudikan mobil. Jika sesekali ada urusan keluar, Papa lebih memilih naik ojek motor atau mobil. Sedangkan Mama, karena sudah lama tak pernah bawa mobil, kepercayaan diri dan keberaniannya telah hilang untuk berkendara di jalan umum. Pun aku tak mengizinkan Mama belajar lagi, takut kalau terjadi apa-apa.“Bagaimana kami mau ngasih kabar? Kamu saja tak pernah angkat telpon,” cetus Mama.Aku menggaruk-garuk kepala yang mendadak terasa

  • Putriku Kelaparan di Rumah Mewah Suaminya   Pergilah dari Hidupku

    “Mas, kenapa melamun terus? Mau dibuatkan minum?” Delima mengagetkanku, membuyarkan lamunan.“Aku baik-baik saja. Gimana kerjanya? Bisa?”“Bisa, Mas. Di sini enak kok kerjanya. Teman-teman ramah dan pengunjungnya santun. Kadang kan di kafe-kafe banyak pelanggan genit yang suka godain cewek-cewek, kalau di sini tidak ada.”Aku tersenyum dan mengangguk. Keselamatan dan kenyamanan kerja para pegawai adalah tanggung jawabku. Kalau ada yang bersikap kurang ajar, mending aku kehilangan pelanggan daripada mengorbankan pelayan.“Hai cantik, cappucino-nya dua!”Dua orang laki-laki datang dan tersenyum genit ke arah Delima. Meskipun kami sedang mengobrol, sepertinya mereka langsung mengenali Delima adalah pelayan kafe ini karena memakai seragam khusus seperti pegawai yang lainnya.Baru saja Delima memuji kalau pelanggan kafeku sopan-sopan, sekarang sudah ada dua laki-laki yang kayaknya setengah mabuk dari cara duduknya dan berjalan tadi.“Sana siapkan biar aku yang antar sama mereka,” titahku p

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status