Share

Buah Kebaikan

Laras merenggangkan tubuhnya pada kursi putarnya yang sudah menimbulkan bunyi decitan menandakan kursi itu sudah pantas untuk diganti. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.00. Laras baru saja menyelesaikan pekerjaannya dan bersiap untuk pulang. Saat dia berdiri dan mengambil tas tiba-tiba satu sosok mengagetkan dirinya.

“Astaga.. kaget gue.”

Sosok yang dimaksud tidak bergeming sedikit pun, dia hanya diam dan menatap Laras dengan lekat.

“Saya gak bermaksud ngagetin kamu.”

“Iya tapi gue kaget.” jawab Laras pelan hampir tak terdengar lelaki tanpa ekspresi itu, siapa lagi kalau bukan Tyo.

“Mau pulang?”

Laras tak menjawab pertanyaan Tyo karena jelas saja dia mau pulang, masak mau nginap di kantor.

“Mau pulang?” tanya Tyo lagi mengharapkan jawaban Laras yang malah terbengong.

“Iya.” jawabnya singkat dengan senyum seadanya.

Tidak ada jawaban lagi, Tyo hanya mengekori Laras yang hendak masuk lift dan turun ke lobby.

“Jangan mengerjakan pekerjaan berlebihan, kamu harus tau batasan kamu.”

“Maksudnya?”

“Kamu tidak perlu menuruti mereka hanya karena mereka minta tolong. Kamu tidak akan terlihat buruk hanya karena menolak permintaan mereka. Karena pada dasarnya itu bukan kewajiban kamu.”

Laras melirik lelaki itu karena tiba-tiba dia mengoceh hal yang tidak Laras pahami. Apa ini maksudnya karena tadi Laras membantu pekerjaan Mbak Dian? Rekan kerjanya itu memang minta tolong pada Laras untuk melanjutkan pekerjaannya dan izin pulang duluan karena anaknya sakit.

Memang tak sekali dua kali dia membantu rekan kerjanya dalam mengerjakan pekerjaan mereka. Laras adalah orang yang gampang iba dan tidak tega untuk menolak permintaan seseorang. Bahkan jika dia berusaha menolak karena suatu alasan, dia akan kepikiran.

“Jika pekerjaan yang kamu kerjaan bagus, yang akan mendapat feedback dari usaha kamu adalah mereka. Sebaliknya, jika pekerjaan yang kamu kerjaan buruk, secara tidak langsung kamu akan merasa bersalah. Jadi kamu tidak akan mendapat apa-apa dari hal itu.”

“Gue bantu orang bukan untuk mengharapkan apa-apa kok, gue cuma niat bantu, gak lebih.”

“Kamu boleh baik sama orang, tapi kalau terlalu baik nanti orang malah semena-mena sama kamu.”

Laras mengepalkan tangannya merasa Tyo sudah terlalu berlebihan menilai dirinya.

“Kamu harus ingat, ini dunia kerja. Profesionalitas lebih penting, simpan rasa empati kamu untuk hal-hal yang lain, dunia kerja itu keras..”

“Bisa diem gak?” ujar Laras kesal.

Jujur saja Laras mudah akrab dengan Jeffri dan Dean yang memang enak diajak ngobrol tapi dia jarang berbicara dengan Tyo karena Laras bingung harus bereaksi bagaimana dengan lelaki pendiam ini. Tapi sepertinya Laras salah mengira, lelaki ini ternyata suka ikut campur urusan orang lain.

“Saya gak bermaksud membuat kamu marah, saya cuma mau mengingatkan agar kamu..”

“Diem gue bilang, lo sok tau.” ujar Laras dengan nada yang pelan namun tegas. Laras bukan orang yang mudah meledak jika dia sedang marah, dia lebih memilih untuk memendam kemarahannya dalam diam.

Dia segera keluar dari lift dan meninggalkan Tyo yang ternyata masih mengekor dirinya dari belakang.

“Laras, kerjaan lo udah selesai?” tanya Cita yang tiba-tiba muncul dari arah kiri lobby.

“Gue pikir lo udah pulang.”

“Hehe tadi udah mau pulang, tapi Jeffri ngajak ngobrol dulu.”

Laras melihat lelaki di samping Cita sekilas, tak ada sapa senyum yang biasa Laras tunjukkan. Suasana hatinya sangat buruk saat ini.

“Kita cuma ngobrol biasa kok Ras.” ucap Jeffri yang entah mengapa merasa tak enak karena melihat ekspresi Laras tak seperti biasanya.

“Gue duluan ya.”

“Eh lo pulang sama siapa? Gak bawa mobil kan?”

“Tuh, udah ditunggu.” jawab Laras seraya menunjuk seseorang yang berdiri di samping mobil dan melambai ke arah mereka, membuat Cita bertanya-tanya siapa sosok lelaki itu.

“Laraass.. lo utang cerita sama gue.” teriak Cita yang hanya dibalas lambaian tangan Laras tanpa menoleh.

Laras segera pergi meninggalkan Cita, Jeff dan Tyo dengan masuk ke dalam mobil yang sudah menunggunya sedari tadi.

“Maaf ya mas, jadi nungguin aku pulang kerja.”

“Gak apa, santai. Kan aku yang ajak ketemuan.” ucap Jhony seraya melajukan mobilnya. Jhony memang mengajak Laras untuk bertemu katanya mau meminta saran Laras tentang renovasi Perpustakaan Mentari. Entah memang itu alasannya atau tidak, Laras tak ingin kegeeran.

"Gimana kerjaan hari ini? Lancar?"

"Ya gitu deh. Oh iya mas, mau ngobrol dimana?"

"Hmm sambil makan aja kali ya, kamu pasti belum makan kan?"

"Boleh, kebetulan aku laper."

"Oke, isi perut dulu biar ngobrolnya enak. Let’s goo." ujar Jhony dengan senyuman yang cukup membuat hati Laras yang tadinya panas menjadi lebih tenang. Tapi tak bisa dibohongi dia masih kepikiran dengan apa yang Tyo ucapkan tadi. Dia menarik napas panjang dan menggeleng, mencoba bodo amat agar tidak terus kepikiran.

Akhirnya mereka mampir ke sebuah warung nasi goreng pinggir jalan.

"Kamu mau makan apa?"

"Ini kan warung nasi goreng, pesen nasi goreng dong mas"

"Hehe kali aja kamu pengen yang lain."

"Emang ada?"

"Gak ada."

"Hahaha yaudah nasi goreng aja. Kang, nasi gorengnya dua ya." Laras langsung memesan setelah diskusi tak penting tadi lalu duduk di salah satu kursi panjang.

"Punten, mobil pajero putih punya siapa ya?" teriak seorang pelayan warung kepada para pelanggan.

"Saya kang." sahut Jhony merasa terpanggil.

"Boleh dimundurin kang? Ada yang mau keluar tapi gak bisa."

"Oke kang. Sebentar ya Ras." ucap Jhony yang langsung dibalas anggukan Laras.

Laras menunggu pesanan dengan menyibukkan diri pada ponselnya. Membuka sosial media, menutupnya dan membukanya lagi. Tak ada yang menarik. Dia beralih pada aplikasi chat dan melihat status orang dengan memindai tiap laman secara cepat.

Sampai satu video menarik perhatiannya yaitu status Ardi, teman satu kantor dari divisi lain yang sedang karaoke dengan beberapa teman lainnya. Satu sosok menarik perhatian matanya. Mbak Dian? Dia mengerjapkan matanya untuk memastikan, repeat and pause berapa kali, dia tak salah lihat. Benar itu Mbak Dian. Dia mengeratkan pegangan tangannya menahan amarah karena merasa dibohongi. Kenapa harus bawa-bawa anak sih, batinnya.

Apa ini yang dimaksud ‘semena-mena’ yang dikatakan Tyo tadi? Laras memijat kepalanya. Sebenarnya apa yang dikatakan Tyo tadi tak sepenuhnya salah, tapi entah kenapa cara penyampaian Tyo membuatnya kesal.

“Hey, kok bengong.” Jhony mengagetkan Laras. “Kenapa?”

“Gak apa.” jawab Laras singkat dengan senyuman karena tak ingin membuat Jhony bertanya lagi.

"Minggu ini kamu ke panti gak Ras?"

"Belum tau mas, kayaknya nggak deh. Kenapa?"

"Oh, gak apa sih. Kemaren kan aku belum sempat main ke panti, jadi pengen main aja ketemu anak-anak."

"Boleh banget, nanti deh kalau aku kesana aku kabarin ya mas."

"Nanti rencananya aku juga mau bawain beberapa buku dan mainan, trus apa lagi ya? Eh makanan deh ya. Anak-anak pasti seneng kan? Mereka suka apa lagi Ras?"

Tak ada jawaban dari Laras, gadis itu malah senyum-senyum melihat Jhony berbicara dengan nada semangat saat berbicara tentang anak-anak.

“Loh kok jadi senyum-senyum?”

“Mas aku mau nanya deh.”

“Aku tahu kamu mau nanya apa.”

“Apa?”

“Mas Jhony udah punya pacar belum?” ucap Jhony dengan nada dibuat-buat seolah perempuan centil.

“Hahahaha apaan sih, bukan itu.”

“Bukan ya? Hehe abisnya kamu dari tadi banyak bengong makanya aku becandain biar gak bengong mulu. Ada yang kamu pikirin ya?”

“Justru itu aku mau nanya, berbuat baik itu salah gak sih?”

“Ya namanya udah berbuat baik, gak ada yang salah lah Ras.”

“Trus kalau kamu udah berbuat baik ke orang nih, tahunya dia ngecewain kamu, dibohongin misalnya. Itu gimana?”

Jhony terdiam sebelum menjawab.

“Hmm.. ya gak bisa dipungkiri kita manusia biasa pasti kecewa kalau dibohongi, tapi kalau niat kamu baik ya selamanya akan baik. Terlepas orang itu akan mengecewakan kamu atau nggak.”

Larasati mengangguk paham.

“Kamu pernah capek gak jadi orang baik?”

“Emang kamu berpikir aku ini orang baik?” tanya Jhony yang dibalas anggukan Laras tanpa ragu.

“Kamu kan sering nolong orang, itu kan perbuatan baik mas.”

Jhony tersenyum melihat gadis di depannya dan memperbaiki duduknya agar bisa melihat Laras lebih dekat.

“Gini ya Ras. Baik itu kata yang sifatnya relatif, baik menurut sudut pandang kamu, belum tentu sudut pandang orang lain sama. Kalau persoalan menolong orang, selama kamu mendapat hal baik dari itu, go for it. Tapi kalau kamu merasa tidak mendapat hal baik dari itu, lebih baik nggak. Artinya apa? Kamu berbuat baik bukan untuk terlihat baik, tetapi untuk mendapat kebaikan juga untuk dirimu sendiri, setelah itu untuk orang lain.”

“Kalau kita gak dapat hal baik dari perbuatan baik itu contohnya gimana?”

“Nah, hal baik yang didapat itu maksudnya, kalau bagi aku ya, itu lebih ke kepuasan batin, bukan berupa imbalan materi, pujian atau semacamnya. Misalnya nih kamu bantu orang, tapi abis itu kamu nyesel dan ngutuk karena beberapa alasan. Jatuhnya kan jadi gak ikhlas. Itu malah jadi nambah penyakit hati kan? Sampai disini paham?”

Laras terdiam mendengarkan penjelasan Jhony panjang lebar.

“Nah kan bengong lagi.”

“Nggak kok, hehe. Makasih ya mas. Aku jadi paham sekarang.”

“Anytime Ras.” lagi-lagi Jhony melempar senyum yang menenangkan. “Yuk makan, keburu dingin.”

Laras mengangguk semangat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status