Share

One Shot

“Teteh sama aa begadang nonton badminton lagi ya?”

“Hehe iya kek.” jawab Haykal sambil mengucek matanya.

“Pantes tidurnya bablas.”

“Abisnya teh Laras ngajakin begadang.”

“Kok jadi nyalahin teteh, nontonnya berdua juga. Lagian kamu tuh yang kebablasan subuh, teteh aja masih sempat masak.” sahut Laras menghampiri kakek dan Haykal yang berada di ruang makan. Dia membawa sebakul nasi goreng hangat yang harumnya membuat Haykal semakin lapar.

“Ada tim Indonesia yang menang gak?”

“Menang dong kek, jagoannya teteh menang.” kini Laras yang menjawab pertanyaan kakeknya seraya menuangkan nasi goreng ke piring.

“Taufik Hidayat ya?”

“Beuuh si kakek lawas banget. Jaman sekarang tuh ada Minions, The Daddies. Kalau penerus a taufik itu ada Anthony Ginting, Jonatan Christie…” jawab Haykal panjang lebar yang hanya ditanggapi dengan senyum si kakek.

“Ya abisnya kakek cuma taunya itu. Nama yang lain susah-susah.” si kakek terkekeh. Sudah tak heran lagi bagi sang kakek untuk melihat Haykal dan Laras yang kerap kali menonton pertandingan badminton kesayangan mereka. Saat Laras kecil, kakeknya sering menitipkan Laras di panti dan terkadang tidur disana karena sang kakek harus mengajar di kampus. Televisi di panti hanya bisa menampilkan satu siaran saja yang sering kali menayangkan pertandingan bulutangkis. Oleh karena itu Laras dan Haykal sangat menyukai setiap pertandingan berlangsung.

“Kakek udah selesai? Ini obatnya kek.” Laras memberikan beberapa pil obat darah tinggi yang sudah menjadi konsumsi si kakek setiap hari.

“Kakek hari ini ke panti?” tanya Haykal.

“Iya.”

“Haykal antar ya.”

“Diantar mang Deden aja kek. Haykal masih ngantuk gitu.”

“Iya, diantar Deden aja nanti. Kamu jaga rumah.” jawab si kakek seraya bangkit dari tempatnya.

“Hati-hati ya kek.” ujar Haykal dan Laras serentak sambil mencium tangan kakek.

“Kamu kapan balik ke Jakarta?” tanya Laras, kini hanya tinggal mereka berdua yang ada di meja makan.

“Minggu depan teh.”

“Yakin gak mau bawa mobil? Kan lumayan kamu gak perlu capek-capek naik bus.”

“Nggak usah teh, lagian bisa-bisa dinyinyirin aku. Anak bidikmisi gegayaan bawa mobil.”

“Yakan kamu bisa jelasin kalau itu mobilnya teteh kamu.”

“Hmm.. orang-orang mana peduli. Lagian aku tuh udah bersyukur banget teh udah disediakan motor untuk aku bolak-balik kampus-kosan. Aku udah banyak banget ngerepotin teteh..”

“Hush, mulai deh. Kamu tuh gak pernah ngerepotin. Ngeselin sih sering.”

“Hehehe..” Haykal menyeringai.

“Pokoknya aku janji bakal kuliah yang bener, buat kakek dan teteh bangga. Pengen ngebuktiin kalau pendidikan itu penting dan juga ngebuktiin sama orang tua aku kalau mereka menyesal udah pernah menyia-nyiakan aku.” ucap Haykal dengan nada semakin merendah, tatapannya kosong menatap piringnya.

Laras mengelus pelan tangan lelaki yang sudah dianggap adiknya sendiri itu. Haykal memang satu-satunya anak panti yang melanjutkan kuliah, sedangkan anak-anak panti lain hanya sebatas SMA saja. Mereka memutuskan untuk merantau mencari pekerjaan atau ada juga yang memilih menikah yang ujungnya juga bekerja sebagai buruh atau petani.

Walaupun tingkahnya yang terkadang usil, Hakyal adalah anak yang cerdas. Sudah sejak kecil dia sering memenangkan berbagai perlombaan. Maka tidak heran Haykal berhasil mendapatkan beasiswa bidikmisi di salah satu universitas negeri di Jakarta. Oleh karena itu juga, kakek Bramasta sangat menyayangi anak lelaki itu.

“Makanya belajar yang rajin, jangan pacaran mulu.”

“Idiih, siapa yang pacaran?”

“Itu teteh sering lihat kamu senyum-senyum liat handphone, pasti chatingan sama cewek deh.”

“Sotoy euy si teteh, seharusnya aku tu yang nanya siapa pacar teteh sekarang? Cowok yang kemarin itu ya?”

“Yang mana?”

“Itu loh, cowok tinggi yang kemarin nganterin teteh ke panti trus ngobrol lamaaaa banget di depan pagar.”

“Mas Jhony?”

“Ciyee manggilnya mas.”

“Apaan sih, itu temen teteh.”

“Temen apa temeeen, kiw kiw.”

“Udah ah, ojek teteh udah dateng kayaknya.”

“Teteh kenapa gak mau pakai mobil lagi sih?”

Laras tak menjawab pertanyaan Haykal, dia bingung harus jujur apa tidak. Jika Laras cerita bahwa belakangan ini dia sering merasa diikuti oleh sebuah mobil, Haykal pasti akan cemas dan menceritakan hal itu pada kakeknya. Laras tak ingin membuat semua orang khawatir. Oleh karena itu Laras memilih naik ojek online, setidaknya dia tak merasa sendirian saat perjalanan pulang dari kantor ke rumah.

“Ee..em.. Lagi males aja.” jawabnya sebagai alasan. Alasan itu dapat diterima oleh sang kakek saat menanyainya beberapa hari lalu, tapi Haykal merasa ada yang disembunyikan oleh Laras terlihat dari alisnya yang beradu seolah sedang mengintrogasi Laras melalui tatapan.

“Udah ah, teteh berangkat ya. Assalamualaikum.”

“Walaikumsalam.”

***

Larasati mengerjapkan matanya entah untuk keberapa kali, memastikan diri bahwa dia harus benar-benar sadar. Dia hampir saja menabrak pintu otomatis saat masuk tadi, oleh karena itu dia tidak ingin hal lebih buruk terjadi jika dia masih saja mengantuk.

“Caramel macchiato, kan?”

Larasati kembali mengerjap untuk memastikan siapa orang yang berbicara padanya.

“Dean?”

“Pesen kayak biasa?”

“Nggak, gue pengen espresso hari ini. Satu shot espresso ya mbak.” ucap Laras bergantian menjawab pertanyaan lelaki itu dan memesan kopinya.

“Apa saya bilang mas, mbak Laras selera kopinya gak tentu.” si pelayan menyahut sambil mencatat pesanan Laras pada layar komputernya.

“Hmmm.. oke deh.” jawab Dean sambil mengeluarkan uang untuk membayar kopi milik Laras.

“Eh, gak usah.” tolak Laras.

“Gak boleh nolak rezeki pagi-pagi.”

“Biar aja mbak, untung tadi belum jadi dipesanin duluan. Masnya dari tadi udah nungguin mbak loh disini.” si pelayan lagi-lagi menyahut.

“Emang iya?”

“Nggak lah, gue emang mau pesen kopi buat gue.”

Laras terkekeh pelan melihat gelagat Dean saat menampik ucapan si pelayan.

“Lo kurang tidur ya?”

“Hmm.. as you see.” jawab Laras sambil melihat kembali kantung matanya dari layar handphone. Laras memang tipikal orang yang sangat kentara saat dia kurang tidur, mata pandanya tidak bisa dibohongi. Untung aja ada alat make up ampuh bernama concealer, setidaknya dia bisa memudarkannya sedikit.

“Perasaan kemaren malam lo gak lembur.”

“Iya gak lembur, tapi gue begadang.”

“Ngapain?”

“Streaming badminton.” jawabnya santai.

“Hah?”

“Kenapa?”

“Gak apa, hmm..” jawab Dean singkat, dia hanya bingung menyambung obrolan karena dia bukan pecinta tayangan olahraga.

“Gue pikir lo gak suka kopi pahit.” ujar Dean seraya mengambil pesanan kopi milik Laras yang sudah selesai disajikan sang barista. Bukan tanpa alasan dia berkata hal tersebut, diam-diam dia mengamati apa yang dipesan Laras dan itu tidak jauh-jauh dari caramel macchiato atau latte.

“Suka kok, tergantung mood.”

“Emang ngaruh ya?” Dean menyesap Americano miliknya sambil melirik Laras.

“Ngaruh lah, kalau gue ngerasa hidup gue lagi pahit gue butuh asupan yang manis-manis …..”

“Berarti hari ini hidup lo lagi manis dong makanya pesen yang pahit.”

“Iya manis karena pagi-pagi gue ketemu sama lo.” jawab Laras seraya tersenyum dan menghantukkan cup kopinya pada kopi milik Dean membuat satu sentuhan tangan Laras mendarat di tangannya. Hal itu membuat Dean mematung dan merasa seperti ada yang menggelitik di perutnya. Jantungnya berdegup tak seperti biasanya, apa ini efek kopi yang terlalu banyak dia minum? Entahlah.

“Thanks kopinya, kapan-kapan gue yang traktir.” ucapan Laras membuyarkan lamunan Dean. Dia segera mengejar langkah Laras yang sudah duluan berjalan untuk meninggalkan tempat itu.

“Laraasss!!” panggil seseorang dari arah pintu otomatis menghampiri Dean dan Laras yang sedang memindai ID card karyawan milik mereka.

“Yudhaaa..” jawab Laras sama semangatnya dengan Yudha. Sepertinya suasana hati Laras benar-benar sedang bahagia hari ini.

“Gokiiilll, The Daddies menang ada yang happy nih.”

“Iya dong, 2 set aja kelar. Semoga sampe final.”

“Kalau menang di final jangan lupa traktir gue.”

“Gampang itu.”

Kini Yudha dengan semangatnya menceritakan Nozomi Okuhara, sang atlet Jepang kesayangannya. Yudha dan Laras memang sama-sama penonton setia badminton. Sebenarnya Yudha adalah pecinta sepak bola, awalnya dia ikut-ikutan nonton badminton karena Laras sering curi-curi waktu streaming saat bekerja. Lama-lama dia jadi ikutan. Mereka berjalan menuju kantor dengan pembahasan yang sama sekali tak dimengerti Dean. Tetapi dia sangat menikmati pemandangan saat Laras berbicara dengan nada semangat dan diselingi tawa. Hal itu membuat perutnya kembali tergelitik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status