“Beneran yang ini jalannya?”
“Berdasarkan map yang saya lihat sih benar.”
“Nama panti asuhannya apa Jeff?”
“Bentar..Hmm Teras Singgah. Itu tuh.” ujar Jeffri dari bangku belakang seraya menunjuk papan nama bertuliskan nama panti asuhan yang mereka tuju.
Akhirnya mereka sampai di tujuan dan hari sudah semakin siang. Jarak yang mereka tempuh memang cukup jauh karena panti asuhannya terletak di luar kota Bandung dan sudah menuju pedesaan. Mereka menghabiskan hampir dua jam untuk bisa sampai di tujuan, itu juga termasuk waktu bertanya-tanya pada warga sekitar agar tak salah jalan.
Mereka pun memarkirkan mobil di luar pekarangan panti dan segera turun untuk melihat-lihat ke dalam. Suasana luar panti terlihat sepi, hanya ada satu orang penjaga yang sedang menyapu halaman.
“Punten, ada yang bisa saya bantu?”
“Siang pak, eh hmm.. kita kesini mau..”
“Kita ada niatan mau kasih donasi ke panti asuhan ini kang, sekalian lihat-lihat, boleh?” jawab Tyo membantu Dean yang sudah bingung mau menjawab apa. Ternyata dia memang sudah mempersiapkan secara matang rencana mereka hari ini.
“Oh boleh atuh, mas-mas ini dari Jakarta ya?”
“Iya benar kang.”
“Oh, pantes atuh auranya Jakarta banget euy, mangga-mangga masuk dulu.”
“Jago juga lu bro” bisik Jeff menyikut lengan Tyo. “Kalau Dean mah tadi mau jawab, saya mau adopsi anak, ada yang mau gak ya jadi anak saya?”
“Diem lu Jepri!”
“Jaga sikap.”
“Ampun pak.”
Mereka mulai memasuki pekarangan panti yang bisa terbilang cukup luas, rumputnya yang tebal dan dan ada beberapa pohon menciptakan suasana yang rindang.
“Kok sepi ya kang?”
“Oh anak-anak lagi siap-siap untuk sholat zuhur di surau belakang mas.”
Saat memasuki ruang tamu mereka bisa melihat tempat duduk rotan dan beberapa foto anak-anak panti di sisi dindingnya. Tyo, Dean dan Jeff mulai memerhatikan satu persatu foto yang terpajang.
Dean menyikut lengan Tyo dan menunjuk foto Azalea kecil ada disana, dia berfoto dengan beberapa anak lain dan Azalea berada di pangkuan seorang lelaki yang duduk di tengah.
“Kalau boleh tau, latar belakang anak-anak disini memang semuanya sudah tidak punya orang tuanya ya kang?” Jeffri memulai investigasi mereka.
“Ya macem-macem sih mas, ada yang orang tuanya sudah meninggal, ada juga sih yang masih punya orang tua tapi orang tuanya tidak sanggup membiayakan anaknya dan pergi merantau ke luar negeri untuk bekerja. Bahkan ada juga yang ditinggalkan di halaman panti saat masih bayi.”
“Waw kayak di sinetron ya.” ucap Jeff tak menyangka.
“Memang iya mas, kadang yang kita lihat di sinetron itu memang benar bisa terjadi di kehidupan nyata. Bukti nyatanya masih hidup tuh, anaknya udah gede sekarang.”
“Ada di foto ini gak kang?”
“Ini dia mas, namanya Haykal.” si penjaga panti memberikan satu frame yang terletak di meja memperlihatkan foto seorang anak laki-laki memakai seragam SMA dengan piagam penghargaan di tangannya, di sampingnya terlihat lelaki yang sama dengan yang memangku Azalea kecil di foto yang Dean lihat sebelumnya.
“Masuk dulu yuk mas, kita transaksinya di dalem, mangga mas.” ajak si penjaga panti memandu ketiga lelaki itu untuk masuk ke dalam sebuah ruangan.
“Maaf kang, kebetulan kita gak bawa uang cash, boleh transfer gak? Langsung saya kirim saat ini juga kok lewat m-banking.” ujar Dean.
“Boleh mas tapi data donaturnya tetap kita catet ya mas agar sama-sama enak. Ini mangga diisi dulu mas.” si penjaga panti memberikan selembar kertas pada Dean untuk diisi. Tyo memberi kode pada Dean dan Jeff untuk terus mengajak si penjaga panti berbicara dan dia menunjuk sebuah komputer yang terletak di meja satunya.
“Ini mau diisi atas nama siapa?” tanya Dean.
“Buat aja tiga pria sholeh.” jawab Jeff membuat si penjaga panti tersenyum geli. “Boleh kan kang?”
“Boleh aja kok mas, anonim juga sebenarnya boleh. Tapi data yang lain-lain tetap diisi ya mas.”
“Kang, di panti ini banyak kegiatannya juga ya. Ini acara apa kang?”
Si penjaga panti dengan semangat menjawab pertanyaan Jeffri padahal Jeffri sendiri tidak yakin apakah pertanyaan itu penting apa tidak. Tapi terlihat Tyo masih belum selesai dengan komputer di depannya. Untung saja si penjaga panti sedang berdiri membelakangi meja sehingga tidak tahu perbuatan lancang yang sedang dilakukan tamunya itu.
“Kalau ini siapa kang?” Jeffri mengambil satu frame yang berisi foto Larasati dengan anak-anak kecil mengelilinya.
“Oh ini neng Laras. Dia cucunya Pak Bramasta.”
“Pak Bramasta?”
“Iya, Pak Bramasta, pemilik panti asuhan ini.”
Ketiganya terdiam dan menelan ludah mendengar hal tersebut.
"Dia tinggal disini juga kang?"
"Neng Laras gak tinggal disini, dia tinggal sama kakeknya lah mas. Tapi terkadang main kesini bantu urusin panti."
"Oh jadi Laras itu cucu kandung pemilik panti ini? Kalau boleh tau ini panti sudah berapa lama dibangun kang?"
“Deden, sudah adzan. Sholat dulu.” Tiba-tiba sebuah suara parau menyapa dari arah pintu membuat pertanyaan Dean tak lagi digubris oleh si penjaga panti.
“Oh iya pak. Punten pak, ini ada mas-mas dari Jakarta mau donasi. Kenalin mas, ini Pak Bramasta, pemilik panti asuhan Teras Singgah.”
Lelaki paruh baya itu melihat sekilas ke arah Dean, Jeff dan Tyo yang untungnya sudah tidak lagi berada di depan komputer. Tidak ada senyuman dari lelaki itu, hanya sekedar anggukan kecil setelah itu berlalu begitu saja.
“Ini sudah selesai mas?” tanya si penjaga panti.
“Oh sudah kang. Sudah saya transfer juga.”
“Baik mas. Saya mewakili panti asuhan Teras Singgah mengucapkan banyak terimakasih pada mas-mas semua atas donasi yang diberikan, semoga rezeki mas-mas semua semakin berkah dan bertambah aamiin.”
“Aamiin, makasih juga kang. Semoga sedikit rezeki dari kami bisa bermanfaat buat anak-anak panti asuhan ini.” jawab Dean seraya menjabat tangan si penjaga panti.
“Ada lagi yang bisa saya bantu mas?”
“Nggak kok kang, oh iya sekalian sholat dulu yuk sebelum balik.” ajak Dean yang langsung disetujui oleh Tyo.
“Tiga pria sholeh sholat dulu.” jawab Jeff sambil terkekeh sendiri.
Mereka mengikuti si penjaga panti untuk sholat di surau belakang. Suraunya tidak terlalu luas dan dibiarkan terbuka, tidak ada dinding sebagai sisinya hanya ada pilar-pilar kayu jati sebagai penyanggah dan selembar kain gorden sebagai pembatas jamaah laki-laki dan perempuan.
Ketiga lelaki itu pun menyelesaikan sholatnya, mereka langsung beranjak keluar dari syaf karena kebetulan mereka berada di syaf paling belakang.
Mereka pun duduk di pinggir surau untuk memakai sepatu. Tiba-tiba seorang anak lelaki berlari melewati mereka dan tanpa sengaja menginjak kaki Jeffrian.
“Aww..”
“Maaf om.” ucap bocah itu singkat sedangkan Jeff masih terlihat kesakitan.
“Sini ih, itu punya aku.”
“Punya aku, ini ada tandanya.”
“Punya aku juga ada tandanya.”
Tyo, Dean dan Jeff menatap bingung pada kedua bocah yang sedang ribut memperebutkan sebuah peci hitam.
“Tapi ini punya aku, sini ih.” ujar anak lelaki yang bertubuh gempal seraya mendorong lelaki yang menginjak Jeffri tadi. Tubuhnya jatuh dengan mudahnya dan dia pun menangis dengan kuat.
“Ih kenapa berantem sih. Aku aduin ke teh Laras nih.” ucap seorang anak perempuan yang masih mengenakan mukena. Ucapan gadis kecil itu mampu menarik perhatian Tyo, Dean dan Jeff membuat mereka saling pandang.
“Teh Laraass..” panggil gadis itu.
“Ada apa ini ribut-ribut?”
Satu suara yang mereka kenal itu mampu membuat panik ketiga lelaki yang berjarak beberapa langkah dari kejadian saling rebut peci tadi. Mereka panik saat tahu Laras juga sedang berkunjung ke panti hari ini.
“Cabut!” titah Dean padahal Jeff belum selesai memakai sepatu. Mereka terburu-buru sampai-sampai Jeff menubruk seorang lelaki dan membuatnya tersungkur. Lelaki itu mau membantu Jeff tapi tangan Tyo lebih dulu menarik Jeff.
“Haykal, ambil kotak P3K.”
Haykal yang merasa dipanggil namanya bingung harus berbuat apa, dia ingin bertanya pada lelaki yang ditabraknya tadi tapi Laras sudah memberinya perintah.
Saat Haykal melihat ke belakang, lelaki tadi sudah menghilang.
“Haykal.. kok bengong sih?”
“Eh iya iya teh, sakedap nyak.”
Jeffri memandangi jalanan dari balik kaca mobil dengan tatapan kosong. Di luar terlihat semakin mendung, mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Bersamaan dengan itu, hatinya juga tak kalah mendung. Dia kepikiran dengan ucapan Haykal dan tingkah Tyo tadi pagi. Ditambah lagi saat di kantor tadi Laras menanyakan ketidakhadiran Tyo di kantor. Sebenarnya apa yang terjadi pada mereka kemarin?Semakin dipikirkan, Jeffri semakin kesal. Kemudian tangannya refleks mematikan pemutar musik di mobil membuat seseorang di balik kemudi marah.“Kok dimatiin sih?” ujar Dean kesal.“Berisik! Lo bisa gak satu hari aja gak usah dengerin lagu. Lama-lama tua gue dengerin lagu lo mulu.” ucap Jeffri kesal. Pasalnya hampir tiap hari dia turut mendengarkan lantunan tembang kenangan kesukaan Dean, baik di rumah ataupun di mobil.“Dih, mobil gue kok lo yang repot.”“Sehari aja De. Kepala gue lagi pusing nih.”“Kepal
“Apa kabar a’ Tyo?” ujar Haykal tepat saat Laras menghilang di balik pintu.“Baik, kamu gimana?” jawab Tyo seraya membalas jabatan tanda akrab mereka.“Hmm… yaa begitulaah. Eh iya, sorry ya kalau aku ganggu momen beduaan tadi. Udah nungguin tadi sampai pegel. Lama banget pelukannya.” ucap Haykal seraya menyenggol lengan Tyo membuat lelaki itu malu tak mampu menjawab.“A’ Tyo udah lama jadian sama teh Laras?” tanya Haykal yang nyaris membuatnya tercekat.“Hah? Hmm.. ini tidak seperti yang kamu pikirkan Haykal.” ujar Tyo tergagu.“Aahh.. jadi bisanya cuma ngasih bahu doang tapi gak bisa ngasih kepastian.” ledek Haykal yang semakin membuat wajah Tyo memerah. Anak lelaki itu memang paling bisa menggoda Tyo pasal beginian.“A’ bagi rokok dong.” ujar Haykal lagi. Spontan Tyo merogoh saku celananya sampai akhirnya terhenti.“Kam
Tyo mengetuk-ngetukkan jarinya di kemudi setir yang diam dan menarik napasnya panjang berkali-kali. Mungkin sudah sekitar 10 menit lalu dia berdiam diri sejak memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah Laras tapi tak kunjung turun. Jika dilihat dari luar, cahaya rumah itu masih menyala menandakan sang empunya masih terjaga disana. Tapi entah kenapa Tyo masih masih enggan untuk turun dan mengetuk pintu rumah tersebut. Dia menghitung dalam hati dan akhirnya dia memberanikan diri untuk turun. Tak lupa dia membawa bungkusan bubur ayam yang dibelinya di perjalanan. Dia melihat arlojinya menunjukkan pukul 21 lebih 15 menit dan hanya berharap Laras memang belum tidur. Kedatangannya kesini bukan tanpa alasan. Sejak Jeffri menceritakan kejadian panti tempo hari dia belum sempat menanyakan bagaimana keadaan Laras. Mereka hanya bertemu di kantor dan Tyo bisa melihat kegundahan di wajah ceria Laras. Senyum khas yang biasa menghiasi wajah manisnya berubah bak langit mendung tak bercahaya.
Laras terburu dengan langkahnya saat keluar dari lobby kantor dan langsung naik ke ojek online yang sudah menunggunya. Terbesit dalam hatinya rasa tak enak saat menolak ajakan Cita tadi untuk makan bersama. Tapi mau bagaimana lagi, Laras benar-benar tak ingin menunda pertemuan ini. Beberapa hari ini kepalanya penuh memikirkan bagaimana cara menyelamatkan panti asuhan kakeknya dan ini adalah satu-satunya cara yang bisa dia lakukan.Motor yang dia tumpangi berhenti di salah satu coffee shop dan Laras langsung turun, tentu saja setelah membayar tukang ojek tersebut. Saat memasuki tempat itu, Laras langsung menemukan sosok yang ingin dijumpainya. Tampak seorang lelaki yang tengah duduk santai menyeruput secangkir kopi dan menyambut kedatangan Laras dengan senyum tipis menghiasinya. Sayangnya, senyum itu tampak tak lagi tulus bagi Laras. Bahkan sampai detik ini dia masih tak percaya, bahwa lelaki ini yang mampu membuat Laras kagum dengan sikap dermawan dan ketulusannya. Laras suda
“Ras, makan ayam gepuk yuk. Kangen gue, udah lama nih.” ujar Cita seraya menggandeng lengan sahabatnya mengikuti langkah Laras keluar ruangan kantor, “Sekalian ada yang mau gue ceritain.” sambung Cita lagi saat melihat tak ada jawaban dari Laras. Mumpung tidak ada jatah lembur dan mereka bisa pulang sore, Cita ingin sekali makan ayam gepuk sebelum pulang ke rumah. “Ras..” panggil Cita menggoyangkan lengan Laras, entah sudah berapa kali dalam hari ini Cita mendapati Laras sedang melamun. “Hoi, Laras.” “Kenapa Cit?” tanya Laras bingung, dia benar-benar sedang tidak fokus. “Makan ayam gepuk ayo. Gue laper.” ajak Cita lagi. “Yuk yuk! Ayam gepuk Pak Gendut ya. Gue yang traktir.” sahut Yudha tiba-tiba muncul menghampiri mereka berdua. “Lo makan berdua aja ya, gue ada urusan.” jawab Laras membuat Yudha dan Cita saling tatap. Belum saja keduanya menahan Laras, gadis itu terlihat memburu langkahnya dan masuk duluan ke dalam lift meninggalkan Yu
Laras segera beranjak dari tempat duduknya tapi langkahnya terhenti saat memasuki ruang tamu panti. Terlihat kakeknya duduk di sana bersama beberapa orang. Kakinya ingin sekali melangkah, tapi menyela pembicaraan orang bukanlah etika yang baik seperti yang selama ini diajarkan oleh kakeknya. Sehingga dia memilih untuk mematung sambil mendengarkan pembicaraan mereka dari kejauhan.“Maaf, saya tidak bisa.” ucap kakek lirih.“Tapi Pak Bram, keputusan bukan ada di tangan bapak. Kami sudah sepakat untuk menjual tanah ini.”Tubuh Laras semakin membeku mendengar ucapan dari wanita yang duduk di depan kakeknya. Wajahnya tak asing bagi Laras, tapi dia tak bisa mengingat siapa wanita itu. Satu lagi yang tak asing bagi Laras, punggung seseorang yang tampak duduk membelakanginya. Pemilik bahu lebar yang tengah berbicara pada orang di sampingnya, kini menampaknya separuh wajahnya yang memang benar-benar sangat dikenal Laras.“Bagaimana Pa
Laras melihat jam tangannya dan segera membereskan barang-barangnya. Dia segera keluar dari ruangan kantor menuju pantry untuk membasahi tenggorokannya sebelum pergi untuk menemui klien. “Pas banget, sini Ras, duduk!” ucap seseorang yang dia temui di dalam pantry. “Lo dari tadi disini? Gue pikir meeting.” jawab Laras sembari mengambil air mineral dari dispenser yang tersedia di pojok. Kemudian dia langsung duduk di kursi tepat di hadapan lelaki dengan secangkir kopi di tangannya. “Gue lagi pusing.” ucap Yudha. “Laporan lo direvisi lagi ya?” tanya Laras yang langsung dijawab dengan gelengan Yudha. “Jadi?” tanya Laras lagi. “Cita gak ada cerita apa-apa ke lo?” “Cerita apaan?” “Cerita gue gitu?” tanya Yudha menurunkan nada bicaranya. Laras hanya menggeleng karena tidak paham maksud rekan kerjanya itu. “Gue abis confess ke Cita kemarin.” sambung Yudha membuat bola mata Laras membesar karena bersemangat. “Ser
Jhony dan Laras sudah kembali ke tempat api unggun yang dibuat di tengah-tengah tenda yang berkeliling rapi. Anak-anak panti memang sengaja disuruh tidur dan mereka tidak tahu akan ada acara jelajah malam karena kegiatan ini memang puncak acaranya. Mereka akan dibangunkan lepas tengah malam nanti dan harus menyelesaikan sebuah misi walau dalam keadaan mengantuk. Disitulah keberanian, ketangkasan, dan keterampilan yang sudah mereka pelajari satu harian tadi diuji. Cita tampak sedang berdiskusi dengan Dara dan Yudha, di seberangnya terdapat Dean yang duduk memeluk kakinya sambil bersenandung pelan ditemani alunan gitar yang dimainkan Tyo. Pemandangan itu langsung menarik perhatian Laras dan berniat untuk bergabung sebelum sebuah interupsi datang. “Guys, kumpul sini. Kita briefing dulu.” titah Cita meminta atensi para panitia. “Laras, kemana aja sih gue cariin.” tiba-tiba Jeffri muncul dengan napas terengah. “Tadi kesana sebentar, lo dari mana?” ta
Pagi-pagi sekali anak-anak panti sudah berbaris di halaman. Bahkan matahari belum juga menunjukkan wujudnya tetapi mereka sudah berkumpul dengan semangat. Tidak ada terlihat wajah yang mengantuk, semua sibuk dengan tas bawaannya dan mengobrol sesama temannya menceritakan berbagai hal dengan senyum terpatri jelas di wajah mereka.“Anak-anak, ayo berbaris yang rapi. Danu dan Bima sebagai pemimpin barisan, siapkan barisannya masing-masing.” terdengar suara Laras memberi perintah dengan sebuah pengeras suara digenggamannya.“Barisan siap!” jawab Danu dan Bima serentak. Adik-adik panti yang akan mengikuti kegiatan persami sudah berbaris rapi. Mereka mengenakan seragam pramuka lengkap dengan atributnya karena acaranya nanti akan dibuka dengan upacara dan dilanjutkan dengan kegitan kepramukaan lainnya.Laras pun kembali mengambil alih barisan dan memberikan kata sambutan secara singkat sebagai pembuka kegiatan mereka. Saat ini mereka bersi