Kabut hitam berputar, menyatu dengan suara tangisan ribuan jiwa yang terperangkap di ladang nisan. Dari pusaran itu, sosok kolosal mulai menampakkan wujudnya: tubuh setinggi menara, berselimut kabut kelam, dengan tulang-tulang putih mencuat dari permukaan tubuhnya. Matanya menyala merah darah, penuh dengan kebencian purba. Di tangannya, sabit tulang raksasa bergemeretak, menimbulkan nada mengerikan setiap kali menyapu udara. Angin yang dihasilkannya membuat nisan-nisan di sekitar berderak dan hancur. Luo Yian menelan ludah. “Qi-nya… setara dengan Jiwa Suci tingkat menengah.” Han Qing menegakkan tubuh, pedangnya bergetar. “Kita bahkan belum menyentuh level itu…” Wu Yao berdiri di garis depan. Aura barunya setelah stabil di ranah Jiwa Suci tahap awal bergemuruh. Warna ungu-hitam menyelimuti tubuhnya, seperti nyala api yang berkobar liar namun terkendali. “Tidak perlu gentar,” katanya tenang. “Ini ujian. Jika kita tidak bisa melewati ini, maka jalan kita berhenti di sini.” Makhluk
Jalur bercahaya yang terbuka dari nisan memanjang seperti sungai bintang yang membelah reruntuhan. Udara bergetar, membawa desiran Qi yang asing, seolah-olah dimensi itu sedang menyiapkan panggung bagi pertarungan batin yang lebih besar. Wu Yao berdiri paling depan. Meski tubuhnya masih belum pulih sepenuhnya, ia merasakan keterikatan aneh dengan jalur cahaya itu, seolah nisan benar-benar memanggilnya secara pribadi. Luo Yian menatapnya cemas. “Kau yakin ingin masuk sekarang? Fondasi kultivasimu belum stabil. Kalau jalur ini ujian jiwa, kau bisa—” Wu Yao memotong dengan suara tenang. “Kalau aku mundur, fondasi ini akan hancur lebih cepat. Satu-satunya cara untuk menstabilkan langkahku adalah dengan menghadapi ujian ini.” Han Qing mendengus kecil. “Kau gila, tapi entah kenapa aku percaya kau bisa melewatinya.” Mei Huarong menepuk gagang tombaknya. “Kita takkan membiarkanmu masuk sendirian.” Sementara itu, Jian Wushen hanya menyeringai tipis. “Menarik. Semakin aku melihatmu, Wu Ya
Kabut ungu yang tersisa perlahan memudar dari alun-alun reruntuhan kota. Hanya debu bercahaya dari Penjaga Qi Mutlak yang berguguran, melayang seperti serpihan bintang yang mati. Wu Yao masih berlutut di tanah, menahan gejolak Qi yang menggila di dalam tubuhnya. > Kultivasi Wu Yao: Jiwa Roh akhir → Ambang Jiwa Suci awal (belum stabil, fondasi rapuh). Ia menarik napas dalam, mencoba mengatur aliran meridian yang terasa seperti sungai liar ingin menerobos bendungan. Batu Qi Awal di genggamannya bergetar pelan, seolah mengingatkannya untuk berhati-hati. “Wu Yao, jangan paksa tubuhmu lebih jauh,” suara Luo Yian terdengar berat, tapi ia juga tidak dalam kondisi baik. Keringat menetes dari dahinya, sementara aura di sekeliling tubuhnya masih bergejolak. > Kultivasi Luo Yian: Jiwa Langit akhir → Tanda-tanda menuju Jiwa Suci awal (belum menembus). Ia belum berhasil melewati ambang itu, namun setiap benturan energi dalam pertempuran tadi membuat dinding penghalang di dalam tubuhnya semaki
Suasana di dalam reruntuhan kota dimensi masih dipenuhi bayangan kabut ungu. Suara Qi sintetis bergema seperti bisikan tak berujung, seakan-akan dinding ruang itu sendiri bernafas. Wu Yao berdiri di tengah alun-alun, peluh dingin menetes dari pelipisnya. Tubuhnya bergetar—bukan karena takut, melainkan karena aliran Qi yang mengalir liar di meridian. Sejak pusaran Qi tanpa nama menyatu dengan Batu Qi Awal di genggamannya, fondasi kultivasinya dipaksa menanggung beban baru. > Kultivasi Wu Yao: Jiwa Roh akhir → memasuki ambang Jiwa Suci awal (belum stabil). Aura yang keluar dari tubuhnya bukan lagi aura murni Jiwa Roh. Ada denyut halus yang membuat Luo Yian, Han Qing, dan Mei Huarong terpaksa mundur beberapa langkah agar tidak ikut terseret. “Qi-nya beresonansi dengan retakan dimensi…” gumam Luo Yian, wajahnya tegang. Ia sendiri merasakan gejolak yang tak kalah dahsyat. Sejak memasuki Lapisan Uji Takdir, aliran energi dalam tubuhnya seakan menolak untuk tetap diam. Setiap tarikan na
Langit di atas Lapisan Uji Takdir telah berubah menjadi lautan cahaya berlapis-lapis. Dari celah yang semakin membesar, aliran Qi sintetis bercampur dengan Qi alami, menimbulkan ketidakstabilan yang membuat bahkan kultivator berpengalaman sulit bernapas. Getaran dimensi itu terdengar seperti simfoni ganjil: kadang lirih seperti seruling bambu, kadang menggema seperti genderang perang. Wu Yao berdiri di garis depan. Tubuhnya dipenuhi luka lama, tapi auranya semakin padat, menunjukkan bahwa ia kini telah mantap di Alam Jiwa Langit tahap akhir. Cahaya keemasan samar berputar di balik matanya, tanda warisan Wu Xuan yang semakin menyatu dengan jiwanya. Di sisi kanan, Luo Yian—yang sejak pertempuran di retakan dunia terus menembus dinding kultivasi—baru saja berhasil naik satu tingkat. Cahaya putih menyelimuti tubuhnya, lalu meresap ke dalam inti spiritual di dadanya. > [Kultivasi Luo Yian: Menembus dari Jiwa Langit Akhir → Awal Alam Jiwa Suci] Udara di sekitar Luo Yian bergetar lembut,
Langkah demi langkah, Wu Yao merasakan tanah di bawah kakinya bukan lagi milik dunia lama. Lapisan Uji Takdir membawa mereka semakin dalam ke pusaran yang diciptakan oleh kehendak zaman, dan setiap napas yang ia hirup seakan menuntut jiwa untuk menimbang pilihan. Di sekitarnya, kota yang runtuh masih berdiri dalam kebisuan yang menyesakkan, seolah waktu di sana berhenti sejak seribu tahun lalu. Batu-batu nisan bertebaran di sepanjang jalan, dan masing-masing mengandung ukiran nama orang-orang yang mereka kenal. Ada nama sahabat, rival, bahkan nama mereka sendiri, seakan dunia ingin memperlihatkan kemungkinan nasib yang sudah tertulis. Luo Yian berjalan paling dekat di sisinya. Wajahnya tidak bisa menyembunyikan kengerian ketika menemukan sebuah nisan dengan ukiran samar, “Di dunia ini Luo Yian memilih logika di atas hati, maka ia kehilangan segalanya.” Ia mengepalkan tangan, menahan gemetar. “Tempat ini… seperti pengadilan takdir yang dipalsukan.” Wu Yao menunduk, menyentuh nisa