“Lepaskanlah. Maka esok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita. Jika dia tidak kembali, maka sederhana jadinya, itu bukan cinta sejatimu.”
----------
Masih di Ponorogo, di kampung nan damai. Alesha tengah menunggu ayah dan yang lainnya sholat zuhur. Dan masih dalam ketakjuban-nya dengan suasana pondok, Alesha ingat cerita adik-adiknya beberapa hari yang lalu, sebelum kedua adiknya itu kembali ke pondok. Kedua adiknya itu banyak bercerita tentang pondok Gontor, dimana mereka tengah mengukir pendidikan.
Malam itu, saat Alesha membantu membereskan barang-barang yang akan dibawa Afnan dan Aflah ke pesantren, dengan sengaja Alesha meminta adik-adiknya bercerita tentang pondok madani itu. Ia masih ingat cerita adik-adiknya, bahwa Gontor sendiri bukan nama pondok pesantrennya. Namun, nama desa tempat pertama pondok berdiri. Nama pond
“Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat dalam segala-galanya. Jangan sepelekan persahabatan, karena kehebatannya lebih besar daripada panasnya permusuhan.”----------“Nabilla…” Sebuah teriakan menggema di lapangan parkir, saat seorang gadis jelita berpakaian kebaya lengkap dengan jilbabnya, turun dari mobil Alphard berwarna putih.Gadis yang juga memakai kebaya itu pun, dengan sedikit kesusahan berlari menghampiri si gadis jelita yang tersenyum manis. Dan menghiraukan peringatan sahabatnya yang lain, gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Jihan itu pun tetap berlari menghampiri Alesha, “Dia Alesha, bukan Nabilla.” Teriak Narendra dan Olivia, yang juga ikut berlari menghampiri Alesha.Sementara Alesha, ia merentangkan tangan dan bersedia menerima tubuh Jihan yang akan memeluknya, “Aku kangen sama kamu, Na.” Ujar Jihan, setelah memeluk erat Alesha.
“Saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau aniaya, bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”---------- Hati Alesha berdebar kencang, kala mobil yang ditumpanginya memasuki halaman rumah sederhana yang berada di ujung kampung. Rumah sederhana yang pernah ia tinggali selama 9 tahun itu, masih berdiri kokoh persis saat terakhir ia tinggal di sana.Alesha berjalan terlebih dahulu, meninggalkan ayah, opa serta papa Yonya yang sedang berbincang di dalam mobil dan entah sedang membicarakan apa. Perlahan Alesha berjalan mendekati pintu, lalu mengetuknya perlahan. Satu, dua kali ketukan tidak ada yang membukakan pintu. Dan lagi, Alesha mengetuk pintu sedikit keras dan tidak lama suara derap langkah kaki terdengar hingga membuat gadis yang masih cantik mengenakan kebaya itu semakin berdeba
“Biarkan aku padamkan sejenak, lentera yang menyinari kita berdua. Biar saja kita dalam kegelapan, biar saja kisah kita sebentar saja melenyap. Biar saja kita menemukan momentum dimana vektor kita berada. Biar saja kebahagiaan merangkak dan menyapa. Biar saja aku memilikimu sebentar lebih lama.”----------Alesha langsung membulatkan mata, melihat Linda yang nempel seperti ulat keket pada tubuh ayahnya. Terlebih Linda yang hanya mengenakan tank top tipis dan hot pen saja, yang tentu dapat memancing syahwat lawan jenis. Tanpa menunggu, Alesha pun langsung berjalan mendekati sang ayah dan menjauhkan dari Linda.“Nabilla, apa-apaan sih kamu.” Kata Linda dengan suara yang sangat nyaring, “ Om Dinnar ini punya ku.” Ujarnya, hendak melepaskan Alesha yang mendekap Dinnar, “Kamu kan udah punya om yang itu.” Tunjuk Linda pada Sam yang tengah memperhatikan tingkah prsesive&nb
“Jika kesabaran bernilai dari apapun, itu harus dipertahankan saampai akhir. Dan keyakinan untuk hidup akan bertahan ditengah terpaan badai terbesar sekalipun.”---------Derap langkah Alesha terdengar seiring langkahnya menyusuri basemant yang sepi dan sunyi. Jam sudah menunjukan pukul 21.00 WIB, dan tidak ada siapapun yang ada di sana. Kecuali, seorang perempuan yang tengah duduk di kap mobil berwarna merah dan sedang memainkan ponselnya.Tanpa ragu Alesha berjalan menghampiri Linda, “Ada apa, mbak?” Tanya Alesha, begitu berada dihadapan Linda.Sedangkan Linda yang melihat kedatangan Alesha, seketika tersenyum. Senyum yang membuat Alesha merasa janggal, karena ini kali pertama dirinya mendapati kakak angkatnya itu tersenyum seperti itu kepadanya setelah sekian tahun, “Akhirnya kamu dateng juga, Sha.” Ujar Linda, yang berdiri dari duduknya.“Iya, mbak.” Alesha
“Ketika seseorang mendapatkan ujian yang mengguncang jiwa, maka itu tandanya Tuhan ingin menaikan derajat keimanan orang tersebut ke level tingkatan iman yang lebih tinggi. Maka berbahagialah, karena ujian itu tanda cinta Tuhan kepada orang tersebut untuk meningkatkan kualitas hidupnya.” ---------- Kelopak mata Alesha terbuka. Buram yang menyelimuti penglihatannya tidak kunjung menjelas. Ia sedang meringkuk di jok mobil, tangan dan kakinya diikat. Dalam posisi meringkuk ,ia bisa melihat langit kelam tanpa bintang ikut bergerak seiring dengan mobil yang melaju. Alesha memejamkan mata, meratapi nasib. Jika ayah dan bundanya tahu, pasti akan sedih. Terleih bundanya yang sedang hamil, jika terlalu banyak pikiran kondisi bundanya akan menurun. Air matanya jatuh lagi, ia selalu membuat khawatir keluarganya. Tapi, megapa dirinya lemah? Tangis Alesha semakin pilu, mengingat ayah dan bundanya yang saat ini pasti kebingungan mencarinya
“Dalam hidup ini terkadang kita dihadapkan pada sesuatu yang tidak menyenangkan. Kesedihan, kehilangan, dan mungkin berbagai macam cobaan lainnya. Tapi justru itu yang membuat kita menjadi lebih kuat.”----------Dinnar nyaris putus asa ketika pada akhirnya mobil yang membawanya berhenti di pelataran sebuah Vila. Berdasarkan informasi dari Alex, vila yang terletak di Baturaden itu adalah vila milik keluarga Abidzar. Vila yang tergolong berkelas itu terasa sunyi dan sepi, namun mobil berwarna merah menandakan bahwa ada seseoran di sana.Dinnar diikuti Varo keluar dari mobil, langsung berlari memasuki ke dalam vila yang tidak dikunci. Teriakan Abidzar membahana, bersumber di lantai dua.“Berhenti, Alesha!”Mendengar seruan itu, Dinnar segera berlari menuju tangga. Ia membelalak tidak percaya, melihat putrinya dengan rambut berantakan dan berada dalam cengkraman Abidzar, “Lepaskan aku.&rdqu
“Permata tidak akan bisa diasah tanpa gesekan, pun dengan manusia, tidak ada yang sempurna tanpa cobaan.”----------Entah berapa lama waktu yang telah berlalu, Varo sampai tidak menghiraukan itu. Namun, hatinya sedikit lega. Ketika Alesha sudah keluar dari ruang UGD dan dipindahkan ke ruang perawatan. Ia sudah meminta Alex untuk menjaga Alesha hingga sadar, sementara dirinya tetap menunggu kabar dari dokter tentang kondisi abangnya.Dinnar mengalami pendarahan di kepalanya cukup banyak. Dan saat ini tim medis sudah bersiap untuk mengoperasi Dinnar, tinggal menunggu Sam yang memang diharapkan darahnya untuk ditranfusikan ke tubuh putranya.Tidak berselang lama Sam, Kanaya yang terduduk lemah dalam kursi roda yang di dorong oleh Pram dan juga Narendra pun berlari cepat menuju Varo yang berdiri di depan pintu UGD. Mereka bisa melihat betapa khawatirnya Varo dari raut wajahnya, rambut yang acak-acaka serta darah yang memenuhi
“Hidup bak misteri, banyak hal yang tidak dapat ditebak. Jangankan di masa depan, esok hari saja tidak tahu apa yang akan terjadi. Maka dari itu, jangan putus harapan karena kita tidak tahu keajaiban apa yang akan terjadi esok hari.” ----------Sudah satu minggu Dinnar belum juga membuka matanya. Bahkan ia juga sudah dipindahkan ke rumah sakit terbaik di Jakarta. Semua doa sudah Kanaya dan anggota keluarga panjatkan untuk kesembuhan Dinnar.“Mbak, pulang lah dulu. Biar aku dan Alesha yang jaga bang Dinnar.” Ucap Varo seraya mengusap pucuk kepala Kanaya.Kanaya menggeleng, “Aku di sini saja, kamu pulanglah istirahat.” Ucap Kanaya pelan.Seperti biasa, Kanaya akan menolak siapa pun yang memintanya untuk pulang. Rasanya enggan untuk menjauh dari tubuh Dinnar suaminya.“Kalau bunda, masih menolak pulang. Lesha juga akan di sini, biar baju ganti Lesha di