Share

Nabilla: Kebenaran Yang Menyakitkan

“Sepandai apapun menyimpan kebohongan untuk mengendalikan suasana agar tetap baik-baik saja, sungguh pada akhirnya akan ketahuan juga. Tidak mungkin Allah akan berpihak pada keburukan, Allah akan membuka kedokmu dihadapannya nanti.”

----------

Karena tidak mendapatkan jawaban dari Nabilla, Herman perlahan berjalan memasuki rumah. Karena takut, Nabilla mengenggam tangan Jihan erat, sementara Jihan yang merasakan tangan dingin dan berkeringat dari Nabilla tahu bahwa ada yang sedang sahabatnya itu coba tutupi. “Ibu kamu lagi…” Seakan tahu apa yang akan ditanyakan Jihan, Nabilla terlebih dulu mengangguk sebelum Jihan selesai bertanya. Dan Jihan yang tahu langsung menghela nafas, serapat apapun sebuah bangkai ditutupi pada akhirnya baunya pasti akan tercium juga, itu yang selalu Jihan fikirkan.

                Jihan memang sudah tahu kelakuan ibu sahabatnya itu, karena memang sejak masih SMP Nabilla selalu curhat dengan Jihan. Jihan sebenarnya igin bilang sama Herman tentang kelakuan Maya, namun Nabilla tidak pernah mengizinkannya. Dan sekarang mungkin memang sudah waktunya semua rahasia itu terbongkar dengan sendirinya.

                Herman berjalan ke kamarnya dan ingin membuka pintu namun pintunya dikunci dari dalam. Ia pun segera mengetuk pintu itu dengan keras.

Tok…tok…tok…..

Ketukan pertama tidak mendapatkan tanggapan dari Maya, Herman pun mengetuk pintu lagi.

Tok…tok…tok….

“Hei kamu tuli ya? Ibu bilang kamu ketuk pintu jika bapak sudah pulang.” Teriak Maya dari dalam kamar. Herman yang mendapat jawaban seperti itu tidak berhenti mengetuk pintu kamar itu.

Tok…tok…tok….

“Hei, dasar anak sial…..” Maya terkejut bukan main ketika membuka pintu ternyata suaminya yang sedari tadi mengetuk pintu.  Ia segera mengancingkan bajunya yang belum sepenuhnya ia benarkan.

                Herman menatap Maya dan pria di belakangnya yang sedang memakai bajunya dengan amarah. Maya terlihat panik dan merapikan rambutnya yang berantakan. “M-mas… emmm… kita nggak melakukan apa-apa…” Ujar Maya dengan terbata.

“SIAPA DIA……”Bentak Herman sembari menunjuk pria yang berada di belakang Maya.

                Nabila menangis dipelukan Jihan, ia saat ini berada di teras rumahnya. Ia memilih tidak ikut masuk ke dalam rumah, karena tahu bapaknya pasti akan marah seperti itu.

“SUDAH JELAS…..” Ucap Herman saat Maya tidak menjawab apa-apa.

“Mas, kamu salah sangka. Apa yang mas pikirkan nggak seperti itu.” Jawab Maya dengan bibir bergetar.

                Karena sudah dikuasai amarah, Herman menyeret Maya untuk keluar dari kamar. Maya meronto dan berkilah bahwa apa yang Herman pikirkan tidak benar. Namun sepertinya Herman tidak mempercayai ucapan istrinya itu. Sementara di  teras rumah, Nabilla menutup telinga supaya tidak mendengar pertengkaran bapak dan ibunya. Jihan mengelus punggung Nabilla, menenangkan sahabat yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri.

“Mas, apa yang kami jelaskan itu benar. Kita tidak berbuat apa-apa, percaya lah mas.” Ujar Maya disela isakkanya.

“Aku tetap percaya sama kamu meskipun satu kampung sini bilang kamu adalah wanita yang menggilai laki-laki. Aku mau menikah sama kamu meskipun kamu adalah pelacur, sebab aku pikir setelah menikah kamu akan berubah. Selama ini aku menerima kekuranganmu, aku sayang sama kamu, sayang sama Linda walau dia bukan darah dagingku. Tapi ini balasanmu padaku.” Herman mendorng tubuh Maya hingga tersungkur ke lantai.

“Mas.. maafkan aku… mas…” Maya bersimpuh di kaki Herman, berharap suaminya itu memaafkannya.

“Aku menyesal..” Ujar Herman menahan rasa sakit di dadanya.

“Mas.., aku janji akan berubah..” Maya tidak hentinya memohon, air matanya sudah tidak terbendung.

“Tolong mas, beri aku kesempatan..” Ujar Maya.

“Mulai saat ini tanah rumah ku haram untuk kamu injak, kam……”

Nabilla bangkit mendekati bapaknya, ia tahu bapaknya akan mengucapkan kata-kata yang dibenci oleh Allah, “Bapak… sabar pak…” 

“Mulai detik ini, Kamu aku ta.., akhhh….” Tiba-tiba Herman memegang dadanya yang terasa sakit dan semakin sesak,  lalu ia tidak sadarkan diri.

“Bapak..”Lirih Nabillah, kaki Nabilla lemas, dengan mata yang buram karena air  mata.

                Nabilla terduduk disamping bapaknya diikuti Jihan yang juga sudah menitikan air mata. Tangisan kepiluan semakin terdengar ketika Nabilla tidak merasakan tanda-tanda nyawa dari dalam tubuh bapaknya. Hatinya menjerit pilu, ingin ia meneriaki ibunya yang berkelakuan seperti binatang itu. Ya, siapa yang tidak terkejut dan syok menerima kenyataan seperti itu.

                Ia ingin menolak kenyataan yang ada, ia tidak siap dan tidak rela ditinggal bapaknya pergi. Nabilla langsung memeluk bapaknya, berharap pria yang terbaring lemah di lantai itu akan bangun dan membalas pelukkanya. Namun sayang, wajah pucat dan tubuh yang semakin dingin membuat tangissanya semakin menjadi.

“Bapak, bangun. Jangan ……., Nabilla nggak sanggup…..hiks..hiks….” Nabilla semakin mengeratkan pelukkanya dan mencium wajah bapaknya.

“Bapak jangan tinggalin Nabilla, bapak sudah janji nggak akan ninggalin Nabilla. Nabilla sayan sama bapak, Nabilla nggak bisa hidup tanpa bapak.., hiks…hiks….” Nabilla menangis memeluk bapaknya yang sudah tidak bernyawa.

                Jihan menghapus air mata yang keluar karena tidak tega melihat sahabatnya menangis seperti itu. Ia segera memberi tahu para tetangga. Maya terlihat menangis namun tidak berani mendekat ke tubuh suaminya.

                Nabilla tidak hentinya meminta bapaknya untuk bangun, “Bapak bangun… hiks…hiks… jangan tinggaklan Nabilla. Bangun pak…..” Nabilla semakin mengeratkan pelukkanya, ia menangis di tubuh bapaknya yang semakin dingin.

                Tidak lama, rumah kecil Nabilla menjadi ramai kedatangan para tetangga. Para tetangga menatap iba Nabilla yang memeluk bapaknya yang sudah tidak bernyawa itu. Tetangga sangat mengenal Nabilla, perilaku yang baik serta aktif di kegiatan masyarakat membuat mereka menyayangi Nabilla.

                Sebaik, sesabar dan setabah apa pun Nabilla saat menghadapi ibu dan kakaknya, tetap Nabilla adalah gadis biasa. Dia sanggup di siksa dan diperlakukan tidak manusiawi oleh ibu dan kakaknya, namun jika harus ditinggalkan bapaknya ia tidak sanggup.

------

                Gundukan tanah yang masih basah dengan harum semerbak beberapa macam bunga, membuat dada Nabilla sesak. Air matanya tidak kunjung berhenti, wajah putihnya sudah memerah karena terlalu lama menangsi.

                Jihan, Olivia dan Narendra menatap nanar Nabilla yang masih bersimpuh di samping makam sang bapak. Hati mereka sakit melihat Nabilla yang memiliki sifat baik hati dan selalu tersenyum, ternyata menyimpan luka yang begitu besar hingga bertahun-tahun. Olivia dan Narendra baru tahu kalau ternyata ibunya Nabilla adalah seorang wanita pemuas nafsu pria-pria kurang belaian.

“Na..” Panggil Jihan, akan tetapi tidak mendapat jawaban dari Nabilla. Jihan dan Olivia menghela nafas, Jihan menatap Narendra namun pria yang memakai baju koko itu menggeleng tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

                Olivia menepuk pundak Nabilla hingga membuat Nabilla tersentak dan menatap Olivia, “Kita pulang yuk Na, udah mau magrib dan kayaknya akan hujan.” Nabilla tersenyum tipis, pandangannya beralih pada nisan di hadapannya. Bolehkah ia marah pada ibuny? Ia ingin marah semarah-marahnya pada ibunya, ia ingin berteriak mengungkapkan rasa sakit yang bapaknya rasakan. Namun ia enggan beteriak dan marah pada ibunya karena pasti akan sia-sia.

                Nabilla menatap ketiga sahabatnya yang saat ini juga sedang menatapnya, ia tersenyum dan langsung berdiri, tubuhnya limbung, untung ada Olivia dan Jihan yang senantiasa  menjaga dirinya.

                Tidak selang beberapa lama, mereka sampai di rumah Nabilla, keadaan rumah Nabilla masih ramai orang takziah. Masih ada para tetangga yang membereskan rumah dan Tomi serta Nadin yang ikut menemui para pelayat. Nabilla sangat bersyukur karena para tetangga sangat peduli dengan dirinya.

Bersambung......

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status