Share

Dinnar&Kanaya: Derama King

“Cinta harus ditumbuhkan sepanjang usia dengan bunga-bunganya yang bertaburan di sepanjang jalan kesetiaan. Jalan yang ditapaki bersama dengan riang dan semoga kelak kembali bersama di surga.” 

----------

                Afnan menatap kesal ke arah beberapa orang yang tengah meeting di sebuah restoran yang ada di sebuah mall yang sedang ia kunjungi. Saat ini ia sedang berbelanja kebutuhannya yang akan ia bawa ke pesantren.

Setelah lulus sekolah dasar Afnan dan Aflah memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di sebuah pondok pesantren. Afnan memilih melanjutkan di salah satu pesantren di Magelang sementara Aflah memilih di pesantren yang ada di Ponorogo. Kembar nggak harus bareng kan, itu yang selalu mereka tanam dalam hati mereka, yang penting tetap kompak dan berbakti kepada orang tua.

                Aflah sudah berangkat ke Ponorogo dua minggu yang lalu, sementara dirinya akan berangkat ke Magelang lusa. Saat ini wajah Afnan tertekuk masam, ia memandang pria matang, tampan dan terlihat hot di mata kaum hawa. Yups, siapa lagi kalau bukan ayah tampannya yang sedang menjelaskan sesuatu pada beberapa orang di sana.

                Dinnar dan beberapa kolega bisnisnya sedang membicarakan proyek baru yang akan segera dibangun. Dari kejauhan Afnan bisa melihat wanita  yang berada di samping ayahnya nampak sekali tertarik pada ayah tampannya. Terbukti saat berbincang, wanita yang duduk di samping Dinnar tanganya seliweran kemana-mana, elus-elus punggung Dinnar, sampai nempel-nempel sama Dinnar. Afnan semakin merengut saat ayahnya diam saja. “Ayah jahat banget sih, awas aja kalau bikin bunda nangis.” Geramnya.

“Ada yang ingin dibeli lagi, bang?” Tanya Rama bodyguard yang ditugaskan untuk menemani Afnan.

“Nggak, kita ke sirkuit uncle Tomi.” Ujarnya kesal, seraya berjalan pergi meninggalkan restoran dimana ayahnya sedang meeting.

                Bak pinang dibelah dua, Afnan memiliki kebiasaan yang sama dengan Dinnar. Ia akan meluapkan emosinya dengan berpacu di sirkuit balap. Walaupun usia Afnan baru tiga belas tahun namun kemahirannya mengendalikan kemudi di sirkuit tidak boleh diremehkan.

                Beberapa jam berlalu, tidak terasa hari suda sore. Setelah puas menaklukan sirkuit dengan Rama dan beberapa boryguard yang menjadi rivalnya, Afnan memutuskan pulang ke rumah. Ia harus membantu bundanya mengemasi barang-barang yang akan ia bawa ke pesantren.

                Afnan memasuki rumah dengan grasa-grusu, ia tidak langsung menuju kamarnya yang berada  di lantai tiga. Ia menuju lantai empat dimana kamar bundanya berada, ia ingin memastikan bundanya baik-baik saja. Ia akan ke kamarnya setelah memastikan bundanya tersenyum, sepertinya putra-putra Kanaya tumbuh menjadi anak-anak yang posesif terhadapnya.

                Sesampai di kamar orang tuanya, Afnan menatap kesal ayahnya. Tampak ayahnya tengah senyum-senyum sendiri memandangi ponsel-nya. Afnan yang masih sedikit emosi dengan ayahnya karena melihat ayahnya di restoran tadi siang rasanya ingin memakan ayahnya hidup-hidup. Bukannya pulang kerja mesra-mesraan dengan bundanya, ayahnya malah mesra-mesraan sama ponsel.

“Ayah!!!!” Teriak Afnan marah.

                Dinnar menoleh menatap putranya yang sedang memasang ekspresi marah, “Abang kok baru pulang? Kata bunda abang perginya udah dari pagi? Ponsel abang di hubungi nggak bisa? Abang nggak aneh-aneh kan?” Tanya Dinnar bertubi-tubi tidak memperdulikan raut marah putra sulungnya itu.

“Aku kesel sama ayahhhh!” Teriak Afnan yang segera mendudukan diri di samping Dinnar dengan kasar. Afnan memukuli paha ayahnya bertubu-tubi. Dalam hati Dinnar menghitung anaknya pasti akan menangis dalam hitungan detik.

“Huwaaaaaaaa ayahhhh! Ayah jahat, aku kesel sama ayah…..” Teria Afnan menangis tersedu-sedu. Bocah yang beranjak remaja itu masih betah memukuli paha ayahnya semakin brutal. Dinnar membawa tubuh putranya ke dalam dekappannya, ia masih belum paham dengan apa yang sedang dibicarakan anaknya.

“Abang, kenapa nangis?” Tanya Kanaya lembut, ia baru saja dari kamar mandi.

                Tidak mendapat jawaban dari putranya, Kanaya menatap suaminya meminta penjelasan kenapa putranya menangis. Dinnar mengangkat kedua pundaknya menandakan ia juga tidak tahu kenapa Afnan tiba-tiba menanggis dan marah padanya.

“Abang di rampok? Atau abang di jahatin sama orang?” Tanya Kanaya asal.

“Nggak mungkin kali, bun. Abang kan perginya sama body……”

“Udah deh, ayah diem nggak usah ngomong.”  Afnan memotong ucapan ayahnya denga sedikit membentak dan Dinnar pun mengatupkan kedua bibirnya saat putranya seperti itu.

“Bunda, abang mau punya adik. Huwaaaaa hiksss….hiksss!” Afnan melepaskan diri dari pelukan Dinnar dan beralih memeluk Kanaya.

“Kan abang udah punya adik Aflah” Ujar Kanaya sembari mengelus kepala Afnan.

“Abang mau adik yang bisa nemenin bunda, kalau abang sama Aflah lagi di pesantren. Nanti kalau ayah jahat sama bunda, adik kan bisa jagain bunda dan lawan ayah.” Ujar Afnan yang masih tersedu dalam pelukan Kanaya.

                Kanaya yang mendengar curhatan putra sulungnya sedikit berfikir, kenapa putranya jadi merasa ill feel sama ayahnya. Perasaan tadi pagi putranya itu baik-baik saja saat meminta uang pada sang ayah, bahkan Afnan sangat senang saat di beri kartu debit sama Dinnar.

                Sementara Dinnar menggaruk kepalanya yang mendadak gatal, kemudian ia berfikir kesalahan apa yang ia lakukan hingga sang putra menjadi membencinya. Bahkan Afnan tidak hentinya menyebutnya jahat. “Bunda sama ayah harus sering deket-deketan biar abang cepet punya adik. Jadi abang bisa tenang ninggalin bunda ke pesantren.” Ujar Afnan yang perlahan mengurai pelukan bundanya.

                Kanaya berfikir sejenak hingga ia bisa menyerap perkataan anaknya, “Kenapa abang tiba-tiba pengen punya adik?” Tanya Kanaya menatap putranya.

“Kalau ada adik, bunda kan nggak kesepian pas abang sama adek di pesantren. Ayah juga nggak jahat sama bunda.” Ujar  Afnan sembari melirik Dinnar sinis.

“Abang, kenapa dari tadi bilang ayah jahat, memangnya ayah salah apa?” Tanya Dinnar hati-hati.

“Ayah Diammm!!” Seru Afnan dengan nada tinggi.

“Abang, nggak boleh gitu sama ayah. Coba abang cerita sama bunda, ingat abang nggak boleh main nyalahin orang sembarangan ya.” Kanaya mengelus punggung Afnan.

“Abang nggak mau ayah jahat, ayah harus tetep sayang sama bunda sama kita.” Afnan mengulurkan tangannya kemudian mengelus wajah sang bunda dengan sayang.

“Ayah ba….” Dinnar menghentikan ucapannya saat mendapatkan senyuman manis dari Kanaya, yang mengisyaratkan untuk diam.

“Abang, jelasin sama bunda, kenapa abang marah-marah sama ayah dan bilang ayah jahat.” Ujar Kanaya lembut dengan senyum yang akan membuat luluh siapapun.

                Melihat senyum manis bundanya, Afnan menghela nafas pelan lalu melirik Dinnar sekejap. Dan akhirnya mengalirlah cerita Afnan yang melihat ayahnya yang sedang meeting di restoran sampai wanita yang kegatelan sentuh-sentuh ayahnya.

                Kanaya yang mendengar curahan hati putranya tertawa pelan, sepertinya anaknya menuruni sifat possessive ayahnya. Sementara Dinnar sedang mengingat-ingat kejadian beberapa jam yang lalu hingga membuat putranya uring-uringan dan marah padanya. “Ayah, bisa jelasin?” Tanya Kanaya menahan tawa. Kalau putranya saja sampai ngambek saat melihat ayahnya dipepet wanita lain padahal Cuma di elus lho. Lalu apa kabar Kanaya yang sering melihat wanita terang-terangan mendekati suaminya itu dengan agresif.

“ Ayah nggak macam-macam, ayah malah nggak tau kalau bu Diana kayak gitu.” Ujar Dinnar jujur, ia terlalu fokus dengan meeting hingga tidak menyadari situasi sekitar kalau ada yang seliweran.

“Tapi tuh wanita kegatelan banget, pakai acara elus-elus ayah segala. Lagian ayah nih diem aja.” Omel Afnan.

“Ih ngomongnya kok gitu sih, tadi ayah kan udah bilang kalau ayah nggak tahu. Udah ya ngambeknya, udah mau magrib lho. Abang minta maaf dulu gih sama ayah.” Kanaya mencoba membujuk putranya untuk menghentikan sesi derama karena salah faham itu.

“Kok abang yang minta maaf, ayah dong yang minta maaf sama bunda. Tadi kan ayah udah mau di elus-elus sama wanita lain.” Ujar Afnan menatap sinis sang ayah.

                Dinnar mengalah, ia bangkit dan mendekat kearah istrinya. Ia mencium pipi kemudian memeluk Kanaya kemudian meminta maaf. “Terus abang udah makan belum?” Tanya Kanaya, ia hanya ingin memastikan putranya sudah makan karena sejak pagi selepas duha Afnan sudah meninggalkan rumah.

“Belum, aku nggak napsu makan setelah lihat ayah di elus-elus sama wanita genit itu. Rasanya mau muntah lihat wanita keganjenan di samping ayah.” Omel Afnan.

                Kanaya menggeleng pelan, kalau putra yang satunya selalu kalem dan tenang beda lagi sama yang sedang ada dihadapannya saat ini yang selalu melebih-lebihkan dan mendramatisir keadaan. Ya begitulah Afnan sang derama king. “Habis ini abang mandi lalu sholat magrib dan kita makan bersama, Ok” Pinta Kanaya dan langsung di patuhi oleh Aflah.

“Turunan kamu, Yah.” Cibir Kanaya.

“Jangan lupa, kamu ikut serta lho Bun.” Jawab Dinnar seraya membawa Kanaya dalam pelukkanya.

Bersambung……..

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status