Masalah tak pernah usai selagi kau masih bernyawa, tapi masalah datangnya selalu berbarengan, hingga membuat kita kewalahan. Seperti halnya yang dihadapi oleh Safira, entah dari mana para warga mendapatkan informasi dan entah siapa yang menfitnahnya hingga harus merasakan akibat dari fitnah tersebut.
Malam itu adalah malam petaka bagi Safira. Kenapa tidak, malam itu adalah malam terakhirnya dirinya tinggal di rumah Fatma. Malam itu adalah malam yang membuatnya harus terusir, dan di pandang hina oleh para masyarakat jalan Rintis.
Fitnah. Ya, salah satu yang membuat dirinya harus lebih waspada terhadap orang-orang yang di temuinya. Fitnah yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.
Fitnah yang menyebar dari mulut kemulut membuatnya harus menanggung derita berkepanjangan. Kejadian itu berawal saat dirinya baru saja pulang dari club. Di depan rumah bu Fatma, terlihat banyak sekali orang dan menimbulkan kegaduhan.
"Usir, Usir, Usir dari sini." teriak para warga beramai-ramai.
Perlahan dia mendekati kerumunan, salah satu warga berteriak marah ketika melihat Safira berjalan mendekati rumah Fatma.
"Itu dia, wanita yang meresahkan warga kita. Wanita ini, adalah wanita malam. Sudah seharusnya kita mengusirnya. Wanita seperti ini, hanya bisa merusak citra tempat kita." teriak para warga kemudian mendorong Safira. Safira hanya tercenung, di pikirannya siapa dalang yang memfitnahnya.
"Saya bukan wanita malam. Semua itu fitnah." akhirnya Safira angkat bicara. Siapa sih dalang dari semua ini? Siapa orang yang selalu membuatnya mendapatkan masalah.
"Bapak dan ibu-ibu semuanya, jangan asal bicara dan jangan asal fitnah tanpa bukti. Saya tidak melakukan apapun yang kalian bicarakan." jelasnya membela diri.
"Dasar wanita malam. Mana ada seorang PSK mengaku sebagai kupu-kupu malam." warga memprovokasi, di ikuti oleh warga lainnya yang terus meneriakkan kata "Usir".
"Lebih baik kau pergi dari sini. Bikin malu saja!" kemudian bu Fatma melempar tas ukuran besar di hadapan Safira.
"Dan ini, bukti kebejatanmu wanita malam." teriak bu Fatma semakin keras, di ikuti oleh aksi teriakkan, dorongan, dan aksi-aksi kasar lainnya dari warga.
Akhirnya Safira mengalah ketika pembelaan dirinya tidak berlaku sama sekali. Malam itu juga Safira meninggalkan rumah Fatma. Dia berjalan menembus malam tanpa tujuan. Sesekali Safira menghela nafas panjang. Malam itu dia tertidur di depan sebuah ruko.
Safira terbangun ketika seseorang menguncang-nguncang tubuhnya, dan ternyata itu adalah sang pemilik ruko yang hendak membuka tokonya. Pemilik toko tidak memarahinya, hanya saja memberitahu kalau hari sudah pagi.
“Maaf pak. Saya akan pergi,” ucap Safira meninggalkan ruko. Safira berjalan kaki menuju kantor polisi.
“Saya mau bertemu dengan bapak Haikal Ghaidan Hadi.” kata Safira dingin.
“Sudah membuat janji?” tanya pria itu menatap Safira.
“Saya tidak perlu membuat janji.” ketusnya.
“Maaf, jika belum membuat janji, adek tidak bisa bertemu dengan bapak Haikal. Bapak Haikal sangat sibuk.”
“Pertemukan saya…. Jika tidak, akan saya hancurkan kantor ini.” bentaknya mengebrak meja.
“Seharusnya anda bisa bersikap lebih sopan nona,” jelas polisi itu, menatap Safira tajam.
“Kenapa harus bersikap sopan? anda saja tidak sopan dengan saya. Kenapa harus membuat janji terlebih dahulu baru bisa bertemu?” celutuknya kesal. Safira meneriakkan nama pak Haikal, dan para polisi mencoba mengamankannya.
“Lepaskan dia.” perintah Haikal tiba-tiba muncul.
“Ada apa? Kamu sepertinya sangat suka ya, membuat keributan.” cibir pak Haikal.
“Langsung ke inti nya saja. Saya paling tidak suka bertele-tele. Kedatangan saya ke sini, hanya ingin mengatakan, saya bersedia bekerja sama dengan anda. Tapi dengan satu syarat, saya minta uang mukanya terlebih dahulu.”
“Saya butuh tempat tinggal, jika saya tidak memiliki tempat tinggal, bagaimana saya bisa bekerja dengan anda. Saya baru saja di usir oleh saudara saya. Jadi tolong kerja sama nya. Anda membutuhkan saya, dan saya membutuhkan uang. Bagaimana? Deal?”
Jelas Safira dengan wajah dingin dan tak lupa dengan tatapan tajamnya. Haikal tersenyum melihat sikap Safira yang terlihat sangat angkuh. Setiap kata yang terucap dari bibirnya, bukan terdengar meminta tolong, tapi lebih memerintah.
“Baiklah. Semoga kamu betah dengan pekerjaanmu ini. Saya percaya padamu, kamu bisa melakukan pekerjaan ini.”
“Ini fasilitas untukmu. Pergunakan dengan baik! kamu bisa memakainya saat kamu membutuhkannya. Tapi semua kerusakannya di tanggung olehmu, jika kerusakan terjadi di luar jam kerja.” jelas Kapolres Haikal memberikan kunci motor, yang langsung di ambil oleh Safira.
“Baiklah.” Safira menerima uang muka dari pak Haikal.
Safira menerimanya dengan wajah datar dan langsung keluar dari kantor polisi dengan angkuh tanpa melihat sekitarnya. Safira pun bergegas mencari kos-kosan dengan menaiki motor, fasilitas yang di beri oleh Kapolres Haikal.
Berkali-kali Safira, mengerjap mata dan menghela napas panjang. Tak lupa dia melihat sekitarnya. “Huh….” Safira menghela napas pendek, saat mengetahui dia sedang berada di kamar kosnya. “Cuma mimpi….” lenguhnya dengan wajah masih mengantuk. Dari sorot matanya tersirat sebuah amarah dan kebencian. Safira mengukir senyum tipis diwajahnya, “Begitu sakitnya luka yang telah kalian beri…. Setelah bertahun-tahun kejadian tersebut, masih terasa sakit di ulu hati ini…. Dan kalian akan membayar apa yang kalian beri, dengan rasa sakit, yang lebih menyakitkan, dari pada yang aku rasakan saat ini….” darahnya seketika bergemuruh, saat dirasanya dendam telah membakar jiwa kemanusiannya. Safira menatap meja belajarnya, meraih handphone nya yang terus saja bordering, membuatnya menjadi kesal, karena barusaja dia sedang membayangnya dengan detail, bagaimana nantinya, dia menghancurkan musuhnya. Dengan parang, gergaji, sinso, dengan pisau berkarat, atau dengan bom? Safira tersenyum sinis, saat memba
“Ardiansyah Putra Abimana, 40 tahun, pencinta wanita, pengedar narkoba jenis sabu, pecandu alcohol, dan yang terakhir memiliki beberapa club untuk memperjualkan barang-barang terlarang, dan menjajakan perempuan penjaja seks, benar?” tanya Abbas menatap dingin Ardian, sedangkan yang ditanya hanya diam. “Jawab, jika tidak ingin ada kekerasan!” “Ya…” jawab Ardian singkat. “Sudah berapa lama anda menjual barang-barang haram ini?” “12 tahun….” jawabnya lagi. “Dimana saja anda sudah membuka club untuk menjual barang-barang terlarang dan melakukan tindakkan prostusi?” “Ada dimana-mana….” “Apakah anda mengenal Randy Miller?” tanya Abbas lagi, membuat ekspresi Ardian berubah yang semula tenang menjadi gelisah. “Tidak…” jawabnya berusaha tenang. “Barra Rafeyfa Zayan?” tanya Abbas lagi. Semakin membuat Ardian menampakkan keterkejutannya. “Tidak….” jawabnya dengan nada bergetar. “Kami tahu kau adalah kaki tangan keduanya atau salah satu nya….” ucap Abbas dengan dingin. “Jika sudah tah
Sesampainya di rumah Ardian, Safira dan Abbas bergegas memasuki rumah tersebut. Keduanya segera memeriksa kamar demi kamar dan disudut ruangan. Abbas membuka sebuah ruangan dan menemukan beberapa map, dan Safira menemukan pistol, jas hitam, sepatu hitam dan kaca mata hitam. Safira segera memungutnya sebagai barang bukti dan keluar dari kamar tersebut. “Saya menemukan beberapa map, beberapa foto yang dilingkari merah, kemungkinan ini adalah musuhnya yang harus disingkirkan….” jelas Abbas. “Bagus….” imbuh Safira. “Termasuk dirimu….” Abbas menatap Safira dingin. Safira mengerutkan keningnya bingung. “Foto kau ada disalah satu foto yang dilingkari dengan tinta merah…. Mungkin kau juga target pembunuhan….” jelas Abbas. Belum sempat Safira mencerna perkataan Abbas, mereka sudah mendengar seperti ledakkan dan seperti bunyi alarm. “Disini ada bom….” teriak Abbas menarik Safira keluar dari rumah tersebut. Mereka berlari sekuat tenaga, sesaat mereka sudah keluar, rumah Ardian pun meledak m
Safira duduk di anyaman tikar menikmati goreng ubi yang baru saja dimasak, sambil mengobrol dengan akrab dengan pemilik rumah. Selesai menikmati ubi goreng, Safira membantu pemilik rumah membersihkan piring kotor. Sesudah itu, Safira berjalan-jalan sendiri berkeliling desa. Sesekali mencari signal hp untuk menghubungi Abbas. Namun didesa yang belum ada tower tersebut membuat Safira kesulitan untuk menelpon Abbas. Safira kembali kerumah bu Rima saat sudah puas keliling desa. Saat pagi tiba, semua warga desa dihebohkan dengan penemuan mayat seorang pria di pinggir jalan. Saat Safira dan warga desa mendatangi tempat kejadian, disana sudah terlihat seorang wanita menangis histeris melihat mayat tersebut. Safira mendekati mayat dan mengamati kondisinya. Safira mengerutkan keningnya, berjongkok disamping mayat. Dia mendengar para warga mengungjing mayat. “Melihat luka yang dialami oleh korban, korban meninggal karena dipukul….” jelas Safira dengan tegas. Perempuan yang menangisi mayat,
Saat pagi tiba, Abbas mengikuti pak Dody ke kebun. Abbas membantu mengembur tanah untuk ditamani cabe dan sayuran lainnya. Sedangkan Safira membantu istrinya pak Dody memasak dan membersihkan rumah. Setelah shalat magrib, Safira duduk dikursi teras rumah pak Dodi. Tak lama kemudian, Abbas duduk disamping Safira membawakan dua gelas kopi. “Ayo minum….” ajak Abbas menyeruput kopinya. Safira hanya tersenyum simpul, meraih kopi tersebut dan menyeruputnya perlahan. “Jangan bilang kepada siapapun, kalau kau adalah polisi dan aku seorang agent….” ujar Safira perlahan meletakan kopi diatas meja disampingnya, lalu menatap Abbas yang langsung menganguk menyetujui permintaan Safira. “Lalu, kapan kau mulai menyelidiki kasus tersebut? Siapa orang yang kau curigai?” tanya Abbas menyilangkan kakinya, sambil kembali menyeruput kopinya. “Belum tahu, mungkin secepatnya….” jawab Safira seadanya. “Kau tahu siapa dalangnya?” tanya Abbas lagi. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. “Namun aku harus
Saat pagi tiba Safira sudah bergegas menyiapkan diri melakukan penyelidikan. Safira berjalan sendiri menyusuri jalan demi jalan, kakinya terhenti saat melihat seorang wanita duduk termenung dikursi teras rumahnya. Kaki Safira spontan melangkah mendekati rumah tersebut dan menyapa wanita tersebut dengan ramah. “Assalamualaikum….” ucap Safira tersenyum ramah. Namun tidak ada sahutan dari Nadira. Safira berinisiatif melangkah memasuki teras rumah Nadira, dan berdiri tepat disamping Nadira. “Bagaimana kabarmu?” tanya Safira mencoba ramah, walaupun mencoba ramah bukanlah sifatnya. Sunyi, wanita itu hanya diam, tatapannya lurus kedepan, wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya nampak kurus dan tak terurus, tatapannya kosong. Safira menghela napas pendek, mengusap pundak Nadira. “Saya tahu kamu pasti sangat terpukul atas kematian Ulungmu, tapi apakah kau bisa menceritakan kronologi kematian Ulung mu? Mana tahu aku bisa membantumu menemukan siapa pelakunya.” Tak ada jawaban dari Nadira, kemb
“Kita perlu bicara….” Ajak Safira saat melihat Abbas yang baru saja pulang dari berkebun bersama pak Dody dan anaknya. “Mau bicara apa?” “Kita harus kekota yang ada labortariumnya, untuk mengecek barang bukti yang saya temukan….” jelas Safira dengan cara berbisik ditelinga Abbas. Jarak mereka cukup jauh dari jangkaun pak Dody dan anaknya, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan didengar pembicaraan mereka. “Baiklah, kita harus izin terlebih dahulu pada pak Dody dan istrinya….” ajak Abbas. Setelah mendapat izin dari pak Dody dan istrinya, Safira dan Abbas bergegas pergi kekota. Cukup jauh dari desa mereka, baru mereka menemukan kota. Mereka pulang saat adzan magrib. Safira berusaha mencari tahu nama dan tempat tinggal orang-orang yang dicurigainya. Malam itu dia mengendap-endap berjalan dibelakang rumah pak Somad, tempat kejadian terdapatnya mayat pak Slamet, tiga hari yang lalu. Namun dia tidak menemukan apapun. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak barang bukti sedikitpun?” bath
Abbas dan Safira pulang kerumah pak Dody. Sesampainya disana, mereka disambut dengan tatapan tajam para polisi. “Maaf, apakah kau bernama Safira Ramadhani?” tanya seorang polisi. Safira hanya menganguk dengan cepat. “Bolehkah saya bertanya dengan kamu?” “Silahkan….” jawab Safira singkat. Safira duduk dikursi teras rumah pak Dody. Ada lima kursi disana, pak Dody dan istrinya segera masuk kedalam rumah saat melihat Safira sudah pulang. Abbas dan Safira pun duduk dikursinya dengan tenang, sedangkan dua polisi itu juga duduk dikursinya. Safira menatap tajam seorang pria yang juga ikut duduk disamping pak polisi. “Darimana kamu tahu tentang kejadian kematian pak Slamet?” “Saya mendengar teriakan para warga dan melihat banyak orang-orang berbondong-bondong ke lokasi kejadian…. Jadi kami hanya ingin melihat apa yang terjadi….” jawab Safira sekenanya. “Kami? Berarti kamu tidak sendirian datang ketempat lokasi kejadian?” tanya polisi itu lagi. “Bersama pak Dody, bu Rima dan anaknya Ardi