Share

Chapter 3 Tim Badak

Berkali-kali Safira, mengerjap mata dan menghela napas panjang. Tak lupa dia melihat sekitarnya.

“Huh….” Safira menghela napas pendek, saat mengetahui dia sedang berada di kamar kosnya.

“Cuma mimpi….” lenguhnya dengan wajah masih mengantuk. Dari sorot matanya tersirat sebuah amarah dan kebencian. Safira mengukir senyum tipis diwajahnya,

“Begitu sakitnya luka yang telah kalian beri…. Setelah bertahun-tahun kejadian tersebut, masih terasa sakit di ulu hati ini…. Dan kalian akan membayar apa yang kalian beri, dengan rasa sakit, yang lebih menyakitkan, dari pada yang aku rasakan saat ini….” darahnya seketika bergemuruh, saat dirasanya dendam telah membakar jiwa kemanusiannya.

Safira menatap meja belajarnya, meraih handphone nya yang terus saja bordering, membuatnya menjadi kesal, karena barusaja dia sedang membayangnya dengan detail, bagaimana nantinya, dia menghancurkan musuhnya.

Dengan parang, gergaji, sinso, dengan pisau berkarat, atau dengan bom? Safira tersenyum sinis, saat membayangkan adegan demi adegan yang akan dia praktekkan nanti, untuk menghancurkan musuhnya.

Namun deringan teleponnya mengangunya, Safira mengangkat panggilan tersebut dengan wajah dingin dan juga kesal.

 “Semoga beruntung di hari pertama kerjamu…. Segera datang ke markas, ada misi untukmu….” jelas seseorang disebrang telepon. Safira menghela napas pendek, saat ini dirinya masih mengantuk.

Namun disisi lain, dia harus bekerja demi kelangsungan hidupnya. Safira menatap layar handphonenya, jam menunjukkan pukul 12 malam.

Segera Safira bangkit dari ranjangnya, meraih rompi anti peluru dari dalam lemari dan segera memakainya, dibalut kaos panjang dari luar, dan memakai celana jeans hitam super ketat. Setelah bersiap-siap, Safira segera mengas kencang motornya meninggalkan kos.

Sesampainya di markas polisi, sudah terlihat banyak sekali para polisi berbaris dengan rapi mendengarkan arahan dari Kapolres Haikal dengan khidmat. Safira segera menyusup masuk barisan perempuan, dan berdiri paling belakang barisan.

“Safira Ramadhani….” panggil Kapolres Haikal dengan suara keras, khas suara tegas seorang polisi, saat melihat Safira diam-diam menyusup dalam barisan.

Dengan jalan tertatih, dan wajah yang masih memperlihatkan masih mengantuk, Safira mendekati Haikal.

“Perkenalkan, gadis disamping saya ini akan menjadi rekan kalian, dan namanya Safira Ramadhani…. Dia sangat jago bela diri…. Semoga kalian senang dengan kehadiran gadis ini….” jelas Kapolres Haikal.

“Siap Pak….” sahut semua polisi serentak, dengan suara menggelegar, seketika mampu memekakkan telinga Safira. Namun dia harus bersikap tenang. “Berlebihan….” ketusnya di dalam hati. Sorot matanya tajam menatap segerombolan polisi yang ada didepannya.

“Berbaurlah dengan mereka…. Kita bekerja dengan tim, jangan bekerja sendiri!” bisik Haikal. Safira tersenyum tipis, seakan akan menyepelekan kata-kata Haikal.

“Baiklah, walaupun sepertinya, itu akan sulit…. Aku kurang suka bekerja dengan tim…. Aku terbiasa menumpaskan musuh dengan sendiri! Karena dengan sendiri, tidak akan ada pengkhianatan di hidupmu….” jawab Safira dengan nada dingin.

Haikal tersenyum menatap Safira dingin, “Sungguh kata-kata yang dalam, yang diucapkan oleh seorang gadis sepertimu…. Tidak usah terlalu sombong.”

“Apapun bisa terjadi, kawan akan jadi lawan, lawan akan jadi kawan…. Tergantung dengan caramu bersikap dan menanggapi sesuatu yang terjadi….” jawab Haikal kembali berbisik di telinga Safira dan tersenyum menyepelekan.

Kembali Haikal berdiri dengan tegak dan tegas, “Safira Ramadhani akan masuk ke tim Badak….” ucap Haikal mengumumkan pada semua orang dengan lantang.

“Siap Pak….” jawab para polisi. Sedangkan Safira hanya menanggapi dengan senyum smirk.

“Silahkan lanjut bekerja…. Semoga malam ini kalian beruntung….” ucap Haikal lantang.

“Siapppp..... Pak…. Laksanakan…..” jawab para polisi dengan tak kalah lantangnya.

Safira melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Satu tim beranggotakan tujuh orang, dua menaiki mobil dengan diisi dua orang dalam satu mobil. Selebihnya menaiki motor dengan tidak memakai seragam polisi.

Tim Badak berhenti di sebuah rumah yang menjadi target. Safira menatap rumah tersebut dengan tatapan sinis. Segera mengeluarkan pistol dari balik pinggangnya, dan memasukkan peluru dengan gerakan cepat dan terlatih.

“Biar saya saja yang mengetuk pintunya…. Sepertinya saya, akan menyukai pekerjaan ini….” Safira menatap tajam, dengan nada dan senyum sinis kearah timnya.

“Jangan salah kan saya, jika pak Haikal lebih menyayangi saya…. Seorang pekerja professional seperti saya, akan selalu fokus pada target yang akan saya tumpaskan….” Safira tersenyum tipis, berjalan mendekati pintu, tangannya memegangkan pistol yang siap siaga menghabisi musuhnya.

Safira menekan bel, saat pintu telah terbuka dan braakkk, satu kaki Safira menendang pria yang membukakan pintu.

“Dimana bos mu Randi Miller? Kami polisi….” bentak Safira dengan tidak sabar. Sedangkan sang pria hanya berdiri diam dan mencoba tenang, menyembunyikan rasa takutnya.

“Aku akan membunuhmu, jika kau tetap diam….” teriak Safira tepat dikuping sang pria, membuat sang pria terperanjat dan telinganya seketika berdenging.

Sedangkan  Abbas dan lima polisi lainnya, hanya bisa mengeleng-ngelengkan kepalanya, menatap Safira jengah. “Sok sekali….” dumel para polisi, menatap Safira tajam.

“Apa kau ingin peluru ini menembus tenggorokanmu?” Safira memasukkan pistol tersebut ke dalam mulut sang pria, membuat sang pria membulatkan matanya, menahan rasa takut mati, yang kian menghantuinya.

“Jawab!” bentak Safira sangat tidak sabar. Detik kemudian, sang pria menjerit kesakitan, saat gagang pistol Safira sudah menghantam kepalanya.

“Dasar tak berguna….” ucap Safira dengan dongkol. Satu polisi bergerak menarik sang pria, memborgol, dan membawanya ke dalam mobil tahanan.

“Kita berpencar….” Abbas memberi perintah.

“Siap kapten….” jawab empat polisi tersebut.

Safira searah dengan Abbas, sedangkan empat rekan Abbas kea rah timur. Rumah itu sangat luas dan mewah, Safira dan Abbas menaiki anak tangga dengan posisi siaga dengan pistol ditangan keduanya.

Saat cukup jauh  melangkah berjalan dan menemui kamar yang menjadi target, Safira langsung menendang pintu tersebut. Namun tak berhasil terbuka, dan membuatnya mendengus dengan kesal. Safira menatap Abbas yang menatapnya juga, dengan dingin.

 “Bantu aku membukanya….” pinta Safira menatap Abbas tajam dan tanpa merendahkan nada suaranya.

“Kau meminta seperti memerintah. Ingat, aku ini polisi dan kaptenmu…. Tatapan dan nada bicaramu, tidak mengartikan meminta tolong, lebih terlihat memerintahku….”

“Jaga sikapmu…. Kau hanya seorang bocah berumur belasan tahun, dan aku bisa saja menyingkirkanmu dengan mudah,” ucap Abbas dingin, menatap Safira dengan sinis.

Dengan sekali tendangan, Abbas mampu mendobrak pintu kamar, dan membuat sang empu kaget melihat kedatangan orang tak dikenal.

“Kami sudah menemukan target,” ucap Safira melalui earphonenya.

“Siappp, kami mendengarnya…. Kami segera datang….” jawab empat polisi tersebut bergegas setengah berlari kearah barat mendekati kamar yang ditemui oleh Safira dan Abbas.

“Hay tuan yang terhormat…. maaf mengangu pestamu…. Bisa kah kami bergabung?” tanya Safira dengan tersenyum sinis, dengan posisi tangannya menodongkan pistol yang siap menembus kepala si target.

Hening…. Si target hanya menatap Safira dan ke lima polisi tersebut dengan tatapan tenang. Sedangkan lima polisi rekan Safira, hanya diam melihat tingkah Safira yang arogan, dan siap siaga melakukan penyerangan, jika diperlukan.

“Sepertinya kita kedatangan tamu yang tak diundang….” jawab si target tersenyum sinis, turun dari ranjangnya dengan mengenakan boxer.

“Ya…. Tamu yang akan membuat pesta kalian semakin meriah dan tak terlupakan….” Safira menodongkan senjatanya ke arah pria yang berbicara tersebut yang hanya berjarak satu meter dengannya.

Safira menatap tajam ke arah wanita berada diatas ranjang, mereka nampak ketakutan, dan mencoba menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Mereka sedang melakukan pesta, yang hanya dilakukan oleh orang dewasa.

“Hay wanita sialan…. Cepat berpakaian…. Jika tidak ingin peluru ini menembus tubuh mungilmu….” perintah Safira dengan cukup keras, membuat tiga wanita tersebut ketakutan.

Abbas segera beranjak mendekati ranjang, dan memungut pakaian tiga wanita tersebut, saat melihat tiga wanita tersebut nampak kesulitan mengambil pakaian mereka, dan melemparnya dengan kasar diatas ranjang.

Dorrrr, tembakan memberondong ke arah Safira dan kelima rekannya, membuat enam orang tersebut kocar kacir menghindari tembakkan, sambil tangan mereka melepaskan tembakan demi tembakan secara brutal. Safira meringis saat satu tembakkan mengenai pundaknya.

Safira menatap pria yang menembaknya dengan dingin, dan segera melepaskan tembakkan kearah sang pria, dan berlindung dibalik sofa menghindari peluru sang pria.

Sedangkan tiga wanita yang di atas ranjang, mulai berteriak ketakutan, karena bunyi tembakkan yang memekakkan, dan mereka sangat takut, terkena peluru salah sasaran. Akhirnya tiga wanita tersebut, kompak bersembunyi dibawah ranjang, dengan wajah panik, dan menutup kedua telinga mereka.

Ketiganya kini menangis, karena melihat sang target dengan polisi semakin bringas saling menyerang. Sitarget sesekali berlindung disamping ranjang, dan terus memberondong para polisi.

“Sial….” sang pria mengumpat, saat menatapi revolver milik sang pria, kehabisan peluru.

Safira perlahan mendekati sang pria, dan sesaat kemudian, pistol Safira sudah berada di kepala sang pria. Brakkk, gagang pistol Safira menghantam kepala sang pria. Abbas segera memberi kode keempat rekannya, agar menyeret sang pria.

“Siapppp kapten….” jawab empat polisi tersebut segera, dua dari mereka menyeret sang pria keluar dari rumah tersebut, dan memborgolnya. Sedangkan Abbas dan dua polisi lainnya, mendekati ranjang.

“Keluar!!! Sudah selesai main-mainnya….” perintah Abbas.

Melihat tidak ada respon dari tiga wanita tersebut, hanya mendengar sesegukan mereka, akhirnya dua rekan Abbas menarik paksa tiga wanita tersebut keluar dari kolong ranjang.

“Dasar menyusahkan saja….” gerutu dua polisi tersebut.

“Tidak ada pekerjaan lain apa, selain jual diri?” tanya Safira tiba-tiba mendekati tiga wanita yang sedang diborgol rekan Abbas. Tiga wanita tersebut hanya bisa diam dan menangis.

“Bagaimana anda semua mau dihargai…. Jika kerjaan kalian setiap harinya hanya bisa ngangkang dan mendesah didepan pria asing….. sungguh hina dan memalukan sekali….” hina Safira melangkah keluar dari kamar.

Abbas dan dua rekannya, hanya bisa mencoba sabar dengan sikap angkuh dan kata-kata Safira yang frontal.

“Maklum masih bocah….” dumel para polisi.

Tiga wanita tersebut dimasukkan kedalam mobil tahanan. Safira, dan dua rekannya menaiki motor dan mengasnya kencang. Sepanjang perjalanan, Safira hanya diam, menatap mobil tahanan dengan tatapan sendu.

Safira memarkirkan motornya, dan segera memasuki kamarnya. langsung saja Safira berbaring tanpa membersihkan terlebih dahulu tempat tidurnya, kebiasaan saat dia terlalu merasa lelah. Beberapa detik kemudian, dirinya sudah berada dialam mimpi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status