Berkali-kali Safira, mengerjap mata dan menghela napas panjang. Tak lupa dia melihat sekitarnya.
“Huh….” Safira menghela napas pendek, saat mengetahui dia sedang berada di kamar kosnya.
“Cuma mimpi….” lenguhnya dengan wajah masih mengantuk. Dari sorot matanya tersirat sebuah amarah dan kebencian. Safira mengukir senyum tipis diwajahnya,
“Begitu sakitnya luka yang telah kalian beri…. Setelah bertahun-tahun kejadian tersebut, masih terasa sakit di ulu hati ini…. Dan kalian akan membayar apa yang kalian beri, dengan rasa sakit, yang lebih menyakitkan, dari pada yang aku rasakan saat ini….” darahnya seketika bergemuruh, saat dirasanya dendam telah membakar jiwa kemanusiannya.
Safira menatap meja belajarnya, meraih handphone nya yang terus saja bordering, membuatnya menjadi kesal, karena barusaja dia sedang membayangnya dengan detail, bagaimana nantinya, dia menghancurkan musuhnya.
Dengan parang, gergaji, sinso, dengan pisau berkarat, atau dengan bom? Safira tersenyum sinis, saat membayangkan adegan demi adegan yang akan dia praktekkan nanti, untuk menghancurkan musuhnya.
Namun deringan teleponnya mengangunya, Safira mengangkat panggilan tersebut dengan wajah dingin dan juga kesal.
“Semoga beruntung di hari pertama kerjamu…. Segera datang ke markas, ada misi untukmu….” jelas seseorang disebrang telepon. Safira menghela napas pendek, saat ini dirinya masih mengantuk.
Namun disisi lain, dia harus bekerja demi kelangsungan hidupnya. Safira menatap layar handphonenya, jam menunjukkan pukul 12 malam.
Segera Safira bangkit dari ranjangnya, meraih rompi anti peluru dari dalam lemari dan segera memakainya, dibalut kaos panjang dari luar, dan memakai celana jeans hitam super ketat. Setelah bersiap-siap, Safira segera mengas kencang motornya meninggalkan kos.
Sesampainya di markas polisi, sudah terlihat banyak sekali para polisi berbaris dengan rapi mendengarkan arahan dari Kapolres Haikal dengan khidmat. Safira segera menyusup masuk barisan perempuan, dan berdiri paling belakang barisan.
“Safira Ramadhani….” panggil Kapolres Haikal dengan suara keras, khas suara tegas seorang polisi, saat melihat Safira diam-diam menyusup dalam barisan.
Dengan jalan tertatih, dan wajah yang masih memperlihatkan masih mengantuk, Safira mendekati Haikal.
“Perkenalkan, gadis disamping saya ini akan menjadi rekan kalian, dan namanya Safira Ramadhani…. Dia sangat jago bela diri…. Semoga kalian senang dengan kehadiran gadis ini….” jelas Kapolres Haikal.
“Siap Pak….” sahut semua polisi serentak, dengan suara menggelegar, seketika mampu memekakkan telinga Safira. Namun dia harus bersikap tenang. “Berlebihan….” ketusnya di dalam hati. Sorot matanya tajam menatap segerombolan polisi yang ada didepannya.
“Berbaurlah dengan mereka…. Kita bekerja dengan tim, jangan bekerja sendiri!” bisik Haikal. Safira tersenyum tipis, seakan akan menyepelekan kata-kata Haikal.
“Baiklah, walaupun sepertinya, itu akan sulit…. Aku kurang suka bekerja dengan tim…. Aku terbiasa menumpaskan musuh dengan sendiri! Karena dengan sendiri, tidak akan ada pengkhianatan di hidupmu….” jawab Safira dengan nada dingin.
Haikal tersenyum menatap Safira dingin, “Sungguh kata-kata yang dalam, yang diucapkan oleh seorang gadis sepertimu…. Tidak usah terlalu sombong.”
“Apapun bisa terjadi, kawan akan jadi lawan, lawan akan jadi kawan…. Tergantung dengan caramu bersikap dan menanggapi sesuatu yang terjadi….” jawab Haikal kembali berbisik di telinga Safira dan tersenyum menyepelekan.
Kembali Haikal berdiri dengan tegak dan tegas, “Safira Ramadhani akan masuk ke tim Badak….” ucap Haikal mengumumkan pada semua orang dengan lantang.
“Siap Pak….” jawab para polisi. Sedangkan Safira hanya menanggapi dengan senyum smirk.
“Silahkan lanjut bekerja…. Semoga malam ini kalian beruntung….” ucap Haikal lantang.
“Siapppp..... Pak…. Laksanakan…..” jawab para polisi dengan tak kalah lantangnya.
Safira melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Satu tim beranggotakan tujuh orang, dua menaiki mobil dengan diisi dua orang dalam satu mobil. Selebihnya menaiki motor dengan tidak memakai seragam polisi.
Tim Badak berhenti di sebuah rumah yang menjadi target. Safira menatap rumah tersebut dengan tatapan sinis. Segera mengeluarkan pistol dari balik pinggangnya, dan memasukkan peluru dengan gerakan cepat dan terlatih.
“Biar saya saja yang mengetuk pintunya…. Sepertinya saya, akan menyukai pekerjaan ini….” Safira menatap tajam, dengan nada dan senyum sinis kearah timnya.
“Jangan salah kan saya, jika pak Haikal lebih menyayangi saya…. Seorang pekerja professional seperti saya, akan selalu fokus pada target yang akan saya tumpaskan….” Safira tersenyum tipis, berjalan mendekati pintu, tangannya memegangkan pistol yang siap siaga menghabisi musuhnya.
Safira menekan bel, saat pintu telah terbuka dan braakkk, satu kaki Safira menendang pria yang membukakan pintu.
“Dimana bos mu Randi Miller? Kami polisi….” bentak Safira dengan tidak sabar. Sedangkan sang pria hanya berdiri diam dan mencoba tenang, menyembunyikan rasa takutnya.
“Aku akan membunuhmu, jika kau tetap diam….” teriak Safira tepat dikuping sang pria, membuat sang pria terperanjat dan telinganya seketika berdenging.
Sedangkan Abbas dan lima polisi lainnya, hanya bisa mengeleng-ngelengkan kepalanya, menatap Safira jengah. “Sok sekali….” dumel para polisi, menatap Safira tajam.
“Apa kau ingin peluru ini menembus tenggorokanmu?” Safira memasukkan pistol tersebut ke dalam mulut sang pria, membuat sang pria membulatkan matanya, menahan rasa takut mati, yang kian menghantuinya.
“Jawab!” bentak Safira sangat tidak sabar. Detik kemudian, sang pria menjerit kesakitan, saat gagang pistol Safira sudah menghantam kepalanya.
“Dasar tak berguna….” ucap Safira dengan dongkol. Satu polisi bergerak menarik sang pria, memborgol, dan membawanya ke dalam mobil tahanan.
“Kita berpencar….” Abbas memberi perintah.
“Siap kapten….” jawab empat polisi tersebut.
Safira searah dengan Abbas, sedangkan empat rekan Abbas kea rah timur. Rumah itu sangat luas dan mewah, Safira dan Abbas menaiki anak tangga dengan posisi siaga dengan pistol ditangan keduanya.
Saat cukup jauh melangkah berjalan dan menemui kamar yang menjadi target, Safira langsung menendang pintu tersebut. Namun tak berhasil terbuka, dan membuatnya mendengus dengan kesal. Safira menatap Abbas yang menatapnya juga, dengan dingin.
“Bantu aku membukanya….” pinta Safira menatap Abbas tajam dan tanpa merendahkan nada suaranya.
“Kau meminta seperti memerintah. Ingat, aku ini polisi dan kaptenmu…. Tatapan dan nada bicaramu, tidak mengartikan meminta tolong, lebih terlihat memerintahku….”
“Jaga sikapmu…. Kau hanya seorang bocah berumur belasan tahun, dan aku bisa saja menyingkirkanmu dengan mudah,” ucap Abbas dingin, menatap Safira dengan sinis.
Dengan sekali tendangan, Abbas mampu mendobrak pintu kamar, dan membuat sang empu kaget melihat kedatangan orang tak dikenal.
“Kami sudah menemukan target,” ucap Safira melalui earphonenya.
“Siappp, kami mendengarnya…. Kami segera datang….” jawab empat polisi tersebut bergegas setengah berlari kearah barat mendekati kamar yang ditemui oleh Safira dan Abbas.
“Hay tuan yang terhormat…. maaf mengangu pestamu…. Bisa kah kami bergabung?” tanya Safira dengan tersenyum sinis, dengan posisi tangannya menodongkan pistol yang siap menembus kepala si target.
Hening…. Si target hanya menatap Safira dan ke lima polisi tersebut dengan tatapan tenang. Sedangkan lima polisi rekan Safira, hanya diam melihat tingkah Safira yang arogan, dan siap siaga melakukan penyerangan, jika diperlukan.
“Sepertinya kita kedatangan tamu yang tak diundang….” jawab si target tersenyum sinis, turun dari ranjangnya dengan mengenakan boxer.
“Ya…. Tamu yang akan membuat pesta kalian semakin meriah dan tak terlupakan….” Safira menodongkan senjatanya ke arah pria yang berbicara tersebut yang hanya berjarak satu meter dengannya.
Safira menatap tajam ke arah wanita berada diatas ranjang, mereka nampak ketakutan, dan mencoba menutupi tubuh telanjang mereka dengan selimut. Mereka sedang melakukan pesta, yang hanya dilakukan oleh orang dewasa.
“Hay wanita sialan…. Cepat berpakaian…. Jika tidak ingin peluru ini menembus tubuh mungilmu….” perintah Safira dengan cukup keras, membuat tiga wanita tersebut ketakutan.
Abbas segera beranjak mendekati ranjang, dan memungut pakaian tiga wanita tersebut, saat melihat tiga wanita tersebut nampak kesulitan mengambil pakaian mereka, dan melemparnya dengan kasar diatas ranjang.
Dorrrr, tembakan memberondong ke arah Safira dan kelima rekannya, membuat enam orang tersebut kocar kacir menghindari tembakkan, sambil tangan mereka melepaskan tembakan demi tembakan secara brutal. Safira meringis saat satu tembakkan mengenai pundaknya.
Safira menatap pria yang menembaknya dengan dingin, dan segera melepaskan tembakkan kearah sang pria, dan berlindung dibalik sofa menghindari peluru sang pria.
Sedangkan tiga wanita yang di atas ranjang, mulai berteriak ketakutan, karena bunyi tembakkan yang memekakkan, dan mereka sangat takut, terkena peluru salah sasaran. Akhirnya tiga wanita tersebut, kompak bersembunyi dibawah ranjang, dengan wajah panik, dan menutup kedua telinga mereka.
Ketiganya kini menangis, karena melihat sang target dengan polisi semakin bringas saling menyerang. Sitarget sesekali berlindung disamping ranjang, dan terus memberondong para polisi.
“Sial….” sang pria mengumpat, saat menatapi revolver milik sang pria, kehabisan peluru.
Safira perlahan mendekati sang pria, dan sesaat kemudian, pistol Safira sudah berada di kepala sang pria. Brakkk, gagang pistol Safira menghantam kepala sang pria. Abbas segera memberi kode keempat rekannya, agar menyeret sang pria.
“Siapppp kapten….” jawab empat polisi tersebut segera, dua dari mereka menyeret sang pria keluar dari rumah tersebut, dan memborgolnya. Sedangkan Abbas dan dua polisi lainnya, mendekati ranjang.
“Keluar!!! Sudah selesai main-mainnya….” perintah Abbas.
Melihat tidak ada respon dari tiga wanita tersebut, hanya mendengar sesegukan mereka, akhirnya dua rekan Abbas menarik paksa tiga wanita tersebut keluar dari kolong ranjang.
“Dasar menyusahkan saja….” gerutu dua polisi tersebut.
“Tidak ada pekerjaan lain apa, selain jual diri?” tanya Safira tiba-tiba mendekati tiga wanita yang sedang diborgol rekan Abbas. Tiga wanita tersebut hanya bisa diam dan menangis.
“Bagaimana anda semua mau dihargai…. Jika kerjaan kalian setiap harinya hanya bisa ngangkang dan mendesah didepan pria asing….. sungguh hina dan memalukan sekali….” hina Safira melangkah keluar dari kamar.
Abbas dan dua rekannya, hanya bisa mencoba sabar dengan sikap angkuh dan kata-kata Safira yang frontal.
“Maklum masih bocah….” dumel para polisi.
Tiga wanita tersebut dimasukkan kedalam mobil tahanan. Safira, dan dua rekannya menaiki motor dan mengasnya kencang. Sepanjang perjalanan, Safira hanya diam, menatap mobil tahanan dengan tatapan sendu.
Safira memarkirkan motornya, dan segera memasuki kamarnya. langsung saja Safira berbaring tanpa membersihkan terlebih dahulu tempat tidurnya, kebiasaan saat dia terlalu merasa lelah. Beberapa detik kemudian, dirinya sudah berada dialam mimpi.
“Ardiansyah Putra Abimana, 40 tahun, pencinta wanita, pengedar narkoba jenis sabu, pecandu alcohol, dan yang terakhir memiliki beberapa club untuk memperjualkan barang-barang terlarang, dan menjajakan perempuan penjaja seks, benar?” tanya Abbas menatap dingin Ardian, sedangkan yang ditanya hanya diam. “Jawab, jika tidak ingin ada kekerasan!” “Ya…” jawab Ardian singkat. “Sudah berapa lama anda menjual barang-barang haram ini?” “12 tahun….” jawabnya lagi. “Dimana saja anda sudah membuka club untuk menjual barang-barang terlarang dan melakukan tindakkan prostusi?” “Ada dimana-mana….” “Apakah anda mengenal Randy Miller?” tanya Abbas lagi, membuat ekspresi Ardian berubah yang semula tenang menjadi gelisah. “Tidak…” jawabnya berusaha tenang. “Barra Rafeyfa Zayan?” tanya Abbas lagi. Semakin membuat Ardian menampakkan keterkejutannya. “Tidak….” jawabnya dengan nada bergetar. “Kami tahu kau adalah kaki tangan keduanya atau salah satu nya….” ucap Abbas dengan dingin. “Jika sudah tah
Sesampainya di rumah Ardian, Safira dan Abbas bergegas memasuki rumah tersebut. Keduanya segera memeriksa kamar demi kamar dan disudut ruangan. Abbas membuka sebuah ruangan dan menemukan beberapa map, dan Safira menemukan pistol, jas hitam, sepatu hitam dan kaca mata hitam. Safira segera memungutnya sebagai barang bukti dan keluar dari kamar tersebut. “Saya menemukan beberapa map, beberapa foto yang dilingkari merah, kemungkinan ini adalah musuhnya yang harus disingkirkan….” jelas Abbas. “Bagus….” imbuh Safira. “Termasuk dirimu….” Abbas menatap Safira dingin. Safira mengerutkan keningnya bingung. “Foto kau ada disalah satu foto yang dilingkari dengan tinta merah…. Mungkin kau juga target pembunuhan….” jelas Abbas. Belum sempat Safira mencerna perkataan Abbas, mereka sudah mendengar seperti ledakkan dan seperti bunyi alarm. “Disini ada bom….” teriak Abbas menarik Safira keluar dari rumah tersebut. Mereka berlari sekuat tenaga, sesaat mereka sudah keluar, rumah Ardian pun meledak m
Safira duduk di anyaman tikar menikmati goreng ubi yang baru saja dimasak, sambil mengobrol dengan akrab dengan pemilik rumah. Selesai menikmati ubi goreng, Safira membantu pemilik rumah membersihkan piring kotor. Sesudah itu, Safira berjalan-jalan sendiri berkeliling desa. Sesekali mencari signal hp untuk menghubungi Abbas. Namun didesa yang belum ada tower tersebut membuat Safira kesulitan untuk menelpon Abbas. Safira kembali kerumah bu Rima saat sudah puas keliling desa. Saat pagi tiba, semua warga desa dihebohkan dengan penemuan mayat seorang pria di pinggir jalan. Saat Safira dan warga desa mendatangi tempat kejadian, disana sudah terlihat seorang wanita menangis histeris melihat mayat tersebut. Safira mendekati mayat dan mengamati kondisinya. Safira mengerutkan keningnya, berjongkok disamping mayat. Dia mendengar para warga mengungjing mayat. “Melihat luka yang dialami oleh korban, korban meninggal karena dipukul….” jelas Safira dengan tegas. Perempuan yang menangisi mayat,
Saat pagi tiba, Abbas mengikuti pak Dody ke kebun. Abbas membantu mengembur tanah untuk ditamani cabe dan sayuran lainnya. Sedangkan Safira membantu istrinya pak Dody memasak dan membersihkan rumah. Setelah shalat magrib, Safira duduk dikursi teras rumah pak Dodi. Tak lama kemudian, Abbas duduk disamping Safira membawakan dua gelas kopi. “Ayo minum….” ajak Abbas menyeruput kopinya. Safira hanya tersenyum simpul, meraih kopi tersebut dan menyeruputnya perlahan. “Jangan bilang kepada siapapun, kalau kau adalah polisi dan aku seorang agent….” ujar Safira perlahan meletakan kopi diatas meja disampingnya, lalu menatap Abbas yang langsung menganguk menyetujui permintaan Safira. “Lalu, kapan kau mulai menyelidiki kasus tersebut? Siapa orang yang kau curigai?” tanya Abbas menyilangkan kakinya, sambil kembali menyeruput kopinya. “Belum tahu, mungkin secepatnya….” jawab Safira seadanya. “Kau tahu siapa dalangnya?” tanya Abbas lagi. Safira mengelengkan kepalanya perlahan. “Namun aku harus
Saat pagi tiba Safira sudah bergegas menyiapkan diri melakukan penyelidikan. Safira berjalan sendiri menyusuri jalan demi jalan, kakinya terhenti saat melihat seorang wanita duduk termenung dikursi teras rumahnya. Kaki Safira spontan melangkah mendekati rumah tersebut dan menyapa wanita tersebut dengan ramah. “Assalamualaikum….” ucap Safira tersenyum ramah. Namun tidak ada sahutan dari Nadira. Safira berinisiatif melangkah memasuki teras rumah Nadira, dan berdiri tepat disamping Nadira. “Bagaimana kabarmu?” tanya Safira mencoba ramah, walaupun mencoba ramah bukanlah sifatnya. Sunyi, wanita itu hanya diam, tatapannya lurus kedepan, wajahnya terlihat pucat dan tubuhnya nampak kurus dan tak terurus, tatapannya kosong. Safira menghela napas pendek, mengusap pundak Nadira. “Saya tahu kamu pasti sangat terpukul atas kematian Ulungmu, tapi apakah kau bisa menceritakan kronologi kematian Ulung mu? Mana tahu aku bisa membantumu menemukan siapa pelakunya.” Tak ada jawaban dari Nadira, kemb
“Kita perlu bicara….” Ajak Safira saat melihat Abbas yang baru saja pulang dari berkebun bersama pak Dody dan anaknya. “Mau bicara apa?” “Kita harus kekota yang ada labortariumnya, untuk mengecek barang bukti yang saya temukan….” jelas Safira dengan cara berbisik ditelinga Abbas. Jarak mereka cukup jauh dari jangkaun pak Dody dan anaknya, sehingga mereka tidak perlu khawatir akan didengar pembicaraan mereka. “Baiklah, kita harus izin terlebih dahulu pada pak Dody dan istrinya….” ajak Abbas. Setelah mendapat izin dari pak Dody dan istrinya, Safira dan Abbas bergegas pergi kekota. Cukup jauh dari desa mereka, baru mereka menemukan kota. Mereka pulang saat adzan magrib. Safira berusaha mencari tahu nama dan tempat tinggal orang-orang yang dicurigainya. Malam itu dia mengendap-endap berjalan dibelakang rumah pak Somad, tempat kejadian terdapatnya mayat pak Slamet, tiga hari yang lalu. Namun dia tidak menemukan apapun. “Bagaimana mungkin tidak ada jejak barang bukti sedikitpun?” bath
Abbas dan Safira pulang kerumah pak Dody. Sesampainya disana, mereka disambut dengan tatapan tajam para polisi. “Maaf, apakah kau bernama Safira Ramadhani?” tanya seorang polisi. Safira hanya menganguk dengan cepat. “Bolehkah saya bertanya dengan kamu?” “Silahkan….” jawab Safira singkat. Safira duduk dikursi teras rumah pak Dody. Ada lima kursi disana, pak Dody dan istrinya segera masuk kedalam rumah saat melihat Safira sudah pulang. Abbas dan Safira pun duduk dikursinya dengan tenang, sedangkan dua polisi itu juga duduk dikursinya. Safira menatap tajam seorang pria yang juga ikut duduk disamping pak polisi. “Darimana kamu tahu tentang kejadian kematian pak Slamet?” “Saya mendengar teriakan para warga dan melihat banyak orang-orang berbondong-bondong ke lokasi kejadian…. Jadi kami hanya ingin melihat apa yang terjadi….” jawab Safira sekenanya. “Kami? Berarti kamu tidak sendirian datang ketempat lokasi kejadian?” tanya polisi itu lagi. “Bersama pak Dody, bu Rima dan anaknya Ardi
Pukul 17:45 Pak Somad bergegas pulang kerumahnya dengan berjalan kaki. Namun langkahnya terhenti saat mendapati sosok seorang pria yang berdiri tegak memakai pakaian dan masker hitam ditengah jalan dengan posisi sebelah tangannya memegang balok kayu. “Maaf anda ini siapa? Kenapa berdiri tengah jalan seperti ini? Anda tersesat?” tanya pak Somad kebingungan. Namun pria itu hanya diam, namun tatapan matanya sangatlah tajam seperti pedang yang siap menghunus siapa-saja. “Kenapa diam? Sepertinya anda bukan orang desa ini? Anda mau kemana?” tanya pak Somad lagi. “Mau kerumah pak Somad….” ujarnya membuat pak Somad menunjukkan ekspresi bingung. “Saya pak Somad, ada apa kau bertemu dengan saya?” “Mau membunuh….” ucapnya dingin, diiringi dengan tawa yang melengking, membuat bulu kuduk pak Somad berdiri. “Apa salah saya?” tanya pak Somad dengan suara bergetar. “Karena kau membunuh teman saya bernama Fitra Rafisqy Alfa rezi abangnya Nadira Zerina Adzra Nadhifa, juga pak Slamet, dan sekara