“Bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Safira disebrang telepon.“Silahkan….” jawab Abbas.“Boleh aku minta alamat rumah bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?”“Akan saya kirimkan…..” jawab Abbas. Saat sudah mendapatkan alamat Zivana, Safira segera keluar dari rumah pribadi Fikri. Motornya berhenti disebuah rumah dan mengetuk pintu rumah tersebut. Seorang wanita keluar membukakan pintu.“Maaf, bolehkah saya bertemu dengan bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” tanya Safira ramah.“Maaf bu Zivana tidak ada dirumah…. Bu Zivana belum pulang.” jawab sang Art.“Kapan ya pulangnya?”“Mungkin sore ini, kalau tidak lembur….”“Bolehkah saya masuk dan menunggu bu Zivana? Saya ingin sekali bertemu dengannya.” sang Art hanya menganguk perlahan dan menyilahkan Safira masuk. Sesaat setelah masuk, sang Art nampak menelpon seseorang. Safira mengamati seluruh ruangan tersebut. Dia melihat foto keluarga, Safira mengamati foto tersebut dengan seksama. Safira duduk disofa panjang. Tak lama
Safira menghela napas lelah membaca bait demi bait tulisan diary tersebut. Safira menutup laptopnya, dan segera keluar dari kamarnya. “Mau kemana?” hadang Safira saat melihat Fikri keluar dari kamarnya. “Bukan urusanmu.” jawabnya acuh. “Akan memanaskan motor,” ucap Safira meninggalkan Fikri yang hanya bisa mendengus sebal. Dia harus bisa menghindari Safira, dia tidak ingin terlalu dekat dengan wanita itu. Fikri tidak ingin masalalu nya terulang lagi. Bukankah menjaga lebih baik dari pada merusak. Fikri melangkah keluar dan dilihatnya Safira sedang memanaskan motornya. Fikri mendekati Safira, dengan kasar merampas kunci motor dan segera hendak menaiki motor tersebut, namun dengan gerakan gesit, Safira menarik baju Fikri. “Kau tidak akan bisa pergi tanpa diriku. Apa kau ingin disiksa terus oleh ibumu? Apa kau sangat suka ya disiksa oleh ibumu?” ujar Safira ketus. “Bukan urusanmu.” jawab Fikri dingin. “Akan jadi urusanku jika menyangkut dirimu. Apalagi aku sudah ditugaskan untuk
Zivana, memasuki kantor polisi dengan berpakaian serba hitam, dan kerudung menutupi rambutnya. “Bu Zivana Azzahra Alfathunissa Hidayatullah?” tanya Kapolres Haikal saat menyambut kedatangan Zivana. Yang ditanya menganguk dengan cepat. Mereka bersalaman, sebelum akhirnnya Zivana duduk di kursi bersebrangan di depan meja Haikal. “Apa yang bisa kami bantu bu?” tanya Haikal dengan ramah. Zivana menarik napas panjang, terlihat di matanya menampakkan kesedihan yang mendalam. Menceritakan kembali kisah kelam selama 12 tahun dia pendam, bukan lah hal yang mudah. “12 tahun yang lalu….” ucap Zivana dengan suara tercekat. Hatinya selalu sakit saat kembali mengingat kejadian yang membuatnya dan anaknya harus kehilangan sosok yang dicintai. “Terjadi tragedi pembunuhan, yang menjadi korban adalah suami saya, Bagas Hidayatullah…. Dan tersangkanya adalah Fikri Wijaya Kusuma, keponakan saya sendiri….” “Namun setelah saya pikir-pikir, apakah mungkin bocah lima tahun membunuh pamannya sendiri? K
Satu Minggu yang lalu….Masalah tak pernah usai selagi kau masih bernyawa, tapi masalah datangnya selalu berbarengan, hingga membuat kita kewalahan. Seperti halnya yang dihadapi oleh Safira, entah dari mana para warga mendapatkan informasi dan entah siapa yang menfitnahnya hingga harus merasakan akibat dari fitnah tersebut.Malam itu adalah malam petaka bagi Safira. Kenapa tidak, malam itu adalah malam terakhirnya dirinya tinggal di rumah Fatma. Malam itu adalah malam yang membuatnya harus terusir, dan di pandang hina oleh para masyarakat jalan Rintis.Fitnah. Ya, salah satu yang membuat dirinya harus lebih waspada terhadap orang-orang yang di temuinya. Fitnah yang sengaja disebarkan oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab.Fitnah yang menyebar dari mulut kemulut membuatnya harus menanggung derita berkepanjangan. Kejadian itu berawal saat dirinya baru saja pulang dari club. Di depan rumah bu Fatma, terlihat banyak sekali orang dan menimbulkan kegaduhan."Usir, Usir, Usir dari sini.
Berkali-kali Safira, mengerjap mata dan menghela napas panjang. Tak lupa dia melihat sekitarnya. “Huh….” Safira menghela napas pendek, saat mengetahui dia sedang berada di kamar kosnya. “Cuma mimpi….” lenguhnya dengan wajah masih mengantuk. Dari sorot matanya tersirat sebuah amarah dan kebencian. Safira mengukir senyum tipis diwajahnya, “Begitu sakitnya luka yang telah kalian beri…. Setelah bertahun-tahun kejadian tersebut, masih terasa sakit di ulu hati ini…. Dan kalian akan membayar apa yang kalian beri, dengan rasa sakit, yang lebih menyakitkan, dari pada yang aku rasakan saat ini….” darahnya seketika bergemuruh, saat dirasanya dendam telah membakar jiwa kemanusiannya. Safira menatap meja belajarnya, meraih handphone nya yang terus saja bordering, membuatnya menjadi kesal, karena barusaja dia sedang membayangnya dengan detail, bagaimana nantinya, dia menghancurkan musuhnya. Dengan parang, gergaji, sinso, dengan pisau berkarat, atau dengan bom? Safira tersenyum sinis, saat memba
“Ardiansyah Putra Abimana, 40 tahun, pencinta wanita, pengedar narkoba jenis sabu, pecandu alcohol, dan yang terakhir memiliki beberapa club untuk memperjualkan barang-barang terlarang, dan menjajakan perempuan penjaja seks, benar?” tanya Abbas menatap dingin Ardian, sedangkan yang ditanya hanya diam. “Jawab, jika tidak ingin ada kekerasan!” “Ya…” jawab Ardian singkat. “Sudah berapa lama anda menjual barang-barang haram ini?” “12 tahun….” jawabnya lagi. “Dimana saja anda sudah membuka club untuk menjual barang-barang terlarang dan melakukan tindakkan prostusi?” “Ada dimana-mana….” “Apakah anda mengenal Randy Miller?” tanya Abbas lagi, membuat ekspresi Ardian berubah yang semula tenang menjadi gelisah. “Tidak…” jawabnya berusaha tenang. “Barra Rafeyfa Zayan?” tanya Abbas lagi. Semakin membuat Ardian menampakkan keterkejutannya. “Tidak….” jawabnya dengan nada bergetar. “Kami tahu kau adalah kaki tangan keduanya atau salah satu nya….” ucap Abbas dengan dingin. “Jika sudah tah
Sesampainya di rumah Ardian, Safira dan Abbas bergegas memasuki rumah tersebut. Keduanya segera memeriksa kamar demi kamar dan disudut ruangan. Abbas membuka sebuah ruangan dan menemukan beberapa map, dan Safira menemukan pistol, jas hitam, sepatu hitam dan kaca mata hitam. Safira segera memungutnya sebagai barang bukti dan keluar dari kamar tersebut. “Saya menemukan beberapa map, beberapa foto yang dilingkari merah, kemungkinan ini adalah musuhnya yang harus disingkirkan….” jelas Abbas. “Bagus….” imbuh Safira. “Termasuk dirimu….” Abbas menatap Safira dingin. Safira mengerutkan keningnya bingung. “Foto kau ada disalah satu foto yang dilingkari dengan tinta merah…. Mungkin kau juga target pembunuhan….” jelas Abbas. Belum sempat Safira mencerna perkataan Abbas, mereka sudah mendengar seperti ledakkan dan seperti bunyi alarm. “Disini ada bom….” teriak Abbas menarik Safira keluar dari rumah tersebut. Mereka berlari sekuat tenaga, sesaat mereka sudah keluar, rumah Ardian pun meledak m
Safira duduk di anyaman tikar menikmati goreng ubi yang baru saja dimasak, sambil mengobrol dengan akrab dengan pemilik rumah. Selesai menikmati ubi goreng, Safira membantu pemilik rumah membersihkan piring kotor. Sesudah itu, Safira berjalan-jalan sendiri berkeliling desa. Sesekali mencari signal hp untuk menghubungi Abbas. Namun didesa yang belum ada tower tersebut membuat Safira kesulitan untuk menelpon Abbas. Safira kembali kerumah bu Rima saat sudah puas keliling desa. Saat pagi tiba, semua warga desa dihebohkan dengan penemuan mayat seorang pria di pinggir jalan. Saat Safira dan warga desa mendatangi tempat kejadian, disana sudah terlihat seorang wanita menangis histeris melihat mayat tersebut. Safira mendekati mayat dan mengamati kondisinya. Safira mengerutkan keningnya, berjongkok disamping mayat. Dia mendengar para warga mengungjing mayat. “Melihat luka yang dialami oleh korban, korban meninggal karena dipukul….” jelas Safira dengan tegas. Perempuan yang menangisi mayat,