Dunia ini lebih dari sekadar perang antara iblis dan manusia. Ada mereka yang hidup dalam senyap, bergerak dalam bayangan, menunggu waktu yang tepat untuk bertindak. Di antara lembah curam yang tertutup kabut, Vordesh berdiri tanpa hukum, hanya dikuasai oleh mereka yang cukup kuat untuk bertahan. Kota ini adalah tempat di mana kepercayaan bisa dibeli, dan pengkhianatan adalah mata uang yang lebih berharga dari emas. Di salah satu sudut pasar yang remang-remang, seorang wanita bertudung gelap berusaha menyelinap di antara kerumunan. Nafasnya terengah, keringat dingin membasahi tengkuknya. Ia sedang diburu. Tangan kanannya erat menggenggam gulungan perkamen tua—bukan sembarang dokumen, melainkan sesuatu yang bisa mengubah keseimbangan dunia. Tiba-tiba, sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya. Wanita itu menegang. Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi berbaju hitam, mata merahnya berkilauan seperti bara api. Senyumnya tipis, dingin. "Kau membawa sesuatu yang berbaha
Erem berdiri tegap di gerbang utama istana, matanya tajam mengawasi keadaan sekitar. Sebagai tangan kanan Ratu Zhefora, ia memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan keamanan kerajaan iblis. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, sesuatu yang jarang terjadi di wilayah yang dipenuhi energi iblis yang panas dan mengancam. Beberapa prajurit menghampirinya, memberi laporan tentang situasi di sekitar istana. "Perbatasan aman, Tuan Erem," ujar salah satu prajurit. Erem mengangguk, tetapi firasatnya mengatakan sebaliknya. Ada sesuatu yang tidak beres. Hawa di sekitarnya terasa berbeda—terlalu sunyi, seolah alam semesta menahan napas. Ia melangkah ke menara pengawas dan menatap ke arah hutan kegelapan yang mengelilingi kerajaan. Dalam kegelapan itu, ia menangkap sesuatu yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Siluet-siluet bergerak di antara pepohonan, mata mereka merah menyala, tapi aura mereka… berbeda dari para iblis. Mereka bukan prajurit kerajaan iblis, juga bukan
Di dalam istana kegelapan yang menjulang tinggi, di balik jendela yang menghadap ke hamparan tanah tandus, Zhefora duduk dalam keheningan. Cahaya merah temaram dari kristal iblis yang menggantung di langit-langit kamarnya menerangi wajahnya yang pucat. Mata ungunya yang tajam menatap ke luar, ke arah langit kelam tanpa bintang. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tidak ada gemuruh. Tidak ada jeritan. Tidak ada bisikan-bisikan penuh kebencian yang mengganggu pikirannya. Hanya ada keheningan yang mengalir seperti air dingin di dalam dadanya. Ia menghela napas pelan, membiarkan tubuhnya sedikit bersandar ke kursi megah berlapis beludru hitam. Jemarinya yang ramping menyentuh permukaan meja kayu eboni di hadapannya. Ada sesuatu yang berbeda hari ini. Seolah-olah dunia memberi jeda, sekejap saja, untuk membiarkannya bernapas. "Kenapa tenang sekali?" batinnya. Namun, bukannya jawaban dari luar, yang menjawab justru adalah sesuatu yang ada di dalam dirinya. "Karena kau mul
Malam itu, istana terasa lebih sunyi dari biasanya.Di lorong-lorong panjang, obor api biru masih menyala seperti biasa, tetapi cahayanya tampak lebih redup. Udara dingin berhembus pelan, menelusup ke setiap celah dinding batu obsidian.Zhefora duduk di singgasananya, mengamati keanehan yang terus terjadi dalam beberapa hari terakhir.Bukan hanya perubahan kecil seperti obor yang meredup atau pintu yang bergeser sendiri.Bukan hanya suara langkah samar yang terdengar di lorong-lorong kosong.Tapi sesuatu yang lebih dari itu.Sesuatu… yang mengawasi.Bayangan di Balik Kegelapan“Yang Mulia.”Suara Erem memecah kesunyian. Ia berjalan mendekat, wajahnya tetap tenang, tetapi ada ketegangan di balik sorot matanya.“Apa yang kau temukan?” tanya Zhefora tanpa menoleh.Erem berhenti di beberapa langkah darinya. Ia tampak ragu sejenak.Lalu, dengan suara pelan, ia berkata, “Kami menemukan sebuah tanda.”Zhefora akhirnya menoleh. “Tanda?”Erem mengangguk. “Di ukir di lantai aula timur… dengan d
Di dalam istana yang megah namun kelam, Zhefora berdiri di hadapan cermin besar yang terbuat dari obsidian. Kilau merah dari matanya memantul di permukaan gelap itu, menampilkan sosoknya yang dingin dan tak tergoyahkan. Gaun hitam dengan corak ungu gelap membalut tubuhnya, sementara mahkota bertatahkan batu iblis berkilauan di kepalanya. Ia adalah penguasa mutlak, Ratu dari kegelapan, namun di dalam keheningan ini, ada sesuatu yang terasa hampa. Ia memejamkan mata sejenak, mengingat kembali hari-hari di mana ia harus merangkak dalam bayang-bayang, dijauhi bahkan oleh bangsanya sendiri. Cakra iblis yang mengalir dalam dirinya bukan anugerah, melainkan kutukan yang membuatnya dianggap berbeda. Dulu ia merindukan kehangatan, menginginkan penerimaan, tetapi kini? Itu semua sudah terkubur bersama masa lalunya. Ia bukan lagi gadis yang rapuh—ia adalah penguasa, dan tidak ada tempat bagi kelemahan. Langkah-langkah sepatu berhaknya menggema di sepanjang lorong istana. Pilar-pilar raksas
Ratu Iblis Zhefora, yang kini tak lagi hanya seorang putri, berdiri di atas panggung batu besar, matahari yang terbenam memancarkan sinar merah ke seluruh kerajaan. Gaun hitam pekat yang dikenakannya berkilau di bawah cahaya senja, menambahkan kesan mistis pada dirinya. Di sekelilingnya, para prajurit manusia berdiri tegak, menyaksikan dengan penuh perhatian. Tidak ada iblis yang hadir di sana. Ini adalah hari milik manusia dan rakyat yang selama ini telah mengikuti perjalanan panjangnya. Setelah pelantikan yang penuh perayaan dengan darah iblis, Zhefora beralih pada peran barunya sebagai pemimpin bukan hanya untuk iblis, tetapi untuk seluruh rakyat manusia yang memilih untuk mengikutinya. Kerajaan yang besar ini, yang kini berada di bawah takhtanya, menantikan untuk melihat apakah ia bisa mengubah sejarah. Tidak ada lagi yang harus disembunyikan—bahwa seorang Ratu Iblis akan memimpin mereka. Di depan rakyat manusia, wajah Zhefora tampak lebih keras, lebih tegas dari sebelumnya, m