…..
Selepas menyampaikan niat baik keluarganya, Marquess William diam-diam menghadiahkan Sander foto kelulusan Cleo Austin supaya pria itu tahu seperti apa paras putrinya. Ketika pertemuan di aula Akademi Kerajaan terjadi, bukan hal mengherankan jika Sander langsung menyadari bahwa salah satu wanita yang ia temui adalah calon tunangannya.
“Dibandingkan foto, wujud nyatanya jauh lebih cantik,” puji Sander sambil memandangi foto Cleo yang tersimpan di jam saku.
Suara ketukan dari arah pintu mengejutkan Sander. Pria itu buru-buru menyimpan jamnya ke laci meja belajar. Setelah merapikan diri, ia bergegas memeriksa tamu yang datang berkunjung. Saat pintu dibuka, terlihat seorang pelayan asrama telah menunggu.
“Ada yang bisa saya bantu?”
“Surat untuk Anda, Lord Sander.”
“Terima kasih.”
Meski tak kentara, air muka Sander berubah cerah begitu menemukan nama Cleo Brisena Austin. Tak berniat membuang waktunya lebih lama lagi, Sander membuka segel surat tersebut. Ia berharap Cleo membawakannya berita baik.
“Dia menerimaku,” seru Sander, sontak bernapas lega. “Syukurlah. Aku tidak mengecewakan ayah.”
Perjodohan Sander dengan Cleo adalah keinginan pribadi Duke Adam Dorian. Menurut beliau, pasangan Sander haruslah wanita dari keluarga pendukung setia Keluarga Dorian. Duke tidak ingin orang luar ikut campur urusan dukedom, apalagi memanfaatkan posisi Sander sebagai penerus tampuk kepemimpinan, entah untuk kepentingan pribadi ataupun golongan.
Keluarga Austin yang keturunannya dikenal cerdas dan terdidik, lalu ditambah fakta bahwa mereka sudah mengabdi lama kepada Keluarga Dorian dinilai cukup memenuhi kualifikasi Duke Adam. Fakta umur Cleo yang lebih tua lima tahun dari Sander pun tidak jadi halangan.
Sander melipat surat balasan Cleo dengan hati-hati. Senyuman samar masih terulas di bibirnya. Saat hendak menyimpan surat itu ke laci, wangi bunga mawar tak sengaja tercium. Ia berhenti sejenak, mengangkat surat tersebut, menghirupnya ragu.
Sang Duke Muda termenung, menyadari bahwa wangi ini mirip aroma parfum yang ia cium saat pertama kali bertemu Cleo di sekolah. Sudut bibirnya kini melengkung lebih lebar, tak disangka merasa tergoda.
Sander menatap surat itu lama, menyusuri kembali setiap baris tulisan tangannya. Kata-kata yang sopan, terasa hangat dan akrab. Wangi mawar itu menyempurnakan sentuhan personal yang membuat Sander merasa semakin dekat dengan sosok yang sebelumnya hanya diketahui lewat selembar foto.
“Cleo dan mawar, mereka cocok,” gumam Sander. Pria itu menyandarkan punggung ke kursi, menatap langit-langit kamar dalam keheningan. “Aku harus berterima kasih kepada ayah.”
Suara pintu yang dibuka kasar menyentakkan Sander. Ia geleng-geleng kepala, pasrah ketika mengetahui siapa pelakunya. Alden dengan segala tingkah laku liarnya, masuk ke kamar Sander tanpa mengucapkan permisi.
“Aku mengganggumu?” tanya Alden saat menemukan kawannya duduk santai di meja belajar. “Kalau iya, aku keluar lagi.”
“Sudahlah, Yang Mulia.” Sander bergegas menyimpan surat Cleo ke laci, menguncinya cepat. “Masalah apa lagi yang sedang Anda kerjakan?”
Alden melemparkan tubuhnya ke ranjang Sander. Pria itu tertawa melihat reaksinya yang sesuai prediksi. “Berteman denganku membuatku hidupmu tidak pernah tenang, ya Sander? Kalau begini terus, lama-lama kau bisa mati muda karena darah tinggi.”
Ujian kelulusan—cobaan terberat siswa tahun akhir telah lama berlalu. Kebanyakan teman-teman angkatan mereka memilih pulang ke rumah, menunggu pengumuman nilai ujian akhir bersama keluarga. Sander yang notabennya bukan warga asli Ibu Kota menganggap pilihan menetap di asrama sampai acara kelulusan jauh lebih efesien dibandingkan kembali ke Dorian.
Pria itu sedikit menyesali keputusannya setelah mengetahui sahabatnya—Alden, senang menganggu dengan mengajaknya menghabiskan waktu untuk hal-hal tak berguna.
“Minggu depan Carl keluar dari asrama, kan?” tanya Alden kepada Sander. “Kudengar, tanggal pernikahannya dipercepat. Dia juga bilang tidak bisa menghadiri pestaku.”
“Carl ingin menyelesaikan semua urusan di rumah sebelum berangkat menggantikan Duke Leander berjaga di perbatasan utara.” Sander memutar kursi agar tidak membelakangi Alden. “Anak itu sudah berpamitan?”
Alden mengangguk. “Tadi aku menyapanya di lapangan.”
“Anda terlihat sedih.”
“Mau bagaimana lagi. Waktu muda kita berjalan begitu cepat. Terkadang aku gelisah memikirkan masa depanku sendiri.”
Alden, Sander dan Carl, peran mereka di masyarakat telah ditentukan sejak mereka dilahirkan ke dunia. Setelah keluar dari Akademi Kerjaan, sudah tugas mereka untuk menjalankan perannya masing-masing, tidak peduli siap atau tidak. Peran yang dimaksud adalah peran mereka sebagai raja Kerajaan Elinor, sebagai duke dari Dorian Dukedom, sebagai duke dari Leander Dukedom. Seiring berjalannya waktu, dipisahkan jarak dan kewajiban, kehangatan pertemanan mereka bisa dipastikan memudar mengikuti tata aturan yang berlaku.
Sander menyilangkan kedua tangan di dada, menyadari ekspresi murung Alden meluruh, digantikan senyum menjengkelkan biasanya. Perubahan suasana hati yang sangat mencolok itu membuat Sander heran. Jangan-jangan sahabatnya memiliki gangguan mental?
“Siang ini aku bertemu Cleo,” ujar Alden girang.
Mendengar nama Cleo, Sander merasakan dadanya yang mengencang. Ia kurang suka dengan cara akrab Alden menyebutkan namanya. “Di mana Anda bertemu Lady Austin?”
“Di butik La Belle Epoque,” jawab Alden sambil duduk tegak. Pria itu kelihatan tidak sabar, ingin menjelaskan secara detail pertemuan tersebut.
“Oh begitu. Dunia ini memang sempit.”
“Aku pergi ke butik, memesan pakaian yang akan kuhadiahkan kepada beberapa wanita kenalanku. Dan kau tahu, ternyata Cleo sedang berbelanja di sana.”
“Lalu, apa yang terjadi?”
Alden melanjutkan dengan semangat menggebu-gebu. “Keanggunan dan pembawaannya berhasil mengalihkan jiwaku. Jangan lupakan wangi mawar yang selalu mengiringi ke mana pun dia melangkah.”
Wajah Sander tegang, matanya sedikit menyipit hingga membentuk bulan sabit. Mawar. Wangi itu lagi. Cerita Alden seolah mempertegas bayangan Lady Austin yang memenuhi pikirannya sepanjang hari. “Apa yang Anda lakukan?”
“Aku mengajaknya ke toko kue. Awalnya dia tampak ragu, tetapi pada akhirnya dia setuju. Kami mengobrol banyak, dan aku harus bilang, berbincang-bincang dengannya terasa menyenangkan. Dia memiliki cara bicara yang cerdas, terbuka terhadap segala hal.”
Sander mengamati sahabatnya dengan seksama. Cara Alden menceritakan kisahnya bersama Cleo terasa tidak asing. Benar. Alden selalu kegirangan setiap kali menemukan target baru untuk kesenangannya. Perasaan khawatir sontak menggenangi benak Sander. Alden memang hobi menggoda wanita, dan kebanyakan dari mereka menikmati perhatian yang diberikan Alden. Sander tidak ingin calon tunangannya menjadi bagian dari salah satu keisengan masa muda sang sahabat.
“Apa tujuan Anda mendekati Lady Austin, Yang Mulia?” tanya Sander tak lagi menahan diri.
Alden menoleh, menatap Sander dengan alis terangkat. “Kau membuatku terdengar seperti seorang penjahat kelamin, Sander.”
“Saya ingin memastikan bahwa Anda tidak membuat masalah lagi,” balas Sander tanpa basa-basi.
Alden tertawa kecil, tidak ada niatan buruk. “Aku menghargainya, Sander. Tetapi jangan khawatirkan Cleo, dia bukan wanita biasa. Berdasarkan penilaianku, Cleo memiliki kepribadian yang sulit ditaklukan. Sepanjang percakapan, meski selalu antusias menanggapi ceritaku, aku menyadari jika Cleo secara sadar membangun batasan di antara kami.”
Penjelasan Alden tidak serta merta melegakan kegelisahan di hati Sander. Ia tahu, Alden sering bertindak spontan tanpa memikirkan konsekuensi dari permainannya. “Saya tetap khawatir. Jika kabar ini sampai ke telinga para penggemar Anda, mereka yang pendek akal akan berbondong-bondong merundung Lady Austin.”
“Hahaha, astaga Sander. Aku tahu hatimu lembut, tapi otak kreatifmu jago sekali mengarang cerita gila.”
Sander memalingkan wajah, menyembunyikan ekspresi cemas yang mulai menyeruak ke permukaan. Pria itu bangkit dari kursi, melangkah ke jendela, memandangi langit sore yang terlihat memerah. Tak kunjung mendapatkan ketenangan yang dicari, Sander menghela napas panjang, tangannya secara refleks meremas tepian jendela.
“Sander?” Suara Alden memecah keheningan sore itu. “Kau mendengarkanku?”
“Ya?”
“Kau terlalu serius belakangan ini,” Alden berkomentar sambil merenggangkan tubuhnya di atas ranjang. “Oh ya, nanti malam senggang?”
“Jam tujuh saya diminta menghadiri pertemuan siswa tingkat empat angkatan akhir. Anda juga diundang, bukan?”
“Ayolah, kawan,” suara menjengkelkan Alden kembali memenuhi ruangan. “Perkumpulan itu hanya buang-buang waktu. Sebentar lagi kita lulus. Apa gunanya membicarakan masa depan dengan orang-orang yang jelas akan sibuk sendiri?”
“Perkumpulan itu penting. Kita bisa saling bertukar informasi dan strategi,” jawab Sander tegas, mempertahankan pendirian. “Dan seperti yang Anda katakan, sebentar lagi kita semua lulus. Artinya, tidak ada waktu lagi untuk bermain-main.”
Alden mendecakkan lidah, bangkit dari ranjang dengan gerakan malas. Ia berjalan mendekati Sander sambil mengibaskan tangan, seakan argumen Sander tidak berarti apa-apa. “Dengar, malam ini aku punya janji kencan dengan Lady Violet. Dia siswa baru di tingkat tiga. Aku berencana mengajaknya nonton opera. Karena aku teman yang baik, aku mengajakmu ikut denganku.”
Sander menatap Alden skeptis. “Anda serius?”
Alden mengangkat bahu. “Tentu saja.”
“Yang Mulia,” suara Sander penuh penekanan. “Saya mempunyai kewajiban lain malam ini. Undangan pertemuan siswa bukan sesuatu yang bisa saya abaikan begitu saja.”
Alden mengerutkan kening, tertawa mengejek. “Kau tidak bosan dengan segala formalitas dan diskusi kaku itu, Sander? Apa salahnya melewatkan satu malam, menikmati sedikit kebebasan?”
“Saya menolak tawaran Anda.”
Sang pengeran mendekati Sander, menepuk santai bahu sahabatnya. “Terkadang aku benar-benar tidak mengerti dirimu, kawan. Namun baiklah, aku tidak akan memaksa. Kalau kau berubah pikiran, temui kami di depan gedung budaya jam delapan.”
…..
…..Dibantu segelas air, Cleo buru-buru menelan obat pereda mabuk perjalanannya. Sembari menunggu obatnya bereaksi, wanita itu duduk termenung bersandar pada kursi. Seolah memahami suasana hati istri tuannya yang sedang gundah, kusir sengaja melajukan keretanya dengan kecepatan rendah.“Seandainya bisa, aku ingin meninggalkan benda ini di Ibu Kota.” Cleo mengelus kotak kayu pemberian Alden. Meski dijaga dengan sepenuh hati, sampai detik ini, ia belum berminat menilik isinya. “Segala hal yang berkaitan dengan pangeran selalu berakhir membebaniku.”Keteguhan Alden mengejar cinta wanita pujaan mungkin dianggap dongeng paling romantis yang membuat iri banyak wanita. Mengesampingkan statusnya yang telah beristri dan memiliki beberapa selir, kisah cinta pangeran tampan nan kaya raya memang dongeng yang paling disukai oleh kaum hawa.“Madam, maaf jika pertanyaan saya terdengar kurang ajar,” ujar Maylea yang gerah pada kesunyian kereta. “Bagaimana perasaan Anda terhadap Pangeran Alden? Setela
…..Untuk pertama kalinya sejak hari pernikahan, Zelda bisa tertawa lepas. Wajah wanita itu memerah bagai udang matang, ditambah matanya yang tak henti berurai tangisan. Para pelayan di Istana Dahlia diam-diam menggigil ngeri, mengira sang putri mahkota akhirnya gila karena kekurangan kasih sayang. Mereka sama sekali tidak tahu, alasan sebenarnya Zelda yang selalu tampil santun itu berperilaku ganjil pagi ini. Sungguh, berita menakjubkan yang dikirimkan seseorang di Dorian membuatnya senang bukan kepalang.Momen ini hanyalah perayaan sederhana kemenangan telak Zelda Adler atas rival abadinya, Cleo Austin.“Oh Tuhan! Sebaiknya aku berhenti tertawa sebelum aku benar-benar kehilangan akal,” batin Zelda malu.Keceriaan Zelda memikat Zielle hingga anak itu melupakan belalang buruannya di taman. Diikuti pengasuh yang sudah renta, pangeran kecil berlari menghampiri ibunya.“Mama!” seru Zielle, berhamburan ke pelukan Zelda. Kehangatan dan wangi tubuh ibunya membawa ketentraman bagi pangeran.
…..Satu tamparan panas mendarat di pipi kiri Sander. Bunyi kerasnya memantul di seantero ruangan, membuat jendela dan vas kristal di atas meja bergetar samar. Kendati tamparan ayahnya tak lagi sekuat dulu, Sander tetap merasakan perih yang menusuk hingga ke tulang pipi. Yang lebih menyakitkan bukanlah rasa fisik, melainkan kehinaan yang ikut menempel bersama telapak tangan sang ayah. Ironisnya, pria itu sama sekali tidak berani meringis ataupun mengerang. Ia terlalu malu, terlalu hina untuk mengekspresikan perasaannya usai kekeliruan besar yang menodai namanya malam itu.Nafas Duke Adam memburu, dada naik-turun penuh amarah yang nyaris tak terbendung. Sorot matanya bagai bara api, membakar oksigen di antara mereka. “Cepat panggil wanita itu kemari!” suaranya pecah, berat dan tajam menusuk. Setiap kata adalah cambuk yang diarahkan pada anaknya sendiri.Phillip yang berdiri tak jauh dari sana menundukkan kepala dalam-dalam, mencoba meredakan ketegangan yang mengguncang ruangan. Kepala
…..Sekuat tenaga Abby berusaha menyelamatkan diri. Berpacu dengan sisa waktu yang hampir habis, ia mengemasi barang-barang secukupnya. Mengandalkan dorongan dari lonjakan adrenalin, gadis itu melesat cepat di antara celah manor yang luput dari pengawasan. Siapa pun pasti mengerti, kesalahannya terlampau besar untuk diampuni. Dan Abby bukan orang bodoh yang akan bersembunyi di dalam lemari, menanti petugas datang untuk menyeret lehernya ke panggung guillotine.“Oh Tuhan, tolonglah aku!” batinnya histeris. “Jangan biarkan orang-orang mengerikan itu menangkapku.”Sebelum pergi, Abby meninggalkan sebuah surat di atas mejanya. Aksi itu dilakukan atas instruksi yang diberikan Zelda. Ia sendiri tidak tahu-menahu soal isi surat tersebut. Sejak menjadi budak kesayangan putri mahkota, Abby memang diajarkan untuk tidak banyak bertanya.…..“Anda menyukai lukisan ini, Madam?” usik Baron Abelard di tengah lamunan panjang. “Saya mendapatkannya di perburuan terakhir.”Perburuan yang dimaksud Baron
.....Kata orang-orang, Sander anak yang berbakti. Ia selalu menuruti nasihat ayah dan ibu, meyakini bahwa nasihat itu demi kebaikannya. Kata orang-orang, Sander siswa yang cerdas. Ia mampu menyelesaikan pendidikannya tepat waktu dengan hasil akhir yang gemilang. Kata orang-orang, Sander pasangan yang ideal. Penghasilan tahunannya besar, kekayaannya tak terbatas dan ia berasal dari keluarga terpandang. Kata orang-orang, Sander suami yang romantis. Ia memperlakukan istrinya dengan sangat manis dan kesetiaannya tak perlu diragukan lagi.Namun malam ini, seorang manusia berhati dengki berusaha menghancurkan hidup sempurnanya. Sander yang tengah terbaring lemah, kaku dan tak berdaya, dijadikan mangsa oleh wanita berwajah teror. Setelah berhasil mengelabuhi penjaga dan menyusup ke dalam kamar, wanita itu tanpa malu merayap menaiki ranjang.Ranjang yang bergoyang perlahan menarik kesadaran Sander dari alam tidur. Batin pria itu bertanya-tanya. Bukan hanya sebagian saja, kenapa sekarang selu
…..Untuk Suamiku Tercinta, Sander Dorian.Dengan kerinduan yang sulit dibendung, saya menuliskan surat ini dari Elinor, di sela-sela kesibukan yang tiada akhir. Semoga kebahagiaan dan kesejahteraan senantiasa menyertai Anda di Dorian, di tengah beratnya tanggung jawab proyek besar yang kini mulai berjalan.Hari-hari di kota besar terasa riuh, namun anehnya, keheningan di hati saya justru semakin besar. Setiap jamuan dan kunjungan yang saya jalani dengan senyum, selalu tersisa ruang kosong yang hanya dapat diisi oleh kehadiran Anda. Terkadang, di antara alunan musik dansa dan obrolan membosankan para orang tua, saya teringat pada sore-sore tenang di taman manor, ketika kita menghabiskan waktu berdua tanpa diganggu oleh siapa pun.Kabar baik dari Dorian yang selalu saya harapkan. Bagaimana keadaan para pekerja proyek? Apakah dukungan dari para investor tetap kokoh seperti yang telah Anda usahakan? Di sini, gosip-gosip istana masih mengalir deras seperti biasa. Beberapa bahkan begitu ge