…..
“Dengan siapa kau datang ke pesta besok, Sander?” tanya Carl di tengah waktu istirahatnya selepas berlatih pedang tiga jam. Pria itu tampak memeras sehelai handuk kecil yang basah kuyup oleh keringat. “Sepertinya aku datang sendiri.”
“Keputusan ayahmu?”
Carl mengangguk. “Demi keamanan calon istriku.”
Lama terjun di bidang kemiliteran, Keluarga Leander memiliki pengaruh besar pada pertahanan Elinor. Mereka biasanya ditugaskan untuk membantu prajurit kerajaan menekan pemberontakan, menangani aksi terorisme, menjaga perbatasan serta menghalau serangan musuh. Pekerjaan kotor berisiko tinggi dengan bayaran tinggi adalah makanan sehari-hari para ksatria Leander yang gagah dan pemberani.
Namun, belakangan ini permintaan jasa Elinor rupanya mulai berganti haluan. Jika sebelumnya, kerajaan memanfaatkan kekuatan Leander untuk mengamankan wilayahnya. Tujuan mereka sekarang berubah ke arah ekstrim, yakni rencana invasi wilayah lain. Tentu saja situasi ini memanaskan hubungan Elinor dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Tak ayal, banyak pihak yang menyalahkan Leander dan menaruh dendam kepada mereka. Sebuah pelampiasan amarah yang terkesan salah alamat.
“Kau belum jawab pertanyaanku,” seru Carl yang menunggu.
“Ah, masalah itu. Aku sudah mengajak Lady Austin, tetapi untuk sementara ini, aku belum menerima jawabannya.”
Tersiksa oleh rasa gerah, Carl bergegas melepas atasannya, berdoa angin segar segera datang memberikannya kesejukan. Pria kaku itu tidak keberatan bertelanjang dada selama berada di lapangan latihan. Ia tahu, tempat ini jarang dilalui siswa perempuan sehingga tubuhnya aman dari jangkauan mata nakal. “Proposal pertunanganmu sudah diterima?”
Sander menggelengkan kepala, memandangi langit biru yang bersih dari gumpalan awan. “Aku belum menerima jawaban apa pun. Setelah melihatnya di aula kemarin, aku menjadi semakin berharap.”
“Lady Austin wanita hebat. Dia mampu membuatmu gelisah seperti ini.”
“Kau benar,” ujar Sander, lantas tertawa. “Aku memang kurang berpengalaman kalau masalah hati.”
Carl tiba-tiba berdiri, melempar pedang kayunya kepada Sander. “Daripada bengong tidak ada pekerjaan, bantu aku latihan.”
Memandangi pedang kayu yang teronggok di pangkuan, Sander beranjak dari tempatnya duduk sembari menghela napas panjang. “Kawanku, kau masih belum puas mengayunkan pedangmu? Sudah berapa banyak pedang kayu dan semangat ksatria muda yang sudah kau hancurkan hari ini?”
Meninggalkan Sander dan berlari ke arah keranjang berisi tumpukan peralatan latihan, Carl mengambil pedang kayu baru sebagai senjatanya. “Yang tadi hanya pemanasan. Butuh lawan sepadan untuk bisa disebut sparing.”
…..
Turun dari kereta kuda sewaan, Cleo berjalan memasuki butik La Belle Époque—toko pakaian yang menjadi langganan para lady di Ibu Kota, untuk membeli gaun yang akan dikenakannya di pesta dansa kerajaan. Ini adalah pesta dansa resmi pertama Cleo. Ia ingin memastikan penampilannya sempurna. Setelah mengantarkan surat balasan ke asrama Akademi Kerajaan, Cleo sudah tidak sabar menunggu Duke Muda Sander datang menjemputnya.
Seorang pelayan butik yang melihat kedatangan Cleo bergegas menyambut. Usai basa-basi ringan, pelayan itu mempersilakan Cleo duduk ke area tunggu tamu, lalu menunjukkan deretan gaun yang dirancang khusus untuk pesta kerajaan. Ketika sibuk memilah-milah gaun mana yang menarik perhatiannya, suara bariton familiar menyapa Cleo dari belakang.
“Lady Austin, siapa sangka kita akan berjumpa lagi di sini?”
Cleo menoleh, terkejut, lalu buru-buru berbalik. Di hadapannya, telah berdiri sosok Alden. Pria itu mengenakan pakaian kasual kerajaan yang mencerminkan status darah birunya.
“Y-yang Mulia?!" seru Cleo, panik bukan main. “Saya pun tidak menyangka akan berjumpa dengan Anda di tempat ini.”
Pangeran Alden tertawa kecil, terlihat senang. “Aku sering mengunjungi butik ini untuk memesan hadiah, meski biasanya tidak datang sendiri.”
“Oh begitu.”
“Lady Austin."
"Ya?"
"Kau dan rembulan, kalian berdua pasti bermusuhan."
"Kenapa Yang Mulia berpikir demikian?" tanya Cleo dengan wajah kebingungan.
"Karena kecantikanmu membuat rembulan merasa rendah diri.”
Cleo merasakan pipinya yang memanas saat mendengar rayuan Alden. Ia mencoba memusatkan kembali perhatian pada gaun-gaun cantik yang ditunjukkan pelayan butik, tetapi pangeran justru melangkah lebih dekat. “Sedang mencari gaun untuk pesta dansa kerajaan, ya?”
“Benar, Yang Mulia.”
“Bagaimana nasibku besok, Lady Austin? Pesta itu dirayakan untukku, tetapi kehadiranmu akan mencuri perhatian semua tamuku,” Alden berkata sembari mengerlingkan mata.
Cleo yang lengah tidak menyadari, semenjak pergi meninggalkan penginapan pagi ini, Alden telah mengikutinya dari kejauhan. Pria itu merencanakan pertemuan ini dengan sengaja. “Astaga, Anda bisa saja,” balasnya malu.
Ketika pelayan butik datang membawakan beberapa gaun untuk dicoba, Alden sejenak melangkah mundur, memberikan Cleo ruang bebas. Begitu wanita itu selesai memilih gaun, Alden kembali mendekat, memangkas cepat jarak di antara mereka.
“Lady Austin, apakah kau mau meluangkan sedikit waktumu untuk mencicipi kue terbaik di Ibu Kota? Ada toko kue di dekat sini yang menjadi favoritku dari kecil.”
Sikap santai Alden membuat Cleo sungkan menolak ajakan tersebut. Selain untuk kesopanan, akan membahayakan reputasinya jika terus merendahkan harga diri sang pangeran. Menolak satu kali itu cukup, menolak kedua kali dan tanpa alasan, namanya menantang. Para bangsawan akan menganggapnya wanita kurang ajar karena sok jual mahal, padahal ia hanyalah seorang lady dari keluarga bangsawan pinggiran.
“Dengan senang hati, Yang Mulia.”
Selesai melakukan pembayaran, Alden menawarkan tangannya kepada Cleo. Sempat bertingkah sedikit ragu, Cleo akhirnya menerima tawaran tersebut. Mereka berjalan bersisian keluar dari butik. Sepanjang jalan, Cleo merasa menjadi tontonan orang-orang. Kehadiran mereka tampak mencolok karena di belakang mereka, sekumpulan pengawal kerajaan mengikuti dari jarak dekat.
“Seberapa suka kau dengan makanan manis, Lady Austin?” tanya Alden di tengah perjalanan menuju toko kue langganannya.
“Saya sering menikmatinya saat acara minum teh,” jawab Cleo.
Kegiatan utama Cleo di Ibu Kota adalah menghadiri undangan para bangsawan. Selagi masih lajang, Cleo memanfaatkan waktunya sebijak mungkin untuk mencari relasi. Ia yang sedang belajar investasi suka mencari informasi tentang berbagai bisnis yang tengah dijalankan orang-orang Ibu Kota. Jika bisnis itu dinilai potensial untuk berkembang, Cleo akan menemui konsultan keuangan kenalannya sebelum memutuskan langkah berikutnya.
“Mungkin dari sekarang, sebaiknya aku mulai meluangkan waktuku menghadiri undangan bangsawan supaya bisa berbincang-bincang denganmu lagi,” seru Alden melancarkan aksinya menggoda Cleo.
“Selagi agenda pekerjaan Anda di istana kosong, Anda diterima dengan tangan terbuka, Yang Mulia.”
Ketika Alden dan Cleo sampai di depan toko kue, suara lembut nan manis tiba-tiba memanggil dan menghentikan langkah mereka. “Yang Mulia? Cleo?”
Cleo menoleh, mencari keberadaan si pemilik suara. Matanya sontak berbinar kala mendapati sosok Zelda yang berdiri tak jauh dari tempat mereka berada. Wanita itu mengenakan gaun biru pucat beraksen perak yang cantik. “Zelda!” seru Cleo senang. “Aku kira kau sibuk hari ini.”
Zelda berjalan mendekat, menunduk hormat kepada Alden sebelum memberikan pelukan kepada Cleo. Jika biasanya Zelda menyambutnya dengan kehangatan penuh, kali ini Cleo merasakan secerca kegelisahan pada diri sahabatnya.
“Yang Mulia,” Zelda berkata sopan, “Saya kira Anda tidak menyukai makanan manis.”
Alden tersenyum ramah, melirik papan berukir nama toko kue dengan sorot risi. Pria itu tampak khawatir kebohongannya akan terendus Cleo. “Aku membawa Lady Austin kemari untuk mencicipi beberapa kue terbaik mereka.”
Zelda mengalihkan pandangan kepada Cleo. Ekspresinya ramah, kendati tatapannya sulit untuk diartikan. “Pilihan yang bagus. Di kampung halamanmu pasti sulit menemukan toko kue mewah seperti ini.”
“K-kau benar,” balas Cleo, menyadari sindiran tersirat pada pernyataan itu.
“Lady Austin,” panggil Alden meminta atensi. “Sebaiknya kita segera masuk sebelum kehabisan kursi. Percayalah padaku, kau akan menyukai croissant almond buatan mereka.”
“Oh, tentu,” jawab Cleo sambil tersenyum canggung. “Yang Mulia, bagaimana kalau kita mengajak Zelda?"
Alden tampak kurang menyetujui saran itu. Namun, sulit baginya menolak permintaan Cleo tanpa membuatnya merasa curiga. "Zelda, maukah kau bergabung bersama kami?”
Zelda yang sadar kehadirannya tak diharapkan dengan cepat menggelengkan kepala. Perasaan campur aduk memenuhi pikirannya. Ia telah lama menerima fakta bahwa Alden tertarik pada Cleo, tetapi mustahil baginya menyalahkan Cleo atas ketertarikan pangeran. Di sudut hatinya yang terdalam, Zelda bertanya-tanya, apakah ia bisa mengatasi situasi ini tanpa harus melukai persahabatan ataupun harapan keluarganya.
“Tidak, Yang Mulia. Terima kasih atas tawaran Anda. Saya masih memiliki agenda lain hari ini. Senang bisa bertemu kalian.”
…..
…..Pagi berikutnya, Dorian Manor berdenyut dengan kesibukan yang khas bagi rumah bangsawan di musim sosial. Lorong-lorong penuh suara langkah para pelayan yang bergerak cepat dalam keheningan—sebuah keterampilan yang dilatih sejak hari pertama bekerja. Di antara mereka, kepala pelayan memeriksa daftar tugas, memastikan setiap vas bunga diganti sesuai jadwal, setiap peralatan perak dipoles, dan setiap kain pelapis kursi dibetulkan lipatannya. Di rumah bangsawan seperti ini, pagi hari bukan hanya awal hari, melainkan awal penampilan. Sebab setiap kunjungan tamu—bahkan yang tidak diundang—bisa menjadi ajang penilaian diam-diam terhadap tuan rumah.Di tengah arus kesigapan itu, Abby justru melangkah lebih lambat. Langkah gadis itu ringan, sikap tubuhnya tegak, dan matanya terus mengamati pergerakan Cleo Austin. Perintah Zelda Adler masih segar di kepalanya: Dekatilah Cleo. Aku ingin semua yang dia pikirkan sampai ke telingaku. Dan Abby, yang paham betul risiko menolak Zelda, tak punya pi
…..Selepas rapat mingguan terakhir bulan ini, Cleo Austin izin undur diri lebih awal dan menjadi orang pertama yang meninggalkan kantor badan amal. Ia menuruni satu per satu anak tangga bangunan plaza dengan langkah ringan. Topi musim semi yang dikenakannya tampak condong ke satu sisi, dihiasi pita kecil berwarna merah muda. Di tangan wanita itu, tampak sekotak beragam kue manis dari patisserie terbaik Dorian yang tadi dibelinya ketika istirahat siang .Cuaca sore itu sungguh bersahabat. Langit berwarna biru pucat tanpa dikotori segumpal awan. Begitu tiba di pelataran plaza, Cleo dibuat bingung oleh kehadiran sosok pria jangkung yang bersandar di sisi kereta. Pria itu mengenakan mantel abu-abu muda familiar, dan tak butuh waktu lama bagi Cleo untuk mengenalinya.“Lord Sander?” serunya pelan, setengah terkejut, setengah tersipu.Sander Dorian mengulurkan tangan, seulas senyum menggantung di bibirnya. “Tiba-tiba saja aku membayangkanmu mampir ke toko kue. Rupanya aku benar.”Cleo mener
…..Pemandangan salah satu taman di manor tampak meriah pagi ini. Deretan panjang meja dan kursi berenda tertata rapi di bawah naungan tenda. Pesta teh yang digelar oleh Keluarga Dorian tiap awal musim sosial selalu menjadi agenda bergengsi di kalangan bangsawan wilayah selatan. Kaum wanita mengenakan topi berbunga dan gaun terbaik mereka, sementara kaum pria mengganti jas suram mereka dengan warna cerah.Musim ini, Cleo-lah yang menjadi nyonya rumah, menggantikan peran mendiang ibu mertuanya, Duchess Victoria, untuk menyambut para tamu. Ia berdiri tenang, mengawasi jalannya acara sambil menyesap teh dari cangkir porselen. Mata para undangan, khususnya para wanita muda, tak henti memperhatikan sosoknya dari jauh.Gaun bergaya empire waist silhouette dari bahan sutra membalut tubuh Cleo dengan anggun. Mode pakaian wanita ini tengah populer selama beberapa musim terakhir di kalangan bangsawan. Garis pinggang yang tinggi—tepat di bawah payudara—memberikan kesan ringan dan feminin. Rambut
…..Cleo menggeram pelan seraya menggeliat ketika sentuhan ringan menyapu punggungnya. Ujung jemari Sander meluncur seperti angin di kulitnya yang terbuka sebagian, menelusuri lekuk tulang belikat hingga ke pinggang. Selimut linen berwarna gading yang membalut mereka hampir terjatuh ke lantai karena gerakan itu.“Sander…” desis Cleo setengah malas, setengah manja. “Saya butuh tidur. Kita baru saja sampai sore tadi.”Namun suaminya hanya terkekeh, tak mengindahkan peringatan halus itu. Dengan gerakan lembut penuh minat, ia menunduk dan mengecup bahu Cleo—sekilas, lalu sekali lagi, lebih lama. Napasnya hangat menyapu kulit istrinya, membuat Cleo menggigil pelan, tak sepenuhnya marah meski berusaha terlihat kesal.“Aku tidak bisa tidur,” bisik Sander. Suaranya serak dan berat.Cleo membalikkan tubuhnya, menghadapkan wajahnya yang masih setengah mengantuk kepada pria itu. Rambutnya yang terurai menempel lembut di pipi, dan sorot matanya mengabur oleh sisa kantuk. “Lord Sander, Anda belum
…..Ratu Shopie telah menetapkan jadwal ketat selama masa kehamilannya. Zelda tidak diperbolehkan menghadiri pesta dansa dan tidak diizinkan keluar tanpa pendamping resmi yang ditunjuk langsung oleh istana. Kebebasannya dirampas, dan kini, satu-satunya hiburan Zelda adalah menyapa para tamu lansia yang datang atas undangan sang ratu, mengajaknya bermain kartu, atau mengenang masa muda yang tidak pernah relevan dengannya.Sepanjang hari, Zelda hanya bisa tersenyum palsu sembari membelai perutnya yang mulai membuncit. Alden bahkan tidak tidur sekamar lagi dengannya. Sibuk. Terlalu banyak urusan parlemen, pertemuan diplomatik, dan persiapan kunjungan kenegaraan ke Anzoria untuk menjemput selir baru.Zelda gigit bibir, menahan rasa getir yang sudah berbulan-bulan mengendap. Seharusnya masa kehamilan seorang wanita menjadi momen paling berharga dalam hidupnya. Seharusnya ia dipuja, dimanjakan, dan dimuliakan. Bukankah ia sedang mengandung pewaris masa depan tahta Elinor?Sekarang, istana
…..Cleo Dorian duduk bersila di atas permadani, dikelilingi lautan kain satin, renda-renda tua, dan beberapa kotak penyimpanan yang dibuka setengah hati. Di depannya, tergelar beberapa potong gaun malam warna pastel yang sudah tidak ia pakai lebih dari dua musim. Gaun-gaun itu masih cantik, tetapi sebagian besar sudah ketinggalan tren.“Sudah waktunya kalian mendapatkan pemilik baru.”Kewalahan dengan banyaknya gaun yang terlantar, Cleo memutuskan untuk beristirahat sejenak. Ia terlihat membaca katalog kain dan busana yang didapatkannya dari rumah mode terkenal yang biasa menjadi langganan bangsawan. Mendadak, Cleo merasa tergoda untuk memborong beberapa karya mereka setelah melihat koleksi dari sketsa gaun musim dingin.Ketika asyik membolak-balikan halaman katalog, mata Cleo tak sengaja menangkap bayangan seorang gadis di ambang pintu.Abby.Pelayan muda itu mengenakan celemek abu pucat. Begitu menyadari Cleo sedang memandanginya, Abby yang sempat gelagapan akhirnya melangkah maju.