Beranda / Romansa / RADIO REKSA / BAB 09 : Jangan Kasihani Aku

Share

BAB 09 : Jangan Kasihani Aku

Penulis: Lonyenk Rap
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-22 04:11:26

          Luka fisik Ratu memang sembuh tapi tidak dengan luka psikisnya. Pasca kakinya diamputasi, Ratu selalu termenung di kamarnya. Ragam pikirannya bercampur aduk sekarang. Kadang Ratu tak bisa membedakan mana alam nyata dengan alam khayalnya. Seribu satu penyesalan ia hujamkan kedalam diri sendiri. Mengapa ia nekad menemui Reksa? Mengapa ia kalap menyetir mobil di kala hujan mendera? Apakah ia puas setelah ini? Apa yang ia dapatkan setelah apa yang ia perjuangkan tak dapat menghasilkan kemenangan? Tanpa sadar airmata sudah membasahi wajahnya.

          Tak cukup sampai disitu. Gadis itu juga menolak keluar kamar kalau ada tamu, sanak famili atau keluarga jauh yang datang berkunjung ingin menjenguknya. Kenalan dan teman-teman semasa kuliah yang ingin menemuinya juga tak pernah digubris. Semua kecewa dengan sikap yang diambil Ratu. Namun mereka juga sadar dan memaklumi keadaan. Bagaimana perasaan mereka jika posisi Ratu adalah diri mereka sendiri? Sia-sia Bu Dibyo membujuk Ratu. Anak sulungnya itu tetap pada pendiriannya. Ratu tak mau menemui siapapun, kecuali saudara kandung dan orangtuanya di rumah.

          Kalau boleh jujur, Ratu bukannya menolak kehadiran mereka semua, namun semua itu Ratu lakukan karena ia tak punya cukup nyali untuk memperlihatkan fisiknya yang kini sudah tak sempurna. Ratu yang dulunya cantik, anggun dan memiliki kaki jenjang itu kini harus tampil dengan duduk diatas kursi roda seumpama nenek renta. Mereka pastilah akan memandangnya dengan iba dan… hina. Ratu belum siap dipandang dengan tatapan-tatapan penuh iba hanya karena kakinya yang kini tinggal sebelah. Tidak! Ratu tak mau itu terjadi.

          “Mama mengerti perasaan, Ratu. Tapi mereka datang bukan untuk melihat kekuaranganmu, tapi ingin memberimu penghiburan,” pujuk Bu Dibyo pada Ratu.

          “Nggak, Ma! Aku nggak mau mereka melihat aku dalam keadaan seperti ini. Mulut mereka memang akan menghiburku. Tapi mata mereka?”

          “Itu hanya perasaanmu, Ratu.”

          “Justeru itu, Ma. Aku sendiri belum bisa berdamai dengan perasaanku sendiri.”

Kalau sudah seperti itu, sang mama terpaksa mengalah. Hanya seorang yang mau Ratu temui selain keluarganya. Dialah Lila, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di DivaNine. DivaNine adalah nama distro yang didirikan Ratu dan Lila tiga tahun yang lalu, tepatnya saat mereka masih duduk di bangku kuliah, sebuah outlet fashion berlantai dua yang menjual aneka jenis pakaian yang tidak diproduksi secara massal, karena untuk mempertahankan keeksklusifan produk-produknya. Limited edition, istilah kerennya.

          Mereka memilih usaha distro karena peluangnya yang sangat besar saat itu dan melihat pangsa pasarnya yang bagus, yang diperuntukkan bagi kaum remaja tingkat menengah keatas. Mereka berdua memang perempuan-perempuan muda nan cerdas sekaligus jeli mempelajari situasi. Karena keuletan mereka berdua, DivaNine pun berkembang dengan sangat pesat. 

          Dan tentunya kesuksesan itu bukan datang begitu saja. Mereka berdua sangat jitu dalam hal target pasar. Strategi pemasaran mereka juga matang. Selain itu Ratu dan Lila selalu melakukan evaluasi berkala yang rutin, hingga tahu mana langkah yang baik untuk kedepannya. Bisa dibilang DivaNine selalu peka jaman. Keduanya owner-nya selalu mengetahui trend yang sedang digandrungi anak muda jaman sekarang. Up-date dan kekinian. Selain itu, kualitas bahan serta desain yang unik selalu mereka jaga dan kembangkan demi kepuasan konsumen. 

         Pada akhirnya, karena kesabaran, keuletan, kerja keras, dan jaringan pertemanan mereka yang sangat luas, DivaNine pun meraih keberhasilan dan mendapatkan keuntungan besar dalam dua tahun terakhir. Dengan keberhasilan yang mereka berdua raih, Ratu dan Lila seakan mematahkan pandangan orang-orang selama ini, jika perempuan hanya bisa menjadi konsumen, bukan produsen.

          Namun sekarang sayap Divaninie seolah patah sebelah. Kecelakaan yang menimpa Ratu membuatnya absen panjang dari distro tersebut. Walau masih bisa menghandle semuanya sendirian tapi Lila merasa ada bagian lain yang seharusnya terisi menjadi kosong. Dan tak seharusnya seperti itu, karena DivaNine adalah milik berdua, bukan individu. DivaNine bukan kepunyaannya sendiri tapi miliknya bersama Ratu.

          Lila maklum, bahkan sangat memaklumi dengan kondisi fisik dan psikis yang sedang dialami Ratu. Namun ia juga mau sahabatnya itu bangkit kembali. Kehilangan satu kaki bukan berarti Ratu kehilangan seluruh hidupnya, kan? Walau sekarang ia selalu duduk di kursi roda laksana nenek renta namun Lila yakin kalau Ratu masih bisa bekerjasama dengannya untuk menghidupkan DivaNine di hari-hari selanjutnya.

          “Aku nggak bisa apa-apa sekarang, La,” keluh Ratu. “Aku cacat.”

          “Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Ratu,” pujuk Lila sambil membelai rambut sahabatnya. Ia sebenarnya mau menangis saat pertama kali melihat kaki Ratu. Sepasang kaki jenjang yang indah itu kini tak lagi sempurna.

          “Kamu lihat sendiri bagaimana kondisiku sekarang,’ erang Ratu sambil memandangi tubuhnya yang sedang duduk diatas kursi roda. 

          “Tidak Ratu. Aku yakin kamu masih bisa bekerja. Kita saling bahu membahu, membangun DivaNine,” hibur Lila.

          “Tapi aku tak bisa selincah dulu. Aku…”

          “Selama ini kita bekerja juga bukan dengan fisik, Ratu. Iya, kan? Kita hanya memanage dan menghandle semuanya dibelakang meja. Dari persiapan produk, membangun relasi hingga tim kerja dan strategi promosi. Dan untuk pelaksanaannya, ada orang-orang kita yang akan mengerjakan semuanya di lapangan,” jelas Lila panjang lebar, hal yang sebenarnya sudah diketahui oleh Ratu. Ratu tercenung.

          “DivaNine milik kita berdua. Ingat! Separuh sahamnya adalah milikmu.”

          “Aku nggak bisa lagi meneruskan DivaNine, La. Kamu atur sajalah bagaimana baiknya. Aku benar-benar nggak bisa…” Ratu terisak.

          Lila menghela nafas. Sia-sia dia meyakinkan dan membujuk sahabatnya itu, sepertinya kepercayaan diri gadis cantik itu sudah musnah sekarang. Lila kehabisan akal. Tapi terus memaksa Ratu juga tak mungkin. 

          “Jujur aku juga merasa kehilangan, tapi dalam bentuk yang berbeda.”

          “Aku sudah kenyang dengan kalimat itu. Jangan kasihani aku,” sinis suara Ratu.

          “Maksud kamu,” Lila bingung.

          “Mereka-mereka seperti dirimu hanya bisa melantunkan kalimat penghiburan, namun lupa apakah kata-kata itu membuatku terhibur atau malah sebaliknya.”

          “Kamu jangan samakan aku dengan mereka. Aku tulus ingin membuatmu bangkit.”

         “Dengan menambah beban pikiranku?” sindir Ratu.

          “Ratu, maksud kamu…?”

          “Pulanglah, Lila. Aku ingin istirahat sekarang. Tinggalkan aku sendiri.”

          Lila akhirnya pulang dengan membawa sebongkah kekecewaan. Ia memang sudah menduga jika ini akan terjadi, Ratu bersikukuh menolak uluran tangannya untuk keluar dari gelimang gundahnya dengan cara mengelola perusahaan bersama mereka. Namun Lila tak menyangka jika sikap Ratu padanya berubah demikian drastis seperti ini. Sahabatnya itu bukan saja kehilangan kepercayaan dirinya, namun juga tak butuh orang untuk membantunya. 

          Kemana perginya Ratu yang ceria? Kemana lenyapnya sahabat yang optimis dan penuh canda tawa? Apakah kecelakaan yang melenyapkan satu kakinya membuat Ratu memelihara kecewa dan akhirnya melahirkan putus asa? Baiklah, untuk saat ini Lila mengalah. Namun ia tak mau menyerah. Tak akan pernah…

                                        ***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • RADIO REKSA   BAB 38 : Irsyad Melamar Ratu

    Irsyad sendiri sebenarnya bukan tanpa tujuan mengajak Ratu dinner malam ini. Ada sesuatu yang penting yang akan ia sampaikan pada Ratu menyangkut masa depan mereka berdua yang arahnya belum menemukan tujuan. Awalnya Irsyad ragu bagaimana caranya untuk memulai dan mengungkapkan hal tersebut pada Ratu. Namun karena keinginan lebih besar dari keraguan, Irsyad pun memberanikan diri mengajak Ratu kencan dan sudah mempersiapkan segalanya mala mini, termasuk mental. “Ratu. Ada yang mau aku sampaikan sama kamu malam ini.” Wajah Irsyad tampak sedikit tegang. Ia coba mengatasi kegugupannya dengan menampilkan sebuah senyuman..“Mau ngomong apa, Bang?” tanya Ratu. Ia sedikit bingung. Tak seperti biasanya Irsyad meminta ijin sebelum ngomong. Ada apa?“Aku pikir, sudah saatnya kita memikirkan kelanjutan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.” Akhirnya kalimat itu mengalir lancar dari bibir Irsyad.“Ma

  • RADIO REKSA   BAB 37 : Romantic Dinner

    Kadang sesuatu yang datang dan memberikan kenyamanan tak pernah benar-benar kita rasakan. Kadang sesuatu yang menghilang dan memberikan kenangan malah dapat menimbulkan kerinduan yang dalam. Yang tampak belum tentu dapat dirasa. Yang tak tampak selalu bisa dirasa walau hanya dalam bayangan. Begitulah cinta, siapapun tak kan sanggup mengukur kadarnya. Cinta hanya dapat dirasa, entah itu berasa manis atau berupa pahit belaka. Namun satu yang pasti, cinta tak pernah benar-benar pergi walau sekeras apapun hati ingin membenci. Malam ini Andi Irsyad mengajak Ratu dinner di sebuah kafe yang letaknya di tepi sungai yang bernuansa romantis. Dekor dan motif temboknya bercorak ‘awan berarak’ dengan kombinsi warna kuning dan hijau yang serasi. Lampu-lampu hias yang menempel di setiap lekuk bangunan membuatnya tampak begitu indah. Ditambah lagi dengan alunan musik dari streo set audio yang mengalun lembut, membuat pengunjung menjadi terhanyut dalam suasana yang tercipta.

  • RADIO REKSA   BAB 36 : Semua Tentang Jodi

    “Kalau melihat dari data yang kamu tulis, semua pendapatan habis untuk biaya operasional dan mengganti alat-alat radio. Tapi disini tidak kamu rincikan apa maksud dari biaya operasional tersebut. Bukankah radio kita nggak pernah mengadakan acara off air? Saya juga perlu estimasi barang-barang apa saja yang telah dibeli dengan memakai uang iklan,” pinta Pak Imam. Sepertinya ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi Jodi.“Iya, Pak Imam. Saya…”“Datanya ada kamu bawa sekarang?” potong Pak Imam.“Be-belum saya buat, Pak. Tapi nanti akan saya segerakan.”Pak Imam menghela nafas kesal. “Vera tolong kamu simpan dulu data-data ini. Nanti diketik yang rapi, ya. Lalu fax ke alamat email kantor pusat,” perintah Pak Imam pada sekretarisnya. “Tapi sebaiknya jangan dikirim dulu, karena akan ada data tambahan dari Jodi nantinya.”“Baik, Pak,” jawab Vera sigap. Wanita tiga p

  • RADIO REKSA   BAB 35 : Jodi Yang Dikuliti

    “Bagaimana Saeful, Salmah, Hartati? Apa kalian pernah mendengar ada selentingan pendengar yang menyudutkan acara yang dibawakan Reksa?” tanya Pak Imam pada ketiga penyiarnya. Beliau sepertinya harus menerapkan teori semua arah, dimana kebenaran atau keburukan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang tak hanya mendengar satu pihak. Salamah menggeleng. “Setahu saya, Reksa banyak fans-nya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu. Namun dibalik ketersipuan itu, kentara sekali jika Salmah bangga dengan pencapaian yang diraih Reksa.Hartati yang duduk di samping Salma ikut-ikutan tersenyum mengiyakan perkataan rekan sesama penyiarnya. Akan halnya Salmah yang pemalu, Tati juga terlalu sungkan dan canggung untuk berbicara pada atasannya. Ia hanya membuka suara apabila ditanya. Selebihnya hanya diam dan menyimak dengan khusyuk seperti yang lainnya.“Kalau kamu Tati? Bagaimana pendapatmu tentang Reksa? Maksud saya tentang

  • RADIO REKSA   BAB 34 : Jodi Menyerang Reksa

    “Pak Imam datang? Mau mengadakan rapat?” protes Jodi saat Reksa meneleponnya.“Iya, Bang. Saya hanya menyampaikan,” sahut Reksa.“Selalu saja seperti itu. Setiap datang kesini seperti pencuri. Diam-diam dan membuat orang kaget,” gerutu Jodi lagi dengan bahasa yang membuat Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya.“Saya tidak tahu juga sih, Bang. Terus terang saya juga kaget. Karena baru pertama kali ini bertemu beliau. Apalagi mendengar akan diadakan rapat dadakan.”“Nah, kamu sendiri tahu.”“Tapi kan kita bisa apa? Sebagai penyiar, sebaiknya kita ikuti saja apa yang diinginkan oleh pimpinan. Toh, beliau tak menyuruh kita kerja bakti membersihkan got, kan?” Reksa mencoba menetralisir dengan selorohan.Namun alih-alih merasa lucu, Jodi malah menyerang Reksa dengan berang. “Eh, Reksa! Kamu itu anak baru. Kamu nggak usah ceramah dan mengajari aku. ““Buka

  • RADIO REKSA   BAB 33 : Selamat Datang Pak Imam

    “Well, my time is up, guys. Sekarang waktunya saya untuk pamit undur dari ruang dengar kalian semua. Terima kasih atas atensinya Gantara Listeners. Keep stay tune disini, di gelombang 817 Gantara AM, karena setelah ini bakal banyak acara keren yang akan menemani kalian hingga ke pukul 24 teng nanti. Tetap jaga semangat kamu hari ini bersama Gantara AM. Reksada Dirga sign out. Adios!”Setelah menutup acaranya, Reksa kemudian keluar dari ruang siar menuju ruang tengah. Ternyata ada Salmah di sana, salah satu penyiar perempuan di Gantara AM ini.“Sudah selesai, Ga?” sapa Salmah saat melihat kemunculan Reksa.“Iya, Sal. Setelah ini kamu, kan?” sahut Reksa, ramah.Salmah hanya mengangguk dan kemudian menuduk.Basa-basi diantara mereka sepertinya memang masih telihat kaku dan canggung. Walau sudah kenal selama beberapa bulan, dan bertemu walau hanya sekilas, di saat jam pergantian siar seperti saat ini, namun g

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status