Share

BAB 09 : Jangan Kasihani Aku

          Luka fisik Ratu memang sembuh tapi tidak dengan luka psikisnya. Pasca kakinya diamputasi, Ratu selalu termenung di kamarnya. Ragam pikirannya bercampur aduk sekarang. Kadang Ratu tak bisa membedakan mana alam nyata dengan alam khayalnya. Seribu satu penyesalan ia hujamkan kedalam diri sendiri. Mengapa ia nekad menemui Reksa? Mengapa ia kalap menyetir mobil di kala hujan mendera? Apakah ia puas setelah ini? Apa yang ia dapatkan setelah apa yang ia perjuangkan tak dapat menghasilkan kemenangan? Tanpa sadar airmata sudah membasahi wajahnya.

          Tak cukup sampai disitu. Gadis itu juga menolak keluar kamar kalau ada tamu, sanak famili atau keluarga jauh yang datang berkunjung ingin menjenguknya. Kenalan dan teman-teman semasa kuliah yang ingin menemuinya juga tak pernah digubris. Semua kecewa dengan sikap yang diambil Ratu. Namun mereka juga sadar dan memaklumi keadaan. Bagaimana perasaan mereka jika posisi Ratu adalah diri mereka sendiri? Sia-sia Bu Dibyo membujuk Ratu. Anak sulungnya itu tetap pada pendiriannya. Ratu tak mau menemui siapapun, kecuali saudara kandung dan orangtuanya di rumah.

          Kalau boleh jujur, Ratu bukannya menolak kehadiran mereka semua, namun semua itu Ratu lakukan karena ia tak punya cukup nyali untuk memperlihatkan fisiknya yang kini sudah tak sempurna. Ratu yang dulunya cantik, anggun dan memiliki kaki jenjang itu kini harus tampil dengan duduk diatas kursi roda seumpama nenek renta. Mereka pastilah akan memandangnya dengan iba dan… hina. Ratu belum siap dipandang dengan tatapan-tatapan penuh iba hanya karena kakinya yang kini tinggal sebelah. Tidak! Ratu tak mau itu terjadi.

          “Mama mengerti perasaan, Ratu. Tapi mereka datang bukan untuk melihat kekuaranganmu, tapi ingin memberimu penghiburan,” pujuk Bu Dibyo pada Ratu.

          “Nggak, Ma! Aku nggak mau mereka melihat aku dalam keadaan seperti ini. Mulut mereka memang akan menghiburku. Tapi mata mereka?”

          “Itu hanya perasaanmu, Ratu.”

          “Justeru itu, Ma. Aku sendiri belum bisa berdamai dengan perasaanku sendiri.”

Kalau sudah seperti itu, sang mama terpaksa mengalah. Hanya seorang yang mau Ratu temui selain keluarganya. Dialah Lila, sahabat sekaligus rekan bisnisnya di DivaNine. DivaNine adalah nama distro yang didirikan Ratu dan Lila tiga tahun yang lalu, tepatnya saat mereka masih duduk di bangku kuliah, sebuah outlet fashion berlantai dua yang menjual aneka jenis pakaian yang tidak diproduksi secara massal, karena untuk mempertahankan keeksklusifan produk-produknya. Limited edition, istilah kerennya.

          Mereka memilih usaha distro karena peluangnya yang sangat besar saat itu dan melihat pangsa pasarnya yang bagus, yang diperuntukkan bagi kaum remaja tingkat menengah keatas. Mereka berdua memang perempuan-perempuan muda nan cerdas sekaligus jeli mempelajari situasi. Karena keuletan mereka berdua, DivaNine pun berkembang dengan sangat pesat. 

          Dan tentunya kesuksesan itu bukan datang begitu saja. Mereka berdua sangat jitu dalam hal target pasar. Strategi pemasaran mereka juga matang. Selain itu Ratu dan Lila selalu melakukan evaluasi berkala yang rutin, hingga tahu mana langkah yang baik untuk kedepannya. Bisa dibilang DivaNine selalu peka jaman. Keduanya owner-nya selalu mengetahui trend yang sedang digandrungi anak muda jaman sekarang. Up-date dan kekinian. Selain itu, kualitas bahan serta desain yang unik selalu mereka jaga dan kembangkan demi kepuasan konsumen. 

         Pada akhirnya, karena kesabaran, keuletan, kerja keras, dan jaringan pertemanan mereka yang sangat luas, DivaNine pun meraih keberhasilan dan mendapatkan keuntungan besar dalam dua tahun terakhir. Dengan keberhasilan yang mereka berdua raih, Ratu dan Lila seakan mematahkan pandangan orang-orang selama ini, jika perempuan hanya bisa menjadi konsumen, bukan produsen.

          Namun sekarang sayap Divaninie seolah patah sebelah. Kecelakaan yang menimpa Ratu membuatnya absen panjang dari distro tersebut. Walau masih bisa menghandle semuanya sendirian tapi Lila merasa ada bagian lain yang seharusnya terisi menjadi kosong. Dan tak seharusnya seperti itu, karena DivaNine adalah milik berdua, bukan individu. DivaNine bukan kepunyaannya sendiri tapi miliknya bersama Ratu.

          Lila maklum, bahkan sangat memaklumi dengan kondisi fisik dan psikis yang sedang dialami Ratu. Namun ia juga mau sahabatnya itu bangkit kembali. Kehilangan satu kaki bukan berarti Ratu kehilangan seluruh hidupnya, kan? Walau sekarang ia selalu duduk di kursi roda laksana nenek renta namun Lila yakin kalau Ratu masih bisa bekerjasama dengannya untuk menghidupkan DivaNine di hari-hari selanjutnya.

          “Aku nggak bisa apa-apa sekarang, La,” keluh Ratu. “Aku cacat.”

          “Kamu nggak boleh ngomong seperti itu, Ratu,” pujuk Lila sambil membelai rambut sahabatnya. Ia sebenarnya mau menangis saat pertama kali melihat kaki Ratu. Sepasang kaki jenjang yang indah itu kini tak lagi sempurna.

          “Kamu lihat sendiri bagaimana kondisiku sekarang,’ erang Ratu sambil memandangi tubuhnya yang sedang duduk diatas kursi roda. 

          “Tidak Ratu. Aku yakin kamu masih bisa bekerja. Kita saling bahu membahu, membangun DivaNine,” hibur Lila.

          “Tapi aku tak bisa selincah dulu. Aku…”

          “Selama ini kita bekerja juga bukan dengan fisik, Ratu. Iya, kan? Kita hanya memanage dan menghandle semuanya dibelakang meja. Dari persiapan produk, membangun relasi hingga tim kerja dan strategi promosi. Dan untuk pelaksanaannya, ada orang-orang kita yang akan mengerjakan semuanya di lapangan,” jelas Lila panjang lebar, hal yang sebenarnya sudah diketahui oleh Ratu. Ratu tercenung.

          “DivaNine milik kita berdua. Ingat! Separuh sahamnya adalah milikmu.”

          “Aku nggak bisa lagi meneruskan DivaNine, La. Kamu atur sajalah bagaimana baiknya. Aku benar-benar nggak bisa…” Ratu terisak.

          Lila menghela nafas. Sia-sia dia meyakinkan dan membujuk sahabatnya itu, sepertinya kepercayaan diri gadis cantik itu sudah musnah sekarang. Lila kehabisan akal. Tapi terus memaksa Ratu juga tak mungkin. 

          “Jujur aku juga merasa kehilangan, tapi dalam bentuk yang berbeda.”

          “Aku sudah kenyang dengan kalimat itu. Jangan kasihani aku,” sinis suara Ratu.

          “Maksud kamu,” Lila bingung.

          “Mereka-mereka seperti dirimu hanya bisa melantunkan kalimat penghiburan, namun lupa apakah kata-kata itu membuatku terhibur atau malah sebaliknya.”

          “Kamu jangan samakan aku dengan mereka. Aku tulus ingin membuatmu bangkit.”

         “Dengan menambah beban pikiranku?” sindir Ratu.

          “Ratu, maksud kamu…?”

          “Pulanglah, Lila. Aku ingin istirahat sekarang. Tinggalkan aku sendiri.”

          Lila akhirnya pulang dengan membawa sebongkah kekecewaan. Ia memang sudah menduga jika ini akan terjadi, Ratu bersikukuh menolak uluran tangannya untuk keluar dari gelimang gundahnya dengan cara mengelola perusahaan bersama mereka. Namun Lila tak menyangka jika sikap Ratu padanya berubah demikian drastis seperti ini. Sahabatnya itu bukan saja kehilangan kepercayaan dirinya, namun juga tak butuh orang untuk membantunya. 

          Kemana perginya Ratu yang ceria? Kemana lenyapnya sahabat yang optimis dan penuh canda tawa? Apakah kecelakaan yang melenyapkan satu kakinya membuat Ratu memelihara kecewa dan akhirnya melahirkan putus asa? Baiklah, untuk saat ini Lila mengalah. Namun ia tak mau menyerah. Tak akan pernah…

                                        ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status