Share

BAB 08 : Kehilangan Satu Kaki

          Kecelakaan mobil yang dialami Ratu sangat parah. Tak hanya luka yang dideritanya namun juga patah tulang di beberapa bagian di tubuh gadis malang itu. Kalau melihat kondisi body mobilnya yang ringsek, tak ada yang yakin kalau pengemudianya masih bisa bertahan hidup. Semuanya semata hanya karena mukjizat dari Tuhan yang membuat Ratu masih bisa menghirup udara dunia hingga hari ini, walau untuk itu ia mesti melaluinya dengan cara yang sangat sulit untuk dibayangkan. 

          Karena insiden itu Ratu koma selama dua hari di RSU Antonius Pontianak. Semua mengkhawatirkan keselamatan jiwanya, terlebih keluarga dan kedua orangtuanya. Saat pertama kali siuman, Ratu langsung histeris melihat kondisi dirinya dan beberapa kali pingsan kembali. Kedua orangtuanya semakin sedih melihat fisik dan psikis yang dialami oleh Ratu. 

          Seminggu di rumah sakit keadaan Ratu semakin memburuk. Beberapa luka di tubuhnya memang sudah terlihat mengering tapi luka dalam yang dideritanya tak semudah proses penyembuhan seperti luka di luar. Luka di tubuh mudah disembuhkan, tapi luka di bathin?

          Setelah tim medis dan dokter spesialis tulang melakukan pemeriksaan beberapa kali, termasuk melakukan rontgen tulang terhadap gadis itu, mereka memutuskan untuk mengamputasi kaki kiri Ratu, sebatas pergelangan kaki. Menurut Dokter Tedjo, dokter yang menangani pengobatan Ratu, pembuluh darah di sekitar tungkai kakinya hancur, mulai membusuk dan lekositnya sudah naik menjadi 19000.

          “Apaaa..?” Pak Dibyo, papa Ratu, tersentak!

          “Maaf, Pak. Kami terpaksa mengamputasi kaki putri Bapak. Kalau tak segera di operasi, infeksinya bisa menjalar ke bagian tubuh yang lain,” ujar Dokter Tedjo. 

          Kalau boleh memilih Dokter Tedjo juga nggak mau melakukan amputasi. Karena ia yakin, jika tubuh seseorang diamputasi, maka kepercayaan diri dan gairah hidup si pasien juga akan ikut hilang. Namun ia dan tim medis tak punya pilihan selain mengamputasi kaki Ratu. Kenyataan ini sungguh pahit, bathin Pak Dibyo. Isterinya hanya bisa sesenggukan disamping Pak Dibyo, wanita paruh baya itu tak kuasa menahan tangis mendengar hal itu.

          “Separah itukah? Apa tidak ada cara lain, Dok?” erang Bu Dibyo.

          Dokter Tedjo menggeleng. “Sayang sekali, Bu…”

          Pak Dibyo dan isterinya kembali terdiam, bermain dengan alam pikiran mereka.

          “Bagaimana Pak Dibyo? Kami perlu persetujuan Bapak secepatnya agar operasi bisa segera dilaksanakan,” tukas Dokter Tedjo. Lembut namun tegas.

          Pak Dibyo hanya mengangguk, ia tak punya pilihan lain. Ini semua demi kesembuhan Ratu, walau dengan itu harus ada yang dikorbankan. Sepatah katapun tak sanggup ia ucapkan sekarang. Tenggorokannya mendadak kering. Kemudian pria paruh baya itu menandatangani surat persetujuan operasi untuk Ratu. Tangannya bergetar saat membubuhkan tanda tangannya diatas kertas putih itu. Hatinya pilu mengenang Ratu akan menjalani hari-harinya dengan satu kaki. Belum lagi perasaan tak percaya diri yang sudah pasti menghampiri. Ya, Tuhan, beri kami kekuatan untuk menjalani cobaanMu ini. 

          Setelah itu dia lantas minta ijin pada Dokter Tedjo untuk menemui Ratu di kamar pasien, beliau ingin bicara dan memberikan semangat pada putri sulungnya itu sebelum operasi amputasi dilaksanakan. Mereka memang tak punya pilihan lain selain pasrah dan mengikuti prosedur medis untuk kesembuhan Ratu. Pak Dibyo beserta keluarga akhirnya menyerahkan semuanya pada dokter beserta tim medisnya. Kalau memang itu jalan yang terbaik untuk Ratu, mereka hanya bisa pasrah sambil berdoa pada Tuhan, berharap operasi bisa berjalan dengan lancar.

                                        *

          Harapan mereka semua terkabul. Operasi amputasi kaki Ratu berjalan sesuai apa yang diharapkan. Semua mengucap syukur walau masih menyisakan pedih dalam hati, menyisakan tanda-tanya yang mengiris hati jika diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana gadis itu menjalani hari-harinya setelah ini? Dia pasti mengalami trauma dan merasa tersisih. 

          “Mama jangan khawatir. Ratu akan baik-baik saja setelah ini,” hibur Pak Dibyo pada isterinya, walau hatinya sendiri juga perlu dihibur.

          “Mama nggak bisa bayangin bagaimana sedihnya Ratu, Pa. Anak itu pasti merasa minder dan akan mengasingkan diri dari pergaulannya,” erang Bu Dibyo, tak kuasa menahan kesedihan.

          “Itulah mengapa kita harus tegar, apalagi di depan Ratu. Bikin dia kuat menjalani semua ini. Keadaan memang bukan kita yang menentukan, tapi semuanya bisa kita siasati.”

          “Kalau boleh memilih, biarlah Mama yang menanggung semua ini. Jangan Ratu.”

          “Sssttt… Mama nggak boleh berkata seperti itu. Itu sama saja Mama menentang kehendak Tuhan yang telah digariskan.” 

          Pak Dibyo merangkul isterinya dengan perasaan yang sama hancurnya. Semua orang tahu beliau sangat menyayangi putri sulungnya tersebut. Namun di depan isterinya ia tak boleh menampakkan kesedihan yang berlebihan. Sebagai kepala keluarga ia harus tegar di depan semuanya, termasuk isterinya sendiri.

          Adik kembar Ratu, Raka dan Riko sampai ijin dari sekolah hanya untuk menemani kakak mereka menjalani operasi. Walau tak sepenuhnya mengerti, setidaknya keduanya ingin melewati masa-masa yang sulit ini bersama keluarga kecil mereka. Setelah semuanya berkumpul, bersama-sama mereka kemudian masuk kedalam kamar pasca operasi yang dijalani oleh Ratu. 

          Saat semuanya berkumpul dalam satu ruangan, hanya ada keheningan yang tercipta, hanya isak tangis kesedihan sekaligus perasaan bahagia yang bercampur aduk dalam hati mereka. Sedih, karena Ratu tak lagi memiliki sepasang kaki yang utuh. Bahagia, setidaknya Ratu masih bisa selamat dari kecelakaan tragis yang nyaris merenggut nyawanya. Untunglah Ratu bisa tenang setelah mengetahui keadaan sebelah kakinya yang kini buntung. Tak ada reaksi berlebihan yang di khawatirkan semua orang. 

          Bu Dibyo hanya bisa memeluk anak gadisnya tanpa sanggup mengeluarkan kata-kata untuk menghibur Ratu, pelukan erat seorang ibu yang takut kehilangan anak kesayangannya. Pak Dibyo sendiri hanya bisa mengelus pundak keduanya, seakan memberikan kekuatan atas musibah yang sedang menimpa keluarga mereka. Tak ada yang tahu kalau Pak Dibyo mati-matian menahan airmatanya yang mau tumpah. 

          “Kita patut bersyukur dan mengambil hikmahnya saja dari peristiwa ini,” lirih Pak Dibyo dengan suara serak, membuat Bu Dibyo semakin terisak dengan tubuh yang bergetar.

          “Papa yakin Ratu anak yang kuat. Papa akan lakukan apa saja demi kesembuhan Ratu.”

          Ratu hanya mengangguk pelan. Kedua matanya menatap wajah papanya, namun tak ada cahaya di sana.

                                         *

          Setelah itu, Ratu kemudian menjalani perawatan intensif. Gadis malang itu harus di infus dengan antibiotic cair dan juga minum obat-obatan kimia. 

          “Dalam kondisi seperti ini, Ratu membutuhkan antibiotic dan penanganan medis secara intensive,” saran Dokter Tedjo pada Pak Dibyo. 

          “Baik, Dok. Akan saya perhatikan. Terima kasih atas pertolongan Dokter beserta tim medis yang ada disini,” ucap Pak Dibyo tulus. Matanya berkaca-kaca.

          “Memang sudah tugas kami, Pak Dibyo,” angguk Dokter Tedjo.

                                        *

          Dan setelah menjalani rawat inap selama sebulan, Ratu pun di izinkan pulang. Namun, ia harus tetap kontrol pada Dokter Tedjo setiap dua hari sekali untuk memantau kondisi luka amputasinya. Dokter Tedjo sendiri tidak memberikan obat khusus untuk diminum Ratu, kecuali vitamin untuk tulang dan cairan metronidazole untuk obat kompresnya. Dan hasilnya luar biasa! Tiga bulan kemudian, luka amputasi Ratu pun kemudian sembuh.

                                        ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status