Kecelakaan mobil yang dialami Ratu sangat parah. Tak hanya luka yang dideritanya namun juga patah tulang di beberapa bagian di tubuh gadis malang itu. Kalau melihat kondisi body mobilnya yang ringsek, tak ada yang yakin kalau pengemudianya masih bisa bertahan hidup. Semuanya semata hanya karena mukjizat dari Tuhan yang membuat Ratu masih bisa menghirup udara dunia hingga hari ini, walau untuk itu ia mesti melaluinya dengan cara yang sangat sulit untuk dibayangkan.
Karena insiden itu Ratu koma selama dua hari di RSU Antonius Pontianak. Semua mengkhawatirkan keselamatan jiwanya, terlebih keluarga dan kedua orangtuanya. Saat pertama kali siuman, Ratu langsung histeris melihat kondisi dirinya dan beberapa kali pingsan kembali. Kedua orangtuanya semakin sedih melihat fisik dan psikis yang dialami oleh Ratu. Seminggu di rumah sakit keadaan Ratu semakin memburuk. Beberapa luka di tubuhnya memang sudah terlihat mengering tapi luka dalam yang dideritanya tak semudah proses penyembuhan seperti luka di luar. Luka di tubuh mudah disembuhkan, tapi luka di bathin? Setelah tim medis dan dokter spesialis tulang melakukan pemeriksaan beberapa kali, termasuk melakukan rontgen tulang terhadap gadis itu, mereka memutuskan untuk mengamputasi kaki kiri Ratu, sebatas pergelangan kaki. Menurut Dokter Tedjo, dokter yang menangani pengobatan Ratu, pembuluh darah di sekitar tungkai kakinya hancur, mulai membusuk dan lekositnya sudah naik menjadi 19000. “Apaaa..?” Pak Dibyo, papa Ratu, tersentak! “Maaf, Pak. Kami terpaksa mengamputasi kaki putri Bapak. Kalau tak segera di operasi, infeksinya bisa menjalar ke bagian tubuh yang lain,” ujar Dokter Tedjo. Kalau boleh memilih Dokter Tedjo juga nggak mau melakukan amputasi. Karena ia yakin, jika tubuh seseorang diamputasi, maka kepercayaan diri dan gairah hidup si pasien juga akan ikut hilang. Namun ia dan tim medis tak punya pilihan selain mengamputasi kaki Ratu. Kenyataan ini sungguh pahit, bathin Pak Dibyo. Isterinya hanya bisa sesenggukan disamping Pak Dibyo, wanita paruh baya itu tak kuasa menahan tangis mendengar hal itu. “Separah itukah? Apa tidak ada cara lain, Dok?” erang Bu Dibyo. Dokter Tedjo menggeleng. “Sayang sekali, Bu…” Pak Dibyo dan isterinya kembali terdiam, bermain dengan alam pikiran mereka. “Bagaimana Pak Dibyo? Kami perlu persetujuan Bapak secepatnya agar operasi bisa segera dilaksanakan,” tukas Dokter Tedjo. Lembut namun tegas. Pak Dibyo hanya mengangguk, ia tak punya pilihan lain. Ini semua demi kesembuhan Ratu, walau dengan itu harus ada yang dikorbankan. Sepatah katapun tak sanggup ia ucapkan sekarang. Tenggorokannya mendadak kering. Kemudian pria paruh baya itu menandatangani surat persetujuan operasi untuk Ratu. Tangannya bergetar saat membubuhkan tanda tangannya diatas kertas putih itu. Hatinya pilu mengenang Ratu akan menjalani hari-harinya dengan satu kaki. Belum lagi perasaan tak percaya diri yang sudah pasti menghampiri. Ya, Tuhan, beri kami kekuatan untuk menjalani cobaanMu ini. Setelah itu dia lantas minta ijin pada Dokter Tedjo untuk menemui Ratu di kamar pasien, beliau ingin bicara dan memberikan semangat pada putri sulungnya itu sebelum operasi amputasi dilaksanakan. Mereka memang tak punya pilihan lain selain pasrah dan mengikuti prosedur medis untuk kesembuhan Ratu. Pak Dibyo beserta keluarga akhirnya menyerahkan semuanya pada dokter beserta tim medisnya. Kalau memang itu jalan yang terbaik untuk Ratu, mereka hanya bisa pasrah sambil berdoa pada Tuhan, berharap operasi bisa berjalan dengan lancar. * Harapan mereka semua terkabul. Operasi amputasi kaki Ratu berjalan sesuai apa yang diharapkan. Semua mengucap syukur walau masih menyisakan pedih dalam hati, menyisakan tanda-tanya yang mengiris hati jika diungkapkan dengan kata-kata. Bagaimana gadis itu menjalani hari-harinya setelah ini? Dia pasti mengalami trauma dan merasa tersisih. “Mama jangan khawatir. Ratu akan baik-baik saja setelah ini,” hibur Pak Dibyo pada isterinya, walau hatinya sendiri juga perlu dihibur. “Mama nggak bisa bayangin bagaimana sedihnya Ratu, Pa. Anak itu pasti merasa minder dan akan mengasingkan diri dari pergaulannya,” erang Bu Dibyo, tak kuasa menahan kesedihan. “Itulah mengapa kita harus tegar, apalagi di depan Ratu. Bikin dia kuat menjalani semua ini. Keadaan memang bukan kita yang menentukan, tapi semuanya bisa kita siasati.” “Kalau boleh memilih, biarlah Mama yang menanggung semua ini. Jangan Ratu.” “Sssttt… Mama nggak boleh berkata seperti itu. Itu sama saja Mama menentang kehendak Tuhan yang telah digariskan.” Pak Dibyo merangkul isterinya dengan perasaan yang sama hancurnya. Semua orang tahu beliau sangat menyayangi putri sulungnya tersebut. Namun di depan isterinya ia tak boleh menampakkan kesedihan yang berlebihan. Sebagai kepala keluarga ia harus tegar di depan semuanya, termasuk isterinya sendiri. Adik kembar Ratu, Raka dan Riko sampai ijin dari sekolah hanya untuk menemani kakak mereka menjalani operasi. Walau tak sepenuhnya mengerti, setidaknya keduanya ingin melewati masa-masa yang sulit ini bersama keluarga kecil mereka. Setelah semuanya berkumpul, bersama-sama mereka kemudian masuk kedalam kamar pasca operasi yang dijalani oleh Ratu. Saat semuanya berkumpul dalam satu ruangan, hanya ada keheningan yang tercipta, hanya isak tangis kesedihan sekaligus perasaan bahagia yang bercampur aduk dalam hati mereka. Sedih, karena Ratu tak lagi memiliki sepasang kaki yang utuh. Bahagia, setidaknya Ratu masih bisa selamat dari kecelakaan tragis yang nyaris merenggut nyawanya. Untunglah Ratu bisa tenang setelah mengetahui keadaan sebelah kakinya yang kini buntung. Tak ada reaksi berlebihan yang di khawatirkan semua orang. Bu Dibyo hanya bisa memeluk anak gadisnya tanpa sanggup mengeluarkan kata-kata untuk menghibur Ratu, pelukan erat seorang ibu yang takut kehilangan anak kesayangannya. Pak Dibyo sendiri hanya bisa mengelus pundak keduanya, seakan memberikan kekuatan atas musibah yang sedang menimpa keluarga mereka. Tak ada yang tahu kalau Pak Dibyo mati-matian menahan airmatanya yang mau tumpah. “Kita patut bersyukur dan mengambil hikmahnya saja dari peristiwa ini,” lirih Pak Dibyo dengan suara serak, membuat Bu Dibyo semakin terisak dengan tubuh yang bergetar. “Papa yakin Ratu anak yang kuat. Papa akan lakukan apa saja demi kesembuhan Ratu.” Ratu hanya mengangguk pelan. Kedua matanya menatap wajah papanya, namun tak ada cahaya di sana. * Setelah itu, Ratu kemudian menjalani perawatan intensif. Gadis malang itu harus di infus dengan antibiotic cair dan juga minum obat-obatan kimia. “Dalam kondisi seperti ini, Ratu membutuhkan antibiotic dan penanganan medis secara intensive,” saran Dokter Tedjo pada Pak Dibyo. “Baik, Dok. Akan saya perhatikan. Terima kasih atas pertolongan Dokter beserta tim medis yang ada disini,” ucap Pak Dibyo tulus. Matanya berkaca-kaca. “Memang sudah tugas kami, Pak Dibyo,” angguk Dokter Tedjo. * Dan setelah menjalani rawat inap selama sebulan, Ratu pun di izinkan pulang. Namun, ia harus tetap kontrol pada Dokter Tedjo setiap dua hari sekali untuk memantau kondisi luka amputasinya. Dokter Tedjo sendiri tidak memberikan obat khusus untuk diminum Ratu, kecuali vitamin untuk tulang dan cairan metronidazole untuk obat kompresnya. Dan hasilnya luar biasa! Tiga bulan kemudian, luka amputasi Ratu pun kemudian sembuh. ***Irsyad sendiri sebenarnya bukan tanpa tujuan mengajak Ratu dinner malam ini. Ada sesuatu yang penting yang akan ia sampaikan pada Ratu menyangkut masa depan mereka berdua yang arahnya belum menemukan tujuan. Awalnya Irsyad ragu bagaimana caranya untuk memulai dan mengungkapkan hal tersebut pada Ratu. Namun karena keinginan lebih besar dari keraguan, Irsyad pun memberanikan diri mengajak Ratu kencan dan sudah mempersiapkan segalanya mala mini, termasuk mental. “Ratu. Ada yang mau aku sampaikan sama kamu malam ini.” Wajah Irsyad tampak sedikit tegang. Ia coba mengatasi kegugupannya dengan menampilkan sebuah senyuman..“Mau ngomong apa, Bang?” tanya Ratu. Ia sedikit bingung. Tak seperti biasanya Irsyad meminta ijin sebelum ngomong. Ada apa?“Aku pikir, sudah saatnya kita memikirkan kelanjutan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.” Akhirnya kalimat itu mengalir lancar dari bibir Irsyad.“Ma
Kadang sesuatu yang datang dan memberikan kenyamanan tak pernah benar-benar kita rasakan. Kadang sesuatu yang menghilang dan memberikan kenangan malah dapat menimbulkan kerinduan yang dalam. Yang tampak belum tentu dapat dirasa. Yang tak tampak selalu bisa dirasa walau hanya dalam bayangan. Begitulah cinta, siapapun tak kan sanggup mengukur kadarnya. Cinta hanya dapat dirasa, entah itu berasa manis atau berupa pahit belaka. Namun satu yang pasti, cinta tak pernah benar-benar pergi walau sekeras apapun hati ingin membenci. Malam ini Andi Irsyad mengajak Ratu dinner di sebuah kafe yang letaknya di tepi sungai yang bernuansa romantis. Dekor dan motif temboknya bercorak ‘awan berarak’ dengan kombinsi warna kuning dan hijau yang serasi. Lampu-lampu hias yang menempel di setiap lekuk bangunan membuatnya tampak begitu indah. Ditambah lagi dengan alunan musik dari streo set audio yang mengalun lembut, membuat pengunjung menjadi terhanyut dalam suasana yang tercipta.
“Kalau melihat dari data yang kamu tulis, semua pendapatan habis untuk biaya operasional dan mengganti alat-alat radio. Tapi disini tidak kamu rincikan apa maksud dari biaya operasional tersebut. Bukankah radio kita nggak pernah mengadakan acara off air? Saya juga perlu estimasi barang-barang apa saja yang telah dibeli dengan memakai uang iklan,” pinta Pak Imam. Sepertinya ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi Jodi.“Iya, Pak Imam. Saya…”“Datanya ada kamu bawa sekarang?” potong Pak Imam.“Be-belum saya buat, Pak. Tapi nanti akan saya segerakan.”Pak Imam menghela nafas kesal. “Vera tolong kamu simpan dulu data-data ini. Nanti diketik yang rapi, ya. Lalu fax ke alamat email kantor pusat,” perintah Pak Imam pada sekretarisnya. “Tapi sebaiknya jangan dikirim dulu, karena akan ada data tambahan dari Jodi nantinya.”“Baik, Pak,” jawab Vera sigap. Wanita tiga p
“Bagaimana Saeful, Salmah, Hartati? Apa kalian pernah mendengar ada selentingan pendengar yang menyudutkan acara yang dibawakan Reksa?” tanya Pak Imam pada ketiga penyiarnya. Beliau sepertinya harus menerapkan teori semua arah, dimana kebenaran atau keburukan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang tak hanya mendengar satu pihak. Salamah menggeleng. “Setahu saya, Reksa banyak fans-nya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu. Namun dibalik ketersipuan itu, kentara sekali jika Salmah bangga dengan pencapaian yang diraih Reksa.Hartati yang duduk di samping Salma ikut-ikutan tersenyum mengiyakan perkataan rekan sesama penyiarnya. Akan halnya Salmah yang pemalu, Tati juga terlalu sungkan dan canggung untuk berbicara pada atasannya. Ia hanya membuka suara apabila ditanya. Selebihnya hanya diam dan menyimak dengan khusyuk seperti yang lainnya.“Kalau kamu Tati? Bagaimana pendapatmu tentang Reksa? Maksud saya tentang
“Pak Imam datang? Mau mengadakan rapat?” protes Jodi saat Reksa meneleponnya.“Iya, Bang. Saya hanya menyampaikan,” sahut Reksa.“Selalu saja seperti itu. Setiap datang kesini seperti pencuri. Diam-diam dan membuat orang kaget,” gerutu Jodi lagi dengan bahasa yang membuat Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya.“Saya tidak tahu juga sih, Bang. Terus terang saya juga kaget. Karena baru pertama kali ini bertemu beliau. Apalagi mendengar akan diadakan rapat dadakan.”“Nah, kamu sendiri tahu.”“Tapi kan kita bisa apa? Sebagai penyiar, sebaiknya kita ikuti saja apa yang diinginkan oleh pimpinan. Toh, beliau tak menyuruh kita kerja bakti membersihkan got, kan?” Reksa mencoba menetralisir dengan selorohan.Namun alih-alih merasa lucu, Jodi malah menyerang Reksa dengan berang. “Eh, Reksa! Kamu itu anak baru. Kamu nggak usah ceramah dan mengajari aku. ““Buka
“Well, my time is up, guys. Sekarang waktunya saya untuk pamit undur dari ruang dengar kalian semua. Terima kasih atas atensinya Gantara Listeners. Keep stay tune disini, di gelombang 817 Gantara AM, karena setelah ini bakal banyak acara keren yang akan menemani kalian hingga ke pukul 24 teng nanti. Tetap jaga semangat kamu hari ini bersama Gantara AM. Reksada Dirga sign out. Adios!”Setelah menutup acaranya, Reksa kemudian keluar dari ruang siar menuju ruang tengah. Ternyata ada Salmah di sana, salah satu penyiar perempuan di Gantara AM ini.“Sudah selesai, Ga?” sapa Salmah saat melihat kemunculan Reksa.“Iya, Sal. Setelah ini kamu, kan?” sahut Reksa, ramah.Salmah hanya mengangguk dan kemudian menuduk.Basa-basi diantara mereka sepertinya memang masih telihat kaku dan canggung. Walau sudah kenal selama beberapa bulan, dan bertemu walau hanya sekilas, di saat jam pergantian siar seperti saat ini, namun g