“Well, my time is up, guys. Sekarang waktunya saya untuk pamit undur dari ruang dengar kalian semua. Terima kasih atas atensinya Gantara Listeners. Keep stay tune disini, di gelombang 817 Gantara AM, karena setelah ini bakal banyak acara keren yang akan menemani kalian hingga ke pukul 24 teng nanti. Tetap jaga semangat kamu hari ini bersama Gantara AM. Reksada Dirga sign out. Adios!”
Setelah menutup acaranya, Reksa kemudian keluar dari ruang siar menuju ruang tengah. Ternyata ada Salmah di sana, salah satu penyiar perempuan di Gantara AM ini.“Sudah selesai, Ga?” sapa Salmah saat melihat kemunculan Reksa. “Iya, Sal. Setelah ini kamu, kan?” sahut Reksa, ramah.Salmah hanya mengangguk dan kemudian menuduk. Basa-basi diantara mereka sepertinya memang masih telihat kaku dan canggung. Walau sudah kenal selama beberapa bulan, dan bertemu walau hanya sekilas, di saat jam pergantian siar seperti saat ini, namun g“Pak Imam datang? Mau mengadakan rapat?” protes Jodi saat Reksa meneleponnya.“Iya, Bang. Saya hanya menyampaikan,” sahut Reksa.“Selalu saja seperti itu. Setiap datang kesini seperti pencuri. Diam-diam dan membuat orang kaget,” gerutu Jodi lagi dengan bahasa yang membuat Reksa menggeleng-gelengkan kepalanya.“Saya tidak tahu juga sih, Bang. Terus terang saya juga kaget. Karena baru pertama kali ini bertemu beliau. Apalagi mendengar akan diadakan rapat dadakan.”“Nah, kamu sendiri tahu.”“Tapi kan kita bisa apa? Sebagai penyiar, sebaiknya kita ikuti saja apa yang diinginkan oleh pimpinan. Toh, beliau tak menyuruh kita kerja bakti membersihkan got, kan?” Reksa mencoba menetralisir dengan selorohan.Namun alih-alih merasa lucu, Jodi malah menyerang Reksa dengan berang. “Eh, Reksa! Kamu itu anak baru. Kamu nggak usah ceramah dan mengajari aku. ““Buka
“Bagaimana Saeful, Salmah, Hartati? Apa kalian pernah mendengar ada selentingan pendengar yang menyudutkan acara yang dibawakan Reksa?” tanya Pak Imam pada ketiga penyiarnya. Beliau sepertinya harus menerapkan teori semua arah, dimana kebenaran atau keburukan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang tak hanya mendengar satu pihak. Salamah menggeleng. “Setahu saya, Reksa banyak fans-nya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu. Namun dibalik ketersipuan itu, kentara sekali jika Salmah bangga dengan pencapaian yang diraih Reksa.Hartati yang duduk di samping Salma ikut-ikutan tersenyum mengiyakan perkataan rekan sesama penyiarnya. Akan halnya Salmah yang pemalu, Tati juga terlalu sungkan dan canggung untuk berbicara pada atasannya. Ia hanya membuka suara apabila ditanya. Selebihnya hanya diam dan menyimak dengan khusyuk seperti yang lainnya.“Kalau kamu Tati? Bagaimana pendapatmu tentang Reksa? Maksud saya tentang
“Kalau melihat dari data yang kamu tulis, semua pendapatan habis untuk biaya operasional dan mengganti alat-alat radio. Tapi disini tidak kamu rincikan apa maksud dari biaya operasional tersebut. Bukankah radio kita nggak pernah mengadakan acara off air? Saya juga perlu estimasi barang-barang apa saja yang telah dibeli dengan memakai uang iklan,” pinta Pak Imam. Sepertinya ia harus lebih berhati-hati dalam menghadapi Jodi.“Iya, Pak Imam. Saya…”“Datanya ada kamu bawa sekarang?” potong Pak Imam.“Be-belum saya buat, Pak. Tapi nanti akan saya segerakan.”Pak Imam menghela nafas kesal. “Vera tolong kamu simpan dulu data-data ini. Nanti diketik yang rapi, ya. Lalu fax ke alamat email kantor pusat,” perintah Pak Imam pada sekretarisnya. “Tapi sebaiknya jangan dikirim dulu, karena akan ada data tambahan dari Jodi nantinya.”“Baik, Pak,” jawab Vera sigap. Wanita tiga p
Kadang sesuatu yang datang dan memberikan kenyamanan tak pernah benar-benar kita rasakan. Kadang sesuatu yang menghilang dan memberikan kenangan malah dapat menimbulkan kerinduan yang dalam. Yang tampak belum tentu dapat dirasa. Yang tak tampak selalu bisa dirasa walau hanya dalam bayangan. Begitulah cinta, siapapun tak kan sanggup mengukur kadarnya. Cinta hanya dapat dirasa, entah itu berasa manis atau berupa pahit belaka. Namun satu yang pasti, cinta tak pernah benar-benar pergi walau sekeras apapun hati ingin membenci. Malam ini Andi Irsyad mengajak Ratu dinner di sebuah kafe yang letaknya di tepi sungai yang bernuansa romantis. Dekor dan motif temboknya bercorak ‘awan berarak’ dengan kombinsi warna kuning dan hijau yang serasi. Lampu-lampu hias yang menempel di setiap lekuk bangunan membuatnya tampak begitu indah. Ditambah lagi dengan alunan musik dari streo set audio yang mengalun lembut, membuat pengunjung menjadi terhanyut dalam suasana yang tercipta.
Irsyad sendiri sebenarnya bukan tanpa tujuan mengajak Ratu dinner malam ini. Ada sesuatu yang penting yang akan ia sampaikan pada Ratu menyangkut masa depan mereka berdua yang arahnya belum menemukan tujuan. Awalnya Irsyad ragu bagaimana caranya untuk memulai dan mengungkapkan hal tersebut pada Ratu. Namun karena keinginan lebih besar dari keraguan, Irsyad pun memberanikan diri mengajak Ratu kencan dan sudah mempersiapkan segalanya mala mini, termasuk mental. “Ratu. Ada yang mau aku sampaikan sama kamu malam ini.” Wajah Irsyad tampak sedikit tegang. Ia coba mengatasi kegugupannya dengan menampilkan sebuah senyuman..“Mau ngomong apa, Bang?” tanya Ratu. Ia sedikit bingung. Tak seperti biasanya Irsyad meminta ijin sebelum ngomong. Ada apa?“Aku pikir, sudah saatnya kita memikirkan kelanjutan hubungan ini ke jenjang yang lebih serius.” Akhirnya kalimat itu mengalir lancar dari bibir Irsyad.“Ma
Mata Reksa terbelalak! Tempat apa ini? Apa ini yang dinamakan studio radio? Sepi banget! Di dalamnya hanya ada beberapa orang yang Reksa sendiri belum tahu siapa dan apa jabatan mereka di radio ini. Penyiar atau OB? Karena penampilannya seperti tak ada beda. Reksa langsung menggaruk kepalanya yang mendadak gatal. Rokok yang terselip di bibir, asapnya juga langsung terasa hambar. Tadi Reksa diantar Barudin, kesini. Tempatnya jauh dari jalan raya dengan kondisi jalanan yang penuh lubang. Sekarang Barudin telah melesat ke warung sebelah, beli rokok alasannya, meninggalkan Reksa sendiri disini, celingak-celinguk seperti Tarzan yang baru saja dibuang ke kota. Reksa kemudian masuk ke dalam. Belum semenit berada disana nafas Reksa sudah terasa sesak, apalagi kalau mesti berlama-lama. Kalau dilihat-lihat, kok tampilannya
Semua gara-gara Papa. Kalau saja orangtua itu tak terlibat kasus korupsi dan sekarang meringkuk di tahanan, mungkin Reksa tak akan pernah menginjakkan kakinya di kota kecil ini, Mempawah. Di saat karirnya sebagai penyiar di salah satu radio swasta terkenal di Pontianak melejit, Papa malah mematikan karirnya dengan cara yang sangat memalukan. Reksa benar-benar kecewa. Semua aset yang mereka miliki disita Negara. Rumah beserta isinya dan kendaraan, semua masuk ke dalam daftar hitam oleh pihak berwajib. Bahkan tabungan dan deposito Papa sekarang sedang diusut dan bakal bernasib sama pula. Keluarga mereka dalam sekejap jadi berantakan. Persis seperti anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Kecewa dan malu kini memenuhi hari-hari mereka. Mama dan adik perempuannya, Rifka, untuk sementara waktu numpang di rumah tante Eli di Singkawang. Untung M
Di sekolahnya Rifka mendapat perlakuan yang sama. Tak hanya teman-temannya, bahkan guru yang dianggap pengayom yang bijaksana bisa berbuat sebelah mata, dengan beranggapan kesalahan ayahnya adalah tanggung jawab Rifka juga. Gadis enam belas tahun itu bingung. Dia merasa di dakwa atas kesalahan yang tak pernah diperbuatnya. Sering Reksa melihat Rifka pulang dari sekolah dengan wajah yang kusut dan mata yang merah. Walau tak pernah bertanya tapi Reksa tahu apa yang sedang dialami adik semata wayangnya itu. Rifka juga jadi gadis yang pendiam dan sering melamun. Kalau boleh memilih, Reksa mau menanggung aib papanya sendiri saja tanpa melibatkan mama dan adiknya. Puncak dari kejadian itu saat Reksa di panggil Pak Anto, Manajer Radio Galaxy FM, tempat di mana dia bekerja selama tiga tahun terakhir. &ldq