Share

BAB 10 : Bangun Dari Keterpurukan

          Begitulah sekarang keadaan Ratu. Pasca operasi amputasi kakinya, kondisi psikis gadis itu kian memburuk. Kehilangan sebelah kaki seakan melenyapkan seluruh harapan hidupnya. Jika boleh memilih, ia ingin mati saja daripada hidup dengan fisik yang tak lagi sempurna. Semua mencemaskannya. Semua sedih melihat kondisinya. Kedua orangtua dan juga adik kembarnya tak henti-hentinya menyemangati, namun sepertinya sia-sia. Harapan dan asa tak lagi milik Ratu. Semua telah padam seiring satu kakinya yang terbuang.

          “Kak… Kakak harus semangat lagi. Jangan buat kita ikutan sedih melihat Kakak seperti ini,” pujuk Raka dengan harapan yang tak pernah padam.

          Namun Ratu, diatas kursi rodanya, hanya tersenyum sumbang.

          “Kami tahu apa yang Kakak rasakan. Ini memang sulit untuk Kakak. Tapi, jika Kakak bersikap seperti ini terus, itu sama saja Kakak membuat semua orang juga jadi bersedih,” sambung Riko tak kalah menyemangati.

          Ratu menggeleng. Raut wajahnya datar. Ia lantas memandang kedua adiknya secara bergantian. Namun tatapan itu begitu kosong, seperti tak ada cahaya kehidupan yang terpancar dari kedua bola matanya yang dulu tampak cantik dan indah. 

          “Terima kasih untuk perhatian yang kalian berikan. Tapi apapun itu, kalian tak kan pernah bisa mengerti apa yang Kakak rasakan. Kehilangan kaki sama saja kehilangan seluruh hidup. Tak ada guna dan hanya menambah beban saja. Yang Kakak inginkan sekarang hanyallah sendiri. Kakak ingin sendiri bukan berarti Kakak tak pandai berterima kasih. Kakak mohon kalian mengerti dan berhenti menghibur karena itu sama sekali tak berarti.” 

          Dingin suara Ratu, namun kedua adiknya cukup menegrti. Akhirnya Raka dan Riko menyerah. Tak ada gunanya memberi semangati kepada orang yang tak ingin bangkit dari keterpurukannya sendiri. Sia-sia seribu kalimat indah. Sia-sia sejuta perlakuan manja jika akhirnya terbuang kedalam tong sampah. Ratu ingin sendiri. Ia sepertinya mencoba berdamai dengan perasaannya sendiri. Ingin mencari arah kemana asa akan berlabuh dan menemukan jalannya. Ketulusan Raka dan Riko tak berarti apa-apa selain membuat luka Ratu kian menganga dan berdarah. 

          Pak Dibyo sangat khawatir melihat keadaan putrinya. Tak ada yang bisa diperbuatnya untuk mengembalikan kebahagiaan Ratu seperti sedia kala. Padahal beliau sangat rindu mendengar tawa dan canda Ratu seperti dulu. Pak Dibyo selalu berusaha mencari cara bagaimana mengembalikan keceriaan putri sulungnya itu, walaupun ia sendiri tak tahu darimana jalannya sekaligus tak yakin. 

          “Kita harus mencari cara agar Ratu bisa kembali seperti dulu, Ma?”

          “Tapi bagaimana caranya, Pa?”

Pak Dibyo terdiam. Sepertinya ia sedang berpikir keras mencari solusi terbaik bagi putrinya. Pikiran Bu Dibyo sendiri sudah lama lumpuh. Yang ada dibenaknya hanya menyesali keadaan psikis Ratu yang tak beranjak pulih. 

          “Papa tahu kita semua bingung, Ma. Namun jangan sampai kebingungan itu membuat kita lupa bagaimana caranya mengembalikan psikis Ratu seperti dulu lagi.”

          “Mama sudah tak bisa berpikir lagi, Pa. Yang ada dibenak Mama hanyalah memikirkan perasaan Ratu yang terpuruk dan terus-terusan mengurung diri.”

          “Papa akan terus mencari caranya, Ma.”

          Dimana ada kemauan disitu ada jalan. Akhirnya setelah dianjurkan beberapa kolega dan kerabat dekat, Pak Dibyo lantas menghubungi Dokter Erika, dokter khusus spesialis rehabilitasi medice untuk diundang ke rumah. Untung akhirnya Ratu mau menemui dokter tersebut. Tentunya setelah diberi pengertian sama Papa dan Mamanya, kalau semua ini semata demi kesembuhannya.

          “Ratu mengalami fenomena fantom,” ujar Dokter Erika setelah memeriksa keadaan Ratu. Mereka membahas hal tersebut hanya bertiga di ruang keluarga.

          “Fenomena fantom?” Pak Dibyo dan isterinya tampak heran. Mereka saling berpandangan. Belum pernah mereka mendengar istilah itu selama ini.

          “Fenomena fantom merupakan musuh utama para pasien pasca amputasi, dimana persepsi sensasi berkelanjutan dari bagian tubuh pasien yang telah diamputasi masih terasa ada, sesekali,” jelas Dokter Erika. 

Bu Dibyo menangis mengenang nasib anaknya.

          “Disaat-saat tertentu Ratu masih merasakan bagian kakinya yang hilang. Menurutnya tadi, saat bangun tidur, dia sering merasa kakinya masih utuh. Dan ketika dia coba berjalan, dia pun jatuh ke lantai dan tersadar bahwa semua itu hanya perasaannya,” urai Dokter Erika lagi.

          “Jadi apa yang harus kami lakukan pada Ratu, Dok?”

          “Sebaiknya Ratu segera menggunakan prostesis atau kaki tiruan untuk mempercepat proses adaptasinya. Karena kalau saya lihat, puntungnya sudah siap menerima prostesis. Lagipula, tekanan prostesis akan memperkecil rangsangan nyeri sehingga pengiriman sinyal fantom ke otak jadi terhambat,” jelas Dokter Erika panjang lebar.

          Pak dan Bu Dibyo sontak  mengangguk. Sinar harapan terbit di wajah keduanya. Tanpa menunggu dan berlama-lama lagi, sesuai rekomendasi Dokter Erika, esoknya Pak Dibyo langsung menghubungi tim medis terkait untuk melakukan proses pengukuran kaki Ratu.     Selanjutnya tim produksi akan segera membuatkan kaki palsu untuk Ratu. Pak Dibyo lega. Setidaknya ia berharap setelah ini Ratu akan kembali memperoleh kebahagiaannya yang dulu. Ratu juga dianjurkan masuk kelas konsultasi khusus yang ditangani langsung Dokter Erika. Awalnya gadis itu menolak. Ia sempat marah-marah karena dianggap sudah tak mampu berbuat apa-apa. Tapi atas bujukan keluarga, akhirnya Ratu mau juga melaksanakannnya.

          Di stadium pasca prostesis, Ratu diajarkan cara memakai dan merawat prostesis. Kemudian diterapkan dengan caranya berjalan, duduk, atau jongkok dengan menggunakan prostesis. Ratu juga diberi terapi lanjutan berupa edukasi. Setiap hari Dokter Erika meninjau perkembangan Ratu. Isi terapinya macam-macam, ada fisioterapi, kelas psikologis, kelas menulis, terapi bicara, latihan bersama keluarga, latihan individual, serta kelas umum seperti senam dan seminar. Di rumah keluarga Dibyo, Dokter Erika juga mendatangkan pekerja sosial yang bertugas mengecek fasilitas dan memberi pengarahan pada Ratu. Dokter Erika tak pernah menyerah untuk membuat Ratu bisa mandiri. Dokter yang benar-benar luar biasa.

          “Kamu memang cacat seumur hidup, Ratu. Namun bukan berarti hidupmu berhenti sampai disini. Jadi setidaknya dengan ini kamu tidak tergantung pada orang lain,” nasihat Dokter Erika. 

          “Terima kasih, Dok. Apapun kondisi fisik yang saya miliki, saya mulai mengerti dan mulai bisa berkompromi dengan diri sendiri,” ujar Ratu dengan perasaan haru.

          “Kamu harus bangkit Ratu. Jangan biarkan keadaan meracuni hidupmu.”

           Menurut Dokter Erika, para keluarga memang harus berempati pada Ratu, tapi ia tetap harus diajarkan mandiri. Untuk itu jugalah Ratu di rehabilitasi. Setidaknya dengan begitu ia bisa mengurus diri sendiri, seperti makan, minum, memakai prostesis dan melakukan aktivitas sehari-hari lainnya. Memang melatihnya tidak sebentar, butuh kesabaran dan ketekunan. 

          “Terima kasih Dokter,” ucap Pak Dibyo saat menjenguk Ratu di kelas rehabilitasi. Beliau senang melihat perkembangan Ratu yang mulai mau bersosialisasi kembali.

           “Sudah kewajiban saya, Pak,” sahut dokter Erika tersenyum.

           ‘Mudah-mudahan setelah ini Ratu lebih percaya diri dan juga mandiri.”

           Dokter Erika mengangguk. 

          “Di Barat orang-orangnya sangat liberal dan individualis, Pak Dibyo. Tapi keuntungannya mereka jadi lebih mandiri, termasuk juga orang-orang yang sudah diamputasi. Sementara di lingkungan kita sistem kekerabatannya masih tinggi. Jadi, orang-orang cacat terbiasa selalu dilayani oleh keluarganya. Jadi, setidaknya tirulah dampak positif dari cara pandang mereka.”

                                  ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status