Dengan cepat Jihan menarik tubuhnya kembali, setelah melihat pemandangan yang tak mengenakkan itu.
Dia terengah ketakutan, wajahnya mulai pucat dan bola matanya terpaku tak bergeming sedikitpun.
"Aku nggak salah lihat kan? Tadi bapak jalan kaki? Ah, mungkin aku mimpi kali," tepisnya di dalam hati.
Jihan pun menyandarkan punggungnya di dasar tembok. Perlahan tubuh yang lelah itu melorot hingga dasar lantai. Sambil menekan-nekan dadanya, Jihan pun berusaha untuk menormalkan diri.
Tak ingin keberadaannya diketahui oleh bapak Sugiono, akhirnya dia lari tunggang langgang hingga sampai ke beranda depan rumah. Denyut jantungnya terpompa sangat kencang, seakan dia sudah melihat setan.
"Tapi aku yakin, tadi itu bapak yang jalan!" Tegasnya pada diri sendiri, memantapkan hati bahwa dirinya itu tidak salah. Dia masih memiliki penglihatan sempurna. Bahkan dalam keadaannya yang sadar, Jihan melihat bapak mertuanya itu berjalan meninggalkan jauh rodanya.
"Ada yang tidak beres di sini. Sebenarnya bapak, menyembunyikan rahasia apa sih? Ach, kacau!" amuknya dalam hati saat Jihan sulit untuk berpikir jernih.
Selang beberapa menit kemudian, pria beruban itu tiba-tiba datang menghentakkan keterkejutan Jihan yang ada di beranda depan rumah.
"Jihan!" Panggil bapak Sugiono dengan suara yang bulat.
Deg.
Jihan tersentak kaget, perlahan dia menoleh dan melihat seluruh pemandangan tubuh pak Sugiono yang terdampar di atas kursi roda.
'hemh? Dia duduk lagi di kursi roda.' Batinnya sambil menelan saliva kasar.
Pria misterius itu sudah menaiki kursi roda kembali, memencet tombolnya agar kursi roda tersebut berjalan sendiri tanpa harus tangannya yang bermain.
"Eh, bapak," sahut Jihan.
Terpancar wajah kecurigaan dari panorama sorot mata Pak Sugiono. Jihan menunduk kikuk melihat lantai yang kosong.
"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Pak Sugiono datar.
"Baru saja, pak." Jihan menahan nafasnya agar tidak terlihat canggung di hadapan pak Sugiono.
Seketika wajah kecurigaan itu hilang dan bergantikan dengan senyuman tawar. " Baguslah kamu datang. Kamu tega sekali ninggalin bapak di sini sendirian, Jihan!" Ketahuan sekali dari wajah pak Sugiono sedang mulai berakting.
Jihan hanya diam tak menjawab. Rasa malas bercampur aduk dengan mode tegang karena kejadian tadi. Batinnya masih syok melihat kebenaran bahwa sebenarnya mertuanya itu tidak lumpuh.
"Daripada kamu diam saja, tolong buatkan nasi uduk, ya Jihan!" Pinta pak Sugiono dengan santai. Tak ada wajah ketakutan sedikitpun dari sosok Pak Sugiono.
Jihan yang malas melakukan perintah pria beruban itu, tetap diam tak bergeming.
"Tunggu apa lagi?" Pak Sugiono mulai menekan ucapannya. "Oh ya jangan lupa buat nasi uduknya tiga piring ya!" Lanjut minta pak Sugiono, seperti sedang memesan makanan di sebuah warteg saja.
Rasanya percuma untuk melontarkan pertanyaan lain kepada pak Sugiono. Jihan manut saja karena dia sudah menebak, jika dia bertanya untuk siapa nasi itu pasti jawaban yang sama yang akan ia dapat.
Jihan pun mulai nggak pergi menuju dapur. Selang perjalanan ketika ia melewati kamar mertuanya, Jihan melirik masuk ke dalam kamar dengan ekor matanya.
Rasa was-was mulai menghantuinya, saat ia melihat barang kenyal yang ia temukan tadi sudah tak nampak di dasar ranjang.
'hemh, nggak ada? Itu berarti?' hati jihan terus bergumam sendiri, bertanya dan menjawabnya sendiri pula.
Barang kenyal, alat untuk bermain khusus pria dewasa itu memang sudah disimpan oleh orang yang punya. Tak lain dia adalah pak Sugiono sendiri.
Tak ingin pikirannya penat, akhirnya Jihan membuang jauh pikiran kotornya. Dia memulai pekerjaannya dengan menyiapkan beberapa bahan masakan sesuai dengan pesanan pak Sugiono.
Bagi Jihan memasak tiga piring nasi uduk tidaklah gampang. Dia harus bercutat dengan beberapa bahan yang tak biasa ia gunakan
Saat Jihan mulai mengiris beberapa bawang dan bahan lainnya, dia mencium sesuatu yang tidak beres.
Rasanya ada seseorang yang sedang menguntitnya. Dia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, dan memanglah benar. Ternyata pak Sugiono sudah duduk santai di belakang punggungnya.
Jihan berpura-pura untuk tidak tahu atas keberadaan pria itu. Tapi pak Sugiono tetap menghampiri Jihan, dan mendekatinya.
Rasa terancam mulai mencekam di hati Jihan. Dia tetap fokus untuk tetap memasak.
"Jihan!"
Jihan menahan diri agar tidak menoleh, hanya dengan cara itu Jihan bisa mempertahankan fokusnya.
"Jihan!" Panggil pak Sugiono lagi, seperti dengan sengaja mendekati Jihan.
Jihan membalikan tubuhnya agar tetap menyuguhkan punggung saja pada mertuanya itu. Iya tak mampu untuk melihat wajah pria paruh baya itu, karena setiap kali dia melihat pak Sugiono, rasanya tangannya tertantang untuk meremas wajah pria itu. Tapi sayang itu tak mungkin.
Seperti tengah menggoda, pria itu tak tinggal diam terus mengganggu.
"Han...! kamu sama Azlin, kalau berhubung4n tiap malam, nggak?" Jihan diam, menarik napas dalam. Lalu, dia tanya lagi, "Kalian pakai g4y4 apa aja, Han?"
Nafas Jihan berhembus panas, merasa kesal dengan pertanyaan konyol yang dilontarkan oleh pak Sugiono. Dia meremas pisau dengan tegang, jika ia kuasa ingin sekali dia menancapkan pisau itu tepat tidak ada pria nakal itu, namun sebuah bisikan dari telinga kanannya mulai menyadarkan Jihan untuk tetap menahan diri.
Karena kesal, Jihan akhirnya menggebrak telenan dengan pisau itu di hadapan pak Sugiono dan membentak bapak mertua. "Bapak ini kenapa pikirannya kotor melulu, sih!" tekan Jihan menggelegar, membuat Sugiono terkejut.
Tibalah di penghujung malam setelah hari yang melelahkan. Seluruh isi rumah sudah senyap karena pengisinya tengah tidur di kamar masing-masing. Hanya tertinggal suara-suara hampa dari hewan kecil yang biasa hidup di malam hari.
Jihan terbangun karena tenggorokannya terasa kesat dan kering.
Jihan mengeritingkan keningnya mencari gelas berisi air putih yang biasa ia sajikan di kamar. Sadar kalau Jihan lupa membawa gelas cangkir berisi air putih itu, tadi.
"Haduh, terpaksa harus ke dapur deh," bisik Jihan sambil menatap wajah sang suami yang telah tertidur pulas karena lelah.
Perlahan Jihan menuruni ranjangnya tak ingin sampai membangunkan Azlin.
Memakai sandal rumahan, Jihan keluar kamar dengan mengendap-ngendap.
Setelah kembali dengan secangkir air putih di tangan, rasa penasaran Jihan mulai tergugah, melihat pintu besar yang bertengger di kamar misterius itu.
"Emangnya di kamar itu ada apaan sih?" Pikiran aneh mulai bercabang di otaknya. Jihan sangat penasaran dengan tiga piring nasi yang selalu dibawa oleh mertuanya ke kamar itu, sedangkan Jihan tak pernah mendapati suara apapun di dalamnya.
Jihan datang menghampiri pintu besar itu.
Dengan menguatkan hatinya, pelan-pelan Jihan bergerak turun.
Jihan bersujud dan memiringkan kepalanya ke arah lubang pintu di bawah. Penasaran dengan isi kamar itu. Lalu, akan Jihan menemukan jawaban?
Jihan mengeratkan pandangannya jauh menerawang ke dalam kamar itu. Lalu ia membuka tutup kelopak matanya seakan ingin memperjelas penglihatannya."Ck, sh. Gelap sekali sih?" rutuknya kesal.Sayang sekali lobang pintu terlalu rapat, sehingga Jihan tidak bisa menengok isi di dalam kamar tersebut.Ck. Ck. Ck.Jihan melakukan cara lain untuk meneliti isi kamar misterius itu. Berulang kali Jihan memainkan knock pintu. Pintu yang terkunci, membuat usaha Jihan berujung nihil.Karena tak ingin dirinya didapati oleh salah satu penghuni rumah, akhirnya Jihan lari porat-parit untuk kembali ke kamar.Dengan hati yang masih tegang, Jihan pun melunturkan rasa hausnya. Wanita berhijab instan itu, menenggak air minum hingga tandas dalam satu tenggakkan.Detik kemudian, tangan sang suami terhampar tiba-tiba di depan pangkuannya. Jihan yang masih terlarut dengan suasana tegang sontak terkejut. Azlin yang tadi tidur pulas pun kini terbangun karena gerakan Jihan yang tiba-tiba mengejutkannya."Hei, Kam
Sugiono tersenyum nakal. Menarik napas dan menyandarkan kepala di pangkal kursi roda. Seperti orang yang baru saja melepas lega. Pria yang berkepala pelontos itu menekan tombol pada kursi roda tanpa membalas ucapan Jihan. Jihan menggeleng kepalanya dengan cepat. Tak sampai pikir dengan kelakuan mertuanya itu."Dasar orang aneh," pekik Jihan menekuk tangannya, mengepis angin dengan kepalan tangannya. Jihan hanya bisa melakukan gerakan itu saat mertuanya sudah tak nampak lagi.Jihan melenguk pasrah, dengan nasibnya yang seolah-olah menjadi tumbal di rumah itu. Ia pun hanya bisa mengelus dada pengganti tameng untuk menguatkan dirinya sendiri.Tepat di jam13. 00 berdentumnya waktu ketepatan jam dinding, menggema di ruang tengah. Jihan mengusap wajahnya, setelah ia salat Dzuhur dan meluncurkan doanya kepada sang khalik. Doa Jihan terjeda ketika ia mendengar bunyi bel berdenting 3 kali. Bahkan saat Jihan masih mengenakan mukena, rumah pun kedatangan tamu. Ting, tong. Ting. Tong. "Siap
Kehidupan Jihan semakin hari semakin membingungkan seiring berjalannya waktu. Tidak hanya Pak Sugiono yang terkesan aneh, tetapi juga teman-teman barunya yang terlihat aneh menurut Jihan.“Cantik bener menantumu, Sugiono. Udah gitu seksi dan semok juga. Apalagi dadanya, membusung seperti pengen kusentuh,” kata salah satu teman Pak Sugiono.Mereka memang memuji kecantikan Jihan, namun secara tidak langsung, ucapan dalam bentuk pelecehan secara verbal pun terucap. Terdengar sangat tak senonoh.“Ya Tuhan, apa maksud orang itu bicara seperti itu tentangku? Kenapa mereka menganggap seolah aku ini adalah seorang perempuan murahan?” tanya Jihan yang merasa tidak nyaman dengan perkataan teman mertuanya yang menurutnya sangat berlebihan ini.Yang membuat Jihan merasa semakin bingung adalah pembicaraan tentang Pak Sugiono yang memiliki peliharaan yang telah beranak-pinak. “Aku merasa takut, tapi juga merasa semakin penasaran. Ya Tuhan, tolong beri aku petunjuk, apa yang kulakukan?” Jihan bergu
Suasana di dalam kamar itu seketika tegang. Jihan tak terima dengan sikap suaminya yang tiba-tiba terasa aneh. Bahkan saat ini kotak hitam itu sudah berada di tangan Azlin. “Kenapa sih aku gak boleh buka kotak hitam itu, Mas? Apa sih isinya?" Jihan sedikit kesal dengan larangan suaminya yang tiba-tiba.“Perempuan gak perlu tahu kotak ini isinya apa. Ini urusan para pria. Sebaiknya sekarang kamu keluar dulu, aku mau ganti baju.” Azlin meletakkan kotak hitam itu di atas ranjang lalu mendekat ke arah Jihan dan mendorong wanita itu.Jihan menolak lalu berkata, "Ngapain sih aku harus keluar? Aku udah lihat semua yang ada di diri kamu, Mas. Gak usah malu lagi deh." Namun, pria itu memaksa bahkan kembali mendorong pelan istrinya, dan tetap mengusir wanita tersebut dari dalam kamar.“Bukan gitu, tapi dari pada kamu kepo sama urusan pria, mending kamu buatkan aku minuman gih.” Azlin tampak kembali mendorong istrinya.Jihan yang penasaran mendapatkan sebuah ide. Dia berkata, "Tunggu sebentar,
Perlahan-lahan Jihan membuka kedua matanya. Tadi dirinya pingsan sesaat melihat isi dari kotak hitam tersebut. Jihan memijat kepalanya yang masih pusing pasca pingsan.“Jadi, kotak hitam ini isinya buku nikah Mas Azlin dengan beberapa wanita. Ya Tuhan, ini sulit untuk dipercaya.” Jihan tampak menangis tersedu-sedu.Saat ini perasaan bingung dan marah menyelimuti dirinya. Saat tadi dirinya pingsan, untungnya pintu kamar sudah terkunci, sehingga tidak ada yang menyaksikan kejadian tersebut.Dengan tangannya gemetar, Jihan mengusap-usap pelipisnya yang terasa nyeri. Matanya kembali tertuju pada box hitam dan isinya yang kini berserakan di lantai.“Aku benar-benar bingung dengan semua ini. Aku masih merasa kalau semua ini adalah mimpi buruk dan aku harus segera bangun dari mimpi ini,” gumam Jihan di tengah isak tangisnya yang menyesakkan dada.Air mata terus menetes dari matanya. Jihan merasakan rasa sakit yang mendalam di hatinya. Perlahan Jihan bangkit lalu duduk. Dia mulai meraih bend
Pria tua yang baru saja hendak menciumi Jihan, tak disangka adalah Sugiono, bapak mertuanya sendiri. Kejadian yang terjadi dengan cepat itu membuat Jihan terkejut setengah mati. Jihan bangkit dari sofa. Dengan hati-hati mengecek kondisi bapak mertua yang terkapar di lantai.“Bapak gak apa-apa?” tanya Jihan dengan suara gemetar.Sugiono, yang terluka dan terperosok di lantai, tidak memberikan jawaban apapun atas pertanyaan Jihan.“Huhuhu … sakit!”Sugiono tampak meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya bagian belakang yang terbentur meja. Darah mulai mengalir dari luka di belakang kepalanya.“Aduh, gimana ini?” tanya Jihan pada dirinya sendiri, dalam kepanikannya.Jihan tidak punya waktu untuk memikirkan lebih jauh. “Rumah sakit! Ya, sepertinya aku bawa saja bapak ke rumah sakit.”Dengan hati-hati, Jihan memapah bapak mertuanya, meski merasa tak ikhlas karena harus bersentuhan dengan pria itu setelah insiden aneh tadi. Dengan perlahan, dia membawa Sugiono ke kursi roda yang bias
Jihan merasa letih setelah berusaha susah payah membuka pintu kamar rahasia yang selama ini begitu misterius di matanya. Ia merasa penasaran dengan apa yang mungkin disembunyikan oleh bapak mertuanya di dalam sana. Pintu itu terlihat begitu tua dan terkunci dengan rapat, sehingga Jihan harus mencari berbagai alat di gudang untuk membukanya."Euh, susah sekali sih? Pokoknya, aku nggak bakalan nyerah. Aku harus buka sekarang juga, apa isi dalam kamar ini? Aku sudah nggak bisa sabar lagi." Jihan memukul-mukul knock pintu dengan perkakas berat milik Azlin.Setelah beberapa upaya, jari-jari Jihan mulai mengeluarkan darah karena blister yang terbentuk akibat tekanan yang kuat. Darah segar itu nampak berlinang melumuri perkakas yang ia pegang. Jihan tak pedulikan kesakitan ya dan terus berjuang.Tak hanya darah yang melumuri tubuhnya, Jihan pun dilumuri oleh beberapa genangan keringat di bagian punggung dan organ lainnya."Hah." Sekejap Jihan menarik nafasnya, ia menyeka keringat di punca
Jihan memejamkan kedua matanya. Tubuhnya masih bergetar.'Siapa perempuan itu? Siapa pula yang ia maksud dengan seseorang yang harus dikasihani itu?' tanyanya dalam hati yang semakin lama membuat dadanya semakin sesak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggerogoti pikirannya sejak dirinya memutuskan untuk menerima panggilan dari nomor misterius yang ditujukan ke ponsel suaminya, Azlin. ‘Apakah ada perempuan lain dalam hidup Mas Azlin?’ batin Jihan lagi.Jihan telah berusaha mencari jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan itu, tetapi ia merasa semuanya malah semakin rumit.Di tengah kebingungan dan kecurigaan yang semakin mendalam, terdengar pintu kamar mandi terbuka. Jihan melompat saking kagetnya. Dengan cepat, ia mematikan ponsel Azlin yang tengah ia periksa dan meletakkannya kembali ke tempat semula.“Loh, kamu kok bangun?” tanya Azlin yang kini sudah berada di dalam kamarnya.Wajah Jihan terlihat cemas, hatinya berdegup kencang. Perasaan cemas dan tidak nyaman kini terus me