Share

PART 8

Usai mengurus ayahnya, mas Alvin yang nampak lelah berpamitan padaku untuk membersihkan diri. Aku pun berjalan ke depan, menunggunya duduk di kursi teras. 

 

Lima belas menit kemudian dia sudah rapi dengan celana jeans dan kaos oblong warna hitamnya. Sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Calon suamiku ini memang tampan. Rasanya tidak mungkin lagi aku bisa mendapatkan lelaki yang lebih tampan darinya. Bapak saja selalu bilang kalau aku ini adalah anaknya yang paling beruntung, mendapatkan suami yang tampan dengan pekerjaan mapan seperti mas Alvin.

 

"Sudah, mas?" tanyaku. 

 

"Sudah. Nginep di sini aja ya, dek? Ini kan udah malem. Besok libur kan?" ucapnya sambil menunjuk arloji di tangannya. 

 

"Nggak ah mas. Nanti bapak sama ibu bingung aku nggak pulang. Lagipula aku juga nggak bawa baju ganti," kilahku. Padahal aku memang tak biasa menginap di rumah laki-laki. Kami juga belum resmi menjadi suami istri. Nggak pantas rasanya menginap di rumah mas Alvin. 

 

"Bajunya Dian banyak kok. Ukurannya sama kan pasti sama bajumu."

 

"Enggak, lain kali aja mas. Oya, bapak gimana keadaannya?"

 

"Bapak udah tidur kok, barusan kutengok habis mandi tadi."

 

"Ya udah kalau gitu aku pulang sekarang aja ya, mas? Nanti tolong pamitin sama bapak kalau bangun."

 

"Beneran mau pulang sekarang? Nginep aja lah, dek. Biar aku yang nelpon bapak sama ibu buat pamitin kamu."

 

"Enggak mas, aku pulang sekarang aja."

 

"Ya udah tunggu sebentar kalau gitu, aku pamit bapak dulu ya. Nanti dia kaget pas bangun aku nggak ada di rumah."

 

"Eh, nggak usah mas. Mas Alvin di rumah aja, nggak usah nganterin aku. Aku pulang naik taksi online aja." 

 

"Nggak enak lah dek sama bapak ibu, masa' kamu pulang sendiri nggak aku anter."

 

"Udah nggak apa-apa. Mereka santai kok mas."

 

Aku beranjak bangkit bersiap pulang saat mas Alvin memanggil.

 

"Na."

 

"Ya?" Aku kembali menoleh.

 

"Maaf ya, kamu harus melihat kejadian tadi di rumah ini," ucapnya dengan nada tak enak hati. 

 

"Nggak apa-apa kok, mas. Tapi kalau boleh tau, memangnya hal seperti itu sering banget kejadian ya? Maksudku, bapak sering di tinggal di rumah sendirian gitu?"

 

"Aku nggak tau juga, Na, soalnya aku kan kerja. Sering lembur juga akhir-akhir ini. Tapi memang udah beberapa kali aku pulang pas bapak sendirian di rumah."

 

"Memangnya mereka pada pergi kemana sih, Mas?" tanyaku sedikit heran.

 

Belum lagi sempat mas Alvin menjawab pertanyaanku, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di jalanan depan rumah, lalu sepasang ibu dan anak nampak turun dengan wajah ceria sambil menenteng beberapa paperbag belanjaan. Mereka adalah ibunya mas Alvin dan Dian. 

 

"Eh, Vin. Sudah pulang? Katanya lembur?" 

 

Ibu mas Alvin sedikit kaget karena ternyata ada kami di teras rumah. Mungkin dia tidak menyadari karena mobil mas Alvin tadi langsung dimasukkannya ke garasi. 

 

"Mbak Nana di sini juga?" sapa Dian.

 

"Iya, ini udah mau pulang kok, Di," jawabku.

 

"Kalian ini dari mana saja?" tanya mas Alvin dengan nada ketus. Jarang sekali aku lihat lelaki itu berbicara dengan nada seperti itu, apalagi denganku. 

 

"Emmm ini mas, tadi diajak ibu belanja," kata Dian sedikit gugup. 

 

"Habis belanja ya, Bu?" Pertanyaan yang memang ku sengaja. Kuharap dia segera mengingat sesuatu saat aku mengucapkan pertanyaan itu. 

 

Namun wanita itu nampak biasa-biasa saja. Tak nampak jika sedang merasa tersindir oleh ucapanku. 

 

"Ah enggak kok, Mbak. Ini si Dian kan besok mau ada acara di kampusnya. Jadi cuma beliin baju aja buat dia." 

 

"Oh," ucapku ber oh ria masih dengan senyum yang kubuat seramah mungkin. 

 

"Elman sama anak istrinya kemana?" tanya mas Alvin lagi masih dengan nada yang sama.

 

"Lho, Elman memangnya nggak ada di rumah?" Ibu sepertinya kaget. "Tadi waktu ibu sama Dian pergi mereka masih ada kok. Ya kan, Yan?" Dia pun menoleh meminta persetujuan anak gadisnya.

 

"Nggak ada seorang pun di rumah, Bu. Kalian pergi, mereka juga pergi. Bapak nggak ada yang ngurus. Tadi bahkan jatuh di kamarwaktu aku pulang."

 

"Hah? apa? Bapak jatuh? Yang bener, Vin? Trus gimana keadaan bapak sekarang?" Ibu terlihat mulai panik. Tapi entahlah, kenapa aku merasa kepanikannya hanya dibuat-buat saja. Atau mungkin aku yang terlalu su'udzon padanya?

 

Lalu wanita itu pun segera melangkah tergesa ke dalam rumah. Di ikuti anak gadisnya yang nampak keberatan dengan barang-barang belanjaan.

 

Melihat ibunya mas Alvin baru saja datang, aku  jadi mengurungkan niatku untuk pulang cepat. 

 

"Mas Alvin udah capek?" tanyaku.

 

"Nggak sih. Kenapa dek?"

 

"Nggak apa apa. Aku di sini dulu deh. Nggak enak, ibu baru datang, aku malah pulang," kataku beralasan. 

 

"Oh ya udah nggak apa-apa. Nginep sini sekalian aja ya?" tawarnya sekali lagi.

 

"Enggak ah, Mas. Nanti aku pulang kok."

 

Beberapa menit berikutnya kami masih berlanjut mengobrol di teras. Diam-diam aku mencari kesempatan untuk berdua saja dengan ibu yang sejak tadi tak nampak keluar lagi dari dalam rumah. 

 

Hingga kemudian saat tiba-tiba ponsel mas Alvin berdering dan lelaki itu mengatakan bahwa bossnya sedang menelpon, aku pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku beranjak dari kursi teras, berpamitan untuk ke kamar kecil.  

 

"Mau numpang ke belakang, bu," kataku saat melihat ibu beranak itu ternyata sedang asik menonton TV di ruang tengah sambil menikmati berbagai camilan.

 

"Oh iya mbak Nana. Silahkan, di sebelah sana," tunjuk ibu ke arah belakang. Nampaknya dia sedikit kaget karena aku masuk dengan tiba-tiba.

 

Keluar dari kamar mandi, gantian aku yang kaget melihat ibu sudah menungguku di depan pintu.

 

"Mbak Nana, maafin ibu ya. Ibu belum bisa balikin uang yang waktu itu. Arisan ibu dipakai dulu buat keperluan Dian bayar uang kuliahnya."

 

Meskipun sudah tak berharap bahwa uang yang dipinjam calon ibu mertuaku itu akan balik, hatiku tetap kecut juga mendengar itu. Apalagi setelah tadi melihat mereka pulang dengan barang-barang belanjaan sebanyak itu. Belum lagi, dilihat dari merk yang tertera di beberapa paperbag tadi, itu bukan barang-barang murah. 

 

"Nggak apa-apa, bu. Seadanya aja kapan-kapan juga boleh," kataku basa-basi. Meskipun dalam hati sudah tidak berharap lagi uang itu akan kembali. 

 

"Beneran nih mbak Nana nggak apa-apa?" tanya ibu dengan senyum sumringah.

 

"Iya bener, nggak apa-apa kok, bu," kataku dengan senyum kubuat sewajar mungkin.

 

"Mbak Nana ini memang calon menantu ibu yang paling baik. Kalau gitu, ibu minggu depan boleh minta tolong lagi kan, Mbak? Mau ambil jahitan seragam buat acara pernikahan nanti. Uangnya udah keburu habis buat bayar uang kuliah Dian. Jadi ibu takut nggak bisa ambil baju seragaman yang buat nikahan mbak Nana sama Alvin bulan depan."

 

Whattt? Lagi?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status