Share

PART 7

Seminggu setelah aku transfer uang ke ibunya mas Alvin, belum juga ada kabar tentang apakah akan dikembalikannya uang itu atau tidak. Tidak ada pesan atau telepon dari wanita 50 tahunan itu yang memberitahu soal uang yang dipinjamnya. 

 

"Gimana? Apa sudah ada kabar dari ibunya Alvin?" tanya ibu setengah berbisik malam itu usai kami membereskan peralatan makan malam kami. Aku menggeleng dan mengedikkan bahu. 

 

Ibu nampak terdiam, dahinya berkerut seolah sedang berpikir. 

 

"Masalah usul ibu waktu itu, sudah kamu bicarakan dengan Alvin kan?"

 

"Yang nyari rumah kontrakan?" tanyaku balik. 

 

"Iyaa."

 

"Sudah, bu. Kemarin sepulang kantor kami juga sudah melihat-lihat beberapa rumah kontrakan yang cocok."

 

"Berarti Alvin setuju kan kalian tinggal misah dari orangtuanya?" 

 

"Awalnya sih enggak. Tapi akunya maksa, ya akhirnya setuju deh."

 

"Ya sudah, bagus kalau gitu. Soal uang yang dipinjam ibu mertuamu itu, Na. Kalau nanti sampai benar-benar nggak dikembalikan, sudahlah biarkan. Iklhaskan, niatkan buat membantu saja. Barangkali memang dia lagi ada keperluan."

 

Aku hanya mengangguk malas menanggapi ucapan ibu.

 

Sebenarnya ini bukan masalah uang itu. Tapi, jika sampai ibunya mas Alvin tidak mengembalikan uang itu tanpa penjelasan, berarti memang ada yang tidak beres dengan wanita itu. Seperti apa yang dibilang Vita waktu itu. 

 

"Na, kamu dengar ibu kan?" Ibu membuyarkan lamunanku dengan lap yang dikibaskan di depan wajahku.

 

"Iya bu, dengar." 

 

"Sudah nggak usah dibahas lagi soal uang itu. Ikhlaskan, ya? Jangan juga ada keinginan kamu buat membatalkan pernikahan kalian. Jangan sampai hal ini didengar sama bapakmu. Nanti jantungnya bisa kambuh," ujar ibu. 

 

Ibu benar, bapak memang tidak bisa mendengar hal-hal buruk, apalagi menyangkut keluarga. Itu bisa membahayakan kesehatan bapak nantinya. Selain juga karena baoak itu orangnya gampang tersulut emosi.

 

Lalu aku pun menghembuskan nafas dalam. Dilema. 

 

Saat kemudian ibu menyuruhku kembali ke kamar untuk beristirahat, aku justru memilih menelpon mas Alvin. 

 

"Tumben telpon duluan, Dek? Kangen ya?" candanya. Aku memang jarang sekali menelponnya lebih dulu selama ini. 

 

"Yeee, enggak. Ngapain kangen?" kataku sewot. 

 

"Bilang kangen aja kok malu?" godanya. 

 

"Apaan sih mas, enggak kangen lagi. Mmm, besok mas Alvin pulang jam berapa?" tanyaku kemudian, sedikit ragu.

 

"Jam 4 kayak biasa. Kenapa, Dek?"

 

"Jemput aku ya? Aku pengen maen ke rumah."

 

"Ke rumah bapak, maksudnya?" tanyanya, seolah tidak percaya. 

 

"Iya."

 

Entah kenapa aku begitu penasaran dengan ibunya mas Alvin dan juga keluarganya, terutama Vita. Keinginanku ke sana bukan ingin menagih uang yang telah kupinjamkan pada calon mertuaku waktu itu, tapi aku benar-benar hanya ingin tahu apa yang akan dia katakan saat melihatku lagi. Karena ternyata dia sudah mengingkari janjinya untuk mengembalikan uang itu seminggu kemudian. Aku hanya ingin tahu, bukan menagih. 

 

"Oke siap, Tuan Puteri, besok hamba jemput," katanya tetap dengan berkelakar.

.

.

.

Hari berikutnya, karena belum juga ada omongan apapun dari ibunya mas Alvin, aku semakin penasaran dan membuatku tak sabar ingin segera bertemu dengan wanita itu. 

 

Hingga saat jam kerjaku berakhir, aku pun bergegas turun ke lantai bawah meninggalkan meja kerja editorku.

 

Mas Alvin ternyata telah menungguku di bawah bersandar di body mobil hitamnya. Hari ini aku memang sengaja tak membawa mobil ke kantor demi rencanaku ini. 

 

Tak sampai satu jam perjalanan, kami pun sampai di rumah besar calon bapak mertuaku. Tapi suasana di rumah itu membuatku sedikit keheranan

 

"Kok sepi, Mas? Pada kemana?" tanyaku saat kemudian mas Alvin menggandengku masuk ke rumahnya. 

 

"Nggak tau juga," jawabnya sambil mengedikkan bahu dan kemudian memanggil-manggil ibu dan adiknya. Tak ada sahutan, hingga kemudian kami berdua tersentak saat terdengar suara seperti gelas jatuh di lantai. 

 

PYARRR!!

 

"Bapak!" Mas Alvin terlihat panik saat mendengar suara itu. Dan dia pun segera berlari menuju ke salah satu kamar di rumah besarnya. 

 

Dengan langkah cepat aku mengikuti mas Alvin yang setengah berlari. Lalu mataku membelalak saat melihat di dalam kamar itu, ayah mas Alvin yang sedang berusaha bangkit berpegangan bagian tepi ranjang. Sementara itu, sebuah gelas pecah berantakan di lantai kamar. 

 

"Ibu kemana, Pak? Orang-orang pada kemana? Bapak sendirian di rumah?" Cecar mas Alvin dengan nada panik sambil membantu ayahnya berdiri dan mendudukkannya di tepi ranjang. 

 

"Semua pergi dari siang, nggak tau kemana," jawab ayah mas Alvin dengan suara sedikit gemetar. Sepertinya aku tak salah lihat saat melihat tangan mas Alvin mengepal mencengkeram sprei kasur ayahnya. Sepertinya dia sedang menahan semacam amarah atau kesal, entahlah. 

 

Tak ingin mas Alvin tau aku sedang memperhatikannya, bergegas aku ke belakang mencari kain pel dan tempat sampah untuk membersihkan pecahan kaca dan air di lantai kamar ayahnya mas Alvin. 

 

Sepanjang perjalanan ke belakang, aku terus berpikir. Bapak yang sedang sakit ditinggal sendirian di rumah? Kemana ibu? Dian? Elman, Vita dan anaknya? Kenapa tak ada seorang pun di rumah ini sedangkan keadaan ayah mas Alvin seperti itu? Dan lagi, kenapa tadi kulihat mas Alvin seperti sedang menahan amarah? Apakah hal ini sudah biasa terjadi di rumah ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status