[Melda, Alif sudah ditangkap polisi!]Deg!Aku yang tengah duduk di teras rumah bersama Rifky, sedikit terperanjat kala membaca sebuah pesan yang baru saja masuk dari Ayah mertuaku.Diriku sempat tertegun selama beberapa saat, sebelum akhirnya memijat pelipisan yang tiba-tiba berdenyut."Kalau Mas Alif ditangkap, apa Amel pun akan turut ditangkap juga? Ya, aku rasa begitu!" batinku sembari memandangi gawai yang masih menyala."Ada apa, Mbak?" tanya Rifky yang berhasil membuatku mendongak."Tidak apa-apa, hanya saja--""Alif sudah ditangkap polisi, 'kan?"Sontak, kedua bola mataku membulat sempurna kala mendengar penuturan Rifky."Lah, kok, kamu tahu?" tanyaku dengan b*d*nya."Bukannya aku yang mengurus kasus ini?"Rifky malah balik bertanya seraya me
Tok ... tok ...."Rifky, apa belum tidur?"Hening, itulah yang aku rasakan ketika memanggil nama Rifky seraya mengetuk pintunya selama beberapa kali.Cukup lama aku mematung di depan pintu kamar tamu, menimang-nimang apa aku akan membukanya dan masuk begitu saja atau justru sebaliknya.Namun, aku langsung memegang handle pintu seraya membasahi bibir selama beberapa kali. Tetapi, ketika aku hendak menariknya, tiba-tiba terdengar sebuah sahutan dari dalam."Aku belum tidur, ada apa, Mbak?"Gegas aku menjauhkan tangan dari handle pintu, kemudian mundur satu langkah, agar tak terlalu dekat dengan pintu."Ponselmu tertinggal, ini Mbak mau memberikannya padamu," tuturku dengan nada bicara yang cukup tinggi.Cklek!Pintu kamar tamu terbuka, menampilkan Rifky yang baru keluar dengan wajah kusutnya.
Makanan sudah tersedia di atas meja, mengepulkan asap dengan aroma yang terasa begitu menusuk indra penciuman.Aku, Rifky, Andin, Ayah dan Ibu mertua sudah duduk di samping meja makan, hendak menikmati makanan yang sudah aku buat dengan sepenuh hati."Ayo, makan!" ajakku pada semua orang."Wah, Ayah, sudah tak sabar, ingin menyantap makanan buatan, Melda!" sahut Ayah mertuaku dengan penuh semangat."Ibu, pun sama. Dulu Ibu sering sekali makan masakan Melda. Tetapi, sekarang rasanya cukup sulit."Mendengar penuturan Ibu mertua, aku hanya tersenyum tipis, kemudian menyodokkan secentong nasi ke atas piring.Sejujurnya, aku pun sudah sangat lapar, sehingga ingin segera menyantap makanan yang aku buat sendiri."Oh, iya, kapan kamu akan menjemput Panji, Rifky?"Aku sempat melirik Rifky sekilas, di mana dia sama sekali
Keesokan harinya, ketika aku tengah menyapu halaman rumah, tiba-tiba saja Panji datang, kemudian duduk di pinggir teras.Kebetulan hari ini Panji sedang libur sekolah, jadi dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Katanya, sih, karena dia belum punya teman di daerah sini, jadinya dia lebih nyaman berada di rumah.Aku yang tengah melakukan pekerjaan rumah, pura-pura mengabaikannya, mengingat kemarin sempat terjadi kesalahpahaman diantara kami berdua."Bu, kita jalan-jalan, yuk!" cicit Panji dengan sedikit ragu-ragu.Aku menghentikan gerakan tangan sejenak, kemudian mendongak, menatap Panji sekilas."Jalan ke mana?" tanyaku acuh tak acuh."Jalan-jalan di daerah sini saja, Bu. Soalnya Ibu jarang keluar dan sering menghabiskan waktu di rumah saja.""Sebentar lagi, ya. Ibu, merasa jika ini masih tanggung," ucapku sambil melanju
Keesokan paginya, aku berdiri tepat di depan cermin, memperhatikan tubuhku yang semakin hari semakin kurus. Aku baru sadar, bila tulang pipiku semakin menonjol, begitupun dengan tulang dada bagian atas yang terlihat begitu jelas. Padahal dulu aku begitu berisi, hingga orang-orang sering memuji, bila bentuk tubuhku begitu ideal.Tok ... tok ...."Bu, aku mau berangkat sekolah dulu!"Aku yang tengah termenung, seketika terperanjat, kemudian menoleh ke arah pintu yang masih tertutup rapat.Perlahan aku melangkah ke arah pintu, memutar kuncinya perlahan, kemudian menarik handle, hingga pintu terbuka lebar."Iya, Nak. Hati-hati di jalan, ya! Uang di meja makan sudah kamu ambil, 'kan?"Namun, Panji tak langsung menjawab pertanyaan, ekor matanya justru berputar dari atas ke bawah, seperti tengah memperhatikan penampilanku."Ibu ... mau ke mana?" tanya Panji pelan. Seakan-akan ragu untuk bertanya."Ibu, mau cari kerja!"Berbanding terbalik denganku yang justru menjawab pertanyaannya dengan p
Setelah mendapat pesan singkat dari Rifky, aku segera bergegas keluar dari ruang makan tersebut, menghampiri motorku yang terparkir tak jauh dari lokasi.Namun, saat aku hendak naik ke atas motor, tiba-tiba saja gawaiku kembali berdering.Gegas aku kembali merogoh gawai dari tas, menatap layarnya yang tengah menampilkan sebuah panggilan masuk."Ada apa, Rif?""Mbak, ada di mana?"Aku sedikit mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari nama daerah yang tak aku ketahui ini.Untungnya di baliho rumah makan ini, tertulis sebuah alamat beserta jalannya.”Mbak, sedang ada di jalan asri kencana. Di depan sebuah warung makan, memangnya ada apa?""Tidak apa-apa, Mbak. Kalau begitu cepatlah pulang, aku sudah menunggu di rumah.""Baiklah, kamu tunggu di sana. Tetapi, mungkin sedikit agak lama, mengingat Mbak akan mampir dulu ke pasar.""Iya, tak apa-apa, Mbak! Kalau begitu aku tutup teleponnya."Bip!Sambungan telepon antara aku dan Rifky benar-benar terputus. Gegas aku naik ke atas motor, kemu
"Rumahnya masih jauh?" tanyaku pada Rifky yang tengah mengendarai motor. Sengaja aku bertanya dengan setengah berteriak, agar Rifky dapat mendengarnya dengan jelas, mengingat jalanan siang ini cukup ramai. "Lumayan cukup jauh, memangnya kenapa, Mbak?" "Tidak apa-apa, Mbak hanya merasa asing dengan jalanan ini," balasku seraya memperhatikan sekitar. "Ya, tentu saja asing. Ini jalan tikus yang biasa aku lewati ketika hendak ke rumah temanku. Jalur ini masih cukup dekat, hanya saja cukup ramai dan sesekali macet," jelas Rifky padaku. Aku hanya bisa mengangguk pelan, tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari keadaan sekitar. "Mbak, aku ingin bertanya!" sahut Rifky tak kalah berteriak. "Tanyakan saja. Memangnya ada apa?" Rifky sempat terdiam sejenak, membuat keningku mengkerut sempurna. Sejujurnya hatiku begitu tak sabar, ingin segera mendengar pertanyaan yang akan dia ajukan. Namun, karena Rifky tak kunjung membuka suara, akhirnya aku pun bermaksud untuk mendesaknya. "Cepat kata
Sesampainya di halaman rumah duka, aku sedikit mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan keadaan yang cukup sepi, hanya terlihat pintu utama yang terbuka lebar saja.Mungkin karena para pelayat sudah pulang. Jadinya, sedikit minim aktivitas di rumah tersebut."Maaf, sedang mencari siapa?"Sontak, aku menoleh ke arah samping kiri, menatap seorang pria tua yang tengah berdiri mematung dengan garis bibir yang tampak lurus."Apa benar ini rumah duka keluarga, Rani?" tanyaku sedikit hati-hati, mengingat tak ada sambutan baik dari pria tua tersebut.Pria tua itu mengangguk pelan, lagi-lagi sudut bibirnya tetap lurus dengan mata yang terus menyorotiku dan Rifky dengan tajam."Benar, siapa kalian dan ada keperluan apa ke sini?""Ah, maaf kalau kedatangan kami cukup mendadak. Di sini saya ingin berkunjung sekaligus turut berduka cita atas kejadian yang telah Rani.""Terima kasih, mari masuk ke rumah atau kalian ingin berdiri si sana saja?"Sekilas kulihat bila sudut bibir pria itu sed