Ibu dan Rifky sudah pulang lebih awal ke rumah, mereka sengaja ingin menginap di rumahku. Sementara itu, aku dan Panji menginap di rumah mendiang Mas Alif, hendak mengaji selama tujuh malam berturut-turut.Kondisi Panji sendiri sudah lebih baik dari sebelumnya. Anakku yang awalnya lebih banyak terdiam itu, perlahan sudah mulai mengobrol bersama kakeknya.Aku yang tengah berada di dapur, sesekali memperhatikannya yang tengah mengobrol. Meskipun masih sedikit tersirat kesedihan di dalamnya, tetapi Panji nampaknya berusaha untuk tetap terlihat tegar."Mbak!" sapa Andin yang membuat aku langsung menoleh ke arahnya."Ya, ada apa, Andin?""Mbak, baik-baik saja, 'kan?" tanya Andin dengan mata sedikit menyipit."Aku baik-baik saja, Andin. Memangnya kenapa?"Andin menggeleng pelan, seulas senyuman tergambar di bibirnya yang sedikit pucat.
Hari demi hari semakin berlalu, tak terasa sudah satu bulan saja semenjak Mas Alif meninggal. Aku sudah bisa sepenuhnya ikhlas akan kepergiannya, begitupun dengan Panji.Anakku yang awalnya sampah murung tersebut, perlahan kembali ceria. Senyumnya sudah mulai kembali merekah, semangat yang ada di dalam dirinya pun tampak sudah kembali.Satu bulan pula, Ibu memilih untuk tinggal denganku. Tentu saja aku merasa senang, karena seperti mendapatkan teman mengobrol tiap kali hendak berangkat ataupun pulang kerja."Bu, aku berangkat dulu, ya!"Ibu yang tengah menikmati sarapan, lantas menoleh ke arahku, seulas senyuman tergambar di bibirnya."Iya, Melda. Hati-hati di jalan.""Iya, Bu."Setiap akan pergi kerja, aku tak lupa untuk bersalaman pada Ibu, meminta doa restu padanya."Kalau sudah sampai tempat kerja, kamu kaba
"Mas, boleh pinjam laptopnya sebentar, gak?" Mas Alif--suamiku yang tengah berkutat dengan gawai, hanya melirik ke arahku sekilas, kemudian mengangguk pelan.Aku sedikit memicingkan mata, tak percaya dengan apa yang aku lihat. Karena biasanya, Mas Alif akan sangat pelit, ketika menyangkut soal barang pribadinya.Ya, aku pun memakluminya. Karena aku pikir, Mas Alif ingin memiliki sebuah privasi, meskipun kami sudah menikah pun."Terima kasih banyak, Mas."Tanpa banyak berpikir, aku pun langsung meraih laptop yang ada di atas meja kerja Mas Alif dan membawanya keluar.Mungkin karena Mas Alif tahu, jika laptopku masih berada di tempat servis. Jadi, mungkin Mas Alif mengerti dan tak ragu meminjamnya padaku.***Sengaja aku membawa laptop Mas Alif ke kamar Panji--anak bujangku yang sudah berusia tujuh belas tahun.Karena Panji sedang sekolah, jadinya aku bisa menggunakan kamarnya sesekali saja. Lagipula Panji tak melarangku untuk masuk ke kamarnya atau menggunakannya untuk sementara saja.
Sore harinya, aku bergegas mengantar Amel pulang. Sengaja aku membawa berbagai cemilan dari rumah, karena aku yakin, Amel tak memilikinya.Bukan bermaksud menghina, hanya saja aku sering kali secara tak sengaja mendengar dari mulut kecilnya, tiap kali mengobrol dengan Panji. Semisal dia tak memiliki makanan ringan di rumahnya.Miris memang, hanya saja aku juga tak menyukai dengan hubungan anakku dan Amel. Karena memang usia mereka masih remaja dan aku takut terjadi hal yang tak diinginkan menimpa keduanya."Kok, malah diem aja, sih! Ayo, naik!"Aku yang sudah berada di dalam mobil, segera memanggil Amel yang masih mematung di teras.Pandangan mata Amel sedikit kosong. Malahan aku sudah bosan menunggu, karena dia tak kunjung selesai mengikat tali sepatu lusuh miliknya."I-iya, Tante."Gegas Amel bangkit dari posisi duduknya, kemudian berlari kecil ke arahku. Lagi-lagi Amel terdiam di samping mobilku, seperti orang yang tengah kebingungan."Ayo, masuk! Lagi nunggu apa lagi?""Iya, Tante
"I-Ibu!"Amel memekik, malahan dia sampai berlari ke arah pintu masuk, seperti hendak mencegah agar pintu tak terbuka.Akan tetapi, semuanya nihil. Sebab, pergerakan pintu lebih cepat, sehingga baru saja Amel sampai di ujung teras, pintu tersebut sudah terbuka, menampilkan seorang wanita berpakaian minim. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku. Di mana ada banyak sekali tato yang menghiasi tubuh wanita tersebut."Tidak salah lagi!" gumamku seraya melangkah masuk."Amel, siapa wanita itu?"Sebelum Amel menjawab, aku sudah lebih dulu menjulurkan tangan ke arah wanita tersebut."Saya Melda, Ibunya pacar Amel," jawabku penuh penekanan ditiap kalimat."Pacar Amel?"Wanita yang berada di hadapanku tak langsung membalas uluran tanganku, melainkan memicingkan mata sembari menatap Amel lekat."Ya, anak laki-laki yang selalu datang menjemput dan mengantarkan Amel kemari. Apa kamu tak tahu?""Ya, saya tahu!" balas wanita itu dengan ketus. Dia masih saja tak mau membalas uluran tanganku.
Keesokan paginya, aku bergegas menemui Panji yang tengah berada di kamarnya. Kebetulan sekarang hari libur, jadi anakku tak pergi ke sekolah dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah.Tok ... tok ...."Masuk!" sahut Panji dari dalam kamar.Gegas aku meraih handle pintu dan menariknya secara perlahan. Sebelum masuk, aku sempat menyembulkan kepala dari belakang pintu."Kamu tak sibuk 'kan, Nak?"Panji yang berbaring di atas ranjang dengan kacamata yang bertengger di hitungnya, tak luput dia pun memegang sebuah buku tebal."Tidak, Bu. Ada apa?""Boleh Ibu masuk?"Tanpa ragu Panji pun mengangguk, bersamaan dengan itu dia bangkit dari posisi berbaring."Tentu saja, Bu. Masuk saja!"Aku pun segera melangkah masuk ke kamar Panji, kemudian menutup pintunya perlahan.Kami berdua sama-sama duduk di pinggir ranjang, di mana buku yang sempat Panji baca tergeletak di pangkuannya."Ada apa, Bu?" sambung Panji tak berbasa-basi.Sebelum menjawab pertanyaan Panji, aku lebih dulu mengeluarkan gawai
Seperti hari-hari biasanya, Amel selalu datang ke rumahku tiap kali pulang sekolah. Tak ada hal lain yang dia lakukan, selain menumpang makan dan internet yang ada di rumahku.Katanya sih, di rumah Amel tak ada sambungan internet, sehingga dia lebih sering berada di rumahku."Mel, Tante boleh ngomong sesuatu, gak?" "Apa, Tante?"Amel yang tengah bermain ponsel, hanya menjawabku tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari benda pipih tersebut."Jangan sering-sering ke sini, ya. Tante, gak enak sama tetangga, mereka sering membicarakan kalian.""Biarin ajalah, Tante. Lagian Amel ke sini juga bukan buat maksiat, tapi mengerjakan tugas!""Kamu yakin, Amel?"Sontak, Amel mendongak, menyoroti kedua netraku lekat."Tentu saja, Tante. Memangnya Tante pernah melihat aku aneh-aneh sama Panji?""Tidak."Aku menghela napas panjang, lalu bergegas pergi dari hadapan Amel. Kadang aku merasa muak pada anak tersebut, karena tiap kali dinasehati selalu saja menjawab dengan seenaknya.Lagipula, jawa
Semakin banyak aku mendengar obrolan manis antara Mas Alif dan Amel. Hatiku hancur berkeping-keping, air mataku pun turut luruh membasahi pipi dengan derasnya.Tubuhku bersandar pada tembok, hingga saat aku hendak kehilangan keseimbangan, tiba-tiba saja sebuah tangan menangkap punggungku."Apa yang Ibu lakukan?"Sontak, aku membuka mata, kemudian mengerjap selama beberapa saat."Pa-Panji, apa yang kamu lakukan?" tanyaku tergagap-gagap, tak percaya dengan apa yang aku lihat."Aku yang bertanya pada Ibu. Sebenarnya apa yang Ibu lakukan?"Aku dan Panji malah saling melontarkan pertanyaan yang sama dengan nada pelan, malahan hampir persis seperti sebuah bisikan."Sudah, ayo cepat pergi dari sini!"Tanpa menunggu aku membuka suara, Panji sudah lebih dulu menarik tanganku, membawaku menuju dapur.Dengan cekatan, Panji menuangkan segelas air putih dan segera menyodorkannya padaku."Ibu, tidak haus, Nak!" ucapku seraya menggeleng, menolak segelas air putih yang Panji sodorkan."Diminum dulu,