Makanan sudah tersedia di atas meja, mengepulkan asap dengan aroma yang terasa begitu menusuk indra penciuman.
Aku, Rifky, Andin, Ayah dan Ibu mertua sudah duduk di samping meja makan, hendak menikmati makanan yang sudah aku buat dengan sepenuh hati.
"Ayo, makan!" ajakku pada semua orang.
"Wah, Ayah, sudah tak sabar, ingin menyantap makanan buatan, Melda!" sahut Ayah mertuaku dengan penuh semangat.
"Ibu, pun sama. Dulu Ibu sering sekali makan masakan Melda. Tetapi, sekarang rasanya cukup sulit."
Mendengar penuturan Ibu mertua, aku hanya tersenyum tipis, kemudian menyodokkan secentong nasi ke atas piring.
Sejujurnya, aku pun sudah sangat lapar, sehingga ingin segera menyantap makanan yang aku buat sendiri.
"Oh, iya, kapan kamu akan menjemput Panji, Rifky?"
Aku sempat melirik Rifky sekilas, di mana dia sama sekali
Keesokan harinya, ketika aku tengah menyapu halaman rumah, tiba-tiba saja Panji datang, kemudian duduk di pinggir teras.Kebetulan hari ini Panji sedang libur sekolah, jadi dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah saja. Katanya, sih, karena dia belum punya teman di daerah sini, jadinya dia lebih nyaman berada di rumah.Aku yang tengah melakukan pekerjaan rumah, pura-pura mengabaikannya, mengingat kemarin sempat terjadi kesalahpahaman diantara kami berdua."Bu, kita jalan-jalan, yuk!" cicit Panji dengan sedikit ragu-ragu.Aku menghentikan gerakan tangan sejenak, kemudian mendongak, menatap Panji sekilas."Jalan ke mana?" tanyaku acuh tak acuh."Jalan-jalan di daerah sini saja, Bu. Soalnya Ibu jarang keluar dan sering menghabiskan waktu di rumah saja.""Sebentar lagi, ya. Ibu, merasa jika ini masih tanggung," ucapku sambil melanju
Keesokan paginya, aku berdiri tepat di depan cermin, memperhatikan tubuhku yang semakin hari semakin kurus. Aku baru sadar, bila tulang pipiku semakin menonjol, begitupun dengan tulang dada bagian atas yang terlihat begitu jelas. Padahal dulu aku begitu berisi, hingga orang-orang sering memuji, bila bentuk tubuhku begitu ideal.Tok ... tok ...."Bu, aku mau berangkat sekolah dulu!"Aku yang tengah termenung, seketika terperanjat, kemudian menoleh ke arah pintu yang masih tertutup rapat.Perlahan aku melangkah ke arah pintu, memutar kuncinya perlahan, kemudian menarik handle, hingga pintu terbuka lebar."Iya, Nak. Hati-hati di jalan, ya! Uang di meja makan sudah kamu ambil, 'kan?"Namun, Panji tak langsung menjawab pertanyaan, ekor matanya justru berputar dari atas ke bawah, seperti tengah memperhatikan penampilanku."Ibu ... mau ke mana?" tanya Panji pelan. Seakan-akan ragu untuk bertanya."Ibu, mau cari kerja!"Berbanding terbalik denganku yang justru menjawab pertanyaannya dengan p
Setelah mendapat pesan singkat dari Rifky, aku segera bergegas keluar dari ruang makan tersebut, menghampiri motorku yang terparkir tak jauh dari lokasi.Namun, saat aku hendak naik ke atas motor, tiba-tiba saja gawaiku kembali berdering.Gegas aku kembali merogoh gawai dari tas, menatap layarnya yang tengah menampilkan sebuah panggilan masuk."Ada apa, Rif?""Mbak, ada di mana?"Aku sedikit mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari nama daerah yang tak aku ketahui ini.Untungnya di baliho rumah makan ini, tertulis sebuah alamat beserta jalannya.”Mbak, sedang ada di jalan asri kencana. Di depan sebuah warung makan, memangnya ada apa?""Tidak apa-apa, Mbak. Kalau begitu cepatlah pulang, aku sudah menunggu di rumah.""Baiklah, kamu tunggu di sana. Tetapi, mungkin sedikit agak lama, mengingat Mbak akan mampir dulu ke pasar.""Iya, tak apa-apa, Mbak! Kalau begitu aku tutup teleponnya."Bip!Sambungan telepon antara aku dan Rifky benar-benar terputus. Gegas aku naik ke atas motor, kemu
"Rumahnya masih jauh?" tanyaku pada Rifky yang tengah mengendarai motor. Sengaja aku bertanya dengan setengah berteriak, agar Rifky dapat mendengarnya dengan jelas, mengingat jalanan siang ini cukup ramai. "Lumayan cukup jauh, memangnya kenapa, Mbak?" "Tidak apa-apa, Mbak hanya merasa asing dengan jalanan ini," balasku seraya memperhatikan sekitar. "Ya, tentu saja asing. Ini jalan tikus yang biasa aku lewati ketika hendak ke rumah temanku. Jalur ini masih cukup dekat, hanya saja cukup ramai dan sesekali macet," jelas Rifky padaku. Aku hanya bisa mengangguk pelan, tanpa sekalipun melepaskan pandangan dari keadaan sekitar. "Mbak, aku ingin bertanya!" sahut Rifky tak kalah berteriak. "Tanyakan saja. Memangnya ada apa?" Rifky sempat terdiam sejenak, membuat keningku mengkerut sempurna. Sejujurnya hatiku begitu tak sabar, ingin segera mendengar pertanyaan yang akan dia ajukan. Namun, karena Rifky tak kunjung membuka suara, akhirnya aku pun bermaksud untuk mendesaknya. "Cepat kata
Sesampainya di halaman rumah duka, aku sedikit mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan keadaan yang cukup sepi, hanya terlihat pintu utama yang terbuka lebar saja.Mungkin karena para pelayat sudah pulang. Jadinya, sedikit minim aktivitas di rumah tersebut."Maaf, sedang mencari siapa?"Sontak, aku menoleh ke arah samping kiri, menatap seorang pria tua yang tengah berdiri mematung dengan garis bibir yang tampak lurus."Apa benar ini rumah duka keluarga, Rani?" tanyaku sedikit hati-hati, mengingat tak ada sambutan baik dari pria tua tersebut.Pria tua itu mengangguk pelan, lagi-lagi sudut bibirnya tetap lurus dengan mata yang terus menyorotiku dan Rifky dengan tajam."Benar, siapa kalian dan ada keperluan apa ke sini?""Ah, maaf kalau kedatangan kami cukup mendadak. Di sini saya ingin berkunjung sekaligus turut berduka cita atas kejadian yang telah Rani.""Terima kasih, mari masuk ke rumah atau kalian ingin berdiri si sana saja?"Sekilas kulihat bila sudut bibir pria itu sed
"Maafkan Amel, Kek," lirih Amel seraya menunduk dalam. Tak lama kemudian, dia kembali duduk di tempat semula.Pak Joko tak menanggapi ucapan Amel, dia justru menatap sengit arah gadis yang tengah mengigit bibir bawahnya kuat-kuat tersebut.Namun, Pak Joko justru menoleh ke arahku dan Rifky, ketika dia kembali duduk."Maaf, atas keributan yang telah terjadi. Sebenarnya saya pun tak ingin bila hal ini sampai terjadi, hanya saja anak ini benar-benar kurang ajar!" tutur Pak Joko seraya sesekali melirik ke arah Amel yang masih menunduk."Tidak apa-apa, Pak. Saya memakluminya!" sahutku yang berhasil membuat Amel langsung mendongak.Akan tetapi, tak lama kemudian Amel kembali menunduk, kala dia sadar bila Pak Joko kembali menatapnya tajam."Ngomong-ngomong apa boleh saya menanyakan suatu hal?" tanya Rifky beberapa saat kemudian. Ini kali pertamanya membuka mulut, setelah sekian lama terdiam."Tentu! Tanyakan saja, tak usah ragu-ragu," balas Pak Joko seraya tersenyum. Sangat berbeda sekali de
"Saya mengenalmu, tetapi mungkin kamu yang tak mengenal saya," sahut wanita yang berdiri di hadapanku itu. Pandangan matanya sama sekali tak pernah lepas menyorotiku lekat."Memang benar, jika saya tak mengenalmu. Tetapi, ada apa? Dari sorot matamu, sepertinya kamu hendak menyampaikan sesuatu!" balasku tanpa berbasa-basi. Sejujurnya aku tak suka pada orang yang terlalu banyak berbicara. Bila ada apa-apa, bukannya lebih baik di katakan secara langsung, bukannya malah terbelit-belit dahulu. "Kamu orang yang ada di balik ini semua, 'kan?" tanya wanita tersebut dengan penuh tekanan.Aku yang tak paham dengan maksud ucapannya, hanya mampu memicingkan mata."Apa maksudmu?"Bukannya langsung menjawab, wanita berkerudung itu justru mendelik, memperlihatkan kebenciannya padaku."Kamu yang membunuh Rani!" hardiknya dengan suara nyaring, membuat aku dan Rifky langsung membulatkan mata secara bersamaan.Sontak, pria yang berdiri di samping wanita itu membulatkan mata, bibirnya tampak bergetar h
Malam harinya, Rifky berniat untuk menginap di rumahku. Katanya dia takut, kalau sewaktu-waktu para manusia tak waras itu datang.Sebenarnya aku sendiri cukup khawatir, bila orang-orang yang tadi aku temui akan datang ke sini, mengingat bisa saja Amel memberitahu, bila aku tinggal di sini."Ngomong-ngomong, tadi Ibu dan paman habis dari mana?"Aku dan Rifky yang tengah duduk di ruang tengah, secara serempak langsung menoleh, menatap Panji yang baru saja keluar dari kamar sambil sesekali menggosk rambutnya yang basah dengan handuk."Habis--""Kami habis jalan-jalan, sekalian mencari buah-buahan yang Ibumu mau," potong Rifky yang berhasil membuat aku menelan ludah.Tak kusangka, Rifky cukup pandai dalam membuat alasan, membuatku yakin kalau Panji akan langsung percaya. Mengingat Panji bukanlah orang yang mudah ditaklukkan."Emang cari buah-buahannya ke mana?""Cukup jauh, katanya, sih, sekalian untuk melihat-lihat daerah sini. Kamu tahu sendiri, 'kan, kalau Ibumu baru menginjakkan kaki