Setelah membuat sarapan pagi, aku membantu Kevin menyiapkan kebutuhannya untuk berangkat sekolah. Mengambil baju seragam, menyiapkan sepatu, tas dan bekal makanan selama di sekolah. Sambil menunggu Kevin mandi, aku bergegas turun menuju kamar. Amplop cokelat yang tersimpan dalam lemari aku keluarkan. Mas David sudah mengikhlaskan semua, jadi aku harus mengembalikan uang ini pada Kevin. Kusimpan amplop itu di saku rok, kemudian kembali naik ke lantai dua. Ketika akan menaiki tangga, aku berpapasan dengan Clarisa. Wajah perempuan itu tak bersahabat, bahkan matanya menatap tajam. Aku hanya menunduk dan berdiri di samping tangga, memberi kesempatan untuknya lewat. Langkah kaki Clarisa terhenti tepat di depanku.“Di kamarmu ada kaca?” Clarisa bertanya.Aku mengangguk. “Ada.”“Berkacalah! Lihat dirimu, pantas tidak berdampingan dengan David?” Ia menatap diriku dari atas sampai bawah dengan salah satu sudut bibir menyungging ke atas. “Gadis sepertimu tak ada istimewanya.” Aku diam, tanpa b
“Mbak Wulan!” Terdengar suara Kevin memanggil namaku.Aku bangkit, lalu berjalan membukakan pintu kamar. Laki-laki itu menatap sendu. “Mbak, baik-baik saja?” tanya Kevin dengan mata berkaca-kaca.Aku mengangguk. “Sudah pulang sekolahnya?”Laki-laki itu terdiam, sebulir air bening jatuh di pipi mulusnya. “Kita ke taman, yuk, Mbak.” Aku ingin menolak, tetapi melihat mata sendu itu jadi tak kuasa. Segera kuganti pakaian dan menutupi wajah dengan masker. Malu jika ada yang melihat keadaanku. Kevin bersepeda, sementara aku berjalan kaki mengikutinya dari belakang. Beberapa kali laki-laki itu berhenti, memastikan aku tak ketinggalan. Aku pikir Kevin akan bermain dengan temannya, tetapi ternyata tidak. Ia ikut duduk di bangku langgananku. “Mbak Wulan pasti sakit,” lirih Kevin dengan wajah tertunduk. Aku tersentak dan menatap laki-laki itu. Matanya berkaca-kaca, seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan. “Tidak apa-apa.”“Maafkan aku, Mbak.” Kevin menangis. Tanpa diduga, laki-laki itu m
Aku sudah menceritakan pada Bik Inah bahwa akan berhenti bekerja beberapa hari lagi. Perempuan paruh baya itu pun mengerti alasanku. Bik Inah akan menjadi perantara untuk menyampaikan pada Nyonya Jovita. Aku tak tahu bagaimana Kevin menjelaskan pada mereka. Semua tampak biasa-biasa saja, bahkan mereka tak pernah bertanya bagaimana keadaanku. Baik Nyonya Jovita ataupun Tuan Amar, tak ada yang meminta maaf atas kejadian kemarin. Memang bagi sebagian orang meminta maaf itu adalah hal yang paling sulit, padahal dengan maaf bisa menghapus dosa. “Wulan, ada lowongan pekerjaan di pabrik, syaratnya lulusan SMA. Berarti kamu bisa daftar, Lan,” ucap Dewi memberitahukanku melalui telepon. Aku memang memintanya mencarikan lowongan pekerjaan di pabrik mana saja. Walaupun tak satu pabrik dengan Dewi, setidaknya kami bisa berdekatan. Aku tak pernah menceritakan pada Dewi apa yang kualami selama ini. Lagi pula, ia tak kenal dengan Ayah. Dulu Dewi adalah teman berbagi duka, sekarang aku punya Pak
Kumanfaatkan hari-hari terakhir di rumah ini dengan menatap Ayah sepuasnya, dan mencuri gambarnya. Dengan pura-pura sedang bermain handphone, kuambil foto Ayah saat memakai pakaian kerja hingga memakai celana pendek dan kaos oblong. Pesonanya begitu luar biasa. Ia terlihat tampan, dengan kulit putih dan bersih. Pantas saja Ibu dan Nyonya Jovita mencintainya.Kutatap laki-laki yang turun dari tangga dengan dada bergemuruh. Aku bahagia bisa menatap wajahnya yang telah lama kurindukan, tetapi aku juga kecewa ketika mengetahui fakta ia tak sebaik cerita Ibu. Setelah keluar dari rumah ini, aku akan mengajak Ibu untuk melupakannya, tentang cinta, dan juga janji yang tak akan pernah ditepati.“Wulan, besok Ibu akan berangkat ke Tangerang menemuimu. Beberapa hari ini perasaan Ibu tak enak. Ibu takut terjadi apa-apa. Hanya Wulan yang Ibu punya,” ucap Ibu di ujung telepon.“Iya, Bu. Besok Wulan akan berhenti bekerja. Nanti Wulan jemput Ibu di stasiun. Kita akan menginap sementara waktu di indek
Aku semakin cemas. Jika ia membuka galeri itu lebih jauh, maka foto Ibu akan muncul di sana. Namun tidak, ia hanya melihat foto yang aku ambil sebulan terakhir.Nonya Jovita tampak tak suka, kemudian menghampiriku. “Kamu menyukai suami saya?” Aku menggeleng.“Lalu, kenapa kamu simpan foto suami saya? Jawab!” Aku menatap laki-laki itu, kemudian kembali menunduk. Tak lama sebuah cekalan tangan meremas daguku dan memaksa untuk mendongak menatap perempuan itu.“Kamu mencintai suami saya?”Aku menggeleng.“Lalu, kenapa foto-foto suami saya ada di sini?”Aku hanya terdiam. Perlukah aku jujur? Jika itu aku lakukan, pasti akan membuat kaget semua. Apakah Tuan Amar akan mengakuiku sebagai anak, atau malah menyerangku dengan tuduhan palsu?Tangan perempuan itu mengepal, emosinya begitu terlihat menatapku tajam. Plak! Sebuah tamparan melayang, kemudian dilanjutkan dengan jambakan pada kerudungku. “Beraninya kamu ambil foto suami saya! Untuk apa? Atau jangan-jangan ... kamu ingin guna-guna sua
Seorang laki-laki paruh baya sudah berada di kantor polisi sebelum aku datang. Ternyata dia adalah pengacara Nyonya Jovita. Jantungku berdegup kencang, ketika mendengar laporan itu sudah masuk dan perintah penyidikan pun dimulai. Aku dijerat dengan pasal 335 tentang perbuatan tidak menyenangkan. Petugas mulai menginterogasi dengan memberondong beberapa pertanyaan. Lidahku kelu, ketika mereka mempertanyakan alasan mengapa aku mengambil foto Tuan Amar tanpa izin. Aku hanya bisa menunduk dengan mulut terkunci. Walaupun Tuan Amar tak pernah menganggapku anak, tetapi aku berusaha untuk menyelamatkan kebahagiaannya dengan tidak mengungkap identitas dan alasan perbuatanku itu. Bayangan terkurung beberapa bulan dan dinginnya penjara mulai menghantui. Di usia yang masih remaja, haruskah aku merasakan hidup sebagai seorang tahanan?“Kenapa diam? Jawablah. Semakin saudari bungkam, maka akan menyulitkan saudari sendiri,” ungkap seorang petugas. Pengacara Nyonya Jovita tak henti menatapku. Laki-
“Wulan.” Suara Ibu bergetar memanggil namaku. Perempuan yang kurindukan itu datang, kemudian memelukku erat. Tangisku pecah menatap buliran bening yang mengalir di pipinya. Pak Arya dan Pak Sandi meninggalkan kami berdua. Mereka mendatangi petugas dan pengacara Nyonya Jovita. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. “Kenapa bisa begini, Nak?” tanya Ibu dengan tangis tak terbendung. Perempuan itu mengambil ujung rambutku yang pendek dengan tangan bergetar, kemudian beralih mengusap air mataku yang jatuh tak henti. Ibu membuka tas yang ia bawa, kemudian mengeluarkan sebuah kerudung dan memakaikannya padaku. “Ibu sudah makan?”Perempuan itu mengangguk, dan kembali memelukku. “Siapa yang melakukan ini semua, Nak? Kenapa wajahmu terluka, dan rambut terpotong? Kesalahan apa yang telah Wulan lakukan?” Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Genggaman tangan Ibu terasa hangat dan menenteramkan. “Ibu masih mendoakan Ayah?” Ibu melepas pelukan. Dahinya mengernyit mendenga
Pak Arya memegang pundakku. Aku memeluknya, layaknya seorang anak yang mengadu pada ayahnya. Aku menangis keras, tak kuhiraukan di mana aku berada dan berapa banyak tatapan mata yang melihat. Aku hanya butuh tempat bersandar untuk mencurahkan semua kepiluan ini. Pak Arya mengusap punggungku lembut, seperti mengalirkan kekuatan agar aku bertahan dan kuat menghadapi ujian kehidupan. Puas mencurahkan semua, aku melepaskan pelukan dan mengusap air mata di pipi. Tatapan Ibu tampak sendu dengan tangis tak terbendung, sementara dia, orang yang enggan kupanggil ayah hanya menatap tanpa berani berbuat apa-apa. Aku lemah, tubuh seperti tak bertulang. Pak Arya segera membopongku ke mobil diiringi Ibu. Hati kami sama-sama hancur. Hanya saja, Ibu sudah 18 tahun mempersiapkan diri. Pak Arya duduk di depan mengendarai mobil, sedangkan aku dan Ibu duduk di belakang. Sepanjang jalan, kami menangis bersama mengeluarkan sesak. Laki-laki itu hanya diam, seperti memberikan waktu bagi kami untuk menang