LOGINMobil hitam berhenti di depan rumah berarsitektur klasik milik Widipa. Angin dingin berhembus setelah hujan menghantam ibu kota selama beberapa hari ini. Udara yang sejuk di pagi hari tak bisa membuat kesejukan di hati Danastri.Arif yang menyetir merasa ada sesuatu berbeda dari Widipa. Dulu sang sahabat selalu diam ketika di mobil, tetapi kini dia banyak bicara mengenai masa sekolah mereka. Antara percaya dan ragu melihat kepribadian Widipa berubah."Kita sudah sampai, Nak,” ujar Arumi lembut, menoleh dari kursi depan.Widipa yang duduk di belakang bersama Danastri hanya mengangguk singkat. Wajahnya masih pucat, tapi matanya tajam mengamati rumah itu seolah mencari sesuatu yang hilang.Widipa mengingat semua sudut rumahnya, tetapi dia merasa kali ini terlihat berbeda. Dia bingung penataan halamannya yang ada tanaman bunga. Seingatnya bunga itu tak pernah tumbuh di sana. Kepalanya terasa pening.“Nak kau baik-baik saja?” tanya Arumi cemas.“Tidak apa-apa, Bu,” jawabnya singkat. “Hany
Danastri seolah tak mempercayai jika itu benar. Kecelakaan itu memang disengaja dan ditujukan kepada dirinya, tetapi sayangnya Widipa menghalangi hingga membuat Widipa kehilangan ingatan.Mobil milik Julius dikendarai Dinara sedangkan ketika kejadian itu terjadi, Julius berada di tempat kerjanya. Jadi kemungkinan besar yang ada di dalam mobil dan sedang mengawasi dirinya adalah Dinara."Bagaimana rasanya dilupakan oleh orang yang kau cinta?" Danastri menoleh mencari sumber suara. Dinara sedang menuju ke arahnya saat dia menunggu taksi di lobby."Biasa saja. Bukankah sejak dulu aku sering dilupakan?" Danastri menjawab santai."Tapi ini berbeda, Bodoh! Widipa pria yang mencintaimu melupakanmu," ujar Dinara dengan bibir terangkat sembari bersidekap."Jika dia memang melupakanku, ambillah dia menjadi milikmu. Namun Dinara, asal kau tahu cinta sejati akan kembali ke pemiliknya kelak meski membutuhkan waktu yang lama," sahut Danastri tenang. Dia tak lagi tertekan dengan ucapan Dinara"Akui
Pagi harinya rumah sakit terasa lebih ramai. Arumi membawa bubur hangat dari rumah, Sailendra berbincang dengan dokter dan di dalam kamar, Dinara duduk di sisi ranjang Widipa dengan wajah lembut seolah-olah dunia tak pernah memberinya cela.Sebenarnya Arumi tak menyukai kehadiran Dinara. Setiap kali melihatnya ada wajah Bagas yang telah membuat nyawa anaknya melayang. Sayangnya dia harus berebut perhatian Widipa dengan Dinara.Sejak Widipa sadar, sang anak selalu mencari keberadaan Dinara dibandingkan dirinya sebagai seorang ibu. Arumi pun diliputi rasa bersalah pada Danastri, tetapi Sailendra selalu menenangkannya."Kalau kau menginginkan sesuatu katakan saja padaku, ya,” ucap Dinara lembut sambil menyendokkan bubur.Widipa menatapnya dengan senyum tipis. “Terima kasih, Dinara. Aku masih merasa pusing, tapi senang kau ada di sini.”“Ya ampun Dipa kau ini bicara apa sih?" Dinara tertawa kecil, suaranya manis tapi dingin di telinga Danastri yang berdiri di ambang pintu. “Tidak perlu be
Hari yang tak secerah di hati Danastri saat dia melangkahkan kakinya menuju rumah sakit. Semalam dia tak bisa tidur hingga dia memutuskan untuk pergi menemui Widipa lebih awal.Namun saat dia keluar dari taksi, dia melihat ada mobil yang dia kenali. Mobil milik Dinara berada di tempat parkir. Danastri tak terlalu memikirkan hal tersebut dan mengira Dinara mungkin sudah tahu kecelakaan mengenai Widipa.Danastri berhenti sebentar saat pesan dari Arumi yang mengatakan Widipa sudah sadar. Gegas dia menuju kamar inap Widipa dan ingin memastikan sendiri kondisi pria yang dicintainya. Sesampainya di sana dia menggenggam gagang pintu dengan hati-hati, napasnya teratur tapi dadanya berdebar hebat. Di dalam, suara lembut Arumi terdengar — penuh syukur karena Widipa akhirnya sadar.“Pasien sudah sadar, tapi masih agak lemah. Silakan bergantian menjenguk, ya Nona," kata perawat baru saja keluar dan tersenyum kecil."Terima kasih, Sus," balas Danastri menyunggingkan senyum.Danastri masuk perlaha
"Terima kasih untuk kunjungannya, Nona.""Kami tunggu kedatangan nona selanjutnya."Seorang pegawai butik membukakan pintu untuk Danastri setelah memilih gaun yang akan dia gunakan bulan depan untuk ulang tahun rumah sakit milik keluarga Widipa. Widipa sendiri sedang membeli sesuatu di toko seberang."Terima kasih juga untuk pelayanannya," ucap Danastri sembari tersenyum di pintu keluar.Danastri keluar dari butik di kawasan pusat kota itu dengan menenteng tas kertas berisi gaun yang baru diambilnya. Di seberang jalan, Widipa sudah menunggu di dekat mobil hitamnya melambaikan tangan sambil tersenyum kecil."Apa yang dia beli di toko itu?" Danastri penasaran barang yang dibeli Widipa, karena pria tersebut bermain rahasia.“Hati-hati menyeberant, Danastri,” ujar Widipa dari kejauhan."Apa? Aku tak dengar!" Sayangnya Danastri tak mendengar suara Widipa.Namun langkah Danastri yang semula tenang mendadak terhenti. Dari arah kanan, suara mesin sepeda motor meraung keras. Dalam sepersekian
Gedung serbaguna berlantai lima itu terlihat ramai dengan dipenuhi sorotan lampu, wartawan, dan undangan kalangan atas. Musik lembut mengalun, berpadu dengan suara kamera yang terus memotret setiap langkah tamu penting.Hari ini adalah penjurian kontes desainer baik bagi pemula dan senior. Semua berkumpul menjadi satu dari berbagai provinsi. Para wartawan tak mensia-siakan kesempatan ini untuk mencari berita apalagi ada keluarga Jayanatra yang jarang sekali memenuhi undangan dari pejabat manapun.Pada saat Danastri memasuki ruangan sontak seisi aula menoleh. Gaun yang dia kenakan memantulkan cahaya perpaduan antara tradisional dan modern, hasil karyanya sendiri. Namun bukan hanya gaun itu yang menarik perhatian, melainkan ada Widipa yang tegap, dingin, dan berwibawa, berjalan mengapit tangan Danastri dengan sikap protektifnya."Anak itu selalu mencari perhatian sejak dulu," kata Bagas dengan nada tak suka."Seharusnya aku yang di samping Widipa bukan dia." Dinara kesal. Ajakannya ke p







