LOGINDevan ingin buru-buru mendekat, tapi langkahnya tertahan oleh suara ibunya Sita.“Jangan membuatnya terluka lebih dari ini. Jika itu terjadi, aku bersumpah akan membuat hidupmu menderita seumur hidup. Kamu tahu kan sumpah wanita teraniaya tidak akan pernah melesat?"Devan menahan napas. Matanya hanya fokus pada Sita yang memalingkan wajah, enggan untuk menatapnya.“Sita, maafkan aku. Maaf sudah membuatmu seperti ini. Aku tahu aku salah, izinkan aku..,Dan saat itu, wajah Sita semakin pucat dan keringat dingin membasahi pelipis dan tubuhnya.Perawat yang lewat spontan masuk ke dalam ruang perawatan begitu Devan keluar dari ruang perawatan.“Tolong keluar dulu! Kondisi ibu dan janinnya turun naik! Cepat panggil dokter Erna!" Devan membeku, melihat keadaan Sita yang semakin memperihatinkan. Pintu ditutup tepat di depan wajah Devan oleh perawat.Ia berdiri di koridor, napas tersengal, seluruh jiwanya remuk. Begitu jahat dirinya yang meminta Sita minum obat pencegah kehamilan, bahkan tid
Berbekal alamat yang bahkan tidak bisa disebut secara detail oleh Arsa. Alamat hanya nama kota kecil di Jawa Tengah, Devan tetap memaksakan diri berangkat. Tidak ada petunjuk rumah, tidak ada nomor, tidak ada siapa pun yang bisa ia hubungi. Hanya sebuah kota, dan penyesalan yang menyesakkannya setiap detik.Di dalam mobil, tangan Devan terus menggenggam ponselnya erat. Berkali-kali ia membuka kembali pesan singkat dari Arsa, padahal isinya sama. “Kotanya di sana. Sisanya kamu cari sendiri.”Meski samar, tekadnya tidak gentar. Wanita yang bersedia menjadi pelampiasan tanpa menuntut apapun. Bahkan, lebih kejam lagi ia tega memberikan obat pencegah kehamilan. "Maafkan aku Sita, maafkan." Gumamnya lirih. Tatapannya nanar keluar jendela, sang sopir pribadi hanya bisa melihatnya tanpa berani menganggu. “Aku harus ketemu dia,” gumamnya lirih, nyaris seperti janji pada diri sendiri.Perjalanan panjang membuat kepalanya berdenyut. Mual itu datang lagi, gejala yang seharusnya tidak ia rasakan,
Sepulangnya Hana dari kota kecil yang kini menjadi tempat tinggal Sita. Hana mencoba untuk memahami keadaan sang sahabat meski banyak pertanyaan yang tidak ada satu pun ada jawabannya. Hana berkali-kali melamun, gelisah, dan mudah tersentak. Arsa memperhatikan semua tanpa perlu ditanya, ia tahu Hana sedang memikul sesuatu yang berat.Malam itu, Hana duduk termenung di ruang tengah, memegang cangkir teh yang sudah dingin. Arsa datang mendekat, meraih cangkir itu dan meletakkannya di meja.“Kamu nggak bisa begini terus, sayang." ucap Arsa pelan. “Kamu kepikiran Sita, kan?”Hana mengangguk kecil, matanya berkaca-kaca. “Dia sendirian, Mas. Hamil, nggak ada suami, kamu tahu kan mas, ibunya sakit. Aku nggak ngerti gimana dia bisa sekuat ini."Arsa menghela napas panjang. Ada sesuatu yang menggeram di dalam dirinya, campuran marah, iba, dan rasa tanggung jawab sebagai seseorang yang suaminya alam melindungi seorang istri yang tengah hamil.“Kamu tunggu di rumah,” katanya akhirnya. “Biar aku
Dania membeku. Kata-kata Devan bergema di kepalanya, menusuk jauh lebih dalam daripada yang sanggup ia bayangkan.“A-apa yang kamu bilang?” suaranya serak, nyaris tak keluar. “Kamu merusak anak gadis orang, Dev?”Devan menunduk, bahunya bergetar kecil. “Aku nggak sengaja, Ma. Aku mabuk, aku nggak sadar melakukannya, tapi..,” ia menelan ludah, wajahnya pucat. “Kemungkinan dia hamil itu besar. Karena tubuhku juga bereaksi aneh. Mual, muntah dokter bilang bisa jadi aku kena Sindrom Couvade. Karena dalam pemeriksaan tidak di temukan penyakit apapun,"Dania menutup mulutnya, napasnya tercekat. “Astaga, Devan!"Ia menatap putranya antara marah, takut, dan panik memenuhi dadanya.“Siapa gadis itu?” Dania memaksa. “Kamu harus bilang sama Mama. Kamu kira ini permainan? Kamu kira Mama bisa diam saja kalau ada anak perempuan yang kamu hancurkan masa depannya?”Devan menggigit bibir, jelas tidak ingin mengucapkannya. Namun dorongan rasa bersalah dan desakan Dania membuatnya berfikir ulang.“Siapa
“Han!” panggilnya begitu gerbang terbuka, napasnya memburu.Hana yang sedang menyiram tanaman menoleh kaget. “Devan? Ada apa? Kok wajahmu, pucat sekali?”“Di mana Sita?” tanya Devan langsung, tanpa basa-basi. Suaranya tegang, hampir putus.Hana mengerutkan kening. “Loh, bukannya Sita sudah pulang ke kampung? Dia pamit sama aku, Dev.”“Pulang?” Devan mendekat, matanya membesar. “Ke kampung mana, Han?”“Tentu saja ke kampung orang tuanya, di Jawa.”Hana tampak bingung. “Dev, kamu kenapa? Sita beneran pamit. Keluarganya nolak bantuanku juga. Katanya pengin hidup tenang dan nggak mau merepotkan.”Devan menelan ludah. “Kamu, benar-benar nggak tahu alamat pastinya?”Hana menggeleng perlahan. “Nggak, Dev. Dia cuma bilang mau jauh sebentar. Ada apa sebenarnya?”Devan memalingkan wajahnya. Napasnya terasa berat, sesak, seperti ada batu besar yang menekan dadanya.“Dev…?” panggil Hana hati-hati.Tenggorokan Devan bergeser. “Aku, aku cuma..,"Kata itu keluar lirih, namun Hana bisa merasakan geta
Mereka kembali terdiam, begitu Sita menceritakan tujuannya menemui sahabat sekaligus pemilik daycare tempatnya bekerja.“Kamu yakin hanya itu? Kamu nggak ada bohong sama aku kan?” Hana menatap sahabatnya lekat-lekat. Nada suaranya lembut, tapi penuh kecurigaan. Sita menghindari tatapan itu terlalu sulit baginya.“Aku, beneran, Han. Orang tua mau balik kampung. Mereka butuh aku. Kamu tahu kan, aku punya tanggung jawab besar itu."Sita mencoba tersenyum, namun suaranya bergetar.Hana mengangguk pelan, meski jelas ia tidak sepenuhnya percaya. “Kalau memang itu alasannya, aku nggak bisa tahan kamu. Tapi, kamu yakin keputusan ini nggak mendadak banget?”Sita menelan ludah. “Aku sudah mikir lama.”Hana menggenggam tangannya tiba-tiba. “Sita, kamu sahabat aku. Kalau ada apa–apa, kamu bisa cerita. Aku nggak akan nge-judge.”Dada Sita sesak. Bohong itu menekan seperti batu besar di tenggorokan. Tapi mengatakan yang sebenarnya, itu artinya kepalanya akan pecah, hidupnya berubah total. Apa yang







