Mukhayyam Hafiz duduk di beranda pondok Gurutta Harun. Malam itu angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari hutan di sekitarnya. Cahaya bulan menerangi desa Cindua dengan lembut, seolah menyoroti pemikiran yang berat di benak pemuda itu. Setelah bertemu Si Tua Bijak dan menjalani latihan yang melelahkan, kini ia merasa semakin dekat dengan pertanyaan besar yang terus menghantuinya: apa sebenarnya kekuasaan itu?
Gurutta Harun keluar membawa dua cangkir teh panas. Ia meletakkan salah satunya di depan Mukhayyam dan duduk di kursi kayu di sampingnya. Gurutta tahu muridnya sedang bergulat dengan sesuatu yang penting.“Pikiranmu terlihat berat malam ini, Mukhayyam,” kata Gurutta, membuka percakapan.Mukhayyam menghela napas panjang. “Gurutta, saya ingin bertanya... apa sebenarnya kekuasaan itu?”Gurutta tersenyum tipis, seolah sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Ia mengambil cangkir tehnya dan menyesap perlahan sebelum menjawab.“KekuasaanPagi itu, cahaya matahari yang menembus dedaunan di pinggir hutan menyambut langkah Mukhayyam dan Raniah. Kharun telah mengantar mereka hingga ke tepi hutan dan memberikan arahan terakhir. Namun, jalan yang mereka lalui sekarang terasa berbeda—lebih asing dan penuh misteri. Bahkan udara di sini seakan mengandung energi yang tidak biasa.“Raniah,” Mukhayyam berkata pelan, sambil sesekali memperhatikan sekitar, “apa kau merasakan sesuatu yang aneh?”Raniah mengangguk, matanya terus waspada. “Aku merasa seperti diawasi. Bukan oleh manusia... tapi sesuatu yang lain.”Perjalanan mereka membawa mereka ke sebuah lembah yang tampak sunyi. Di sana, bebatuan besar bertumpuk seperti sisa-sisa bangunan kuno. Di tengah-tengah lembah itu, sebuah pohon raksasa berdiri megah, dengan akar-akarnya yang mencengkeram tanah seperti tangan raksasa.“Apa tempat ini?” Raniah bergumam.Mukhayyam mendekati pohon itu perlahan. Ada sesuatu yang memancar dari pohon i
Langit pagi merekah dengan semburat warna oranye ketika Mukhayyam berdiri di tepi bukit kecil yang membatasi Desa Cindua dengan dunia luar. Raniah berdiri di sisinya, memandang ke arah yang sama, di mana bentangan luas hutan, sungai yang mengular, dan pegunungan di kejauhan membentang sejauh mata memandang. Itu adalah pertama kalinya Mukhayyam melihat dunia luar begitu nyata—begitu besar, begitu penuh misteri."Jadi, inilah dunia yang selama ini berada di luar batas Desa Cindua," gumam Mukhayyam, suaranya dipenuhi rasa kagum dan keingintahuan yang tak terbendung."Ya," jawab Raniah pelan. "Ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Setiap langkah yang kita ambil menjauh dari Cindua, semakin banyak hal yang akan kita temui. Tantangan baru, orang-orang baru, dan, tentu saja, pelajaran baru."Mukhayyam menoleh ke arah Raniah. "Apakah kau pernah merasa takut, Raniah? Kau sudah lebih banyak berkelana dibanding aku. Apakah dunia luar ini pernah membua
Mukhayyam dan Raniah duduk di bawah pohon besar, di tepi sungai yang tenang. Suara gemericik air mengalir lembut, menciptakan suasana yang sejuk dan menenangkan. Namun, di dalam hati Mukhayyam, perasaan gelisah masih terus mengganggu. Perjalanan mereka telah membawa mereka ke titik ini—ke sebuah titik di mana mereka mulai memahami bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang hanya terkait dengan kekuatan fisik atau kemampuan bertarung. Itu lebih dari sekadar hal yang terlihat di luar. Kekuasaan sejati, Mukhayyam menyadari, adalah sesuatu yang lebih dalam dan lebih kompleks.“Apa yang sebenarnya kita cari, Raniah?” tanya Mukhayyam, suaranya penuh kebingungan. “Aku merasa kita terus berjuang, tetapi aku tidak bisa merasakan arti dari semua ini. Apa tujuan kita sebenarnya? Apa arti dari semua kekuasaan yang kita peroleh?”Raniah menatapnya dengan tatapan serius. Dalam perjalanan mereka, ia telah melihat perubahan besar dalam diri Mukhayyam—perubahan yang membuatnya menjadi l
Desa itu, yang sebelumnya terasa sunyi, kini tampak lebih misterius. Mukhayyam dan Raniah melangkah pelan di belakang pria tua yang sebelumnya mereka temui. Suara langkah mereka serasa tenggelam dalam keheningan hutan, seolah dunia di sekitar mereka berusaha menyembunyikan keberadaan mereka. Jalan setapak yang mereka ikuti semakin sempit, dikelilingi oleh pepohonan lebat yang tampak seakan menutupi matahari. Hanya cahaya remang-remang yang berhasil menembus celah-celah daun, menciptakan bayangan panjang di sepanjang jalan.Mukhayyam merasakan ketegangan yang semakin menebal. Ada perasaan tak nyaman yang merayapi tubuhnya, seolah ada sesuatu yang mengamati mereka dari bayang-bayang. Perasaan itu lebih kuat daripada sebelumnya. Ia menatap Raniah, yang tampak tidak begitu terganggu meskipun suasana semakin mencekam.“Kita tidak bisa hanya berjalan begitu saja,” Mukhayyam berbisik pelan. “Ada sesuatu di sini, Raniah. Aku bisa merasakannya. Kita sedang diawasi.”
Mukhayyam berdiri di tengah kegelapan, tubuhnya terasa beku oleh apa yang baru saja ia alami. Dia telah menerima bagian dari dirinya yang tersembunyi, kegelapan yang telah lama ia hindari. Kini, setelah menerima kenyataan itu, ia merasa ada sebuah kekuatan yang berbeda mengalir dalam dirinya, seolah beban yang membebani jiwanya selama ini mulai terangkat.Di depannya, sosok yang menyerupai dirinya tersenyum tipis, namun tatapan itu penuh dengan kedalaman. “Kau telah melangkah lebih jauh dari yang bisa dibayangkan, Mukhayyam,” kata sosok itu dengan suara yang memantul di dalam kegelapan. “Kini, dunia luar menunggumu. Namun, apakah kau siap dengan apa yang akan datang?”Mukhayyam menatap sosok itu dengan tatapan yang penuh pertanyaan. “Apa yang akan datang? Apa yang aku hadapi setelah ini?”Sosok itu tertawa pelan, seolah tahu bahwa Mukhayyam sedang berjuang untuk memahami makna dari pertemuan ini. “Kekuatan itu ada di dalam dirimu, Mukhayyam. Tetapi dunia l
Mukhayyam dan Raniah berdiri di depan altar besar di tengah kuil. Mahkota kuno yang bersinar keemasan di atasnya tampak begitu agung, seolah menjadi pusat dari segala kekuatan yang tersembunyi di tempat itu. Namun, suasana di dalam ruangan terasa berat, seperti ada energi yang terus menekan jiwa mereka. “Mukhayyam,” Raniah berbisik pelan, matanya tak lepas dari mahkota itu, “kau yakin ini yang kita cari?” Mukhayyam menatap mahkota itu dengan tatapan penuh tekad. “Aku tidak tahu apakah ini benar-benar jawabannya, tapi aku yakin ini adalah bagian dari perjalanan kita. Rahasia tentang takhta yang hilang mungkin terkunci di dalamnya.” Mereka melangkah lebih dekat ke altar. Namun, ketika Mukhayyam hendak menyentuh mahkota itu, sebuah suara dalam yang menggema menghentikannya. “Berhenti.” Suara itu terdengar dari segala arah, seperti berasal dari dinding kuil itu sendiri. Mukhayyam dan Raniah membeku di tempat mere