Home / Horor / RANJANG BERDARAH / Anak yang Tak Jelas Asal-usulnya

Share

Anak yang Tak Jelas Asal-usulnya

Author: Dwrite
last update Last Updated: 2024-05-06 15:42:35

Mini Cooper berwarna merah itu melaju melewati gerbang menjulang yang terbuka otomatis. Mengitari sebuah air mancur besar yang ada di pusat pelataran menuju sebuah rumah megah bergaya modern yang berdiri di atas lahan sendiri seluas 4500 M², di kelilingi benteng yang beberapa meter lebih tinggi dari bangunan rumah huni.

Seorang satpam penjaga berusia paruh baya menghampiri mobil yang baru saja berhenti di antara jejeran mobil mewah lainnya. Dia membuka pintu dan sedikit tersentak saat melihat perempuan cantik bergamis panjang dengan pashmina dan kacamata hitam turun dari dalamnya.

"No-Non Jihan," ujarnya terbata.

Jihan membuka kacamatanya lalu tersenyum hangat. "Apa kabar, Pak Dani?"

"Ba-baik, Non. Sudah lama sekali sejak Non menginjakkan kaki di rumah ini. Lima belas tahun, ya?" tanya Pak Dani memastikan.

Jihan mengangguk pelan.

"Ah, ini pasti Den Galih dan Non Rara-Riri. Saya pernah dengar beberapa kali Bapak bercerita tentang cucu-cucunya." Pak Dani beralih pada anak-anak Jihan yang baru saja turun dari kursi penumpang. Dengan sopan mereka mencium tangan satpam yang sudah lama mengabdi pada keluarga ibunya.

Pak Dani menatap takjub. Sama halnya dengan sang majikan, Jihan juga pandai mendidik anak-anaknya untuk mengedepankan adab dibanding ilmu.

"Iya, Pak. Ngomong-ngomong Ayah ada?"

"Ada di dalam, Non. Kebetulan lagi sama Den Zidan."

Sejenak mata Jihan mengerjap. "Loh, Zidan sudah pulang?" serunya yang sedikit terkejut karena kembarannya itu tiba-tiba pulang lebih cepat daripada yang dijadwalkan tahun depan.

"Iya, Non. Baru semalam beliau pulang ke Indonesia."

Jihan mangut-mangut.

"Kalau begitu saya permisi ke pos lagi," pamit Pak Dani sembari sedikit membungkukkan tubuhnya.

"Iya, Pak. Terima kasih, ya."

Sepeninggal Pak Dani Jihan mengiring ketiga anaknya untuk masuk ke dalam. Namun, sebelum sampai di anak tangga menuju teras seluas lapangan futsal tersebut, ucapan Galih menghentikan langkah Jihan begitu saja.

"Ibu kok nggak pernah bilang kalau kakek sekaya ini?" tanya remaja berusia empat belas tahun itu.

Jihan menoleh.

"Iya, Bu. Tempat ini kayaknya bahkan lebih luas daripada empat rumah di kompleks kita," sahut Rara.

"Selama ini kita ketemu Kakek kalau nggak di restoran atau kafe pasti di villa yang ada di Jaksel, kan?" timpal Riri.

"Padahal kalau Ibu kasih tahu Nenek, Om Bahar, Tante Nisya, dan Tante Nova kita nggak direndahkan. Ibu juga nggak akan selalu dituduh mengincar harta Ayah," tambah Galih.

Jihan hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari ketiga anaknya. Perempuan itu mengusap kepala mereka satu per satu.

"Sayang ... kekayaan itu bukan sesuatu yang patut untuk dipamerkan. Semua nikmat dunia yang kita dapatkan hanyalah titipan dari sang pemilik kehidupan. Lagipula yang kaya, kan Kakek, bukan ibu."

Mereka bertiga mengangguk mengerti. Lalu kembali mengekori Jihan.

Pintu dibuka setelah bel dua kali ditekan. Seorang perempuan setengah baya dengan pakaian rapi muncul dari baliknya.

"Non Jihan!" serunya antara kaget dan senang.

"Bi Arum!" Jihan memeluk kepala asisten rumah tangga yang sudah lama mengabdi pada keluarganya tersebut.

"Mari Non, Bapak ada di ruang keluarga sama Den Zidan."

Jihan mengangguk, lalu merangkul Rara dan Riri menuju ruang keluarga yang ada di bagian timur lantai dasar, melewati beberapa ruang yang disekat tembok atau rak-rak menjulang.

Jihan tersenyum saat melihat lelaki tua bertubuh ringkih yang duduk di kursi roda. Wajah yang selalu meneduhkan tiap kali Jihan menatapnya.

"Ayah!"

Lelaki berusia akhir enam puluhan itu menoleh. Senyumnya melebar, sisa-sisa ketampanan masih terlihat di wajah senja yang penuh dengan garis-garis penuaan. Rambutnya yang hampir memutih semua selalu dipangkas rapi dan tak pernah Jihan lihat terjuntai menyentuh daun telinga.

"Akhirnya kamu pulang juga, Nak!" seru Pak Ridwan. Dia merentangkan tangan meminta pelukan dari sang putri tersayang yang lima belas tahun lalu memilih membangkang dengan pergi bersama lelaki pilihan tanpa restu dari Pak Ridwan.

Meskipun begitu tak ada dendam. Dia tetap menerima keputusan Jihan, dan menghadiri pernikahan putrinya dan Burhan. Menerima bukan berarti merestui. Itulah alasan kenapa sampai lima belas tahun ini Pak Ridwan tak pernah sekalipun menghadiri undangan dari keluarga Burhan. Dia selalu mengatur pertemuan hanya bersama anak dan cucu-cucunya saja.

Jihan tak pernah mengatakan kesulitan apa pun yang dia alami selama menjadi bagian dari keluarga Hakim. Kebahagiaan palsu yang berhasil ditunjukkannya pada Pak Ridwan menahan konglomerat terpandang itu untuk menyeret putrinya pulang. Walhasil semua rasa sakit hanya bisa Jihan telan sendirian. Meskipun dia memiliki banyak kesempatan untuk lari dari kenyataan.

Pintu rumah ini memang selalu terbuka kapan pun Jihan ingin pulang. Namun, perasaan yang amat dalam pada Burhan terus menahannya untuk tinggal. Akhirnya satu-satunya alasan Jihan pulang adalah kematian Burhan.

***

"Ayah turut berduka atas meninggalnya Burhan. Maaf, kalau ayah tak bisa menghadiri pemakamannya." Pak Ridwan kembali membuka percakapan setelah Galih dan adik-adiknya diantar ke kamar.

Jihan hanya bisa tersenyum menggapinya.

"Tak apa, Yah. Jihan mengerti."

"Omong-omong tentang pemakaman. Hari ini rencananya aku mau datang ke rumah keluarga almarhum Mas Burhan untuk mengucapkan bela sungkawa," sela Zidan tiba-tiba.

Jihan menoleh pada saudara kembarnya tersebut. Lelaki tampan dengan setelan piama itu terlihat hendak beranjak.

"Tak usah, Dan." Jihan menarik tangan Zidan dan memintanya untuk kembali duduk di sampingnya.

"What happens? Are you, okay, Sister? Kamu tidak dizalimi keluarga Mas Burhan, kan?" terka Zidan tiba-tiba.

"Bukan Begitu, Dan. Aku cuma takut kamu kecapean. Baru pulang juga, kan semalam? Mending istirahat saja!"

"Oh, begitu. Ya, sudah. Lagipula aku juga cuma pencitraan sebenarnya. Agak malas juga berkunjung ke keluarga ipar. Yang kudengar sikap mereka juga kurang menyenangkan."

"Zidan ...." Pak Ridwan mengingatkan.

"Maaf, ya, Han. Aku memang tak pandai pura-pura. Sama kayak Ayah. Dari awal aku juga kurang respek sama Mas Burhan dan keluarganya. Kalau gitu aku pamit ke kamar dulu, ya. Mau lanjut tidur, masih jetlag juga efek penerbangan panjang." Zidan beranjak setelah mengusap kepala Jihan dengan lembut. Perempuan itu hanya bisa tersenyum getir menanggapinya.

"Jangan lupa sholat zuhur dulu, Zidan. Kalau tak mau ayah siram air kolam!" teriak Pak Ridwan saat melihat anak laki-lakinya berlari kecil menaiki anak tangga. Meskipun sudah dewasa, Pak Ridwan memang tak pernah lelah lelah mengingatkan Zidan tentang ibadah, alasannya jelas. Zidan lama tinggal di luar negeri. Di kota yang mayoritasnya non muslim. Suasana dan pergaulan di sana sangat jauh dengan tanah air. Apalagi mengingat sikap Zidan yang agak serampangan.

"Siap, Yah!" balasnya setelah sampai di pertengahan tangga lebar berbentuk spiral.

Sepeninggal Zidan, Jihan kembali melanjutkan percakapannya dengan Pak Ridwan. Tentang tujuannya pulang, tentang izin untuk mengadakan tahlilan sampai enam hari ke depan. Karena hari pertama dilaksanakan di rumah Bu Yuli, meskipun Jihan harus menjaga jarak setelah terang-terangan menentang ibu mertuanya dan mendapatkan hadiah tamparan.

Juga tentang permintaan yang berharap bisa ayahnya kabulkan, terkait bantuan hukum untuk menyelidiki kasus meninggalnya Burhan dalam keadaan tak wajar.

Jihan menunggu jawaban Pak Ridwan terkait permintaan terakhirnya dengan dada berdegup kencang.

"Sepertinya ayah kenal seseorang. Dia detektif yang sudah terbukti mumpuni, hampir semua kasus yang dia tangani berhasil terpecahkan. Ayah bisa saja minta atasannya untuk mengalihkan kasus Burhan pada beliau. Tapi ...."

"Tapi?" Jihan mengulangi.

"Setelah kasus selesai kamu harus benar-benar kembali ke sini. Tinggalkan rumah peninggalan Burhan, beserta semua yang pernah dia berikan. Termasuk Galih, Rara dan Riri."

Deg!

"Kembalikan mereka pada Bu Yuli. Sudah saatnya kamu berhenti membesarkan anak-anak yang tak jelas asal-usulnya seperti mereka."

.

.

.

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RANJANG BERDARAH   Babak Baru Dimulai

    Gumpalan awan pekat menyelimuti langit di atas lapas Nusa Kumbangan yang menampung ribuan tahanan kelas berat. Bunyi guntur bersahutan membawa serta angin dan hujan yang mengguyur salah satu kota besar di Tahan Air tersebut. Di dalam block tahanan kelas berat dengan masa hukuman seumur hidup terdengar keributan di tengah riuhnya suara hujan. Para tahanan itu baru saja menyaksikan seorang tahanan dibvnuh dengan brutal oleh sosok yang tak dikenal menggunakan jubah hitam yang menelusup masuk di antara ketatnya penjagaan. Kepala lelaki malang itu nyaris putus. Darah segar masih mengalir dari lehernya yang dig0rok dengan kejam. Namun, ajaibnya napas lelaki itu masih berembus, pendek-pendek, dengan mata yang mengerjap lemah. Mulutnya membuka dan menutup seolah hendak mengucapkan sesuatu. Waktu hampir menunjukkan tengah malam, para petugas yang menunggu laporan datang berbondong-bodong menuju lokasi kejadian. Mereka tercengang saat melihat sel dalam keadaan terbuka, dan korban sudah sekar

  • RANJANG BERDARAH   Hikmah dibalik Musibah

    Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati, setiap yang pergi pasti akan kembali, dan setiap yang hilang pasti akan digantikan lagi. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan. Pernikahan sangat dianjurkan untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ketika seseorang memutuskan untuk menutup diri dari takdirnya sendiri, mungkin saja ada duka yang diselimuti kecewa hingga dia takut untuk memulainya lagi. Jihan dan Zakir pernah merasakan bagaimana sakitnya ditinggalkan orang-orang yang sangat mereka kasihi, alasan itulah yang membuat keduanya sempat menutup diri. Namun, saling melengkapi adalah salah satu kunci untuk menutup lubang yang tersembunyi di dalam hati. Setelah berbagai pertimbangan keduanya resmi mengikat janji untuk menjalin komitmen sehidup semati. "Saya terima nikah dan kawinnya Jihan Annisa binti almarhumah Hana Latifa dengan seperangkat alat sholat dan uang tunai dua juta rupiah. Tunai!" Ikrar itu terucap lantang di Masjid Al-Jami. Tanpa malu akan statusnya se

  • RANJANG BERDARAH   Gosip mulai Menyebar

    Bak wabah yang menjamur dan tak terelakkan, begitu pun dengan isu Oraganisasi Rahasia Ular Putih yang sangat cepat menyebar ke seluruh penjuru negeri. Orang-orang yang penasaran mulai mencari tahu, bahkan sengaja berbondong-bondong mendatangi lokasi kejadian. Gunung Bageni yang keberadaannya terpelesok dan tersembunyi jauh di pedalaman, mulai didatangi banyak pelancong yang ingin membuktikan kebenaran di balik pesugihan yang memakan banyak korban juga memberi kesenangan secara instan.Oknum-oknum yang memanfaatkan situasi tersebut sebagai lahan untuk menimbun uang, mulai mengambil kesempatan dari keberadaan Nyai Damini yang konon masih sering datang mengunjungi lokasi yang dulu dia jadikan sebagai tepat bersemayam."Lagi-lagi berita ini." TV layar datar itu berubah hitam setelah tombol power ditekan. Lelaki senja berkemeja lengan pendek tersebut menyandarkan tubuh pada sandaran sofa, lalu menghela napas panjang."Kenapa, Yah? Masih terganggu dengan berita yang sama?" Wanita berjilbab

  • RANJANG BERDARAH   Jalan Keluar

    Portal dua alam, membawa Zidan kembali ke tempat yang sama. Sisi lain Gunung Bageni yang juga tempat bersemayamnya Nyai. Di depan pohon besar yang merupakan gerbang masuk dan keluarnya kediaman Nyai Damini, lelaki bersorban merah itu melihat seorang wanita bergaun putih menyambutnya. "Kau pasti datang untuk menyelamatkan wanita itu, bukan?"Zakir terdiam sesaat, semula dia sempat ragu. Namun, melihat aura yang terpancar dalam diri makhluk di hadapannya ini. Semua keraguannya perlahan sirna."Ya.""Cepatlah, sebelum semuanya terlambat. Saudariku membawanya ke ruang putih. Sudah dua puluh tahun sejak terakhir kali dia bermain-main di ruang itu." "Dua puluh tahun?" Zakir memastikan. "Ya, terakhir dia memainkannya bersama dengan ayah biologis Jihan. Sayangnya saat itu Ganjar memilih pintu ambisi, hingga berujung seperti ini." Pikiran Nyai Darsih jauh berkelana menyusuri masa silam. "Pastikan Jihan tak memilih apa yang hasrat terbesarnya inginkan. Atau kalau bisa jangan pilih apa pun y

  • RANJANG BERDARAH   Godaan Setan

    Banyak cara yang bisa Iblis lakukan untuk menyesatkan anak turun Adam. Sama dengan nenek moyangnya, beberapa golongan jin tertentu juga selalu mempunyai tipu daya, muslihat, dan jebakan untuk menggoda kaum yang ia anggap lemah dan rendahan. Umur mereka yang panjang, serta wujud yang tak kasat mata menguntungkan tugasnya dalam menyesatkan manusia dari ajaran Allah SWT. Sebagian dari jenisnya memiliki kemampuan untuk mendeskripsikan masa lalu, meniru seseorang, meramal masa depan, bahkan menciptakan ilusi yang mampu memperdaya akal dan pikiran manusia. Kemampuan yang diturunkan nenek moyang itu pulalah yang dimiliki oleh Nyai Damini. Dibantu para budak dari golongan sama, di alamnya, dia mampu menciptakan jenis godaan maha dasyat yang tak akan mampu ditolak makhluk berakal seperti manusia, khususnya Jihan. Perempuan itu terpedaya, dalam dunia yang diciptakan berdasarkan hasrat dan harapan terbesarnya. Hanya setitik noda hitam di hati bersih perempuan itu sudah cukup untuk membuka cela

  • RANJANG BERDARAH   Jebakan

    Lalu-lalang orang masih terlihat di lokasi kejadian. Sirine ambulans dan mobil polisi bersahutan mengelilingi bangunan 1000m² yang berada di tengah-tengah Perkebunan Teh, seluas dua hektare. Bukan hanya kepolisian, tapi pasukan angkatan khusus juga dikerahkan dalam menangani kasus serius yang sudah lebih dari dua puluh tahun tak terungkap ini. Mengingat kasus yang tengah mereka tangani berhubungan dengan salah satu detektif yang kompeten di bidangnya. Fahri Azikri alias Ganjar Pratama telah ditetapkan sebagai tersangka utama yang bertanggung jawab atas kematian dan banyaknya korban berjatuhan. Selain dalang dari organisasi sesat yang sudah berdiri selama dua puluh tahun lamanya, dia juga terancam pasal berlapis lainnya. Tentang pemalsuan identitas, pembunuhan berencana, pendiri organisasi ilegal, juga dengan sengaja menutupi bukti kejahatan.Sementara Bu Yuli, Bahar, dan tiga puluh orang lainnya masih berstatus saksi, sebelum pengadilan resmi menjatuhkan hukuman untuk orang-orang ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status