Adzan subuh berkumandang, menyadarkanku dari tidur lelap sepanjang malam aku segera bergegas bangkit dan membersihkan diri lalu menghamparkan sejarah dan beribadah.
Kulangitkan begitu banyak doa dan harapan kepada Tuhan, semoga sang pencipta meluaskan perasaanku dan menghilangkan semua rasa gelisah dan curiga di dada ini. Seusai melipat sejadah aku kemudian memakai kerudung lalu turun untuk menyiapkan sarapan dan membersihkan rumah. "Mbak aku berangkat lebih pagi ya," ucap Adila padaku yang terlihat telah siap pergi kuliah. "Tapi ini masih gelap ...." Aku heran sekali. "Aku adalah panitia organisasi di kampus, aku harus siap siap Mbak." "Oh, begitu ya, kalo gitu kamu sarapan dulu ya," kataku. "Baik, Mbak. Tapi aku boleh minta tolong Mas adam gak, buat nganterin aku takut aku telat," pintanya. "Kayaknya masih tidur deh, soalnya tadi malam ia begadang," tolakku halus, " atau gini aja, kamu pesan taksi online biar Mbak yang tambah uangnya." "Mas Adam udah bangun kok Mbak dia lagi manasin mobilnya." Apa? Benarkah kapan dia bangun mengapa aku tidak menyadarinya?biasanya Mas Adam akan mengucapkan selamat pagi dan mengecup keningku dan itu dia lakukan setiap hari selama kami menikah, ada apa dengannya? Biasanya suamiku tidak akan ke mana-mana sebelum meminum secangkir kopi dan mengasup makanan,aku tahu dia punya penyakit maag yang jika dia telat makan dia akan mengalami sakit perut dan kenaikan asam lambung. "Oh ya beneran? Mbak akan lihat dulu," aku sambil melangkah menuju ke halaman dan memeriksa kebenarannya. Benar saja, Mas Adam sudah menyalakan mesin mobilnya sambil bersiul-siul ia menyiramkan air membersihkan kendaraan itu. "Mas Adam ... Mas udah bangun sejak kapan?" "Sejak kamu salat tadi," jawabnya singkat. "Kok, aku nggak sadar sih? Mas udah salat belum?" "Hmmm, su-sudah tadi," ujarnya. "Mas ... Ada apa sih, kamu kok aneh banget hari?" "Ah enggak kok, ayo Adila buruan!" Dia memanggil adikku untuk mengalihkan pembicaraan. "Pergi dulu, ya Mbak." Gadis itu mencium pipi kananku kemudian naik ke atas mobil dan perlahan kendaraan itu mundur meninggalkan halaman rumah. Ingin rasanya aku mengikuti dan melihat kegiatan mereka, tapi aku harus mengurus rain dan Clara sehingga aku harus menahan keinginan itu hingga suatu saat nanti. "Aku tidak tahu apa yang mereka rencanakan tapi aku benar-benar punya firasat yang tidak baik." Aku segera membersihkan rumah lalu menyiapkan sarapan anak-anakku dan membangunkan mereka. Aku kemasi Clara dan menyiapkan sarapan Rain dengan hati yang sudah tidak nyaman adanya. Perasaan ini gelisah dan gundah gulana seolah ada sesuatu yang membuatku merasa sedih tanpa sebab, aku merasa kehilangan sesuatu yang besar karena perasaanku terenyuh tanpa kumengerti alasannya. "Harus mencari cara agar tahu apa yang sedang terjadi antara Mas Adam dan adik kandungku." Aku bersenandika. * "Bunda ... Bunda kenapa melamun terus?" tanya Rain ketika ia menikmati sarapan paginya "Ah, gak apa apa, lelah sarapannya dan Bunda akan antar kamu ke sekolah," jawabku. "Tapi kok kayaknya Bunda khawatir?" "Gak Sayang, kamu salah lihat aja," balasku sambil tersenyum. "Ayah sama Tante Adila terus, kenapa?" Hah, kenapa Rain berkata begitu tiba tiba, apakah anakku menyadari sebuah kejanggalan? "Kok Rain ngomong gitu?" "Ngerasa aneh, aja Bund, ayah lebih banyak sama Tante daripada sama bunda," jawab Rain. "Ah, gak kok sayang, Tante Adila adik Bunda, gak apa kok sayang," kataku yang lalu bergegas mengambil kunci motor dan menggendong Clara. "Ayo biar Bunda nganter Rain, sekalian mau ke pasar." * Siang hingga sore hari berjalan dengan normal suamiku pulang tepat waktu seperti biasa jam 4 sore, lalu dia mandi kemudian mengajak anak-anaknya bermain dan belajar. Menjelang magrib Adila pulang dan langsung naik ke kamarnya. Selesai menjalankan ibadah magrib kami semua berkumpul di meja makan menikmati makan malam dan membubarkan diri setelah semuanya selesai. Pukul 8 malam aku telah selesai menidurkan Clara kemudian beralih ke kamar rain untuk memastikan bahwa putraku menghafal ayat ayat Al Qur'an yang diminta gurunya sebagai tugas sekolah. Ketika aku masuk ke kamarnya bacaan murottal di laptop masih menyala sedang anaakku telah tertidur dengan posisi kaki yang turun sebelah dari ranjangnya. "Anak pintar," gumamku sambil membenahi selimutnya. Seusai menutup pintu kamar lain aku beralih ke kamar utama untuk melihat kegiatan suamiku di sana,seperti biasa aku tak kudapati dia di meja kerjanya sedang sibuk berkutat dengan layar laptop, meski aku ingin mengajaknya mengobrol tapi sepertinya dia sedang tidak ingin diganggu, aku memilih untuk merebahkan diri di peraduan dan berusaha memejamkan mata. "Mas ...." "Hmmm." Ia tak menoleh. "Aku ingin tanya," kataku pelan. "Silakan." "Kamu dan adikku baik-baik saja kan?" "Maksud kamu, kami tidak pernah bertengkar," jawabnya acuh. "Aku rasa kebaikan dan pelayananmu terhadap Adila melebihi kebaikanmu terhadap istri sendiri, aku rasa itu ...." "Bisa tidak menghancurkan mood-ku yang sedang baik dan fokus bekerja?" "Iya." "Baik, silakan tidur." Ia dingin sekali mengatakan itu. Kurebahkan diri dan menarik selimut dengan hati remuk redam, dada ini sakit, hati ini terluka dan merasa diabaikan oleh imanku sendiri. Perlahan air mata ini meleleh dan entah bagaimana mengurangi rasa sesak yang kini menekan dadaku. * Pukul 12 malam aku terbangun karena merasa ingin ke kamar kecil, kukerjabkan mata sembari mengumpulkan kesadaran. Dan kudapati seperti malam-malam kemarin Mas Adam tidak berada di sampingku. Deg! Tiba-tiba ada rasa yang memburu dan bergejolak di dalam dadaku yang aku tidak mengerti apa maksudnya. maka Aliyah adik ke kamar mandi aku segera berlari mencari Mas Adam ke seluruh sudut rumah. Kunaiki tangga dengan dada yang meletup-letup rasanya namun keadaan sepi dan lengang saja. "Rain apa yang kamu lakukan malam begini berdiri di sini?" tanyaku mendapati anakku berdiri di depan kamarnya, sedang putraku terlihat terkejut. "Bunda sendiri kenapa naik ke sini?" "Aku ... Mencari ... Ah, sudahlah sayang, sebaiknya kamu masuk," suruhku padanya. Setelah memastikan anakku masuk dan tidur kembali aku kemudian beralih ke kamar Adila dan mengetuk pintunya perlahan. Tok ... Tok .... "Adila ...." "Hmm ... Iya mbak, kenapa?" Jawabnya pelan dari dalam sana. "Buka pintunya." Ia melangkah untuk membukakan pintu kamarnya. betapa terkejut aku menyaksikan penampilan adikku ketika dia membuka pintu, dadaku bergemuruh dan jantungku seolah berhenti berdetak melihatnya sedang memakai lingerie berwarna pink dengan belahan dada yang rendah dan sebelah tali bahunya turun ke bawah. "Adila baju kamu ...." "Aku cobain soalnya lucu," jawabnya. "Tapi ...." "Wajar aja kali mbak, aku kan wanita, lagian aku pakenya di kamar sendiri," jawabnya santai. Aku merangsek sambil menyingkirkannya dan hati ini makin sakit ketika mendapati ranjang adikku yang begitu berantakan dengan posisi bantal yang terlempar kemana-mana. Aku tahu pasti ... tidak mungkin Adila tidur dengan cara seberantakan ini. "Kamu habis ngapaian Dil?" "Maaf aku tadi, mungkin ... anu ....." "Aisyaaaaaah ...." Panggilan Mas Adam dari bawah sana menyentakkan pikiranku yang semrawut. "Tapi kok jendela dibuka malam malam begini?" Aku menunjuk tirai yang sedang melambai di terbangkan angin. "Ah maaf, aku lupa menutupnya." Aneh, ini sungguh aneh, ya Allah, apa yang terjadi?Hingga jenazah ibu akan diberangkatkan pulang kampung, Mas Adam belum datang atau memberi kabar sama sekali. Ia bahkan tak menjawab telepon Adila yang berharap ia segera datang."Ya, ampun mana Mas Adam, di saat seperti ini ia harusnya ada di sisiku," ratap gadis itu.Aku hanya tersenyum sambil menggeleng kecil mendengar ratapannya, tanpa malu ia menggumamkan nama pria yang dia rebut dari kakaknya sendiri. Kesal sekali aku padanya.Tepat dan saat mobil ambulans akan berangkat tiba-tiba calon mantanku hadir, Adila langsung menghambur dan meraung di pelukan kekasihnya dengan manja sedang aku hanya meringis menahan apa yang sedang merasa tak nyaman di dalam dada.Perlahan kuseret langkah menjauh, berniat kembali ke rumahku dan menemui anak-anakku, namun ayah menahan langkah dan memintaku untuk ikut."Maaf, ayah, aku gak bisa, Rain dan Clara tidak ada yang mengurus, maaf ya ayah," ujarnya sambil menangkupkan tangan.Ayahpun naik mendampingi jenazah Ibu dan ketika pintu ambulans di tutup t
Perlahan kubayar pengacara untuk mengurusi perkara pembagian harta dan berusaha agar aku memenangkan pembagian tersebut karena bagaimana pun aku punya dua anak yang seharusnya memenangkan aset ayahnya.Pintu rumah di ketuk dan ketika kubuka wajah yang kubenci itu muncul lagi, ia mengenakan kerudung dan matanya nampak sembab oleh air mata.Drama apa lagi ini?"Boleh aku masuk?""Untuk apa? Maaf kebetulan aku mau pergi antar pesanan kue kering dan pakaian.""Sebentar saja, Mba," ujarya memelas."Baik," jawabku sambil mendengkus kesal.Dia mengambil tempat duduk di depanku kali mulai berbicara pelan,"Mbak, aku ingin kamu bicara pada Mas Adam, tadinya aku akan membiarkan dia memilih apa yang dia inginkan, tapi sesuatu terjadi," gumamnya sambil mengusap air mata."Apa?""Aku ha-hamil, Mbak," jawabnya pelan."Aku tidak terkejut karena kalian memang berzina, dan anak hasil berzina itu adalah ....""Tolong jangan dilanjutkan Mbak, aku sakit, aku merasa gak berharga setelah ini," ucapnya."K
Iya, bisa mati berdiri jika begini,. Adila panik dan hendak membantu ibu berdiri namun wanita itu lemas dan tatapan matanya kosong. "Dengar, Bu. Seumur hidup aku tak pernah menyusahkan Ibu. Sekali ini tolong jangan susahkan aku, jika ibu sangat menjaga kehormatan Adila maka dari awal jangan biarkan dia merayu suamiku." Wanita itu tak menjawab, seolah kehilangan kata-katanya. Sedang anaknya menangkap sinyal bahwa sebentar lagi Ibu akan pingsan. "Panggilkan ambulance untuk Ibu, dan bawa dia ke rumah sakit," ujarku sambil berlalu. "Setidaknya Mbak menghargai kalo ibu pernah membesarkan Mbak," teriak Adila yang berusaha mencegahku masuk. "Aku menghargai ... karenanya aku tak sampai berbuat kasar. Setelah hari ini jangan ganggu aku lagi." Tiba-tiba tubuh ini tersungkur dan Adila makin panik, menjerit dan memanggil manggil nama ibu. "Ambil saja Mas Adam, tapi tolong selamatkan Ibu ...." "Maaf aku tidak mengambil barang rongsokan. Jika kau kehilangan minat terhadap pria itu m
"Tolong ... tolong ...." Sayup-sayup kudengar di antara gemuruh hujan yang semakin deras.Karena merasa ingin sekali tahu, perlahan kuseret langkah menuju halaman, menggeser gerbang lalu mencoba mengintip dengan napas tertahan.Di tengah jalan yang masih lengang, kulihat Adila tengah memeluk tubuh yang tergolek.lemah.Ia menangis dan meraung kencang dan di detik kesekian aku sadar bahwa pria yang sedang dia peluk adalah suamiku. Mobil-mobil menepi dan penumpangnya turun, mengerumuni dan berusaha memberi bantuan sedang aku mematung di depan pintu pagar tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. "Tolong ... tolong bawa dia ke rumah sakit, dia ditabrak mobil dan mobilnya kabur," jerit Adila dengan panik.Ia terlihat ketakutan dan panik berlari ke ana kemari dan memohon pada orang orang agar segera menghitung Mas Adam dengan cepat."Mbak Aisyah ... Mbak, tolong aku," ucapnya dengan air mata berderai dan ia berusaha menggapai bahuku.Aku membisu dan tak tahu harus bilang apa, tatapanku na
Ya, aku marah luar biasa, aku kesal pada ketidak tegasannya sebagai pria. Aku ingin sekali mencabik cabik wajahnya hingga ia minta ampun. Apakah mulutnya sudah benar benar terkunci melihat ketidak adilan yang terjadi pada kami? Ia bungkam ketika ibu mencercaku, ia bahkan tak berusaha melerai mereka."Gini ya, aku akan buktikan," kata ibu dengan emosi menjadi jadi. "Coba Nak adam, mendekat sini," panggilnya."Ada apa Bu?" tanya suamiku dengan ekpspresi terpaksa."Katakan pada Aisyah, kau lebih memilih siapa? Adila atau dia? Ibu mau tahu," desak ibu sambil mendelik ke arahku dengan sinis."Anu .. Bu, izinkan saya ... Maksud saya, saya butuh waktu, saya dan Aisyah juga belum bercerai," balas suamiku"Jadi kau memutuskan untuk membela Aisyah?" tanya ibu dengan nada meninggi."Tidak juga Bu, begini ....""Ehm, sebaiknya kita pergi, Bu, malu sama tetangganya Aisyah, kita gak mau ngerusuh di kampung orang," ujar ayah sambil merangkul pundak Ibu."Ayah, katakan sesuatu, kenapa sejak kemarin
Aku tak akan membuang waktu lagi, dengan menjual emas dan mengumpulkan sisa keuntungan dari bisnis online, aku segera pergi ke kantor pengacara untuk meminta bantuannya."Pak, saya datang kemari dengan harapan besar atas bantuan Bapak, saya berencana akan menggugat cerai suami saya, saya ingin mendapatkan hak asuh serta memenangkan rumah.""Kenapa mengajukan cerai?""Karena dia telah berzina dengan adik kandung saya sendiri," jawabku."Mengapa tidak dilaporkan ke kantor polisi?""Karena saya berat pada orang tua, mereka telah membesarkan saya."Pria itu terlihat berfikir keras lalu berkata."Anda sungguh yakin dengan keputusan anda, Bu?""Insya Allah Pak, lagi pula saya lelah memberi mereka kesempatan untuk sadar dan berubah, tapi tampaknya sia-sia, suami telah saya usir dan diapun tidak punya itikad untuk mmeimta maaf atau mengunjungi anak-anaknya.""Apakah ini sudah lama?""Perselingkuhannya sudah lama, namun kami berpisah ranjang baru satu bulan lebih," jawabku."Ibu yakin suami
Seharusnya tidak begini lemahnya, aku sebagai istri sah, terkungkung dalam kesedihan yang panjang dan harapan bahwa Mas adam akan kembali, omong kosong!.Mana mungkin dia kembali jika sebentar lagi dia akan menikahi adila. Memangnya kenapa kalau mereka menikah dan hidup bahagia? pantaskah karena itu aku akan meringkuk memeluk sedih dan tidak mampu berdiri dan menata hidup mandiri? Aku tidak mau sekonyol itu, orang-orang akan menertawakanku sebagai budak cinta yang menyia-nyiakan hidup sendiri dan aku tidak akan menunjukkan kebodohan semacam itu.Jika ditelaah lebih jauh, sikap orang tuaku juga tidak adil kepadaku mereka memperlakukanku seolah anak tiri yang tidak patut untuk diperjuangkan haknya, tidakkah ayah dan ibu berpikir bahwa Mas Adam jelas-jelas suamiku dan Adila adalah benalu yang telah merusak rumah tangga kami, namun jauh harapan dari kenyataan, mereka malah membela anak bungsunya dan aku tidak berdaya untuk mengomentari lebih jauh.Lalu apa yang harus aku lakukan saat ini
Aku tak percaya juga jika akupun bisa marah seperti itu, mungkin ssudah demikian kenal ditambah akumulasi rasa sakit dan dendam sehingga membuatku kehilangan kendali.Ah, lagipula pelajaran itu terlalu ringan untuknya, karena mereka sudah memutuskan untuk selalu menggangguku maka, aku putuskan juga untuk mengacaukan hidup mereka. Sepadan? iya, kurasa iya.Aku kembali ke rumah menaiki motor milikku bersama Clara sedang dua manusia laknat itu menatap kepergianku dengan sorot heran sekaligus ngeri di mata mereka. Tentang reaksi sekitar? jangan tanya lagi, mereka dibully habis-habisan.*Siang hari, aku dan kedua anakku di meja makan."Bunda ... bagaimana jualan Bunda, lancar?"Tumben sekali ia menanyakan itu, apalagi dia hanya bocah kelas lima SD."Memangnya kenapa sayang?""Ehm, kalo lancar aku boleh minta uang kebuh ya, Bund, ada praktek yang mengharuskan kita beli alat di toko buku," jawabnya sambil tersenyum."Oh, tentu sayang," balasku setengah terharu atas pengertiannya sebagai se
Aku tidak harus selalu sedih memikirkan tentang mereka setiap kali aku teringat atau membayangkan apa yang sedang mereka lakukan air mata ini tumpah begitu saja tanpa Alasan.Aku tidak mampu menepiskan kesedihan yang besar dan kekecewaanku juga kepada Mas Adam. Teganya dia menghancurkan mahligai pernikahan kami, teganya dia meninggalkan Rain dan Clara demi kekasih baru yang telah merebut hatinya, Adila adikku sendiri"Biarkan mereka menikah dan menjalani, bahtera rumah tangga yang mereka inginkan, biarkan Adila merasakan menjadi istri dari Suamiku itu."Mereka saat ini pasti bahagia tinggal di sebuah apartemen dengan flat yang sama, aku yakin kebahagiaan itu bertambah ketika tidak seorangpun berdiri untuk menghalangi mereka saling memeluk dan berbagi kehangatan.Tiap waktu aku memikirkan tentang itu, membuatku tidak fokus, seringnya aku berdiri terpaku atau duduk dalam keadaan termenung membuat aku sendiri merasa salah, nggak usah bawa hidup ini tidak akan berjalan sesuai dengan kei