Share

2. tugas

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-04-05 08:00:05

Mereka saling melirik dengan binar yang sulit kumengerti apa maksudnya.

"Kayaknya tadi kamu lupa sesuatu deh,"

"Apaan sih, Mas, aku nggak lupa apa-apa kok," jawab adyla sambil tertawa dan sedikit menyentuh dada Mas Adam. Dan itu dilakukan di hadapanku, benar-benar keterlaluan.

"Ehem, kalian agak terlambat dari mana ya?" tanyaku yang sengaja mengalihkan perhatian mereka.

"Macet." Mas Adam menjawab singkat.

"Adila kamu langsung ke atas, habis itu ganti baju lalu bantu Mbak masak di dapur," pintaku kepada adikku itu.

"Iya mbak."

Gadis berusia 20 tahun itu naik ke atas untuk mengganti pakaiannya, selepas naiknya dia Mas Adam langsung menghampiri dan mencolek lenganku.

"Kamu ngapain sih suruh suruh dia, kamu tahu kan kalau sepanjang hari dia di kampus pastinya capek banget, sampai sakit orang tuamu pasti akan marah."

"Sejak kapan Mas ada menjadi begitu perhatian kepada Adila, wajar aja kok kalau dia nolongin aku di dapur, lagipula dia tinggal di sini sedikit tidaknya dia harus membantu kita."

"Iya tapi nggak sekejam itu juga kali," sangkalnya.

"Selama tinggal di sini, Adila sering membantuku beres-beres di rumah. kenapa baru didramatisir sekarang?"

Mas Adam seketika bungkam mendengar argumenku terhadap ucapannya barusan.

"Ya udah terserah kamu aja." Ia melengos dan meninggalkanku menuju kamar utama.

*

Seperti biasa pukul delapan malam, kami berkumpul di meja makan, aku, Mas Adam dan kedua anak kami serta Adila.

Biasanya aku akan cerewet bertanya tentang kegiatan suami dan adik kandungku itu, apa saja yang mereka lalui hari ini. Namun melihat kedekatan yang tidak wajar itu membuat diriku malas untuk banyak bicara.

"Uhm, Adila uang semester kamu sudah dibayarkan belum?" Mas Adam pada adikku yang sibuk mengunyah makanannya.

"Oh, itu ... Belum Mas," jawabnya.

"Berapa biayanya biar Mas yang bayarkan," tawarnya.

"Sebentar lagi kiriman dari bapak akan datang, mas tidak perlu khawatir sampai harus mengcover biaya kuliah Adila."

Aku menimpali percakapan mereka.

"Iya Mas, gak usah," sambung gadis itu lirih.

"kalau kamu sampai telat membayar kamu bisa diperingatkan oleh bagian administrasi kampus, itu bisa membuat kita malu."

"Mas Adam nggak perlu khawatir, aku akan telepon Bapak dan meminta beliau mengirimkan uang."

Adila terlihat mengakhiri makannya lalu melangkah pergi.

"Aku duluan ya Mbak, ada tugas yang harus aku kerjakan," katanya sambil berjalan menuju kamarnya.

"Iya."

"Kamu kalo butuh sesuatu langsung ngomong aja ya," ujar Mas Adam sesegera mungkin membuat dadaku makin digelayuti rasa cemburu dan marah.

"Iya, Mas." Gadis itu menatap sekilas dengan tatapan penuh makna lalu mengedipkan matanya perlahan dan naik ke lantai dua.

"Mas jangan terlalu memberi perhatian lebih bersikap wajar karena dia adalah adikku."

"Kamu ini aneh sekali ya, justru karena dia adikmu aku bersikap baik, andai dia orang lain, ya, bodo amat 'kan, ya?"

"Dengar Mas, aku nggak nyaman dengan kedekatan yang berlebihan Mas juga harus menjaga perasaanku sebagai istri"

"Sudahlah jangan menghilangkan selera makanku." Ia segera mengunyah makanan dengan cepat, meneguk sisa air yang ada di dalam gelas nya lalu bangkit meninggalkanku begitu saja di meja makan.

Biasanya kami bercengkrama dengan penuh keceriaan dan tawa, kami tidak akan saling meninggalkan sebelum sesi makan benar-benar berakhir, tapi kali ini. Semuanya berubah drastis.

*

Pukul 10 malam aku terbangun karena merasa haus, jadi, kuputuskan untuk bangkit sejenak untuk meneguk segelas air.

Setelah mengerjapkan mata dan meraba-raba disisiku, ternyata tidak ada Mas Adam di sana.

Agak heran karena biasanya jam 10 malam suamiku sudah berada di peraduan untuk melepas lelah, dia tidak terbiasa tidur larut malam karena pagi-pagi dia harus bangun dan berangkat kerja.

"Mas Adam...." kupanggil Dia mungkin suamiku sedang berada di kamar mandi.

Tapi, tidak ada sahutan sedikitpun.

"Mas ...." Aku jadi penasaran jangan buru-buru menyibak selimut untuk mencari keberadaannya.

Entah mengapa ketika membuka pintu kamar dan melihat suasana rumah yang lengang dadaku menjadi berdebar-debar.

Kulangkahkan kaki dengan perlahan sambil menahan nafas mencoba menelusuri sudut rumah, ruang tv, ruang makan, ruang tamu hingga dapur. Namun sayangnya tidak ada Mas Adam di sana.

Sekarang tatapan mataku teralihkan kepada tangga menuju lantai 2, batinku bersenandika sendiri apakah suamiku sedang berada di atas sana atau tidak, dia ada di atas sana apa yang dilakukan? Namun, jika dia tidak berada di sana lantas di mana dia berada?

Kusibak tirai jendela, untuk memastikan bahwa Mas Adam tidak berada di teras maupun garasi, garasi mobil yang tidak berdinding membuatku mudah mengetahui ada tidaknya Mas Adam di sana.

"Benar dia tidak ada di sana, lalu di mana dia sekarang?"

Di lantai 2 hanya ada 2 kamar, yang satu kamar adila dan satu lagi kamar Rain putraku. Lalu ada sebuah ruang dengan dinding tanpa sekat yang diperuntukkan untuk tempat bermain Rain dan Clara.

"Haruskah aku ke sana?" Ada perang batin yang saling bergejolak di dalam dadaku.

Perlahan kulangkahkan kaki meniti anak tangga sambil terus mengedarkan pandangan berusaha menemukan di mana Mas adam. Jika ternyata dia keluar dari rumah maka aneh sekali jika dia tidak memberitahuku.

Sesampai di atas kupindahin seluruh ruangan bermain dan koridor yang menghubungkan dua kamar dimana hanya ada lampu tempel dinding yang berwarna kuning sedang menyala temaram.

Lamat-lamat kudengar suara orang berbisik lalu tertawa cekikikan.

Nuansanya sedikit seram karena pencahayaan yang tidak begitu terang sedikit membuatku bergidik tapi aku yakin jika yang sedang bercakap dan tertawa itu adalah manusia.

Kini aku benar-benar sudah berdiri di depan pintu kamar Adila, dari dalam tanah ke dengar suara mereka, Ia mereka, aku tahu sekali suara Mas Adam dan adik kandungku itu. Mereka bercakap-cakap dengan suara berbisik nama aku masih bisa menangkap bahwa mereka sedang membahas sesuatu.

Tok ... Tok ....

Kuketuk pintu kamar dengan cepat sedangkan darahku berdesir begitu cepat, berlomba naik ke otak.

"Mas Adam, Adila! Buka pintunya?"

"Masuk aja Mbak nggak dikunci kok," jawabnya santai dari dalam sana.

putar handle pintu lalu membukanya dengan cepat dan kudapati 2 orang itu sedang duduk menghadapi layar komputer.

Posisinya berada di depan meja komputer dan duduk bersila di lantai sedang Adila tidur dalam posisi menelungkup di ranjangnya.

Mengapa mereka berdua malam-malam begini berada di kamar dalam keadaan pintu tertutup, dan posisi Dila yang begitu santai di hadapan kakak iparnya apakah itu adalah hal yang wajar?

"Apa yang sedang kalian lakukan?"

"Mas Adam lagi bantuin aku ngerjain tugas kuliah?"

"Kenapa pintunya ditutup?" cecarku.

"Cuaca dingin di luar Mbak, Mbak tahu sendiri kan kalo jendela yang pecah itu belum diganti kacanya, lagian aku dan Mas Adam nggak ngapa-ngapain kok," jawabnya santai sambil melirik Mas Adam dan ditanggapi dengan senyuman oleh suamiku.

"Ayo Mas ini sudah malam tidak baik juga kau berada di kamar seorang gadis."

"Baik, oke Adila kamu lanjutin sendiri ya," ucap Mas Adam sambil bangkit dan meninggalkan Adila.

"Iya Mas nggak papa. Makasih ya udah bantuin, Maaf Mbak, tadi aku pinjam suaminya sebentar." Ia tertawa kecil tanpa menunjukkan ekspresi takut sedikit pun padaku kakaknya.

"Apa maksudmu mengatakan kalimat pinjam?" aku mengernyit sambil menatap tajam kepadanya.

"Uhm anu ... Maksudku ...."

"Udahlah, aku cuma bantuin bentar kok, lagian tadi aku belum ngantuk," timpal Mas Adam sambil meraih tanganku lalu menuntunku keluar dari kamar Adila.

"Kamu apa apaan sih, mas," protesku ketika kami menuruni tangga.

"Nggak apa-apa aku kan cuman bantuin, kenapa sih mesti dijadikan alasan untuk marah?

"Aku tidak ingin menimbulkan fitnah Mas, kalau memang mau dibantu bisa kan dibantu di ruang keluarga atau di meja makan tidak harus di kamarnya," ujarku mendelik padanya.

"Kau hanya cemburu," ujarnya pelan

"Nggak juga Mas, aku hanya ingin menjaga kehormatan keluarga kita saja."

"Udah, kamu nggak usah khawatir." dia menyentuh kedua bahuku sambil tersenyum lalu merangkulku dan mengajakku ke kamar kamu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    23

    Hingga jenazah ibu akan diberangkatkan pulang kampung, Mas Adam belum datang atau memberi kabar sama sekali. Ia bahkan tak menjawab telepon Adila yang berharap ia segera datang."Ya, ampun mana Mas Adam, di saat seperti ini ia harusnya ada di sisiku," ratap gadis itu.Aku hanya tersenyum sambil menggeleng kecil mendengar ratapannya, tanpa malu ia menggumamkan nama pria yang dia rebut dari kakaknya sendiri. Kesal sekali aku padanya.Tepat dan saat mobil ambulans akan berangkat tiba-tiba calon mantanku hadir, Adila langsung menghambur dan meraung di pelukan kekasihnya dengan manja sedang aku hanya meringis menahan apa yang sedang merasa tak nyaman di dalam dada.Perlahan kuseret langkah menjauh, berniat kembali ke rumahku dan menemui anak-anakku, namun ayah menahan langkah dan memintaku untuk ikut."Maaf, ayah, aku gak bisa, Rain dan Clara tidak ada yang mengurus, maaf ya ayah," ujarnya sambil menangkupkan tangan.Ayahpun naik mendampingi jenazah Ibu dan ketika pintu ambulans di tutup t

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    22

    Perlahan kubayar pengacara untuk mengurusi perkara pembagian harta dan berusaha agar aku memenangkan pembagian tersebut karena bagaimana pun aku punya dua anak yang seharusnya memenangkan aset ayahnya.Pintu rumah di ketuk dan ketika kubuka wajah yang kubenci itu muncul lagi, ia mengenakan kerudung dan matanya nampak sembab oleh air mata.Drama apa lagi ini?"Boleh aku masuk?""Untuk apa? Maaf kebetulan aku mau pergi antar pesanan kue kering dan pakaian.""Sebentar saja, Mba," ujarya memelas."Baik," jawabku sambil mendengkus kesal.Dia mengambil tempat duduk di depanku kali mulai berbicara pelan,"Mbak, aku ingin kamu bicara pada Mas Adam, tadinya aku akan membiarkan dia memilih apa yang dia inginkan, tapi sesuatu terjadi," gumamnya sambil mengusap air mata."Apa?""Aku ha-hamil, Mbak," jawabnya pelan."Aku tidak terkejut karena kalian memang berzina, dan anak hasil berzina itu adalah ....""Tolong jangan dilanjutkan Mbak, aku sakit, aku merasa gak berharga setelah ini," ucapnya."K

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    21

    Iya, bisa mati berdiri jika begini,. Adila panik dan hendak membantu ibu berdiri namun wanita itu lemas dan tatapan matanya kosong. "Dengar, Bu. Seumur hidup aku tak pernah menyusahkan Ibu. Sekali ini tolong jangan susahkan aku, jika ibu sangat menjaga kehormatan Adila maka dari awal jangan biarkan dia merayu suamiku." Wanita itu tak menjawab, seolah kehilangan kata-katanya. Sedang anaknya menangkap sinyal bahwa sebentar lagi Ibu akan pingsan. "Panggilkan ambulance untuk Ibu, dan bawa dia ke rumah sakit," ujarku sambil berlalu. "Setidaknya Mbak menghargai kalo ibu pernah membesarkan Mbak," teriak Adila yang berusaha mencegahku masuk. "Aku menghargai ... karenanya aku tak sampai berbuat kasar. Setelah hari ini jangan ganggu aku lagi." Tiba-tiba tubuh ini tersungkur dan Adila makin panik, menjerit dan memanggil manggil nama ibu. "Ambil saja Mas Adam, tapi tolong selamatkan Ibu ...." "Maaf aku tidak mengambil barang rongsokan. Jika kau kehilangan minat terhadap pria itu m

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    20

    "Tolong ... tolong ...." Sayup-sayup kudengar di antara gemuruh hujan yang semakin deras.Karena merasa ingin sekali tahu, perlahan kuseret langkah menuju halaman, menggeser gerbang lalu mencoba mengintip dengan napas tertahan.Di tengah jalan yang masih lengang, kulihat Adila tengah memeluk tubuh yang tergolek.lemah.Ia menangis dan meraung kencang dan di detik kesekian aku sadar bahwa pria yang sedang dia peluk adalah suamiku. Mobil-mobil menepi dan penumpangnya turun, mengerumuni dan berusaha memberi bantuan sedang aku mematung di depan pintu pagar tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. "Tolong ... tolong bawa dia ke rumah sakit, dia ditabrak mobil dan mobilnya kabur," jerit Adila dengan panik.Ia terlihat ketakutan dan panik berlari ke ana kemari dan memohon pada orang orang agar segera menghitung Mas Adam dengan cepat."Mbak Aisyah ... Mbak, tolong aku," ucapnya dengan air mata berderai dan ia berusaha menggapai bahuku.Aku membisu dan tak tahu harus bilang apa, tatapanku na

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    19

    Ya, aku marah luar biasa, aku kesal pada ketidak tegasannya sebagai pria. Aku ingin sekali mencabik cabik wajahnya hingga ia minta ampun. Apakah mulutnya sudah benar benar terkunci melihat ketidak adilan yang terjadi pada kami? Ia bungkam ketika ibu mencercaku, ia bahkan tak berusaha melerai mereka."Gini ya, aku akan buktikan," kata ibu dengan emosi menjadi jadi. "Coba Nak adam, mendekat sini," panggilnya."Ada apa Bu?" tanya suamiku dengan ekpspresi terpaksa."Katakan pada Aisyah, kau lebih memilih siapa? Adila atau dia? Ibu mau tahu," desak ibu sambil mendelik ke arahku dengan sinis."Anu .. Bu, izinkan saya ... Maksud saya, saya butuh waktu, saya dan Aisyah juga belum bercerai," balas suamiku"Jadi kau memutuskan untuk membela Aisyah?" tanya ibu dengan nada meninggi."Tidak juga Bu, begini ....""Ehm, sebaiknya kita pergi, Bu, malu sama tetangganya Aisyah, kita gak mau ngerusuh di kampung orang," ujar ayah sambil merangkul pundak Ibu."Ayah, katakan sesuatu, kenapa sejak kemarin

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    18

    Aku tak akan membuang waktu lagi, dengan menjual emas dan mengumpulkan sisa keuntungan dari bisnis online, aku segera pergi ke kantor pengacara untuk meminta bantuannya."Pak, saya datang kemari dengan harapan besar atas bantuan Bapak, saya berencana akan menggugat cerai suami saya, saya ingin mendapatkan hak asuh serta memenangkan rumah.""Kenapa mengajukan cerai?""Karena dia telah berzina dengan adik kandung saya sendiri," jawabku."Mengapa tidak dilaporkan ke kantor polisi?""Karena saya berat pada orang tua, mereka telah membesarkan saya."Pria itu terlihat berfikir keras lalu berkata."Anda sungguh yakin dengan keputusan anda, Bu?""Insya Allah Pak, lagi pula saya lelah memberi mereka kesempatan untuk sadar dan berubah, tapi tampaknya sia-sia, suami telah saya usir dan diapun tidak punya itikad untuk mmeimta maaf atau mengunjungi anak-anaknya.""Apakah ini sudah lama?""Perselingkuhannya sudah lama, namun kami berpisah ranjang baru satu bulan lebih," jawabku."Ibu yakin suami

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    17

    Seharusnya tidak begini lemahnya, aku sebagai istri sah, terkungkung dalam kesedihan yang panjang dan harapan bahwa Mas adam akan kembali, omong kosong!.Mana mungkin dia kembali jika sebentar lagi dia akan menikahi adila. Memangnya kenapa kalau mereka menikah dan hidup bahagia? pantaskah karena itu aku akan meringkuk memeluk sedih dan tidak mampu berdiri dan menata hidup mandiri? Aku tidak mau sekonyol itu, orang-orang akan menertawakanku sebagai budak cinta yang menyia-nyiakan hidup sendiri dan aku tidak akan menunjukkan kebodohan semacam itu.Jika ditelaah lebih jauh, sikap orang tuaku juga tidak adil kepadaku mereka memperlakukanku seolah anak tiri yang tidak patut untuk diperjuangkan haknya, tidakkah ayah dan ibu berpikir bahwa Mas Adam jelas-jelas suamiku dan Adila adalah benalu yang telah merusak rumah tangga kami, namun jauh harapan dari kenyataan, mereka malah membela anak bungsunya dan aku tidak berdaya untuk mengomentari lebih jauh.Lalu apa yang harus aku lakukan saat ini

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    16

    Aku tak percaya juga jika akupun bisa marah seperti itu, mungkin ssudah demikian kenal ditambah akumulasi rasa sakit dan dendam sehingga membuatku kehilangan kendali.Ah, lagipula pelajaran itu terlalu ringan untuknya, karena mereka sudah memutuskan untuk selalu menggangguku maka, aku putuskan juga untuk mengacaukan hidup mereka. Sepadan? iya, kurasa iya.Aku kembali ke rumah menaiki motor milikku bersama Clara sedang dua manusia laknat itu menatap kepergianku dengan sorot heran sekaligus ngeri di mata mereka. Tentang reaksi sekitar? jangan tanya lagi, mereka dibully habis-habisan.*Siang hari, aku dan kedua anakku di meja makan."Bunda ... bagaimana jualan Bunda, lancar?"Tumben sekali ia menanyakan itu, apalagi dia hanya bocah kelas lima SD."Memangnya kenapa sayang?""Ehm, kalo lancar aku boleh minta uang kebuh ya, Bund, ada praktek yang mengharuskan kita beli alat di toko buku," jawabnya sambil tersenyum."Oh, tentu sayang," balasku setengah terharu atas pengertiannya sebagai se

  • RANJANG (PANAS) ADIKKU    15

    Aku tidak harus selalu sedih memikirkan tentang mereka setiap kali aku teringat atau membayangkan apa yang sedang mereka lakukan air mata ini tumpah begitu saja tanpa Alasan.Aku tidak mampu menepiskan kesedihan yang besar dan kekecewaanku juga kepada Mas Adam. Teganya dia menghancurkan mahligai pernikahan kami, teganya dia meninggalkan Rain dan Clara demi kekasih baru yang telah merebut hatinya, Adila adikku sendiri"Biarkan mereka menikah dan menjalani, bahtera rumah tangga yang mereka inginkan, biarkan Adila merasakan menjadi istri dari Suamiku itu."Mereka saat ini pasti bahagia tinggal di sebuah apartemen dengan flat yang sama, aku yakin kebahagiaan itu bertambah ketika tidak seorangpun berdiri untuk menghalangi mereka saling memeluk dan berbagi kehangatan.Tiap waktu aku memikirkan tentang itu, membuatku tidak fokus, seringnya aku berdiri terpaku atau duduk dalam keadaan termenung membuat aku sendiri merasa salah, nggak usah bawa hidup ini tidak akan berjalan sesuai dengan kei

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status