RANJANG (PANAS) ADIKKU

RANJANG (PANAS) ADIKKU

last updateTerakhir Diperbarui : 2025-04-25
Oleh:  Ria AbdullahTamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Belum ada penilaian
23Bab
2.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi

Saat adikku diam-diam menyukai suamiku. Tak sengaja, kutinggalkan rumah dan kembali diam-diam, lalu dengan napas tertahan aku menemukan Suamiku sedang bercinta dengan adikku di kamarnya. aku yang sedang hamil hanya bisa berdiri dengan air mata tertahan. aku tak tahu apakah harus aku bersikap kejam ataukah bertahan. adikku dan suamiku adalah dua orang yang kucintai tapi mengapa mereka menghianatiku??

Lihat lebih banyak

Bab 1

adila

***

Ada apa dengan hatimu

Hati yang dulu ada untukku

Kini tak lagi sama ...

Ada apa dengan hatimu,

Karena tak kutemukan ruang yang sama, di mana aku pernah berada dan mengisinya dengan cinta.

*

Kidung kesedihan itu bergelayut di dalam hatiku setelah melihat perubahan Mas Adam, semuanya tak lagi sama suamiku mendadak dingin dan kaku setelah sekian bulan berlalu.

Dulu sebelum datangnya orang ketiga dalam rumah ini kami sangat bahagia, Mas adam memperlakukanku seperti boneka yang selalu ia gendong tinggi-tinggi dan peluk ketika ia berada di rumah. Kini ... aku tak ingat kapan terakhir kali ia menyentuh tanganku.

Aku menceritakan tentang orang ketiga bukan?

Aku tidak yakin dia adalah orang yang ketiga karena mustahil aku mencurigai adikku sendiri. Adikku satu-satunya yang dititipkan orang tua untuk tinggal di sini sementara ia menuntut ilmu di perguruan tinggi.

Dulunya Adila, kurang dekat dengan Mas Adam mereka sama sekali tidak pernah ngobrol berdua kecuali ada aku diantara mereka, adik perempuanku juga seperti menjaga jarak dengan kakak iparnya untuk menjaga perasaanku. Namun belakangan perlahan semuanya berubah kedekatan mereka berubah menjadi keakraban yang kutangkap sebagai sesuatu yang berlebihan.

Kadang aku merasa bahwa aku berlebihan,aku merasa aneh mencurigai mereka yang memang seharusnya dekat karena hubungan suami dan adikku merupakan ipar, namun aku kembali berpikir bahwa dalam agama seorang ipar pun harus dijauhkan dari pasangan kita karena sesungguhnya ipar itu adalah maut yang bisa menimbulkan ujian dan fitnah.

Aku mencoba menepis perasaan curiga dan tidak aman yang selalu meliputi di dalam dadaku selalu membisikan hal yang mengarahkan diri ini untuk curiga dan banyak bertanya.

"Mas Adam bisa anterin aku ke kampus nggak?" Pertanyaan itu, sebelumnya tidak pernah ada di meja makan, Adila selalu tahu jarak dan batasan sesuatu yang kiranya akan melukai perasaanku tidak dilakukan tapi semuanya sudah berubah dari 3 bulan yang lalu, seingatku begitu.

"Oh tentu saja Dila, aku akan berusaha untuk menyempatkan diri mengantarkanmu," jawab suamiku kepada adik kandungku yang memiliki tubuh semampai dan berkulit putih serta rambut panjang yang tergerai sebahu, hidung bangir, serta bibir tipisnya selalu menyunggingkan senyum yang menggemaskan dan tidak bosan di pandang, sehingga mustahil bagi seorang pria yang sering bertemu dan berinteraksi untuk tidak tertarik.

"Apakah itu tidak akan mengganggu aktivitas Mas Adam, Dil, biasanya kamu juga naik Gocar kan?"

"Iya, tapi belakangan aku merasa aman diantar oleh Mas Adam, nggak papa kan, Mbak?" Gadis itu sambil melirik manja kepada suamiku dan ditanggapi dengan senyum penuh arti oleh Mas Adam.

"Masa aman bagaimana? Taksi online dari aplikasi pun aman kok," sanggahku.

"Halah Yang gitu aja bisa dijadikan perdebatan, gak penting! Ayo Dil, kalo kamu udah kelar kita berangkat," ujar Mas Adam sambil mengibaskan tangannya ke udara.

"Iya Mas, ayo," jawab wanita itu sambil meneguk sisa jus jeruk terakhir di gelasnya.

Ingin kuprotes pada suamiku tentang sikap berlebihannya, namun aku tidak mau terlihat begitu cemburu di hadapan adikku, akan lucu jika pada akhirnya mereka tidak punya hubungan apa-apa. Tapi mendiamkan sikap berlebihan dan manja Adila kelihatannya akan membuatku makan hati selama berhari-hari.

"Bunda ...." Anakku membuyarkan lamunanku uang masih terdiam membisu di meja makan.

"Iya, Rain, ada apa sayang?"

"Ayah kok nggak jadi nganter aku ke sekolah? padahal Ayah udah janji kalau dia akan mengantar Rain dan tanda tangan kertas persetujuan kalo Rain boleh pergi bertanding baseball ke kota lain," tutur Rain Aditya, putra kebanggaan kami yang pintar dan berprestasi, dia kini berada di jenjang kelas lima SD.

"Oh benarkah, kalau gitu biar Bunda aja yang nganterin Rain."

"Bunda 'kan harus jaga Clara?" dia menyebut nama adiknya yang baru berusia satu tahun yang saat ini masih tertidur di peraduannya.

"Tapi Bunda bisa kok nyempetin nganterin rain ke sekolah kita ajak juga Clara," usulku sambil menyentuh kedua bahunya.

"Enggak usah Bun aku naik gojek aja, cuma ingetin aja sama ayah kalau besok adalah hari terakhir penandatanganan kertas persetujuan izin orang tua."

"Baik, Sayang."

putraku yang soleh itu kemudian mencium tanganku lalu melambaikan kecil dan berangkat pergi bayangannya yang menghilang dari balik pintu membuatku menghela nafas pelan.

"Bagaimana mungkin Mas Adam bisa lupa hal penting tentang anaknya padahal selama ini dia tidak pernah melakukan itu?"

"Apakah sekarang permintaan Adila lebih penting dari permintaan anak kami?"

Aku harus memikirkan cara untuk membahas semua ini dengan Mas Adam agar kecurigaan dan salah paham ini tidak berlarut-larut terjadi. Boleh bersikap baik kepada ipar, namun seorang suami juga harus menjaga batasan karena secara teknis Adila bukanlah mahramnya.

Lagipula Mas Adam tidak pernah bersikap sedemikian manis seperti itu pada wanita lain selain istrinya, kecuali tiga bulan ini.

Yang menjadi dilema adalah, haruskah aku mengusir adikku, sementara tanggung jawab kepada orang tua untuk menjaganya akan dipertanyakan, ataukah ... aku berbicara dari hati ke hati kepadanya bahwa aku tidak menyukai sikap manjanya kepada imam kami, tapi apakah itu tidak akan membuat dia tersinggung dan marah, lalu dia akan memilih kabur dari rumah ini karena alasan ketidak nyamanan.

Bila terjadi sesuatu tentu orang tuaku akan bertanya kepadaku tentang tanggung jawab yang mereka letakkan diatas pundak ini, tentang menjaga adikku hingga dia wisuda nanti. Jika aku tidak mampu menjaganya aku pasti akan sangat malu kepada Ibu dan Bapak.

**

Pukul tiga Sore Mas Adam sudah kembali ke rumah, aku melihat dia kembali sambil tersenyum dan bersiul dengan ceria, ketika aku tanya alasan mengapa ia pulang lebih cepat, jawabnya hanya tidak punya kegiatan di kantor.

"Mas aku ingin bicara," kataku sambil menahan debaran di dalam dada, aku merasa ini momen yang tepat untuk berbicara dengan Mas Adam sebelum Adila kembali dari kampusnya.

Ia mengernyit untuk beberapa saat sambil menatap wajahku namun tak urung dia mengiyakan permintaan itu,

"Oke silakan," jawabnya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sampingnya.

"Aku sudah merasa bahwa titik ini kita harus berbicara Mas," ujarku memulai pembicaraan.

"Bicara apa? langsung saja aku harus bergegas beberapa saat lagi untuk menjemput Adila," jawabnya sambil melirik jam tangan.

Ada rasa miris mendengar ungkapan suamiku seperti itu, ia yang lebih mementingkan untuk menjemput Adila daripada Rain anak kami yang saat ini sedang berada di tempat les matematika, kalau dihitung jaraknya, lokasi anakku berada lebih jauh daripada kampus Adila.

"Aku ingin berbicara namun aku tidak ingin memantik pertengkaran diantara kita," kataku pelan.

"Iya, langsung aja, Aisyah, aku tak punya banyak waktu," jawabnya yang mulai tak sabar.

"Aku merasa tidak nyaman dan kedekatanmu dan Adila Mas, kalian sudah terlihat seperti sepasang kekasih dibandingkan dengan seorang ipar dan adiknya, jangan terlalu berlebihan memanjakan dan menuruti nya Mas, tak elok dipandang dan aku tidak mau menimbulkan fitnah."

"Fitnah bagaimana?" Ia melengos lalu tertawa di hadapanku.

"Ingat Mas, Adila bukan mahrammu, akan baik jika kalian terus-menerus berdua-duaan meski itu di dalam mobil. Lagipula anak kita membutuhkan lebih banyak waktu bersamamu, sementara Adila masih bisa mengurus dirinya sendiri."

"Aku cuma nganterin kok, kamu aja yang terlalu baper," jawabnya sambil memutar bola mata.

"Aku terbawa perasaan karena aku juga manusia Mas, aku punya hati dan perasaan untuk menilai, dan belakangan aku melihat perubahan itu."

"Kamu ini gimana sih?! Aku bersikap kaku dengan adik kamu salah, aku bersikap baik selayaknya seorang kakak pun salah, apa maumu, katakan hah!" Mas Adam sontak berdiri dan langsung marah kepadaku, Iya membeliak dengan ekspresi wajah yang sangat murka.

"Astagfirullah Mas, sedang berusaha mengajaknya bicara baik-baik.

"Kamu nggak masuk akal curigain aku dengan adik kamu," jawabnya lantang.

"Aku hanya meminta engkau bersikap wajar dan lebih mengutamakan keluarga dan anak kita."

"Selama ini juga begitu, apa yang beda Aisyah? haruskah aku mengusir adikmu agar kesalahpahaman diantara kita bisa pudar?"

"Enggak Mas." Aku menggeleng lemah sambil menundukkan kepala.

"Kecemburuan kamu enggak wajar!"

Selagi ia marah seperti itu, tiba-tiba ponselnya berdering beberapa kali. sambil menahan nafasnya yang bergemuruh ia meraih benda pipi dari kantongnya lalu menggeser layar dan membacanya perlahan.

Ia kemudian menuju meja makan untuk meneguk segelas air lalu beringsut pergi meninggalkanku sendirian.

"Mau kemana?"

"Mau jemput anak-anak!"

Aku tahu kalimat 'anak-anak' yang dia ucapkan itu mengacu kepada Rain dan Adila, tapi tentu saja Adila bukan anak-anak.

"Ayah ... Ituuut ...." kali ini putriku Clara yang tadinya bermain di ruang bermain keluar dari sana dan menyusul ayahnya, langkah lucu bocah kecil yang baru bisa berjalan itu terlihat menggemaskan ketika berusaha untuk mengejar dan meminta ikut kepada Mas Adam.

"Nggak bisa Clara, Ayah sibuk," jawab Mas Adam sambil mencium kening putriku lalu melangkah pergi. Putri kami yang berusia 1 tahun lebih itu merajuk sebentar lalu mulai merengek kecil, namun setelah aku bujuk dan kuiming-imingi dengan es krim dan permen akhirnya dia mau tersenyum dan mengerti.

*

Satu jam berikutnya pintu rumah kami terbuka aku masih di posisi yang sama di ruang tv sambil menunggui Clara bermain. Sebenarnya jika menghitung jarak antara kampus Adila tempat les anak kami dan jarak rumah tidaklah jauh dan sampai memakan waktu 1 jam, namun entah mengapa waktu menjemput Mas Adam selalu lama ketika menjemput adikku itu.

Mereka bertiga masuk, sedang yang Mas Adam dan adila berjalan beriringan dengan senyum dan tawa bahagia.

"Kamu bisa aja sih Mas," ucap adikku sambil menepuk dada Mas Adam dengan mesra tentu saja menyaksikan itu dadaku tiba-tiba merasa panas dan ada sensasi terbakar yang sulit kubahasakan.

"Iya dong apa yang nggak bisa, buat kamu ...."

Kalimat terakhir Mas Adam terdengar lirih namun aku masih bisa menangkapnya, apa maksud kata-kata itu? Mengapa juga dia akan rela melakukan apa saja untuk wanita yang jelas-jelas bukan istrinya?

Perlahan hatiku memantulkan rasa tidak suka pada Adila dan Mas Adam. Jelas mereka menyembunyikan sesuatu di belakangku, aku harus mencari cara untuk mengetahuinya sebelum semuanya berlalu terlalu terjadi dan mengancam kelangsungan mahligai rumah tangga kami.

Jika terbukti benar, mereka memiliki hubungan yang tidak-tidak maka aku akan mengambil langkah yang akan membuat mereka ternganga.

Tampilkan Lebih Banyak
Bab Selanjutnya
Unduh

Bab terbaru

Bab Lainnya

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen

Tidak ada komentar
23 Bab
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status