Perkiraan Jia bahwa Revandro akan menusuknya nyatanya salah, Pria itu malah dengan lancangnya menempelkan bibir pada bibirnya. Hanya sebatas menempel, tidak lebih.
Jia menatap dalam Revandro begitupun sebaliknya, meski Jia tahu apa yang di lakukan Revandro keterlaluan. Tapi masalahnya ia tidak menolak, hanya diam. "Sebenarnya apa yang kau inginkan sayang? Kau tahu aku mampu memberi apapun yang kau inginkan, tapi diantara itu semua. Mengapa, mengapa harus kebebasan?" Ucap Revandro yang menghentikan aksinya. Dengan lembut ia menyapu wajah Jia, pelan dan lembut penuh dengan kasih sayang. Seakan sosok kejam beberapa saat yang lalu tidak pernah ada, "Minta yang lain ya?" Sambung Revandro. Jia mengangkat satu alisnya, walau enggan. Tapi sebenarnya Jia pernah memikirkan hal yang selain kebebasan, 'Taman bermain' dari dulu itu selalu menjadi harapan Jia. Revandro melihat harapan dalam retina mata Jia, ia kemudian beranjak dari atas tubuh Jia dan memposisikan Jia menjadi duduk. "Aku tahu ada yang kau inginkan? Jadi bisa calon Suamimu tahu apa itu?" Tanya Revandro dengan lembut, berusaha untuk memancing Jia. "Sayang..." Jia membuang nafas kasar, rasanya malu jika mengakui dirinya ingin pergi ke taman bermain. Tapi... "Taman bermain." Cicitnya sangat amat pelan namun masih bisa di dengar dengan jelas oleh Revandro. Tanpa sadar Jia menautkan kedua tangannya, merasa bahwa ada sedikit dari harga dirinya yang hancur. Revandro tersenyum kecil, "Baiklah, mau pergi sekarang?" Jia sontak menatap Revandro dengan binar di matanya, seolah Dia baru saja kembali hidup. Revandro kemudian bangkit dari duduknya, berdiri dengan mengulurkan tangan kepada Jia. Menatap uluran tangan dari Revandro, untuk sesaat ia menjadi ragu namun sesaat kemudian ia menggapai uluran tangan tersebut. Membuat Revandro tersenyum penuh arti. Berjalan bergandengan tangan, membuat beberapa mata tertuju pada keduanya. Revandro berjalan dengan wajah datarnya, sedangkan Jia... entahlah, ia juga tidak peduli dengan pandangan orang kepadanya. "Apa kau gugup?" Tanya Revandro. "Tidak. Kenapa?" Jawab Jia dengan santainya. Revandro untuk kesekian kalinya tersenyum penuh arti, menatap wanita di sampingnya yang berjalan dengan dagu yang terangkat. "Kamu ingin sesuatu lagi?" Berusaha untuk mengisi suasana kosong, Jia untuk beberapa saat mengerutkan keningnya. Sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya pelan, tanda bahwa tidak ada lagi yang ia inginkan. Ya, setidaknya untuk saat ini. Beberapa saat menempuh perjalanan, mereka akhirnya sampai di salah satu taman bermain terbesar di kota. Tapi ada yang aneh. "Renvandro," "Ya?" "Mengapa tidak ada orang? Bukankah ini bukan hari libur?" "Memang, tapi aku menyewa satu taman ini." Deg! Secara otomatis Jia menatap Pria di sampingnya dengan pandangan terkejut, maksudnya keinginannya, kan. Baru ia sampaikan beberapa menit yang lalu, lantas mengapa Revandro bisa mengosongkan taman dalam waktu singkat itu? Luar biasa! "Terima kasih atas pujiannya, sayang." Kata-kata tiba-tiba Revandro sontak membuat Jia mendelikkan matanya, merasa Pria dingin di sampingnya tengah dalam kondisi kepercayaan yang tinggi. Sehingga membuat Jia yakin, jika ada orang lain yang mndengarnya. Ia yakin jika orang itu mungkin akan mengalami serangan jantung. "Jia," "Hmm?" "Apa kau tahu siapa itu Pria tua yang berbicara denganmu beberapa saat yang lalu?" Untuk beberapa saat Jia terdiam, sebelum akhirnya memutuskan untuk menganggukan kepalanya. Tak peduli lagi dengan pendirian awalnya. "Terima kasih atas kejujuranmu sayang, aku jadi semakin menyukaimu." Jia terkekeh pelan, langkahnya pun terhenti sesaat ia melihat beberapa balon yang sepertinya sengaja di tinggalkan pemiliknya. Menatap lama, membuat Jia tidak menyadari bahwa dirinya tengah diincar seseorang dari jarak yang jauh. Menyadari hal itu, Revandro segera menarik Jia berlari. Dan benar saja... DOR! DOR! DOR! Pembakan beruntun dilepaskan, keadaan yang tenang perlahan berubah menjadi bising akibat baku tembak antara anak buah Revandro dan orang-orang tak di kenal. Masuk kesebuah toilet, Jia menatap Revandro yang mengeluarkan senjata api dari saku jasnya. "Bukankah aku merepotkan?" Tanya Jia di tengah situasi yang menenganggkan. Revandro menatap Jia, lalu tersenyum kecil. "Entahlah, aku masih belum yakin." Jawab Revandro. Jia mengepalkan tangannya, sampai... "Mereka berlari ke arah sini." "Apa kau yakin?" "Diamlah mereka bisa dengar!" Percakapan singkat itu, menjadi bukti bahwa ada orang-orang bodoh yang mengikuti mereka. Mengintip melalui bilik, mata Jia memicing tajam. Seolah tengah mencari tahu dari mana asal para bedebah itu muncul, ya... segala pergerakan Jia tak lepas dari mata Revandro. Untuk sesaat Revandro mulai berpikir, membandingkan Jia dengan orang normal yang pada umumnya akan panik mendapati situasi ini. Tapi Jia nampaknya begitu tenang, seolah telah terbiasa dengan situasi ini. Jia tahu Revandro curiga, tapi semua pemikirannya untuk bersembunyi seketika hilang saat menyadari adanya sebuah tato pada leher ketiga Pria bersenjata di depan bilik mereka. Lambang tulip itu... "Shit!" BRAK! BHUK! Dengan kecepatan Jia keluar dari bilik toilet, melayangkan beberapa bogumen mentah. Sehingga ketiga orang tersebut tersungkur karena terkejut dan tak siap mendapat serangan mendadak, saat itu salah satu dari mereka berusaha menembak Jia. Namun tindakannya kalah cepat dari Revandro, membuat dirinya tewas seketika. Satu dari kedua yang masih hidup nampak pingsan, sedangkan yang satu lagi nampak tengah Jia hancurkan wajahnya dengan tangan yang mengepal. "Jia hentikan, Dia sudah mati." Kata Revandro berusaha untuk menyadarkan Jia, yang sepertinya tak menyadari apa yang Wanita itu lakukan. "Jia... " "SIAL MENYINGKIRLAH!!!" Pekik Jia saat tangan Revandro berada di pundaknya. "MENYIKIRLAH SIALAN! MENYINGKIRLAH!" Sambungnya. Revandro menarik kasar Jia, menyeretnya keluar dari toilet. Sebelum akhirnya melepaskannya di depan para anak buahnya, Jia nampak bangkit dan ingin kembali kedalam toilet. Tapi Revandro nampak mendorongnya hingga tersungkur, beberapa kali Revandro melakukannya hingga... Plak! Wajah Jia sontak tertoleh kesamping saking kuatnya tamparan Revandro, suasana penasaran dari para bawahan langsung berganti menjadi rasa kasihan. Jia mengepalkan tangannya, dengan berderai air mata. Bukan karena sakit ditampar Revandro, tapi karena ketidakberdayaan dirinya dalam menguasai emosinya. Revandro mendekat, membelai pipinya yang basah karena air mata. Mengangkat dagunya pelan, menghadap matanya. "Semuanya akan baik-baik saja Jia, jangan menangis jika air mata itu bukan berasal dariku." Jia tersenyum kecil, sungguh kejam perkataan yang seharusnya menghibur dan menenangkannya malah terdengar seperti sebuah aturan bahwa dirinya hanya boleh menangis karena Pria itu. PLAK! Sepertinya... keadaan kembali suram saat Jia menampar Revandro, yah walau sepertinya tamparan itu tidak begitu berdampak pada Revandro. "Itu untuk tamparanmu yang tadi, brengsek!" Kata Jia sebelum akhirnya berjalan maju, membela kerumunan anak buah Revandro di depannya. Pergi dari tempat itu, dengan pandangan yang sulit di artikan dari Revandro. "Tuan?" "Bereskan kekacauan ini, selidiki siapa dalang dibalik ini semua. Setelahnya akan kuurus sendiri para tikus itu." Perintah Revandro dingin. Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka...Jia merasa tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ancaman yang nyata di depan matanya, tetapi juga karena kemarahan yang mulai membakar dirinya. Kenapa pria tua ini datang hanya untuk menghancurkan segalanya?Revandro menarik Jia ke belakangnya dengan gerakan protektif. "Kau tidak akan mendapatkan apa pun darinya. Kalau kau berani menyentuhnya, aku bersumpah, kau tidak akan keluar hidup-hidup dari sini."Pria tua itu tersenyum kecil, melangkah mundur dengan tangan di belakang punggungnya, seolah tak terganggu sedikit pun oleh ancaman Revandro. "Kau berpikir ancamanmu berarti sesuatu bagiku, Maxio? Kau mungkin kuat, tapi aku sudah hidup lebih lama dari yang kau tahu."Sementara itu, Arvell, yang diam-diam memperhatikan dari sudut ruangan, mulai menggerakkan pistolnya ke arah salah satu anak buah pria tua itu. Ia tahu waktunya sudah hampir habis—jika Jia tidak menyerahkan kotak itu, konflik ini akan berubah menjadi pembantaian."Jia," bisik Revandro, suaranya rendah namun cukup tegas unt
Langkah Jia semakin cepat saat suara tembakan dan ledakan terus menggema di luar. Udara di lorong itu terasa berat dengan aroma mesiu, dan setiap langkahnya seolah membawa Jia lebih dekat ke dalam bahaya. Namun, di tengah kegelisahan yang mendera, tekad Jia semakin kokoh.Arvell berjalan di sisinya, wajahnya dingin dan penuh perhitungan. Meski jelas ia adalah sekutu sementara, Jia tak bisa mengabaikan fakta bahwa lelaki itu memancarkan aura bahaya yang setara dengan Revandro.Ketika mereka mencapai pintu keluar ke area gudang utama, mereka menemukan beberapa anak buah Revandro tengah bersembunyi di balik tumpukan peti. Salah satu dari mereka segera memberi laporan."Mereka sudah berhasil mendobrak gerbang utama. Revandro masih berusaha menahan mereka, tapi jumlah mereka terlalu banyak!"Jia merasa dadanya mencelos. Revandro sendirian?Arvell melirik pria itu dengan tenang. "Berapa banyak orang kita yang tersisa?""Kurang dari setengah. Sisanya sudah tumbang atau mundur.""Bagus," jawa
Ruangan itu penuh dengan ketegangan yang hampir bisa dirasakan. Jia mencoba mengatur napasnya, namun gemetar tubuhnya tak bisa ia hentikan. Revandro menggenggam tangannya erat, sementara Arvell berdiri dengan raut wajah yang gelap dan penuh amarah."Aku tidak percaya," Arvell memecah kesunyian. "Pria itu pasti berbohong. Dia mencoba mengadu domba kita dengan ceritanya."Revandro tidak menjawab. Tatapannya tertuju pada Jia, menunggu penjelasan, tetapi Jia hanya menggeleng pelan. "Aku sungguh tidak tahu apa yang dia bicarakan... tapi liontin itu..." Suaranya melemah, seolah hanya mengakuinya saja sudah menyakitkan."Liontin itu... terasa familier," sambungnya dengan suara bergetar."Familiar bagaimana?" tanya Revandro tegas."Aku tidak tahu," jawab Jia, frustrasi. "Aku tidak ingat! Tapi aku merasa... seperti itu pernah menjadi milikku.""Kau harus ingat, Jia!" Arvell berseru, langkahnya maju mendekati Jia. "Pria itu jelas tahu sesuatu. Jika kau tidak tahu apa yang kau simpan, kita semua
Jia mundur perlahan, matanya tetap terpaku pada sosok Ignatius yang berdiri tegak di ujung jalan. Ia tidak tahu bagaimana pria itu bisa menemukannya, tapi kehadirannya jelas membawa ancaman.Dari dalam, suara langkah kaki Revandro mendekat. "Jia, kau baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh kewaspadaan.Jia menoleh cepat. "Dia ada di sana," ujarnya lirih sambil menunjuk ke arah jalan.Revandro langsung bergerak, pandangannya menyapu tempat yang ditunjukkan Jia. Tapi jalanan itu kini kosong. Tidak ada siapa pun."Dia ada di sana, aku melihatnya!" Jia bersikeras, merasa seolah kehilangan akal sehatnya.Arvell muncul dari dalam ruangan dengan alis terangkat. "Apa yang terjadi di sini?""Jia bilang dia melihat Ignatius," jawab Revandro, matanya masih waspada, menyisir setiap sudut.Arvell mendekati Jia, mengamati ekspresinya dengan saksama. "Dia ada di sini? Kau yakin itu dia, Jia?"Jia mengangguk ragu. "Aku melihatnya. Dia berdiri di sana... tersenyum padaku."Arvell melirik Revandro. "
Suara tembakan yang menggema dari belakang semakin mengguncang hati Jia. Ia terpaksa mengikuti langkah cepat Revandro dan Arvell, meski pikirannya penuh dengan kekhawatiran untuk Kairos. Di lorong gelap yang semakin menyempit, Jia merasakan keheningan di antara mereka begitu menyesakkan.“Apa rencanamu sekarang, Arvell?” tanya Revandro dingin tanpa menoleh.Arvell, yang memimpin jalan, hanya memberikan seringai samar. “Rencana? Rencana utamaku adalah memastikan kita keluar hidup-hidup. Sisanya, kita lihat nanti.”“Jangan bermain-main denganku. Jika kau berani mengkhianati kami, aku akan—”“Sudah cukup,” potong Jia, suaranya gemetar tapi tegas. “Kalian berdua terus saling mengancam di tengah situasi seperti ini? Berhenti memperebutkan kendali, atau kita semua akan mati di sini!”Keduanya terdiam, seolah terkejut dengan keberanian Jia. Namun, langkah mereka terus berlanjut hingga tiba di sebuah pintu besi besar.“Ini jalan keluarnya,” kata Arvell sambil memutar sebuah roda besi yang men
Jia berdiri membeku di tempatnya, matanya menatap tajam ke arah Arvell. Pria itu terlihat tenang, terlalu tenang, dan itu membuat Jia semakin curiga. Apa permainan yang sedang ia rencanakan?Kairos melangkah maju, wajahnya dipenuhi konflik. “Arvell, lepaskan dia. Ini bukan bagian dari kesepakatan kita.”Arvell menoleh ke Kairos dengan senyum yang hampir ramah. “Kairos, jangan campur tangan. Kau di sini karena aku mengizinkannya. Jangan lupa siapa yang memegang kendali.”Jia mengepalkan tinjunya. “Kendali? Kau pikir aku akan membiarkan diriku dimainkan olehmu? Jika kau punya sesuatu yang ingin dikatakan, katakan sekarang!”Namun, Arvell tidak terpengaruh oleh kemarahan Jia. Dia justru melangkah mendekat dengan gerakan yang penuh perhitungan. “Oh, Jia, kau selalu terlalu berani. Itulah yang membuatmu menarik.”“Berhenti bicara omong kosong,” potong Jia. “Apa tujuanmu? Dan apa hubungannya ini dengan Kairos?”Arvell tertawa pelan. “Tujuanku? Hanya memastikan kau tidak lepas dari pengawasa