Mereka menyusuri hutan gelap, mengikuti wanita berjubah merah itu. Dari kejauhan mereka bisa melihat sebuah asap mengepul dari api unggun yang ada di depan sebuah gubuk.
Mereka sampai di sebuah rumah gubuk yang terbuat dari batang ilalang. Mereka memasuki gubuk yang tingginya hanya sebatas kepala Adrian itu. Wanita berjubah itu lebih tinggi dari Adrian hingga dia harus menunduk untuk melewati pintu rumahnya.
Di dalam gubuk itu terdapat banyak sekali botol-botol ramuan dan juga berbagai tanaman kering.
“Letak kan dia disitu,” perintah wanita itu sambil menunjuk kearah tempat tidur di sudut kamarnya.
Adrian meletakkan tubuh Caroline pada tempat tidur yang hanya cukup untuk satu orang itu. Tempat tidur yang terbuat dari batang kayu yang dilapisi kulit binatang.
Tubuh Charoline sudah sangat pucat dan dingin. Wanita itu meracik sebuah ramuan, dan terlihat sangat banyak sekali bahan yang dia gunakan. Wanita itu menempelkan sebuah ramuan di luka gigit Caroline. Dia juga mengambil setetes darah Caroline lalu meneteskannya pada botol yang berisi ramuan itu.
“Aku harap ini bisa berhasil.” ujar wanita itu.
Wanita itu meneteskan ramuan itu ke dalam mulut Caroline. Semua dalam ketegangan, berharap jika ini akan berhasil. Beberapa saat urat nadi yang kebiruan itu memudar tetapi Caroline mulai sesak napas, Dia memuntahkan darah yang sangat banyak. Nadi kebiruan yang telah memudar itu berubah menjadi merah. Caroline membuka mata, dia mengerang kesakitan. Kulit Caroline pun memerah seperti terbakar. Caroline berteriak, dia memegang, mengusap seluruh tubuhnya, air mata menetes dari pelupuk matanya.
“Apa yang terjadi? Kenapa putri terlihat sangat kesakitan?” tanya Ester cemas kepada wanita itu.
“Itu adalah efek dari abu pembakaran diri burung phoenix dan juga bulu unicorn yang bereaksi didalam tubuhnya. Darah phoenix akan membuat tubuhnya seperti terbakar.” Wanita itu tak henti-hentinya memperhatikan setiap detail perubahan pada Caroline. Nampak keraguan di dalam diri wanita itu.
Adrian, Ester serta wanita itu panik melihat Caroline yang kesakitan. Napas Caroline semakin tersengal–sengal, Ester dengan deraian air mata terus menggenggam erat tangannya hingga akhirnya dengan perlahan napas itu semakin pelan-pelan dan menghilang.
“Yang Mulia…Caroline.” Ester memanggilnya namun Caroline sudah terbujur kaku.
Adrian terduduk lemas di tanah. Dia merasa tugasnya telah gagal. Ester terus menangis melihat keadaan Caroline. Wanita itu menutup matanya dan pergi keluar, terlihat jelas kesedihan dimatanya.
***
Riuh musik dan teriakan bahagia menggema di Istana Rosweld. Rupanya Julian tengah mengadakan pesta untuk merayakan kemenangannya. Pesta tersebut juga dihadiri oleh para sekutu kerajaan Julian. Raja Alexander menyambut para tamu dengan penuh bahagia.
“Raja Aster, terima kasih sudah menjadi orang pertama yang mendukung kami.” sapa Raja Alexander.
“Selamat atas kemenanganmu, Raja Alexander.” Raja Aster mengacungkan gelasnya tanda ucapan selamat.
Julian dan Raja Alexander terlarut kedalam kebahagian mereka. Mereka merasa bahwa mimpinya untuk menjadi penguasa telah mereka dapatkan tanpa mereka sadari maut telah menunggu mereka.
Para penari penghibur tengah menyuguhkan tarian yang gemulai dan memikat para raja dan pangeran di aula Rosweld Kingdom. Tiba-tiba seorang prajurit berlari ke area perjamuan.
“Ada pemberontakan tuan.” Ujar prajurit itu sambil mengatur nafas.
Seketika wajah Julian berubah “Siapa yang berani membuat kekacauan di Istanaku,” ujarnya dengan wajah geram. Julian melangkahkan kakinya dengan sangat marah tapi sebelum dia mencapai pintu tiba-tiba dia terpelanting ke belakang. Dia terjerembam tepat ditengah aula perjamuan.
Raja Alexander berlari menghampiri Julian yang terkapar dengan darah keluar dari mulut nya. Julian dengan susah payah mengangkat tubuh nya untuk melihat siapa orang yang sudah menyerangnya.
Semua mata tertuju pada sosok wanita tinggi dengan perawakan kurus dan berambut merah yang berjalan berbalut jubah merah dengan seringai menakutkan.
“Kita bertemu kembali, Alexander,” ujar wanita dengan kilat mata merah mematikan.
Raja Alexander terpaku ditempat melihat wanita itu, “Maggie.”
Tanpa mengucap kata, wanita itu kembali menyerang Julian. Julian kembali terpelental hingga mengeluarkan darah dari bibirnya, Raja Alexander berdiri memeluk Julian, kini dia menjadi tameng untuk anaknya. Dia menghunuskan pedang ke arah Maggie wanita penyihir itu.
“Jika kau ingin melukai anakku, maka langkahi mayatku,” ujar Raja Alexander.
Seketika para prajurit ikut menghunuskan pedangnya mengepung Maggie. Dan wanita itupun menghilang seketika membuat para prajurit itu bingung.
Di tempat lain Adrian dan Ester masih setia merawat Caroline. Sejak dia berhenti bernapas semalam kini Caroline kembali bernapas lagi.
“Kenapa dia sepucat ini? aku sangat cemas ketika napasnya tiba-tiba terhenti semalam.” Adrian masih tak bisa melupakan malam mengerikan itu.
“Aku juga masih tidak mengerti, kenapa Yang Mulia masih juga belum membuka matanya.” Ester kembali menyeka kening dan leher Caroline. “Lihatlah, aku bisa melihat dengan jelas nadinya berubah menjadi merah, kini kulitnya semakin terlihat seperti ratu es,” ujar Ester.
“Apa dia masih belum bangun?” Wanita berjubah merah yang sempat menghilang semalam itu membuka pintu dan mengejutkan kedua orang yang tengah merawat Caroline.
“Apa kamu yakin dengan apa yang kamu berikan kepadanya?” Adrian mencecar wanita itu meminta penjalasan yang lebih memastikan tentang keselamatan hidup Caroline.
Wanita itu tak menjawab, dia kini tengah sibuk dengan segala macam ramuan yang akan dia racik.
Wanita itu meneteskan beberapa cairan hijau ke dalam gelas itu. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil yang berwarna merah dari balik jubahnya.
“Darah apa yang ada dalam botol itu?” tanya Adrian.
“Darah dari orang yang telah melukai jiwanya.”
“Maksudmu Julian? Bagaimana kamu bisa kesana?” tanya Ester.
Wanita itu kembali tak menjawab pertanyaan kedua orang itu, Ester menarik tangannya dengan kasar menghentikan wanita itu meneteskan darah itu ke dalam gelas.
“Tidak, aku tidak sudi darahnya bercampur dengan darah Yang Mulia Caroline.” Kali ini Ester meninggikan suaranya dan membentak wanita itu.
“Kalau begitu kita biarkan dia menjadi putri tidur.” Ucapan itu membuat Ester melemah dan melepaskan cengkeraman tangannya pada wanita itu.
“Butuh darah dari seorang yang telah melukai jiwanya untuk membuatnya kembali sadar akan tujuan utama dia dihidupkan kembali. Darah dari Julian akan membuat jantungnya yang sekarang sudah mati kembali dihidupkan oleh dendamnya sendiri. Jika kamu ingin tahu bagaimana aku bisa mendapatkannya maka kita akan bahas nanti setelah dia membuka matanya.”
Wanita itu membuat Ester dan Adrian terdiam dan akhirnya mengerti. Wanita itu melanjutkan meracik ramuan dan mencampurkan darah Julian ke dalam gelas itu lalu meminumkannya pada Caroline.
Ester membersihkan sisa ramuan yang menetes dari bibir Caroline. Dia terkejut melihat kilatan berwarna jingga menyala dari leher Caroline. Kilatan Jingga itu berjalan menelusuri urat nadinya, perlahan-lahan warna kulit Caroline berubah menjadi normal kembali. Urat nadinya kembali membiru, kini kilatan jingga itu menyusuri wajah Caroline.
“Ah…kelopak matanya bergerak.” Ester terlihat sangat senang melihat itu. “Yang Mulia, apa kau mendengarku?” Ester mencoba memanggilnya berharap ada respon dari Caroline.
Caroline dengan perlahan membuka matanya, kini Caroline telah kembali, tak ada yang berubah dari wajah Caroline kecuali kilatan warna jingga pada matanya.
Caroline menyeringai kala dia melihat sekawanan makhluk mengerikan itu dengan perlahan menuju ke arahnya. Kilatan cahaya jingga mulai menjalari tubuh Caroline. Arus air laut yang awalnya tenang tiba-tiba berubah semakin deras menerpa tubuh Caroline. Shiren menatap tajam Charoline dengan mata hijaunya.Pertarungan antara Caroline dan Shiren sangat sengit. Dengan begitu banyak Shiren yang mengepungnya, Caroline tak sekalipun gentar. Dia dengan sangat beringas mematahkan tulang-tulang Shiren itu lalu menghisap ruh mereka sampai habis tak tersisa."Hentikan!" Salah satu Shiren yang masih berusia sangat muda berteriak dan menghentakkan ekor ikannya ke permukaan laut membuat Caroline dan para Shiren yang lain terpental menjauh satu sama lain.Amarah sudah menguasai Caroline hingga dia tidak bisa membedakan benar dan salah untuk saat ini. Dia menatap tajam kepada gadis cilik itu dan dengan secepat kilat mencengkeram leher gadis itu."TIDAK!" Salah satu Shiren me
Desiran ombak menyapu lautan gelap nan dingin itu. Sinar purnama menyinari hamparan air di lautan lepas. Hembusan angin dari pohon-pohon di pinggir lautan itu menusuk pori-pori para nelayan yang tengah mencari ikan di lautan. Sudah menjadi kegiatan rutin untuk para nelayan mencari ikan di tengah malam. Walaupun mereka sadar ancaman maut di depan mata. Tapi demi mencukupi kehidupan keluarga, para nelayan itu rela mempertaruhkan hidupnya. Seperti halnya sekarang ini, dengan berbekal menyumbat telinga yang terbuat dari topi bulu domba itu. Para nelayan itu nekat untuk berlayar di tengah isu yang beredar. “Kita harus segera kembali.” Salah satu teman pelayan itu menghampirinya untuk duduk bergabung bersamanya. “Apakah fajar sudah mau terbit?” tanya nelayan itu. “Belum, tapi kau dengar kan kalau jam segini waktunya dia keluar?” jawab temannya itu. “Tapi kita masih belum dapat apapun. Aku tidak mau pulang dengan tangan kosong. Anak dan istriku sudah
Caroline membaringkan Maggie di atas tempat tidur kayu yang dilapisi oleh bulu domba setelah sampai ke rumah mungilnya. Charoline menatap Maggie dengan iba, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Maggie yang sudah mulai pucat.Minotur masuk untuk memberikan ramuan agar tenaga Maggie kembali pulih. Caroline dengan segera mengambil ramuan itu dari tangan Minotur dan memberikannya kepada Maggie. Caroline mengangkat tubuh Maggie dan meminumkannya ramuan itu. Caroline kembali menidurkan Maggie dan menyelimutinya.Caroline meninggalkan Maggie, membiarkannya untuk beristirahat setelah apa yang dia lalui. Caroline berjalan keluar dari kamar Maggie untuk menemui Minotur.Dia melihat bagaimana Minotur tengah sibuk membuat api dari batang-batang kayu. Caroline datang mendekatinya.“Apakah dia akan pulih seperti semula?” tanya Caroline dengan pandangan nanar.Minotur yang mendengar itu menghentikan kegiatannya lalu memandang Caroline dengan taj
Maggie terlihat sangat pucat, wajahnya nampak begitu lesu. Kini dia terlihat sangat kurus dan malang. Raja Alexander tak memberikan setetes air pun pada Maggie. Dia sangat menikmati pemandangan menyedihkan itu.Para pengawal pun tak berani untuk memberikan air kepadanya, mereka hanya bisa melihat Maggie dengan miris.Maggie mencoba membuka matanya dan melihat Hybrid terbang mengitari sel besi tempatnya. Dengan sekuat tenaga Maggie mengangkat tubuhnya. Tak lama setelah Hybrid terbang mengitari atas sel nya, langit berubah menjadi gelap. Matahari terik yang membakar kulit Maggie sekarang hilang tertutup oleh awan mendung yang gelap.Para penjaga istana seketika mendongakkan kepala mereka ketika tiba-tiba langit menjadi gelap dengan kilatan-kilatan petir yang mulai menyambar.“Sepertinya akan ada badai hari ini?” ucap salah satu penjaga.“Kita harus membunyikan genderang untuk memperingatkan warga.”“Biar aku yang
Para pengawal memasukkan Maggie pada gerobak jeruji besi dan menariknya dengan kuda keluar dari hutan menuju ke kota Rosweld. Maggie masih tak sadarkan diri semenjak serbuk mawar itu mengenai dirinya. Entah bagaimana Raja Alexander bisa menemukan kelemahan Maggie.Para penduduk kota Rosweld menatap ngeri ketika kuda yang menarik gerobak itu melewati pemukiman penduduk.“Apa dia siluman?” bisik salah satu penduduk.“Bukan, aku kira dia adalah seorang penyihir.”“Benarkah? Sungguh mengerikan ada seorang penyihir di dunia ini.”Para penduduk kota Rosweld bergunjing dan menatap penuh kengerian kepada Maggie. Mendengar keributan itu Maggie tersadar dari lelapnya. Dia membelalakkan mata ketika mengetahui bahwa dirinya sedang digiring untuk dijadikan bahan tontonan.Maggie menutupi wajahnya ketika salah seorang pria melemparinya dengan tomat busuk, Maggie semakin membenamkan wajahnya saat lemparan demi lemparan i
Caroline, memandang kedua peti mati itu dengan raut kesedihan. Terlalu dalam luka di hatinya hingga membuatnya lupa akan cara untuk meneteskan airmata. Jasad Ester dan Adrian dimakamkan di dalam hutan tepat di bawah pohon Hura Crepitans. Pohon dengan duru-duri tajam yang terletak di seluruh batangnya. Hura Crepitans adalah pohon yang sangat berbahaya. Siapa pun yang memakan buahnya yang seperti labu itu akan keracunan, getah pada daunnya bisa membuat mata buta dan buah pohon yang sudah mengering bisa meledak, menembakkan duri-durinya dengan kecepatan 241 km/jam. Alasan Caroline memutuskan menguburkan jasad mereka pada pohon itu adalah untuk menjaga mereka dan sebagai rasa penyesalan karena dia telah gagal melindungi mereka. Caroline menabur beberapa bunga di atas makam Ester dan juga Adrian. Maggie menyentuh bahu Caroline, berusaha untuk menenangkannya. Caroline dengan setelan gaun berwarna hitam itu tak bergeming. Dia pergi begitu saja tanpa menghira