Share

RARA DAN MISTERI URBAN LEGEND
RARA DAN MISTERI URBAN LEGEND
Author: Audacityoflove

Bab 1

Rara meringis sedikit kesakitan setelah operasi transplantasi ginjal, tak apa sakit sekarang karena setelahnya Rara tidak akan merasakan lagi sakit yang berkepanjangan akibat ginjalnya yang gagal berfungsi. Beruntung seorang donor tak dikenal mendonorkan ginjal untuknya. Rara bersyukur hidupnya terselamatkan.

Sambil beristirahat pasca operasi di atas tempat tidur kamar Rumah Sakit. Rara mengambil gawai miliknya yang terletak di atas meja. Barusan Ibu dan kakaknya pamit sebentar saja untuk pergi ke kantin yang berada di Rumah Sakit untuk makan siang sehingga Rara ditinggal seorang diri. Tak masalah bagi Rara karena gawai miliknya akan menemaninya untuk beberapa saat.

Rara membaca perkembangan berita di sekolahnya via akun-akun media sosialnya. Tak ada yang spesial kecuali ucapan doa untuknya dan persiapan ujian sekolah dua Minggu lagi. Lalu Rara beralih mencari berita-berita terkini seputar selebriti, hobi maupun berita nasional dan internasional sekedar untuk membunuh waktu luang sekaligus bisa menambah wawasan baru. Awalnya Rara antusias membaca berita hingga akhirnya bosan juga kemudian hendak menyimpan gawainya kembali di atas meja namun salah satu berita unik yang muncul di salah portal berita terkemuka membuatnya urung untuk menyimpan gawainya ke atas meja yang berada di samping tempat tidurnya.

Berita itu menceritakan seorang pasien yang menerima donor organ tubuh untuk operasi justru pasien tersebut turut merasakan  perasaan apa yang dirasakan oleh pendonor organ tubuh. Rara lalu berpikir dia juga menerima donor ginjal dari seseorang yang tak dikenal. Itu artinya jika mengacu pada berita yang dia baca maka Rara bisa juga merasakan perasaan yang sama dengan si pendonor tak dikenal yang entah siapa orangnya. Heeem menarik juga, pikir Rara dari dalam hatinya penasaran.

Tapi rasa penasarannya ini segera dilupakan olehnya begitu saja karena Ibu dan Kakaknya telah kembali dari kantin. Mereka kemudian larut dalam pembicaraan tentang kesehatan Rara yang akan membaik dan obrolan-obrolan lainnya yang benar-benar mengubur rasa penasaran Rara soal perasaan yang sama dengan pendonornya yang mungkin saja dia alami.

Beberapa hari setelah operasi, Rara sudah bisa beraktivitas lagi, dia juga siap untuk pergi ke sekolah dalam waktu dekat ini. Namun di balik keceriaannya itu terselip rasa iba dengan sangat kuat dan kesedihan secara tiba-tiba, perasaan yang sedikit aneh baginya karena Rara bingung merasa iba untuk siapa? Sedih karena apa? Entahlah dia sendiri tidak paham.

Pada awalnya perasaan itu bisa diabaikan oleh Rara tapi lama kelamaan perasaan aneh itu sering hinggap di hatinya. Rara menangis tatkala melihat seorang pengemis tua berjalan pelan dengan tongkatnya melewati Rara dan teman-teman sekolahnya. Perasaan iba itu membuatnya sedih berkepanjangan. Mengapa Tuhan menciptakan penderitaan kepada manusia? Kenapa ada manusia-manusia yang harus hidup miskin untuk makan saja susah sekali sedangkan ada pula yang bergelimang harta benda? Kenapa dunia bisa sekejam ini? Mengabaikan keberadaan mereka para kaum papa?

Rara memang berbagi sedikit uang kepada mereka tapi hatinya masih saja bergelayut rasa sedih dan belum bisa mengobati kesedihan di hatinya. Rara tidak bisa memberi banyak uang karena dia memang tidak punya banyak uang, masih sekolah dan mengandalkan uang dari pemberian orang tuanya. Bahkan orang tuanya pun bukanlah orang yang kaya raya. Ekonomi keluarga mereka tergolong kelas menengah, tidak kaya raya namun tidak termasuk keluarga miskin. 

Perasaan ini sangat aneh bagi Rara karena belum pernah dia merasakan perasaan sedih berkepanjangan seperti ini sebelumnya. Dahulu Rara tersentuh hatinya pada penderitaan seseorang apabila orang itu bercerita padanya tapi belakangan ini pikirannyalah yang seolah-olah bercerita tentang penderitaan orang-orang di sekitarnya.

Bukan hanya itu saja, ada kalanya Rara melihat pemandangan yang tidak lazim. Ketika sedang menunggu mobil Bis di dekat Halte sekolah, matanya melihat sosok lain di seberang jalan, sosok itu berambut panjang menutupi wajahnya sehingga wajahnya tidak terlihat begitu jelas dan dengan tangannya yang panjang menjuntai hingga ke tanah, bajunya berwarna putih bersih yang juga menjuntai ke tanah. Awalnya Rara tersentak kaget tapi setelah diamati lagi sosok itu sudah menghilang dari pandangan matanya. Kemudian Rara menarik kesimpulan hal itu hanyalah sebatas khayalannya belaka. Toh saat kejadian berlangsung berada di siang hari bolong dan cukup ramai. Mustahil ada penampakan mahluk halus yang biasanya terlihat di malam hari dan dengan suasana sepi mencekam sebagaimana yang terjadi di film-film horor yang sering dia tonton bersama teman-temannya di Bioskop atau aplikasi legal film-film yang bisa ditonton di rumah.

Tadinya Rara suka tersenyum sendiri dengan penampakan yang beberapa detik muncul lalu kemudian menghilang. Pastilah akibat terlalu banyak nonton film-film horor jadinya begini. Pikir Rara yang kemudian melupakan apa yang sudah ia lihat. Dan menganggapnya hanya sebagai khayalannya semata.

Namun frekuensi penglihatannya yang abnormal tersebut terjadi lagi, walaupun tidak sering melihat penampakan demi penampakan setiap harinya. Tapi tetap saja berhasil mengejutkannya seperti yang terjadi saat Rara yang sedang merayakan ulang tahun seorang kawan. 

Sebuah Restoran menjadi tujuan pesta perayaan ulang tahun. Restoran itu bukan restoran besar namun cukup lega dan nyaman, bersih pula. Rara yang merupakan tamu undangan merasa senang dengan suasana Restoran, begitu juga dengan teman-temannya yang lain.

Awalnya segalanya berjalan dengan lancar. Canda, tawa dan nyanyian ucapan selamat ulang tahun bergema di ruangan itu. Rara juga turut bahagia dengan perayaan ulang tahun sahabatnya itu. Foto bersama dan keceriaan adalah bagian yang tidak bisa terpisahkan di antara mereka.

Hidangan makanan pun tersaji untuk disantap oleh mereka sesaat setelah nyanyian selamat ulang tahun berakhir. Dan seperti teman-temannya yang lain, Rara cukup antusias dengan hidangan makanan apalagi perutnya sudah mulai merasakan lapar. 

Sepiring nasi dan lauknya terlihat lezat, teman-temannya banyak yang sudah menyantap lebih dahulu. Pujian akan kelezatan makanan terdengar satu persatu dari mulut mereka sehingga Rara tergoda untuk mencicipinya. Pastilah sangat lezat, pikir Rara tidak sabar ingin mencicipinya.

Namun ketika tangan kanannya yang memegang sendok hendak mengambil nasi untuk dimakan. Tiba-tiba pandangan matanya menangkap sesuatu yang tidak lazim di dekatnya. Terlihat sangat jelas sekali di depan matanya bahkan inilah penampakan terdekat dan terjelas yang pernah Rara lihat karena sosok yang dia lihat hanya berjarak satu meter dengannya.

Sosok itu berwujud perempuan tua dengan mata besar dan melotot, rambutnya berwarna putih, bajunya seperti daster berwarna abu-abu, kuku-kuku pada tangannya terlihat cukup panjang, bibirnya tersenyum lebar dan dari selipan kedua bibirnya yang tersenyum mengalir air liur yang terus saja tumpah tanpa henti ke nasi maupun lauk pauk yang hendak di makan oleh Rara.

Sontak saja Rara kaget, sendok yang ada digenggamannya spontan terlepas. Teman-teman Rara yang berada di dekat Rara menengok ke arah Rara sehingga Rara juga menengok ke arah mereka.

Tapi yang Rara lihat bukan hanya teman-teman sekelasnya saja tapi banyak sekali Nenek tua menyeramkan yang memberikan air liurnya pada setiap makanan yang disantap oleh teman-temannya, persis sama seperti Nenek tua yang ada di dekatnya. Ekspresi wajah mereka pun sangat menakutkan sehingga Rara berteriak ketakutan. Rasa laparnya segera berganti dengan rasa mual dan rasa takut yang bukan kepalang.

Kejadian itu membuat Rara jatuh sakit, tubuhnya demam tinggi akibat melihat penampakan Nenek tua misterius. Berhari-hari lamanya Rara serba ketakutan, untuk pergi ke toilet pun minta di antar. Keberaniannya langsung ciut dalam seketika.

“To be rasional, Rara! Apa yang kamu lihat itu tidak nyata!” pesan Adi padanya. Pada awalnya Rara bersikeras apa yang dilihatnya itu nyata tapi pada akhirnya Rara menuruti perkataan Adi. Rara hanya perlu meyakini bahwa apa yang dia lihat itu hanya sebatas khayalannya semata. Dan hal tersebut cukup berhasil. Sejak peristiwa penampakan Nenek tua di Restoran hingga detik ini, Rara tidak lagi melihat peristiwa-peristiwa aneh lagi.

Tapi bukan berarti perasaan aneh Rara berhenti sampai disitu saja. Kini Rara sering merasakan perasaan hampa, Rara ingin merenung tentang Tuhan dan juga tentang cinta. Tapi bukan cinta kepada lawan jenis. Cinta ini jauh lebih luas lagi. Cinta kepada manusia, alam semesta hingga pada diri sendiri. 

Rara hanya ingin merenung, bukan membicarakannya karena sulit baginya mengungkapkannya dalam kalimat. 

Lagi-lagi Adi yang menjadi sahabat yang mau mendengarkan keluh kesahnya belakang ini. Tapi khusus untuk kali ini sulit sekali menceritakan perasaannya yang sangat aneh ini sehingga Adi hanya bisa menyarankannya untuk diam saja.

“Diam adalah emas,” kata Adi memberikan istilah peribahasa yang Rara sendiri enggak paham apa makna mendalam dari peribahasa itu. Tapi memang sebaiknya diam ketimbang harus membicarakannya kepada banyak orang karena apa yang Rara rasanya mungkin tidak bisa dipahami oleh kebanyakan orang. Hanya akan menimbulkan banyak masalah nantinya.

“Ra, tubuhmu agak gemukan nih,” kata Shinta di sekolah.

Sudah satu Minggu lamanya Rara absen tidak masuk sekolah karena sakit. Tubuhnya agak gemukan karena lebih banyak tidur dan juga makan walaupun Nenek tua yang menyeramkan sempat sukses membuatnya jijik jika ingin makan nasi tapi Rara akhirnya menyerah juga, rasa lapar dan rindunya pada rasa makanan khas Indonesia yang kaya akan rempah-rempah membuat lidahnya ingin mencicipi menu masakan yang lezat.

Seiring demamnya yang turun di hati kedua, nafsu makannya pun mulai muncul. Awalnya Rara masih jijik tapi dia ingat ucapan Adi untuk bersikap rasional, toh hanya dia yang melihat. Jangan-jangan Rara yang salah lihat! Mungkin saja itu hanyalah khayalannya semata, walaupun apa yang Rara lihat sangat jelas berada di depan matanya. Tapi sudahlah, yang terpenting Rara tidak peduli lagi dengan hal-hal berbau mistis.

Lagian andaikan saja Rara yang sedang mengalami delusi maka sungguh kasihan pemilik Restoran terkena fitnah dari dirinya. Rara harus berhati-hati dalam segala hal. Untuk itulah dia hanya perlu berpikir rasional!

Gadis remaja sepertinya tentu menginginkan tubuh yang ideal. Untuk itulah Rara bertekad untuk rajin olahraga agar dapat menurunkan berat badannya seiring dengan dirinya sudah bisa berangkat ke sekolah lagi hari ini.

Dan bulan demi bulan berlalu, tak terasa sudah lewat tiga bulan setelah peristiwa melihat penampakan Nenek tua misterius di Restoran. Rara kembali ceria dan asyik beraktivitas. Pilihan aktivitas utamanya sekarang ini adalah bermain bola voli. Rara suka sekali bermain bola voli. Dia tidak terlalu jago tapi sangat menikmati saat bermain voli bersama teman-temannya. Entah itu menang maupun kalah, Rara tidak terlalu memusingkannya, dia sedang menggilai hobi barunya itu.

Tidak jarang Rara tertawa terbahak-bahak saat bola yang di smash mengenai badan teman maupun badan lawannya hingga menyasar penonton yang kemudian marah-marah karenanya. Tapi tidak ada yang marah sungguhan karena ini semua hanyalah olahraga biasa. 

Tapi sore ini Rara melihat pemandangan berbeda dari biasanya walau pada awalnya berjalan seperti biasanya. Rara bermaksud mengambil bola yang terpukul out keluar menggelinding membentur tembok dan terpental masuk ke pekarangan gedung kosong yang letaknya berada di luar areal sekolah.

Gedung kosong itu berada di belakang halaman sekolah yang dibatasi oleh pagar tembok semen yang tidak terlalu tinggi, hanya sebatas pinggang orang dewasa. Untuk menghalangi murid-murid sekolah tidak kabur saat jam pelajaran sekolah maka pagar tersebut ditinggikan dengan papan besar sehingga kini pagar penghalang memiliki ketinggian tiga meter dari atas tanah. Sebenarnya sudah lama pihak sekolah hendak merenovasi pagar tersebut menjadi lebih layak namun akibat perseteruan antara Yayasan sekolah dan pihak sekolah membuat rencana tersebut terbelangkalai. Sayang sekali memang, tapi begitulah kenyataannya.

Karena hanya ditutupi oleh papan saja maka seiring berjalannya waktu. Papan tersebut ada yang patah akibat murid bandel yang ingin bolos sekolah atau datang terlambat karena pintu gerbang yang berada di depan sekolah sudah di tutup maka satu-satunya cara untuk bisa masuk maupun keluar dari sekolah hanya dari tembok pagar halaman belakang, papan kayu dijebol sebagian sehingga menyisakan pemandangan yang buruk. Tidak layak bisa disebut sebagai pagar sekolah.

Namun karena tempat tersebut jarang di lalui oleh murid-murid maka tempat pelarian anak-anak bandel itu pun tetap terjaga rahasianya sehingga belum ada niatan pihak sekolah untuk memperbaikinya. Meskipun begitu di sore hari sebagian halaman belakang sering dipakai untuk kegiatan ekstrakurikuler seperti halnya bola voli maupun lain sebagainya. Dan pagar tersebut tidak terlalu jauh tempat aktivitas anak-anak sekolah.

Bola yang terpental tembok gedung memantul lalu jatuh ke tanah. Cukup jauh jaraknya dari lapangan bola voli menuju halaman paling ujung belakang sekolah. Tembok gedung yang berhasil memantulkan bola adalah gedung khusus untuk gudang sekolah. Gedung ini lokasinya sedikit menyerong sehingga menghalangi pandangan mata mereka untuk melihat pagar tembok pembatas antara areal sekolah dengan gedung kosong di belakang sekolah. Tadinya Rara berharap bola itu masih berada di areal halaman belakang sekolah agar mudah baginya mengambil  bola tersebut tapi sayangnya dia salah, bola itu justru melewati papan tembok yang bolong dan kemudian jatuh ke gedung kosong di belakang sekolah.

Gedung kosong itu tidak terawat dengan baik, banyak genting-genting atap gedung yang sudah hilang karena ambruk, sebagiannya masih terpasang namun sudah berlumut dan kotor. Cat pada temboknya pun sudah mengelupas dan pudar warna putihnya. Di beberapa tempat coretan-coretan di tembok semakin membuat gedung itu semakin terlihat tidak terawat dengan baik. Sebenarnya gedung itu memiliki pintu gerbang di depan bangunan namun sayangnya pintu gerbangnya sudah rusak dan dibiarkan terbuka lebar sehingga siapa pun bisa masuk ke dalam gedung tersebut tapi dengan suasana gedung yang kosong, sepi, gelap serta tidak terawat mana ada yang sudi menggunakannya sebagai tempat bermain. 

Memang ada saja anak-anak bandel yang menggunakannya sebagai tempat berbuat hal-hal yang tidak baik tapi dengan debu lantai yang tebal dan bisa membuat gatal kulit, rerumputan liar yang tinggi seringkali memunculkan hewan-hewan berbisa mematikan semisal ular kobra maupun kalajengking membuat tempat itu hanya dijadikan tempat persinggahan sementara saja. Tidak ada yang mau berlama-lama di tempat itu.

Rara jadi bingung, apa yang harus dilakukannya sekarang? Memanjat pagar tembok bukanlah pilihan terbaik untuknya karena Rara tidak bisa memanjat. Rara mesti meminta bantuan kepada temannya yang lain. Pikirnya hendak membalikan badannya meninggalkan pagar itu namun Rara mengurungkan niatnya karena ada anak kecil yang sedang duduk termenung seorang diri di salah satu anak tangga menuju gedung kosong. Anak itu sedang menunduk menatap ke arah tanah.

Tadi anak kecil itu tidak sempat terlihat oleh Rara, kemungkinan besar disebabkan oleh fokus konsentrasinya tertuju mencari bola sehingga mengabaikan keberadaan anak kecil itu. Anak itu berumur kira-kira tujuh tahun atau delapan tahunan mengenakan kaos dan celana pendek serta sendal jepit, seorang anak laki-laki yang lucu dan menggemaskan.  

“Hai dek, kamu sedang apa disitu?” tanya Rara pada anak kecil itu.

Tapi yang ditanya malah diam saja. Dia masih menunduk menatap ke tanah.

“Hai dek!” panggil Rara lagi.

Anak kecil itu terkejut, sikap tubuhnya berubah begitu juga raut wajahnya, dia tidak langsung menjawab tapi menatap wajah Rara lekat-lekat, “Kakak berbicara kepadaku?” tanyanya sambil menengok ke arah kiri dan kanan tapi ia menyadari tidak ada orang lain selain dirinya.

“Iya dong berbicara sama kamu. Memang sama siapa lagi selain kamu, disini enggak ada orang lain kecuali kita,” sahut Rara.

Anak itu tetap menatap Rara dengan tatapan mata yang ragu dan bercampur heran, dia diam saja tidak memberi jawaban dari pertanyaan Rara sehingga Rara menebak mengapa anak itu sendirian saja di tempat itu.

“Kamu ditinggal sendirian sama teman-temanmu?” 

Anak itu tetap diam saja. Ah tapi sungguh keberuntungan ada anak kecil itu berada di halaman gedung kosong, itu artinya bisa meminta bantuannya mengambilkan bola untuknya.

“Bisa tolong aku dek,” pinta Rara, “tolong ambilkan bola yang ada di dekatmu,” tunjuk Rara ke arah bola yang memang hanya beberapa langkah jaraknya dari tempat anak kecil itu duduk.

Anak itu menganggukan kepalanya lalu berdiri dan kemudian berjalan mengambil bola dan setelah itu berjalan mendekati Rara. Ia pun menyerahkan bola kepada Rara.

“Terima kasih dek, kamu baik sekali,” kata Rara senang setelah menerima bola pemberian anak kecil itu, “namamu siapa?” 

Kali ini anak itu menjawab, “namaku Didit,” 

“Oh Didit? Namaku Rara,” kata Rara turut memperkenalkan dirinya. Lalu Rara sebagai seseorang yang lebih dewasa ketimbang anak itu memberikan nasehatnya, “kalau bermain jangan seorang diri apalagi di tempat yang sepi seperti ini, kalau kamu diculik oleh orang jahat gimana? Atau tiba-tiba terjatuh ke dalam sumur tua atau bisa kena reruntuhan gedung kosong itu lalu bagaimana kamu memberitahukan teman-temanmu yang lain bahwa kamu ada di sini?” 

Rara kembali melanjutkan ucapannya, “sebaiknya kamu pulang, sekarang sudah sore sebentar lagi malam,”

Belum sempat Rara menambahkan nasehatnya pada anak kecil itu, Shinta dan Novi yang menyusul Rara karena dianggap terlalu lama saat mengambil bola yang keluar lapangan. Keduanya langsung memotong ucapan Rara dan menanyakan kenapa Rara begitu lama di halaman belakang paling ujung.

“Lama amat sih!” celetuk Shinta.

“Mana bolanya?” tanya Novi.

Spontan Rara menengok ke arah keduanya, “Ini bolanya. Tadi terjatuh ke halaman gedung kosong itu,” 

“Hah jatuh ke halaman gedung kosong?” pekik Shinta kaget.

“Hebat banget smash si Karina bisa larinya keluar areal gedung sekolah,” kata Novi malah memuji temannya yang lain.

“Lalu bagaimana caramu mengambil bola itu, kamu pasti memanjat pagar sehingga cukup lama kami menunggumu tadi?” tebak Shinta.

“Hebat banget kamu bisa manjat!” puji Novi kali ini untuk Rara.

Rara menggelengkan kepalanya, “aku tidak manjat tembok, aku kan enggak bisa manjat. Didit yang mengambilkan bola untukku,” tunjuknya pada Didit tapi anak kecil yang Rara tunjuk sudah menghilang dari pandangan matanya.

“Siapa Didit?” tanya Shinta heran karena seingatnya tidak ada teman sekolahnya yang bernama Didit selain itu tidak ada siapa pun di areal gedung kosong belakang sekolah.

“Tadi sih ada di sini. Kok sudah enggak ada?” gumam Rara pada dirinya sendiri.

“Memangnya siapa Didit?” tanya Shinta mengulangi pertanyaannya lagi.

“Pasti ganteng nih?” tebak Novi seakan sedang menggoda Rara.

“Apaan sih!” tampik Rara, “Didit itu anak kecil, umurnya kira-kira tujuh atau delapan tahun,” terangnya.

“Hah, anak kecil?” Shinta jadinya dibuat bingung dan heran.

“Mana anak kecilnya kok enggak ada?” tanya Novi sambil menengok ke arah kiri dan kanan tapi tidak ada siapa pun kecuali mereka bertiga.

Rara mengangkat bahunya, “aku juga enggak tahu. Tapi mungkin saja Didit pergi setelah aku suruh pulang tadi,” tebaknya.

“Aneh banget, ada anak kecil di sekitar sini. Sudah sepi dan lumayan gelap lagi,” ujar Shinta yang menatap gedung kosong yang terbengkalai dan sunyi senyap, gelap pula walaupun matahari sore masih bersinar. Jadi timbul rasa takut melihatnya.

“Atau jangan-jangan? Hiiiii!” pekik Novi bergidik ngeri.

“Apaan sih!” tolak Rara, “aku melihatnya dengan jelas, enggak mungkin hal-hal aneh. Dia itu benaran anak kecil,” lanjutnya dengan sangat yakin jika Didit adalah manusia.

Shinta dan Novi merasakan bulu kuduknya merinding, semilir angin sore menyelipkan rasa takut di dalam hati keduanya. Angin tiba-tiba berhembus sedikit kencang sehingga menambah keadaan mencekam di tempat itu. Semerbak bau misterius menyebar dan menusuk hidung mereka.

“Tuh kan benar. Bau ini jelas menandakan ada yang tidak beres di tempat ini,” kata Shinta sambil menutup hidungnya.

“Maksudmu?” tanya Rara bingung.

Dengan yakin Shinta langsung menjawab, “pasti ada hantu, baunya saja begini,” simpulnya ketakutan. Rara juga jadi sedikit takut karenanya. Masa iya sih Didit adalah hantu? Tapi baunya tercium sangat busuk, jangan-jangan memang seperti itu bau hantu? Pikir Rara mendengus-dengus bau udara di sekitarnya dan kemudian menutup hidungnya karena baunya sangat menyengat hidung. 

Novi mengacungkan tangannya ke atas, “sorry, aku interupsi,” 

“Kenapa?” tanya Shinta dan Rara berbarengan pada Novi yang mendadak memotong obrolan keduanya.

“Aku tadi kentut, maaf,” jawab Novi pelan dan tersipu malu-malu.

“Jadi ini bau kentutmu?” tanya Rara.

Novi menganggukan kepalanya 

“Dih, aku kira bau hantu eh enggak tahunya bau kentutmu!” umpat Shinta kesal.

“Aku juga sempat mulai berpikiran seperti itu,” gerutu Rara.

“Aku kan sudah minta maaf. Yuk sebaiknya kita pergi dari sini, aku merinding dengan tempat ini. Lagian teman-teman kita sedang menunggu kita untuk melanjutkan bermain voli,” ajak Novi yang kemudian ajakan itu disetujui oleh Rara maupun Shinta. Ketiganya pun beranjak pergi meninggalkan tempat itu.

Sepasang mata melihat kepergian ketiganya dari tenpat itu lalu dia kembali duduk di atas salah satu anak tangga dan menundukkan wajahnya menatap tanah yang ditumbuhi oleh rumput-rumput liar. Gedung kosong itu menyimpan misteri lalu siapakah Didit itu? Mengapa dia seorang diri duduk di atas salah satu anak tangga dengan menundukkan wajahnya menatap ke arah tanah terus menerus? Kenapa Didit tidak segera pulang setelah mendapat nasehat dari Rara? Atau mungkinkah penglihatan Rara terhadap hal-hal berbau mistis kembali muncul?

Simak di Bab selanjutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status