Share

Bab 4

Didit memang misterius. Keberadaan anak kecil itu sangat membekas di ingatan Rara sehingga saat mata pelajaran berlangsung sekali pun pikiran Rara tertuju pada Didit. Begitu jam istirahat tiba Rara bergegas ke belakang sekolah untuk sekedar memastikan apakah di belakang pagar sekolah masih ada Didit yang mungkin saja masih ada di bangunan gedung kosong belakang sekolah seperti halnya kemarin sore.

Rara harus memberanikan diri melewati beberapa anak-anak cowok yang bersembunyi di halaman belakang sekolah, beruntung mereka hanya sekedar menggoda Rara saja, Rara melirikan sudut matanya melihat teman-teman cowok dari kelas yang lain sedang asyik merokok. Rara tidak peduli dengan kegiatan mereka karena Rara ingin melihat Didit tapi ternyata Didit tidak ada.

Lalu sepulang jam sekolah Rara masih menyempatkan diri melihat ke halaman belakang sekolahnya yang sekarang kosong tidak ada lagi anak-anak cowok yang sedang merokok, melalui balik pagar sekolah yang bolong, tatapan mata Rara menyapu ke semua tempat di gedung kosong itu tapi Didit tetap tidak ada.

Dihembuskan nafasnya dengan panjang, mungkin Didit memang bukan mahluk misterius, siapa tahu dia memang bocah cilik yang sedang bermain di tempat itu dan kemudian mengikuti sarannya untuk tidak lagi bermain di gedung kosong itu. Walaupun sosok Didit sangat misterius tapi setidaknya itulah yang bisa Rara simpulkan tentang Didit untuk saat ini.

Setelah meyakinkan dirinya Didit tidak ada di situ maka Rara berniat pulang dengan hati yang penuh kelegaan. 

“Yuk, pulang,” ajak Rara pada Shinta dan Novi yang rupanya sabar menunggu Rara di pintu gerbang depan sekolah. 

Sembari melangkahkan kaki keluar dari gedung sekolah, pikiran Rara tertuju pada dirinya sendiri.

Mengapa aku seperti ini? Gambaran peristiwa aneh tentang Didit sangat menggangguku. Padahal dulu aku enggak seperti ini, belum pernah aku rasakan perasaan aneh dan merinding begini. Ujar Rara dari dalam hatinya sambil memeluk erat tubuhnya sendiri dengan kedua tangannya.

“Kenapa sih, kedinginan?” tanya Novi yang melihat Rara memeluk tubuhnya sendiri seakan sedang kedinginan.

“Ah enggak kok,” jawab Rara menyembunyikan perasaan anehnya ini. Malu juga, cuaca sepanas ini kok malah dianggap sedang kedinginan.

Rara, Shinta maupun Novi berjalan menuju halte bus untuk menunggu bus tujuan mereka pulang. Sebenarnya bisa saja mereka menggunakan motor pribadi seperti kebanyakan teman-temannya yang lain atau bahkan beberapa diantaranya memberanikan diri menggunakan mobil pribadi tapi masalahnya mereka masih dibawah umur 17 tahun, belum punya KTP dan SIM sehingga tidak boleh memakai kendaraan pribadi kecuali nekat dan kepepet tapi Rara dan beberapa teman lainnya setia menggunakan jasa kendaraan umum apalagi kendaraan umum masih merupakan kendaraan solusi untuk mengatasi kemacetan walaupun terkadang suasananya kurang baik.

Lalu sembari menunggu bus tujuannya datang sebentar lagi, berulang kali Rara menatap bangunan gedung sekolahnya, sebenarnya yang Rara ingin lihat adalah gedung kosong yang letaknya berada di belakang gedung sekolah namun dia tidak bisa melihatnya karena terhalang oleh gedung sekolah yang berada di depan gedung kosong. Rara masih ingin memastikan lagi penglihatannya tentang Didit. Tapi..

“Sebaiknya kamu lupakan saja apa yang kamu alami ini, anggap saja Didit itu tidak pernah ada,” kata Adi yang tiba-tiba sudah berada di samping dirinya dan Shinta serta Novi.

Spontan Rara menengok ke arah Adi yang tadi berbicara kepadanya tapi Rara tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia tahu Adi mengkhawatirkannya tapi apa yang Adi katakan tidaklah semudah yang disarankan olehnya.

Mana mungkin Rara bisa melupakan Didit setelah sebelumnya bertemu secara langsung dengan bocah cilik itu serta pengalaman penglihatan seperti tengah berada di alam mimpi yang menggambarkan peristiwa pembunuhan Didit. Rara memang sedang melupakan sosok Didit tapi rasa penasarannya tentang Didit membuatnya lagi dan lagi memikirkan Didit.

Apakah mimpinya itu benar? Atau jangan-jangan hanya sekedar khayalannya semata? 

Pada akhirnya Rara pusing juga memikirkannya karena hal ini adalah pengalaman pertamanya melihat peristiwa tak biasa yang sebelumnya tidak pernah dialaminya.

Adi menyadari dirinya sedang dilihat oleh Rara sehingga ia sedikit gugup jadinya lalu Adi mencoba menghindari tatapan mata Rara dengan menunjuk ke seekor anak kucing yang mendekati mereka.

“Lihat anak kucing itu!” tunjuk Adi sehingga tatapan mata Rara beralih ke anak kucing yang ditunjuk oleh Adi.

Anak kucing itu berjalan mendekati mereka dan berjalan terus melewati mereka, entah kemana tujuannya melangkah tapi yang pasti anak kucing itu pergi meninggalkan mereka.

“Sepintas anak kucing itu terlihat pergi tanpa tujuan tapi sebenarnya tidak seperti itu,” ujar Adi.

Rara diam saja mendengarkan ucapan Adi sambil melihat ke arah anak kucing yang terus berjalan menjauhi mereka. Begitu juga dengan Shinta dan Novi yang turut mendengarkan ucapan Adi.

“Anak kucing itu sebenarnya punya tempat tujuan yaitu tempat yang menerima kehadirannya. Dia tidak akan pernah melupakan tempat itu, adakalanya dia pergi ke tempat lain tapi pada waktunya akan kembali ke tempat itu lagi dan dia akan mengingat tempat itu sepanjang tempat itu masih mau menerima kehadirannya,” 

Adi lalu melanjutkan perkataannya, “begitu juga dirimu. Kamu harus punya tujuan dalam dirimu. Kuperhatikan pikiranmu akhir-akhir ini bercabang. Tidak lagi seperti dulu yang memiliki tujuan untuk belajar dan menyelesaikan sekolah dengan nilai terbaik serta menikmati masa-masa mudamu dengan tertawa dan bercanda. Tapi belakangan ini kamu seperti bingung dan banyak pikiran. Itu seperti bukan dirimu lagi,”

Sebagian ucapan Adi benar bahkan bisa dibilang sangat benar tapi sebagiannya lagi rasanya sulit bagi Rara untuk menceritakan perasaan aneh ini. Mungkin saja tujuan Adi berkata seperti itu agar Rara kembali menikmati hidup dan menjadi anak remaja yang punya cita-cita tinggi. Tapi bukan itu masalahnya.

Tidak terlalu jauh dari Rara dan  teman-temannya berdiri di halte bus, seorang Ibu paruh baya yang merupakan petugas kebersihan jalanan sedang menyapu dedaunan yang rontok, dia cukup sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak menyadari jika ia berjalan agak sedikit ke tengah jalan raya.

Pada awalnya mereka tidak memperhatikan Ibu itu tapi ketika sebuah motor melintas dengan cukup cepat menyerempet Ibu itu hingga Ibu itu pun terpelanting jatuh, barulah Rara dan teman-temannya menyadari kecelakaan itu.

Banyak orang terutama anak-anak sekolah berhamburan menuju Ibu itu untuk menolongnya, sayangnya si pemotor yang menyenggol Ibu itu tetap melajukan motornya dengan cepat menjauhi Ibu malang itu.

Rara, Adi, Shinta dan Novi tadinya diam sejenak untuk mencerna peristiwa apa yang sebenarnya telah terjadi dan ketika menyadari peristiwa itu adalah peristiwa tabrak lari maka mereka pun turut bergabung dengan orang-orang lainnya untuk menolong dan melihat secara lebih dekat keadaan Ibu malang itu.

Di antara himpitan orang-orang yang berkerumun, Rara masih bisa melihat Ibu itu masih jatuh tersungkur di atas jalan raya dengan posisi terlentang.

“Ya ampun!” pekik Rara histeris melihat Ibu itu masih diam terlentang di atas jalan raya, rompi di punggungnya berwarna oranye sedikit robek tergores, kemungkinan besar akibat kesenggol sepeda motor yang tadi melaju cukup kencang.

Tubuh tua Ibu itu kemudian bergerak-gerak sedikit demi sedikit, dibantu oleh beberapa orang termasuk Adi yang cekatan membantu Ibu itu memapahnya untuk duduk di Trotoar. Rara ingin juga menolong tapi banyak orang yang lebih dahulu menolongnya sehingga Rara hanya bisa memperhatikan saja.

Kawan-kawan Ibu itu yang bekerja sebagai pembersih jalanan turut membantu secara aktif, memapahnya, mengibas-kibaskan kipas untuk memberikan angin segar serta memberinya minum segelas air putih lalu Ibu itu meminumnya secara hati-hati hingga akhirnya kekuatan tubuhnya kembali menguat seperti sediakala.

“Sekarang keadaan kamu sudah lebih baik?” tanya salah satu kawan Ibu itu, seorang Ibu paruh baya lainnya yang usianya tidak terpaut jauh.

Ibu yang tertabrak sepeda motor itu menjawab dengan anggukan kepala.

Di rasa kondisi Ibu itu sudah pulih dan tidak mengalami cidera parah hanya sedikit goresan luka maka orang-orang pun bubar, begitu pun Rara dan teman-temannya yang berniat meninggalkan Ibu itu untuk kembali ke halte bus menunggu bus tujuan mereka lagi.

Baru saja Rara membalikan badannya untuk kembali berjalan ke arah halte Bus, dia masih sempat mendengar percakapan Ibu itu dengan beberapa teman kerjanya.

“Sedari awal aku memilih menolak bekerja di sekitar sekolah karena aku selalu teringat peristiwa pembunuhan Didit,” ujar Ibu itu.

Deg! 

Rara terkejut bukan main begitu nama Didit disebut oleh Ibu itu bahkan Ibu itu mengetahui peristiwa pembunuhan terhadap Didit. Jantung Rara berdegup dengan kencang karena apa yang ia dengar berhasil menghantam rasionalitasnya lagi.

Sosok Didit ternyata benar-benar ada!

Dan peristiwa pembunuhan di gedung kosong juga pernah terjadi!

Rara kembali membalikan badannya untuk menatap ke arah Ibu itu lalu dilihatnya Ibu itu sedang dibantu untuk berdiri, sebuah mobil truk bergerak mundur dan berhenti di dekat Ibu itu dan kemudian Ibu itu berjalan dengan dibantu dipapah oleh para rekan kerjanya menuju ke atas mobil truk setelah itu beberapa pekerja juga masuk ke dalam mobil truk dan kendaraan roda empat itu pun melaju meninggalkan tempat tersebut, meninggalkan Rara yang sedang terkejut.

Rara hanya bisa terpana melihat kepergian Ibu itu, ingin rasanya Rara menanyakan perihal Didit namun Ibu itu sudah beranjak pergi menjauhinya.

“Ayo Rara, Bus tujuan kita pulang sudah datang,” sahut Shinta sukses mengagetkan Rara.

Tangan Shinta menarik lengan Rara untuk ikut dengannya menuju ke halte bus. Rara tidak melawannya karena dia juga ingin segera pulang ke rumah walaupun pikirannya masih berada di tempat itu bersama rasa penasarannya tentang Didit dan pembunuhan terhadap Didit.

Di dalam mobil bus, Rara duduk bersama Shinta sedangkan Novi, Adi serta beberapa teman sekolah lainnya duduk tidak jauh darinya.

“Apakah kamu mendengar perkataan Ibu tadi?” tanya Rara pada Shinta.

“Perkataan apa?” kata Shinta justru balik bertanya.

“Dia berkata tentang pembunuhan Didit,” 

Shinta segera menyenggol Rara, membahas masalah beginian bisa menarik perhatian orang banyak apabila ada yang mendengarnya, “jangan bahas di sini deh,” ujarnya keberatan.

Entah ada yang mendengarnya atau tidak tapi yang pasti Shinta tidak nyaman jika harus membahas sesuatu hal yang berhubungan dengan hal-hal dianggap menyeramkan.

Rara cukup mengerti akan hal itu. Dia pun diam namun di dalam benaknya terus memikirkan tentang Didit dan peristiwa kelam yang menimpa bocah cilik itu.

Tak lama kemudian rasa penasaran Rara mengantarkannya pada keinginan untuk menyelidiki misteri aneh ini.

Aku harus menyelidikinya, apa yang sesungguhnya telah terjadi dan siapa itu Didit? 

Mobil bus pun terus melaju pergi meninggalkan sekolah dan gedung tua kosong tempat Didit terbunuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status