Share

Bab 3

Hari ini Rara terbangun di dalam kamarnya, sudah siuman dari pingsannya dan kondisi tubuhnya jauh lebih bugar dari hari kemarin. 

Benak Rara teringat pada peristiwa semalam saat Rara jatuh pingsan, entah bagaimana caranya teman-temannya berhasil membawanya kembali ke rumah. Rara benar-benar tidak ingat sama sekali. 

Tak lama kemudian Ibu Rara datang membawa secangkir teh hangat untuk Rara setelah tadi Rara sudah menghabiskan semangkuk bubur ayam hangat.

“Terima kasih Bu, aku sudah bisa mengambil minumanku sendiri kok,” kata Rara tidak mau merepotkan Ibunya lagi karena sewaktu operasi di Rumah Sakit tempo hari yang lalu Ibunya sangat sibuk mengurus dirinya sehingga Ibunya meminta izin dari kantor tempatnya bekerja untuk beberapa hari dan hari ini pun Ibunya melakukan hal yang sama untuk Rara.

Ibu Rara adalah seorang single parents. Ayah Rara telah wafat tiga tahun yang lalu sewaktu Rara masih SMP. Kakak pertamanya sudah bekerja dan kakak keduanya masih kuliah sedangkan Rara adalah anak bungsu yang masih duduk di bangku SMA. Ibu Rara tersenyum untuk sejenak namun ia segera pergi ke ruang tamu karena mendengar ada beberapa orang yang menyapa Rara berulangkali dari luar rumah. Rupanya mereka adalah teman-teman sekelas Rara yang ingin menjenguk Rara.

Sepulang sekolah, mereka sepakat untuk menjenguk Rara. Mereka adalah Shinta, Novi, Karina, Chaca dan Vera yang datang menjenguk Rara terlebih dahulu sedangkan Adi, Fajar dan Doni nanti datang menyusul. Begitu rencananya.

Senyum bahagia terpasang di wajah Rara,  “terima kasih teman-teman sudah mengkhawatirkanku, sekarang aku sudah sehat kok. Besok aku akan kembali ke sekolah,” ujarnya senang ketika bertemu muka dengan teman-temannya.

“Aku tidak sabar kamu kembali ke sekolah,” ungkap Shinta ikut tersenyum, begitu juga temannya yang lain lega karena kondisi Rara sudah pulih seperti sedia kala.

“Oh iya, seingatku semalam aku jatuh pingsan. Lalu begitu aku siuman, aku sudah berada di kamarku. Bagaimana kalian membawaku ke mari?” tanya Rara penasaran.

Novi yang kemudian bercerita, “sewaktu kamu jatuh pingsan, kami sangat kebingungan. Tadinya hendak menelpon Ibumu untuk meminta tolong tapi kami tidak tahu nomor telepon keluargamu. Lalu Doni berinisiatif menelpon Chaca untuk meminta bantuannya,” tunjuk Novi pada Chaca yang berada paling pojok di antara mereka.

“Kenapa harus Chaca? Karena dia satu-satunya yang bisa menyetir mobil dengan mahir, selain itu kita memintanya membawa mobil miliknya ke rumah Fajar untuk mengangkutmu sampai ke rumahmu,” tutur Novi memberi penjelasan.

Malam itu, Chaca yang tidak ikut rombongan Rara ke gedung kosong tiba-tiba menerima panggilan telepon dari Doni yang sedang panik untuk meminta bantuannya datang ke rumah Fajar dengan membawa mobil. Dengan tujuan mengangkut Rara yang masih pingsan. Beruntung saat itu Chaca belum tidur, dia juga diperbolehkan oleh orang tuanya mengendarai mobil demi tujuan baik. Tidak perlu waktu lama bagi Chaca untuk sampai ke rumah Fajar karena jarak rumah Chaca ke rumah Fajar terbilang tidak terlalu jauh. 

“Terima kasih Cha, aku beruntung punya sahabat sebaik kamu,” ucap Rara pada Chaca.

Chaca segera membalasnya dengan senyuman yang sangat manis, “sama-sama. Tapi bukan hanya aku saja yang berjasa membawamu ke kamar ini. Semua teman-teman kita menolongmu terutama Adi,” 

Kening Rara langsung berkerut, “Adi?” Rara sudah tahu teman-temannya pastilah membantunya termasuk juga Adi tapi ucapan Chaca barusan seakan-akan menyiratkan ada sesuatu yang lebih spesial telah dilakukan Adi untuknya.

“Jika ditempuh dengan mobil maka jarak rumahku ke rumah Fajar cukup dekat, hanya kurang dari sepuluh menit aku sudah sampai di depan rumah Fajar. Saat aku tiba di rumah Fajar, aku lihat dari kejauhan kalian semua berjalan bersamaan menuju ke rumah Fajar. Dan Adi menggendongmu seorang diri yang sedang pingsan, kuperhatikan nafas Adi tersengal-sengal dan cukup kelelahan, pastilah berat menggendongmu dari gedung kosong hingga ke rumah Fajar,” jelas Chaca.

“Oh begitu ya!” kata Rara kaget sekaligus tersipu malu karena telah digendong oleh Adi tanpa sepengetahuannya karena saat itu Rara tengah tak sadarkan diri.

Belum sempat Rara melanjutkan perkataannya, terdengar dari luar suara beberapa motor terparkir di halaman depan rumah Rara.

Tiiin! Tiiin! Tiiin!

Bunyi klakson motor berbunyi seakan menegaskan bahwa para teman cowoknya yang datang berkunjung.

“Sepertinya para cowok telah datang,” tebak Vera yang tentu saja benar.

Lalu Adi, Fajar dan juga beberapa teman lainnya turut ikut serta menjenguk Rara, mereka adalah Rio, Asep dan Putra yang sayangnya semalam tidak ikut ambil bagian dalam perjalanan ke gedung kosong. Tapi mereka adalah teman-teman satu kelas yang cukup kompak. Buktinya mereka masih bisa menyempatkan diri menjenguk Rara yang sakit. Namun sayangnya Doni tidak jadi datang menjenguk Rara karena ada suatu urusan pribadi yang menurutnya penting.

“Wah, senang sekali kamu ternyata sudah sehat,” kata Adi pada Rara yang kini sudah berpindah tempat ke ruang tamu karena kamar tidurnya terlalu sempit jika harus disesaki oleh semua temannya.

Rara duduk di sofa dengan di apit oleh beberapa teman ceweknya, dia lega dan senang Adi datang menjenguknya, “berkat bantuanmu aku bisa pulang dengan selamat, aku ucapkan terima kasih,” 

Kali ini pipi Adi sedikit memerah karena malu mendapatkan ucapan terima kasih dari gadis secantik dan sebaik Rara. Begitu juga Rara yang sedikit salah tingkah ketika tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Adi. Ada desiran-desiran asmara yang tumbuh dan segera mekar.

“Ciee.. ciee.. ciee!” 

“Prikitiew!” seru anak-anak sekolah itu menggoda Rara dan Adi yang terlihat kikuk satu sama lainnya.

Novi ikut menyeletuk, “hei hei, jangan lupakan Doni. Dia juga berjasa menelpon Chaca. Hanya Doni saja saat itu yang bisa berpikir normal dan jernih sedangkan kita justru panik sambil ngomong gimana ini? gimana ini? Tanpa ada solusi. Beda dengan Doni yang ternyata cepat tanggap,” terdengar menyanjung jasa Doni dan Novi berkata benar, tanpa adanya Doni mungkin mereka terjebak sedikit lebih lama di depan gedung kosong yang gelap dan sepi karena belum mempunyai solusi yang tepat untuk menolong Rara yang masih pingsan.

“Iya deh iya. Pokoknya buat semuanya aku ucapkan terima kasih,” kata Rara tulus, “tapi Doni-nya ke mana kok tidak ada bersama kita?” tanyanya yang menyadari sahabat yang suka bercanda ini tidak menampakkan batang hidungnya.

“Oh, tadi Doni bilang ada keperluan pribadi, penting sekali katanya sih, berhubungan dengan tanggung jawabnya sebagai penjaga Bumi dari kehancuran,” kata Fajar sambil menahan tawa menirukan alasan Doni yang tidak bisa menjenguk Rara. Tentu saja ucapan Doni itu cuma bercanda.

Semuanya tertawa terbahak-bahak. Canda dan tawa lainnya kemudian saling susul menyusul dalam obrolan mereka hingga beberapa menit lamanya. Dan ketika candaan itu usai suasana pun menjadi serius karena sekarang mereka akan mengajukan pertanyaan yang serius. Apa yang sesungguhnya telah dilihat oleh Rara sehingga Rara jatuh pingsan?

“Jadi sekarang ceritakanlah pada kami, apa yang telah kamu lihat di tempat itu, Ra?” pinta Adi mewakili permintaan teman-temannya yang juga penasaran dengan apa yang sesungguhnya Rara lihat malam itu.

Rara terdiam sejenak, menarik nafas dalam-dalam dan kemudian menghembuskannya pelan pelan, “sebenarnya sulit aku ceritakan. Tapi aku akan mencoba menceritakannya untuk kalian,” 

Pikirannya tertuju pada peristiwa yang terjadi kemarin malam saat dirinya kemudian mengalami pingsan akibat melihat suatu kilasan peristiwa yang misterius.

**

“Jam berapa sekarang?” 

“Jam sembilan kurang sepuluh menit,”

“Hah, jam segitu sih sinetron kesayanganku mau sudahan. Yuk pulang!”

“Sejak kapan kamu jadi pemerhati sinetron. Biasanya jam segini malah asyik main game online!”

Samar-samar terdengar obrolan teman-temannya. Tapi Rara seperti hendak mengantuk tapi bukan benar-benar mengantuk, situasi hati yang cukup aneh baginya malam itu.

Lalu Rara dan teman-temannya dikejutkan dengan sekelebat bayangan hitam turun dari atas gedung kosong yang tua dan tak terawat, genting-gentingnya pun sudah banyak yang hilang, sebagiannya lagi sudah berlumut. Pemandangan gedung tua yang sangat memprihatikan. Tapi masalahnya ada pada sekelebatan bayangan hitam itu, apakah itu?

Rupanya sekelebatan bayangan itu ternyata seekor tikus yang berlari dan melompat dari atap gedung turun ke tanah dengan sangat lincahnya. Tikus itu ternyata menjatuhkan suatu benda dari atas atap, benda mengkilap tersebut adalah sebuah kalung. Kalung tersebut berkilauan terkena terpaan sinar dari senter ponsel Rara dan teman-temannya. Tatkala Rara memandangi kalung tersebut tiba-tiba dia mengalami keadaan seakan-akan sedang berada di alam mimpi. Perasaan aneh ini baru pertama kali dirasakan olehnya. 

Bangunan tua yang kosong itu berubah dengan cepat, hanya hitungan detik cat tembok yang sudah mengelupas buruk berubah warna menjadi tembok yang putih bersih seperti tembok gedung yang selalu di rawat dengan rapih. Genting-genting atap gedung pun terlihat rapih dan sempurna, tidak ada pemandangan genting-genting atap yang hilang maupun berlumut seperti yang Rara lihat sebelumnya. Lampu penerangan di malam hari juga terlihat bersinar terang membuat gedung kosong itu tidak terlihat angker dan menakutkan. Berbeda sekali dengan pemandangan sebelumnya yang tidak ada sama sekali lampu penerangan di gedung tersebut.

Jelas sekali terlihat seorang anak kecil duduk termangu seorang diri di bawah anak tangga menatap ke tanah yang dipenuhi oleh rerumputan hijau yang asri. Rumputnya pun terlihat tertata rapih seakan-akan sering dipotong dan di urus oleh Tukang Kebun, berbeda dengan rerumputan yang sebelumnya Rara lihat, tinggi  dan tidak terawat.

Anak kecil itu mengingatkan Rara pada Didit, anak kecil yang dia kenali sore tadi. Dan memang anak kecil itu adalah Didit.

Suasana malam itu memang sepi tapi terlihat biasa saja karena gedung itu bukan lagi gedung tua yang menyeramkan. Didit duduk di bawah temaram lampu dengan wajah sendu, tangan kanannya menggenggam dengan erat sesuatu benda kecil yang entah apa itu. 

Dari dalam gedung terbukalah pintu lalu keluarlah seorang pria paruh baya yang menyapa Didit.

“Kenapa belum pulang juga?” tanya pria paruh baya itu.

“Nanti saja Pak. Saya belum mau pulang,” kata Didit yang tetap duduk dengan kepala menunduk ke tanah, sepertinya dia sudah cukup akrab dengan orang yang di ajak bicara dengannya. 

“Sudahlah. Jangan kamu pikirkan kemarahan Ayah tirimu itu, pulanglah tidak pantas anak sekecilmu malam malam masih berkeliaran di luar rumah,” ujar Bapak itu memberikan nasehatnya.

“Tapi jika aku pulang maka Ayah tiriku akan merebut kalung emas satu-satunya milik peninggalan Ibuku,” ungkap Didit.

Perlahan-lahan Didit membuka jari jemarinya, genggaman tangannya mulai terbuka dan memperlihatkan kalung emas bertahtakan berlian yang mengkilap saat di terpa cahaya terang lampu yang berada di atas tangga tempat Didit duduk. Didit yang masih kecil dan polos tidak menyadari bahaya di depan matanya saat kalung yang harganya fantastis itu diperlihatkan kepada sembarang orang.

Bapak itu terperanjat kaget, dia menatap kalung itu dengan menerka harga kalung tersebut yang ia taksir bisa mencapai lebih dari seratus juta rupiah. 

Kalung itu sangat indah dengan rantai emas murni serta bertahtakan berlian bening dan aneka batuan berwarna merah mengelilingi batu berlian. Siapa pun yang melihatnya akan jatuh hati pada kalung tersebut.

Terbayang oleh pria paruh baya itu, harga kalung tersebut akan sanggup membantunya melunasi hutangnya bahkan dia yakin masih tersisa banyak uang yang bisa dia pakai selain untuk membayar hutang. Dia bisa sepuasnya berfoya-foya dan tak perlu mengkhawatirkan hari tua lagi dengan gaji yang kecil.

Manusia memang cenderung tidak puas dan tergoda untuk memuaskan keinginannya yang tidak pernah ada batasnya. Inilah waktunya Iblis membisikkan pesan-pesan kejahatan dalam pikirannya.

Pria tua itu membujuk Didit memberikan kalung tersebut padanya, “biar aku yang menyimpan kalung itu, kamu pulang saja,” ujarnya berharap anak sekecil Didit mudah untuk dirayu dan dibohongi.

Tapi Didit berpikiran lain, ia bersikeras menyimpan kalung tersebut karena kalung itulah peninggalan terakhir mendiang Ibunya. Didit menggenggam erat kalung itu, “tidak Pak. Kalung ini adalah warisan berharga satu-satunya yang tersisa dari mendiang Ibuku jadi aku tidak ingin kalung ini jauh dariku,” 

“Ayolah nak, Biar Bapak saja yang menyimpannya. Bapak jamin akan aman dan kamu bisa mengambilnya kapan pun kamu mau,” bujuk Pria paruh baya itu.

Sebenarnya Didit sedikit goyah hatinya tapi pada akhirnya memilih kalung itu tetap bersamanya, “tidak, terima kasih Pak. Biarlah kalung ini tetap bersamaku,” 

Pria itu jadi kebingungan, apa yang harus dia lakukan sekarang? Merebut kalung itukah? Atau membiarkan Didit terus menggenggam kalung seharga rumah mewah beserta dengan lunas hutang-hutangnya? 

Iblis terus membisiki telinganya, cepat atau lambat kalung itu akan berpindah tangan. Tangan mungil Didit tidak akan bisa menahan lebih lama lagi keberingasan Ayah tirinya yang menginginkan kalung itu. Apakah dia rela kehilangan kesempatan emas melunasi hutang-hutangnya dan juga kesenangan akan kekayaan yang  sudah berada di depan matanya?

Pria paruh baya itu masuk ke dalam gedung, dia tahu di gedung itu hanya ada dirinya saja karena dialah sang Penjaga Malam di gedung itu. Pintu gedung dibuka lebar-lebar dan kemudian memanggil Didit untuk mau masuk ke dalam gedung.

“Di luar udaranya dingin, masuklah ke dalam,” katanya sambil memikirkan cara untuk mengelabui Didit tapi nampaknya Didit tidak bergeming dari tempatnya duduk.

“Ayolah nak, masuklah ke mari!” ajaknya lagi. Tapi tetap saja Didit diam saja. Anak sekecil itu diam membisu karena memikirkan banyak hal yang semestinya tidak dipikirkan oleh anak seumurannya. Konfliknya dengan Ayah tiri serta keinginan Ayah tirinya menjual semua peninggalan mendiang Ibunya termasuk kalung yang ada dalam genggamannya telah membuat pikirannya sesak akan kekesalan, ketakutan, kemarahan dan putus asa.

Tiba-tiba suara jam dinding terdengar dari dalam gedung. Cukup mengejutkan untuk beberapa saat.

Ding!.. Ding!.. Dong!

Bunyi dentingan jam sebanyak sembilan kali pertanda sekarang sudah memasuki pukul sembilan malam.

Karena Didit diam saja tidak menuruti keinginan pria paruh baya itu untuk masuk ke dalam gedung, pria paruh baya itu kembali ke luar ruangan menuju ke Didit yang masih enggan bergeming dari tempatnya duduk di antara anak-anak tangga. Dia menggapai paksa tangan kanan Didit yang di dalamnya terdapat kalung milik Ibunya. 

Didit tersentak kaget karena tidak menyangka pria paruh baya yang dia anggap orang yang mau melindunginya justru hendak merebut sesuatu hal yang berharga darinya yakni kalung pemberian Ibunya yang ingin dimiliki oleh Ayah tirinya namun pria ini pun ternyata menginginkan hal yang sama dengan Ayah tirinya.

“Serahkan kalung itu padaku!”

“Tidak!”

Sekuat tenaga Didit melawan tenaga raksasa orang dewasa, dia berjuang sekuat tenaga karena kalung itu bukan sekedar kalung biasa tapi kalung kenangannya bersama mendiang Ibunya yang sangat dicintainya. Peninggalan terakhir yang kini dimilikinya.

Buuk!

“Aaarkh!”

Didit terjatuh ke tanah setelah berteriak kencang karena kesakitan akibat hantaman kursi lipat ke kepalanya. Pria paruh baya itu bergerak cepat menuju tangan kanan Didit bermaksud mengambil paksa kalung yang masih berada di dalam genggaman Didit. Walaupun suasana tempat itu sepi karena sudah malam hari tapi pria paruh baya itu tetap takut apabila ada orang yang mendengar teriakan Didit setelah menerima hantaman kursi lipat.

Namun pria paruh baya itu terkejut dan kecewa karena kalung yang semestinya ada di tangan kanan Didit telah menghilang, pria paruh baya itu lantas mencarinya ke rerumputan tapi nihil juga sambil mendengus kesal dia melirik ke arah Didit.

Didit yang jatuh tersungkur tak kunjung bangun dari tanah. Awalnya mengira Didit jatuh pingsan tapi pria paruh baya itu sadar jika kepala Didit mengucur darah segar yang merembes ke tanah, rerumputan hijau disekitar kepala Didit bercampur warna merah darah. Didit langsung mati setelah terkena hantaman keras kursi lipat.

Pria paruh baya itu terkejut dan panik, berulang kali matanya menengok ke kanan dan kiri mencari tahu adakah orang lain selain mereka di tempat itu, beruntung baginya tidak saksi mata yang melihat peristiwa memilukan itu. Pria itu berupaya membuang tubuh Didit ke suatu tempat. Tempat itu adalah kebun kosong yang berjarak beberapa puluh meter dari tempat tersebut. Orang itu pun tega melakukan perbuatan kejinya membuang tubuh Didit yang sudah tanpa nyawa dengan harapan Ayah tiri Didit yang dijadikan tersangka utama pembunuhan Didit.

Saat aksi pembunuhan dilihat oleh Rara, dia menjerit dan tak lama kemudian pingsan. 

**

Hal itulah yang dilihat oleh Rara saat dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar. Peristiwa aneh yang memunculkan tentang gambaran pembunuhan terhadap bocah cilik misterius yang pernah Rara sapa kemarin sore.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status