Share

Bab 2

Sore tadi memang menyenangkan, bermain bola voli dengan penuh kegembiraan. Tapi bukan canda dan tawa Rara dan teman-temannya yang masih terngiang di telinga Rara hingga selepas pukul delapan malam, justru anak kecil bernama Didit yang menjadi pusat perhatiannya.

Tugas PR untuk esok tidak terlalu banyak malam ini sehingga sudah selesai sejak lima belas menit yang lalu. Pikiran Rara terus memikirkan Didit. Siapa sebenarnya anak kecil itu? Mengapa dia ada di gedung kosong seorang diri?

Mencoba melupakan berbagai macam pertanyaan soal Didit tidak lantas membuat Rara tenang, justru sebaliknya, rasa penasaran yang tinggi tentang Didit memaksa Rara memunculkan ide yang terbilang cukup aneh yaitu ingin pergi kembali ke sekolah atau tepatnya ke gedung kosong yang berada di belakang halaman sekolah. Tujuannya tentu saja mengecek keberadaan Didit.

Sungguh aneh jika ada anak kecil sendirian di tempat sesepi itu, mungkinkah Didit adalah hantu sebagaimana tuduhan Shinta maupun Novi? Rasanya sangat janggal sekali Didit berdiam diri di tempat itu sendirian. Hanya kembali ke tempat itulah satu-satunya cara untuk bisa memenuhi rasa penasarannya.

Rara mengirimkan pesan lewat grup di media sosialnya untuk mengajak teman-temannya bergabung dengannya kembali ke halaman belakang sekolah. Biar bagaimanapun Rara takut jika pergi ke tempat itu seorang diri apalagi sekarang sudah gelap karena malam hari.

Dengan cekatan Rara merangkai kata di ponselnya untuk mengajak teman-temannya ikut bersamanya lewat grup di media sosial.

Rara : guys, ada yang mau ikut aku gak?

Shinta : kemana?

Doni : p

Novi : ogah ah. Pasti nge-prank nih. Palingan ngajak ke toilet? Basi ah, enggak lucu 😂

Rara : bukan. Lol.

Doni : p

Adi : kemana memangnya?

Shinta : haha 

Karina : kemana? 

Vera : kuy

Chaca : ke hatimu. Lol

Rara : ke sekolah.

Doni : p

Adi : ngapain ke sekolah?

Fajar : ke sekolah?

Shinta : jam segini? 

Novi : itu apaan sih si Doni p mulu.

Vera : ogah ah sudah malam.

Rara : pengen ngecek keberadaan anak kecil yang tadi sore.

Shinta : besok saja.

Doni : p

Fajar : anak kecil?

Adi : mendingan besok saja. Sekarang sudah gelap.

Novi : si Doni komennya enggak mutu.

Adi : anak kecil siapa?

Chaca : horor banget nih.

Karina : serem.

Rara : ada yang mau ikut aku ke sekolah sekarang?

Shinta : hah?

Doni : p

Vera : aku undur diri.

Chaca : aku undur undur.

Rara : ya sudah kalau enggak ada yang mau ikut. Aku sendirian saja perginya.

Shinta : jangan sendirian!

Novi : Don. Gelut yuk! 

Karina : aku ikut deh.

Fajar : seru nih. Kumpulnya di rumahku kuy, kan rumahku paling dekat dengan sekolah.

Shinta : aku ikut.

Doni : p

Adi : aku juga ikut.

Novi : ikut.

Novi : ih si Doni ngeselin.

Chaca : lol.

Rara : lol.

Shinta : Novi sejodoh sama Doni. Lol.

Adi : lol.

Novi : apaan sih?

Fajar : haha.

Karina : ngakak.

Doni : p 

End.

Dan sesaat setelah obrolan selesai. Rara bersiap pergi, beruntung izin dari orang tuanya yang membolehkan keluar rumah hingga pukul sepuluh malam. Rara segera pamit karena ingin sekali membuktikan rasa penasarannya soal Didit yang misterius.

Tak berapa lama kemudian Rara menjemput Shinta terlebih dahulu dengan sepeda motornya lalu berkumpul di rumah Fajar untuk menitipkan sepeda motornya di halaman depan rumah Fajar. Dari rumah Fajar menuju ke sekolah hanyalah berjarak sekitar seratus meter, cukup dekat bahkan dengan berjalan kaki sekalipun.

Rupanya Rara dan Shinta bukan yang pertama datang ke rumah Fajar. Adi sudah datang lebih dahulu lalu disusul Karina dan Novi. Terakhir kejutan Doni juga datang saat keenam temannya hendak melangkahkan kakinya keluar dari pekarangan rumah Fajar menuju ke sekolah.

“Loh datang juga kamu Don. Kukira tidak akan datang,” kata Adi.

“Aku sih orangnya setia kawin eh salah maksudnya setia kawan,” jawab Doni cengengesan. Candaan Doni langsung disambut tawa oleh semuanya.

“Kupikir kamu cuma bisa ngomong p doang,” komentar Novi.

Lalu mereka pun berjalan bersamaan menuju ke sekolah tapi mereka tidak masuk ke dalam sekolah karena pintu gerbang sekolah sudah digembok. Mereka memutar menuju ke belakang sekolah yakni ke gedung kosong yang menjadi tujuan utama mereka.

Di tengah perjalanan, mereka pun mulai ngobrol, “jadi inti misi kita adalah mencari anak kecil?” tanya Adi pada Rara dan Rara menganggukan kepalanya, “iya,” 

“Anak kecil apa sih?” tanya Fajar belum tahu.

“Didit namanya,” terang Rara, “sore tadi saat aku dan teman-temanku bermain bola voli, bolanya jatuh ke halaman gedung kosong. Kupikir tidak ada orang di gedung itu tapi ternyata aku salah karena ada anak kecil yang bernama Didit yang kemudian membantuku mengambilkan bola untukku lalu aku suruh dia pulang sudah sore tapi sayangnya aku belum sempat melihat kepergiannya karena konsentrasiku tertuju pada Shinta dan Novi yang tiba-tiba datang dan mengajakku mengobrol. Didit sudah pergi dari kami saat aku hendak menanyakan lebih lanjut kepadanya,” 

 “Kayak film horor nih, seru nih,” ucap Fajar justru antusias.

Doni mendadak berhenti berjalan, “kupikir bakalan ada traktiran makanan jadi aku bersemangat sekali datang ke mari. Eh ternyata malah cari setan. Aku tunggu di rumahnya Fajar saja ya menunggu kalian pulang dari gedung kosong,” 

“Dih, cowok kok penakut!” kecam Novi dan Shinta nyaris bersamaan ngomongnya.

“Bukannya penakut. Aku sih mikir saja. Ngapain cari setan coba? Mendingan dari pada begitu lebih baik mencari jalan kebenaran,” celoteh Doni asal-asalan.

Ucapan Doni membuat mereka geli, Doni memang pandai bercanda, “belum tentu hantu,” sahut Adi.

“Maksudmu?” tanya Karina yang satu-satunya tidak tertawa saat Doni bercanda karena sebenarnya Karina sangat takut, apalagi suasana sudah malam hari dan gelap. Bagaimana kalau hantu itu benar-benar menampakkan dirinya dihadapan mereka? Bukankah hal itu sangat menakutkan sekali!

Adi menatap ke arah jalan yang mereka lalui terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Karina, suasana sangat sepi karena jalanan kecil yang mereka lalui merupakan areal perkantoran. Apabila doang hari tentu saja ramai tapi berbanding terbalik jika malam hari, tidak ada satu orang pun yang terlihat malam ini.

“Siapa tahu yang dilihat oleh Rara memang benar anak kecil. Bagaimana jika anak itu mengalami kecelakaan sepeninggal Rara, Shinta dan Novi kembali ke lapangan voli?” kata Adi mencoba mencari pembenaran secara rasional terlebih dahulu.

“Anak itu bersembunyi di suatu tempat, di belakang pagar misalnya. Dari situ tidak terlihat oleh pandangan mata Rara, Shinta dan Novi,” ujar Adi menjelaskan teorinya. Cukup masuk akal sih tapi sepertinya Rara meragukannya karena Rara juga sempat berpikiran seperti itu tapi saat itu Rara tidak melihat keberadaan Didit yang bersembunyi di balik pagar. Untuk itulah Rara ingin meyakinkan lagi jika penglihatannya itu keliru. 

Lalu mereka melanjutkan perjalanan setelah sebelumnya berhenti gara-gara Doni yang ingin hanya menunggu di rumah Fajar saja. Doni pun akhirnya memilih turut serta bersama mereka lagi, kakinya pun diseret dengan terpaksa.

“Sekarang jam berapa sih?” tanya Karina yang kemudian mengambil ponselnya dari balik saku jaketnya, “jam sembilan kurang sepuluh menit,” katanya lagi.

“Hah, jam segitu sih sinetron kesayanganku mau sudahan,” potong Doni, “yuk pulang!” ajaknya mencoba mengubah pendirian teman-temannya agar tidak melanjutkan perjalanan mereka lagi.

Novi langsung menggerutu, “sejak kapan kamu jadi pemerhati sinetron. Biasanya jam segini malah asyik main game online,” semburnya pada Doni.

Doni cuma bisa menanggapinya dengan tersenyum kecut karena memang jam segini biasanya dihabiskan bermain game online bersama teman-temannya. Hal itu sudah bukan rahasia lagi bagi Rara, Novi maupun teman-teman di sekolahnya.

Sambil berjalan pelan, Doni mencari cara agar bisa membatalkan perjalanan mereka menuju gedung kosong tapi Fajar membuyarkan upayanya itu, dia menunjuk ke arah bangunan tua yang terlihat tidak jauh lagi, “kalian lihat atap gedung di sana! Itu gedung kosong yang berada di belakang sekolah kita,” 

“Aduh kok gelap sekali, penerangan lampunya kurang terang,” komentar Shinta.

Adi setuju dengan ucapan Shinta, “semakin kita mendekati gedung kosong malah lampu penerangannya semakin sedikit,” 

Tanpa perlu komando, insting mereka seakan menyuruh mereka menyalakan lampu senter yang tersedia di ponsel mereka masing-masing. Lumayan terang tapi tetap saja tidak bisa menerangi semua tempat.

Adi paling depan, bisa dikatakan dialah yang paling berani di antara mereka walau pun pada kenyataannya Adi juga merasa was-was dan sedikit ketakutan.

Doni yang tadinya paling belakang mulai mendekat ke arah rombongan, “jumlah kita ada tujuh orang, benarkan?” tanyanya.

“Iya betul,” jawab Rara.

“Aku, kamu, Karina, Novi, Rara, Adi dan Fajar. Semuanya berjumlah tujuh orang,” kata Shinta sambil mengabsen nama teman-temannya.

“Memangnya kenapa sih pakai nanya jumlah orang segala?” tanya Fajar heran.

“Barangkali saja sekarang jumlahnya bertambah jadi delapan orang,” kata Doni yang entah sedang bercanda atau sedang merasa ketakutan, “tiba-tiba nambah penumpang gelap yang masuk ke dalam rombongan kita,” katanya lagi.

“Hiiii,” Karina dan Novi jadi spontan bergidik ngeri. Sebenarnya Rara dan Shinta juga ketakutan membayangkan yang enggak-enggak akibat ucapan Doni barusan.

Beruntung Adi dan Fajar punya keberanian yang lebih baik dari pada teman-temannya yang lain, “coba aku hitung dulu!” satu orang, dua orang, tiga orang... Tujuh orang!” kata Adi sambil menunjuk satu persatu teman-temannya.

“Tuh Don. Masih tetap berjumlah tujuh orang!” sahut Fajar mencoba menenangkan teman-temannya yang mulai digelayuti oleh rasa takut.

“Ooh masih tujuh orang,” hanya segitu saja Doni menanggapi ucapan Fajar tanpa merasa bersalah telah membuat teman-temannya jadi bertambah ketakutan.

Mereka terus berjalan kaki menyusuri jalanan dengan perasaan yang mencekam tapi akhirnya sampai juga di depan pagar tanpa pintu sehingga siapa pun bisa memasuki gedung kosong yang tak terawat itu. Tapi Rara dan teman-temannya masih ragu untuk masuk ke areal gedung kosong itu karena tempat itu tanpa penerangan sama sekali alias gelap gulita.

Karina yang merasa tidak enak dengan situasi ini ingin secepatnya mereka pergi dari tempat itu sehingga spontan melihat ke jam yang berada di ponselnya, “jam sembilan kurang tiga menit,”

Tidak hanya Karina saja yang gelisah tapi juga semuanya. 

“Enggak usah masuk deh, gelap,” bisik Karina.

“Setuju!” sambut Doni dan Novi yang tiba-tiba kompak padahal biasanya berantem melulu.

Fajar juga setuju, “kalau anak kecil itu manusia, mustahil dia masih ada di tempat gelap dan tidak terurus seperti ini, kecuali anak kecil itu adalah..” tapi Fajar tidak mau melanjutkan ucapannya.

Lampu senter disorot dari jauh untuk menjangkau halaman gedung kosong khususnya bagian halaman yang berbatasan dengan pagar sekolah tapi tidak ada apa-apa kecuali bangunan kosong yang tidak terawat dengan baik.

Namun tiba-tiba seberkas cahaya senter menangkap sekelebatan bayangan, “apa itu!” tunjuk Doni yang melihat pertama kali.

Sekelebat bayangan itu bergerak cepat dari atas atap menuruni tiang dan berlari menuju ke semak-semak. 

“Hiii!” pekik mereka histeris bercampur kaget, Adi segera menenangkan ketakutan teman-temannya, “tenang. Itu cuma tikus!”

“Tikus?”

Adi menganggukan kepalanya, “iya betul. Tadi itu cuma seekor tikus,”

Ucapan Adi sukses menenangkan hati mereka, “lega rasanya,” 

“Eh, itu apa!” tunjuk Rara ke tanah tempat tikus tadi meloncat ke tanah. Cahaya senter segera terarah ke tempat yang di tunjuk oleh Rara.

Sepertinya sebuah benda kecil. Dan benda itu terkena cahaya senter dan kemudian berkilau memantulkan cahaya senter.

“Mungkin itu adalah kalung,” tebak Adi.

“Sepertinya memang kalung,” kata Shinta setuju dengan tebakan Adi.

“Enggak usah di ambil deh,” kata Karina enggan masuk ke dalam areal gedung kosong itu, cukup mereka berdiri dari luar gedung saja tanpa perlu masuk ke dalam gedung segala.

Pada dasarnya semuanya setuju dengan pendapat Karina. Itu sebabnya mereka berniat mengakhiri petualangan mereka menuju gedung kosong.

“Yuk pulang, sekarang bisa kita lihat bersama jika tidak ada apa-apa di sini,” ajak Doni untuk segera berbalik pulang.

“Iya nih. Sekarang sudah tepat jam sembilan malam,” kata Karina sambil melirik untuk melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul dua puluh satu tepat.

Tapi Adi menahan mereka untuk pulang, “gimana Ra? Sudah terjawab rasa penasaranmu bahwa di gedung ini tidak ada anak kecil sama sekali?” tanyanya pada Rara, “anak kecil yang kamu temui tadi sore pastilah saat ini sudah berada di rumahnya. Malah mungkin saja sudah tidur sedari tadi di kamarnya,” lanjutnya.

Rara tidak menjawab apa yang dikatakan oleh Adi. Wajahnya tiba-tiba pucat, nafasnya memburu dengan cepat dan matanya melotot seakan-akan melihat sesuatu yang sangat menyeramkan.

“Aaaah, tidak!” pekik Rara berteriak sambil menutup matanya dengan kedua belah tangannya seperti melihat penampakan yang menakutkan.

Belum sempat teman-temannya menanyakan penyebab ketakutan Rara yang histeris, Rara mendadak jatuh pingsan karena tidak sambil menyaksikan apa yang tidak ia lihat.

Apakah sebenarnya yang dilihat oleh Rara? Mengapa Rara menjadi sehisteris itu? Lalu apakah ada hubungannya dengan kalung misterius yang tergeletak di atas tanah? Semuanya akan terjawab di seri bab selanjutnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status