Setelah mas Dodi berangkat kerja, aku bersiap untuk pergi ke bank. Urusan rekening ini harus cepat selesai agar bisa fokus pada urusan lain. Salah satunya penjualan motor. Sudah ada yang mau, tapi baru bisa besok lihat motornya.Aku datang ke bank terdekat lebih dulu untuk ambil rekening dan buku tabungan. Barulah ke bank berikutnya. Karena hanya akan mengambil dua benda itu, gak akan selama yang antri lainnya.Tapi, ketika motor akan dimasukkan ke halaman bank, aku melihat motor suami mba Winda lewat. Buru-buru kuurungkan niat masuk ke sana. Agar tak dicurigai, aku masuk ke halaman mini market yang berada tak jauh dari bank.. Takutnya mas Agus sempat melihatku berhenti di depan halaman bank. Bisa-bisa rahasia ketahuan. Dia pasti kenal motor yang enam bulan dipakai istrinya.Ya, ampun ternyata mas Agus malah balik lagi, terus masuk ke halaman mini market. Terpaksa banget aku harus menyapanya. Kalau dia pergi, baru masuk bank. "Mau belanja, Mas?""Enggak, cuma mau ngomong sama kamu.
Hari ini mobil mas Dodi sampai di rumah. Pantas saja DP dan cicilannya besar,.lah, mobilnya aja yang di atas dua ratus juta. Benar-benar sok gaya. Tak ada uang, berani-beraninya kredit dengan harga segitu.Aku cuma bisa geleng-geleng kepala melihatnya berfoto di seluruh bagian mobil. Emang secara tampang mendukung, tapi keuangan 'kan tidak. Ini kali yang disebut gaya sultan, gaji karyawan. "Kalau kamu ketemu klien, 'kan gak malu-maluiin pakai mobil sekeren ini. Orang itu akan makin yakin dengan penampilan kita. Bilang saja kapan ada pertemuan, mas siap antar!"Benar juga, sih, bagi sebagian orang, penampilan itu yang utama. Mereka akan silau jika aku datang dengan mobil keren. Tapi, dengan tabiat mas Dodi sekarang, membawanya bertemu klien sama saja bunuh diri.Dia akan tahu jumlah uang yang kuterima. Bisa saja ke depan akan melakukan tindakan pencurian lagi.. Karena itu kalau mau bertemu klien, sewa mobil di temanku sajalah. Beres urusan.Tapi, iyakan saja di depan mas Dodi agar tak
Aku tidak perhitungan, hanya ingin mengajarkan arti sebuah tanggung jawab. Akad utang itu mengikat manusia hingga akhirat. Bahkan kalau sudah meninggal pun, tetqp harus dibayar. Mereka bisa renovasi rumah, beli perhiasan dan sering banget rekreasi. Tentu hal tersebut membutuhkan uang besar. Masa mengeluarkan budget sebanyak itu bisa, bayar utang tidak?"Waah, hebat, kamu Dodi, sudeh punya mobil baru. Gila, mobilnya keren banget! Boleh, dong, nanti kita pinjam!" kata mba Winda."Mqkin sultan saja kamu!" puji mas Agus. Kutinggalkan sepasang suami istri yang tengah memuji-muji mas Dodi. Aku akan menyiapkan minuman dan kudapan untuk mereka.Entahlah, kenapa tak mau sekalipun mereka memujiku.. Padahal pasti tahu bahwa yang terjun dalam bisnis itu aku, bukan mas Dodi. Tentu saja sadar kalau uang berlimpah kami berasal dari bisnis tersebut.Kayaknya rugi untuk sekedar memberi satu pujian padaku. Giliran butuh, barulah merengek-rengek minta dikasihani. Menyebalkan memang."Sekarang 'kan Dod
Mba Winda ngomongnya jahat banget. Apakah seperti ini tabiat aslinya? Kalau ada kemauan tak terpenuhi, langsung membunuh karakter orang yang tak mengabulkan keinginannya. Aku sampai harus menghela napas dalam-dalam agar tak terlalu tersulut emosi. Kalau meledak-ledak malah bisa salah langkah. Yang rugi aku juga. "Kalau aku sebagai laki-laki digituin, langsung cerai! Wanita songong kalau didiamkan akan ngelunjak. Harga diri kita bakal rendah, serendah-rendahnya!" timpal mas Agus. Suami istri sama saja, tak tahu diri, egois. Rasanya jadi ingin teriak keras-keras untuk mengusir mereka. "Sebaiknya mas Agus dan mba Winda pulang. Tolong jangan memperkeruh suasana. Jangan hanya karena permintaan kalian tak dipenuhi, lantas mengadu domba aku dan mas Dodi. Dosa itu, Mas, Mba!""Munafik kamu, Ta. Ngomong dosa ke orang, kamu sendiri ngelakuin dosa ngelawan suami!" cerca mba Winda."Sebelum nasehati orang lain, tengok diri sendiri, sudah benar belum? Kalau belum mending diam!" tambah mas Agus.
"Aku minta maaf, Mas. Aku gak bermaksud merendahkan kamu, aku hanya kesal kenapa motor mau dipinjamkan.. Mas tahu sendiri aku butuh motor itu. Lagian kalau mereka minjem, alamat gak balik-balik. Coba mas pikir, kapan aku sesumbar pada keluarga kita soal apapun? Itu demi apa, demi menjaga nama kamu. "Esoknya aku bicara soal pertengkaran kemarin. Aku tak mau kami tak saling bicara dalam waktu lama. Lebih baik dibicarakan saja apa yang mengganjal di hati. Tak baik juga suami istri terus menumpuk masalah. Secepatnya harus diselesaikan agar tak jadi bom waktu. Mas Dodi tak merespon ucapanku. Ia mungkin masih kesal atas kejadian kemarin.. Ya, sudahlah, yang penting aku sudah berupaya membuka jalan penyelesaian.Karena tak kunjung bicara, akhirnya aku undur diri. Mungkin dia masih butuh waktu untuk meredakan emosi."Aku kerja pakai ojek saja, mobil dan motor itu punya kamu 'kan?"Aku hanya bisa mengelus dada mendapati sikap mas Dodi. Bukannya bicara baik-baik, malah merajuk seperti anak ke
DODIAkhirnya aku bisa memiliki mobil impian. Tentu ini bakal menaikkan pamor di hadapan orang-orang. Ada gunanya juga punya istri pintar cari uang, bisa jadi tambang berlian.Yakin, deh, meski rekening Mita sekarang habis, akan terisi dengan cepat. Dia'kan punya jaringan luas dan piawai dalam memasarkan suatu produk. Kadang heran, apa rahasia dari kemampuan itu.Aku tak ahli sama sekali dalam berdagang. Baik dagang kecil-kecilan, apalagi besar seperti rumah dan kendaraan. Tak enak saja rasanya untuk mulai menawarkan pada orang.Lebih baik aku kerja di kantor. Duduk sambil memasukkan data-data ke dalam file-file. Seharian pun aku mampu melakukannya. Resikonya pemasukan stagnan, tak seperti Mita yang luber sekali uangnya.Tapi, aku punya ide buka usaha. Siapa tahu ada rezeki tambahan. Aku hanya ngasih modal, yang melakukan kawan. Kebetulan Edi habis di phk, ia butuh modal untuk tambahan dagang. Karena uang Mita masih ada, kumodalilah dia.Hitung-hitung investasi.. Meski keuntungan kec
Paling ada ceramah, adik kakak harus saling menyayangi. Suami istri ada bekasnya, saudara tidak. Terus Winda menyampaikan kesalahan-kesalahanku padanya di depan pengadilan mama.Di rumah mama, mba Winda telah bermain drama ternyata. Matanya sampai sembap saking lama menangis mungkin.. Hebat sekali bisa keluar air mata begitu."Aku sakit hati sama Mita dan Dodi, Mah. Aku memang tak sekaya mereka, tapi gak harus juga menghina-hina!"Sebenarnya mama baik. Pada Mita pun tak memandang buruk. Tapi, karena sering digosok mba Winda, jadilah akhir-akhir ini jadi mulai benci pada istrikuYang punya penyakit hati sebenarnya mba Winda. Dia dengki pada Mita yang lebih segalanya. Baik kecantikan maupun kekayaan. Ditambah bersuamikan aku yang bersikap lembut dan romantis dalam memperlakukan Mita di depan kelurga.. Sementara, mas Agus, bicaranya kasar. Kadang suka mukul juga. Karena itulah kedengkiannya makin menjadi."Kamu sudah terpengaruh oleh Mita sejauh itu Dodi. Ikut-ikutan menghina kakakmu. Di
DODIMba Winda culas juga, ya. Demi keinginan dia bisa tebar fitnah dan buat makar. Sebenarnya aku tak mau memperlakukan Mita seperti ini. Inginnya damai seperti sebelumnya. Tapi, takut pada kemarahan mama yang sudah kena gosokan mba Winda. Aku sengaja tak menyambut Mita sebab akan meneruskan sandiwara. Kata mba Winda harus serius, jangan sampai terlihat main-main. Di benak Mita pasti akan terwujud bahwa suaminya benar-benar marah.Langsung saja aku masuk kamar tanpa menegur atau bertanya apapun. Sengaja tampangnya dibuat masam agar terlihat masih marah. Beres mandi, aku berniat ke ruang makan. Perut udah nyanyi dari tadi sebab belum diisi. Tapi urung sebab Mita ada di sana sedang makan sambil main HP. Aku tahu dia sempat melirik ke arah pintu masuk, cuma cepat-cepat dialihkan lagi pandangannya. Sok, tahan harga dia. Untuk mempertegas bahwa suaminya masih marah, aku sengaja melewati ruang makan. Setelah masuk beberapa langkah, keluar lagi sambil berdecik. Pasti sikapku itu membuatn