Share

ANCAMAN

Mas Dodi akan takut dengan ancaman rumahnya dijual. Apalagi surat-surat berharga ada di kamar.

Ini hanya gertakan sebab akupun tak mau rumah dijual. Selain tempatnya nyaman, nanti uangnya digondol dia semua. Meski aku ikut andil merenovasi, tak punya kekuatan hitam di atas putih bahwa jadi milik berdua.

Mengingat karakter mas Dodi sekarang, aku harus segera buat perjanjian soal rumah dan harta lainnya. Jika kami cerai semua harus dibagi dua..

Hingga siang tiba, belum ada tanda-tanda kedatangan mas Dodi. Yang ada malah chat bertanya soal rumah. Tentu saja ini kujadikan postingan baru bahwa rumah sudah ada yang melirik. Tak lupa tag lagi akunnya.

Akhirnya orang yang ditunggu pun datang. Takut juga dengan ancaman terselubung itu. Kupikir dia akan marah-marah, nyatanya tidak,malah memasang tampang sangat manis. Kata-katanya juga lembut.

"Maafkan aku, ya, Say. Uang masih ada, kok. Tapi sebagian sudah masuk ke dealer. Sebagian lagi aku jadikan modal usaha biar ada pemasukan untuk tambahan cicilan. Jadi kamu tak harus bantu cicilan. Sisanya untuk peganganku sementara. Nanti kalau sudah balik modal, semua yang kupakai akan dikembalikan. "

"Berapa sisanya, Mas?"

"Lima juta."

"Hah, mana cukup untuk mengembalikan setoran. Aku harus setor minggu ini!"

"Minta tangguh saja, pasti tak masalah. Kalian 'kan sudah saling percaya."

Rasanya ingin sekali menampar wajah yang dipasang dengan tampang tak bersalah. Dengan ringan dia berkata begitu. Benar-benar tak tahu malu.

"Ya, gak mungkinlah, Mas. Sini kunci motor!"

"Mau apa?"

"Aku mau jual satu motor untuk bayar setoran. Jadi yang di kamu, aku yang pakai."

"Loh, itu 'kan dipakai mba Winda, Kok ada di kamu. Kasihan loh dia gak ada motor untuk anter jemput anaknya."

"Kalau kasihan, minta belikan suaminya, dong. Gaji suaminya 'kan besar. Jangan pakai barang orang seenaknya. Sini, mana kunci sama STNK nya!"

"Gak, gak! Enak aja!"

"Ya, sudah kalau begitu mobil dipakai sama aku, motor sama kamu!"

"Enggak!"

"Oh, jadi kamu ingin masalah pencurian uang itu masuk ke kantor polisi? Terus viral di keluarga dan teman-teman kita? Oke, dalam sekian detik namamu bakal hancur, Mas!"

Mendengar ancaman itu, wajah mas Dodi memerah. Rahangnya juga menggembung. Tapi, hanya sesaat. Ia cepat-cepat menguasai diri. Mungkin ingat kalau posisinya sedang tak bagus saat ini.

"Oke, oke, tapi kalau mobilnya sudah datang, ya. Sementara aku pakai dulu buat kerja."

"Kalau bohong, surat rumahmu gak akan balik!"

Mas Dodi melunak lagi. Ia memegang tanganku, lalu mengusapnya. Aku tahu itu tak tulus. Ia hanya takut istrinya nekat menjalankan ancaman.

"Karena mau jual motor, berarti uang lima jutanya tetap mas pegang, ya. Buat pegangan sebulan. Mas janji, kok, gak akan dipakai mancing lagi."

Menolak permintaannya pun percuma. Dia memang takkan mengembalikan uang itu.. Yang penting aku sudah ada pegangan uang dengan cara jual motor. Tinggal ke depannya harus cari strategi agar kejadian ini tak terulang lagi..

"Eh, Mas bawa kesukaan kamu. Makan, yuk! Mas suapin, deh. Biar Mas aja yang ambil piringnya, ok!"

Aku tak menjawab iya atau tidak pada ajakannya. Terserahlah dia mau apa. Lebih baik pasang iklan buat jual motor. Kalau tak cukup juga, jual emas saja.

Sementara sibuk jualan, mas Dodi menyuapiku. Ia beneran lagi mengajukan gencatan senjata. Sampai-sampai mengelap sudut bibirku dengan jarinya kalau di sana ada sisa makanan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status