"Permisi."
Renata mengangkat wajah dari mesin Cash Drawer.
---Ya Tuhan, seperti inikah rupa bidadara?--
"Nona, permisi."
Ah, sial. Ia melamun. Tapi sungguh, lelaki ini rupawan. Kulitnya bersih, hidungnya mancung, rambutnya hitam mengkilat, matanya kombinasi cemerlang dan tajam.
Penampilannya juga terlihat necis. Stelan jas semi formal dengan celana bahan menggantung sedikit di atas mata kaki sangat sempurna melekat di tubuhnya yang menjulang.
"Oh maaf. Ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mencari pemilik toko kerajinan tangan ini."
"Saya sendiri."
"Ah, kebetulan sekali. Perkenalkan, saya Samudera Biru Natatama."
--Samudera Biru? Estetik, kenapa tidak sekalian Samudera Hindia Saja?--
"Pemilik baru gedung ini."
"Eh, apa? Pemilik baru?"
Seketika Renata bersikap sempurna, waspada. Bagaimana tidak, dua minggu lalu pemilik lama menginformasikan kepada semua penyewa jika gedungnya berpindah tangan. Tapi sama sekali tak menyangka pemilik barunya datang sendiri dengan wujud sekinclong ini.
Ah, lupakan! Bukan itu fokusnya sekarang.
Pemilik baru itu meminta seluruh penyewa untuk hengkang dari gedung yang sudah bertahun-tahun mereka tempati. Lewat surat pemberitahuan resmi tentu saja.
Alasannya akan dipugar total.
Meski berjanji akan mengganti uang sisa kontrak yang belum habis tetap saja itu tidak adil karena terlalu mendadak.
Di kota seperti Jakarta tidak mudah mencari tempat strategis dengan harga manusiawi. Belum lagi memulai usaha di tempat baru itu berat. Tidak bisa langsung ramai. Butuh promosi lagi, renovasi lagi.
Intinya butuh biaya lebih banyak!
"Benar, pemilik gedung."
Renata meringis mendengar penekanan pada kata pemilik gedung.
"Jadi ada perlu apa Bapak Samudera datang ke toko saya?"
Alis lelaki itu bertaut. Penyewa satu ini seperti menantangnya. Tidak ramah apalagi manut seperti penyewa lain yang sudah didatangi.
Sambil berdehem ia menyilangkan kaki, menautkan jari-jari tangannya yang berada di atas meja.
"Pertama, panggil saya Biru. Kedua, saya bukan bapak-bapak. Ketiga, seharusnya saya yang bertanya, kapan Anda pindah?"
Renata menahan napas mendengar rentetan kalimat lelaki bernama Biru itu. Saat mengatakannya memang disertai sedikit senyuman yang kemanisannya mungkin setara dengan madu. Sayangnya, juga membekal aura intimidasi sangat besar. Membuat siapa pun lawan bicaranya menjadi gentar dan ingin mengakhiri pembicaraan secepat mungkin.
Termasuk Renata. Kedua kakinya gemetar.
"Begini, Bapak ... maaf ... Mas Biru."
--Apa? Dia memanggilku Mas? Kita tidak seakrab itu Nona.--
"Saya menolak pindah dari tempat ini. Karena itu tidak adil."
"Tidak adil? Saya akan mengganti uang sisa kontrak."
"Saya tahu. Tapi tetap saja itu tidak sebanding dengan biaya yang harus saya keluarkan untuk mendapat tempat baru."
"Saya akan ganti tiga kali lipat."
"Apa?" Renata mengerjap tak percaya.
"Jika uang masalahnya, saya bersedia mengganti tiga kali lipat."
"Tidak, sebenarnya bukan itu saja. Saya harus mempertimbangkan pelanggan tetap saya. Jika pindah, otomatis saya akan kehilangan banyak omzet dan itu sangat berpengaruh pada usaha saya ke kedepannya. Tolong Anda pertimbangkan itu."
Samudera Biru mengetuk-ngetukan jari ke meja.
"Sepuluh kali lipat. Saya akan mengganti sepuluh kali lipat. Bagaimana?"
Otak Renata menghitung cepat. Sedikit tergiur. Sepuluh kali lipat jumlah yang sangat lumayan. Dengan uang itu ia bisa menyewa toko di gedung yang lebih bagus.
"Bagaimana?"
"Beri saya waktu tiga bulan," ucap gadis itu sambil menggigit bibir bawahnya, ragu dengan keputusannya sendiri.
Mata cemerlang Samudera Biru menyapu wajah Renata. Membuat gadis itu semakin intens menggigiti bibirnya.
"Satu bulan. Lebih dari itu saya terpksa menggunakan cara sedikit kasar."
"Tapi tidak mudah mencari tempat baru, sebulan tidak akan cukup."
"Itu urusan Anda. Saya sudah sangat murah hati mau mengganti sepuluh kali lipat. Ingat Nona, tidak ada perjanjian tertulis ketika Anda menyewa toko ini, jadi secara hukum posisi Anda lemah."
Keringat Renata nyaris berguguran. Tak menyangka kecerobohannya untuk tidak menggunakan surat perjanjian sewa berbuntut merepotkan. Dulu ia berpikir itu bukan sesuatu yang terlalu penting mengingat pengalamannya beberapa kali berpindah tempat usaha selalu lancar, hampir tidak pernah mengalami masalah berarti.
"Baiklah, saya setuju."
Ada senyum puas di bibir lelaki itu melihat ketidakberdayaan di wajah Renata.
"Terima kasih atas kerja samanya, Nona?"
"Renata."
"Nona Renata. Hubungi saya setelah Anda mendapat tempat baru."
Renata menerima kartu yang disodorkan lelaki itu. Terlihat mewah, namun ia tak tertarik. Pikirannya mengembara.
Sejujurnya Renata merasa berat. Meski gedung ini terlihat tua dan terbengkalai entah kenapa Renata seperti melekat padanya. Ada perasaan nyaman dan memiliki yang kuat di hatinya.
Lebih dari itu gedung ini membuat malam-malam Renata menjadi lebih baik, jarang berhias mimpi buruk seperti ribuan malam yang pernah dia lalui.
Semua penghuni kasat mata di gedung ini pun cenderung individualis dan kalem. Sehingga energinya tidak terlalu banyak terkuras untuk interaksi-interaksi tidak penting.
Ya, Renata bisa melihat makhluk alam lain!
"Baiklah, saya permisi." Samudera Biru menyelipkan sejumput rambut gelombangnya ke belakang dengan gerakan yang bisa membuat sebagian wanita meleleh seperti lilin terbakar.
Aroma parfum bercampur dengan feromon tubuhnya yang dari tadi memonopoli indera penciuman Renata mulai bekerja, meracuni kewarasan gadis itu sesaat.
"Ada apa?" Alis Samudera Biru bertaut melihat Renata yang menatapnya seperti orang bodoh.
"Bukan apa-apa."
Pipi gadis itu merona, kaget sekaligus malu tertangkap basah sedang menatap sedemikian rupa. Renata kembali menggigit bibir bawahnya, merasa menjadi gadis paling mesum sejagad raya.
Samudera Biru tersenyum miring. Mencondongkan sedikit tubuhnya pada Renata yang berdiri kaku seperti arca.
"Hubungi aku jika kau butuh bantuan untuk menggigiti bibirmu."
"A... apa?" Renata terbata, bisikan itu terdengar seperti sihir di telinganya.
Samudera Biru tertawa kecil. Berlalu meninggalkan Renata yang sibuk mengendalikan debaran di dadanya.
"Ah, bajingan itu. Sial!" Renata memaki dalam hati. Lelaki itu terang-terangan mengejeknya.
"Hei!!!"
Suara nyaring Renata seperti menghentikan aliran waktu. Membuat langkah Samudera Biru yang baru mencapai pintu tertahan. Ia berbalik menatap gadis itu dengan senyum terkulum.
"Kau, bajingan mesum!"
Renata menunjuk lurus ke wajah Samudera Biru. Membuat senyum lelaki itu menghilang seketika, berganti dengan tatapan mematikan.
"Mesum? Tidak terbalik? Bukankah kau yang sejak tadi menatapku seperti ingin memangsa. Lihat, sekarang pun kau terus menggigiti bibirmu. Kenapa, kau ingin menggodaku?"
Samudera Biru berjalan mendekat membuat Renata mau tak mau mundur ke belakang hingga menyentuh punggung kursi.
"Kau terlalu percaya diri. Siapa yang mau menggoda lelaki sombong sepertimu?" Renata mendesis.
"Benarkah, lalu kenapa kau terus menggigit bibirmu seperti itu?" Samudera Biru kembali tersenyum miring. Menatap dalam pada bibir penuh berwarna merah muda di depannya.
"Itu ... itu kebiasaanku sejak lama. Tidak ada hubungannya denganmu," jelas Renata. Sedetik kemudian ia menyesal, untuk apa memberi penjelasan pada lelaki gila ini.
"Begitu, sayang sekali. Padahal aku menyukainya."
Telinga Renata tersengat. Lelaki yang kini berdiri kurang dari lima belas senti meter di hadapannya itu benar-benar mengujinya.
"Mesum sialan, enyah kau!" Renata mendorong dada Samudera Biru dengan kedua telapak tangan. Membuat lelaki itu terpental ke belakang, menabrak pintu kaca.
Renata terhenyak. Tak menduga dorongannya bisa sekuat itu. Padahal jika melihat postur Samudera Biru yang tinggi dan tegap akan mustahil baginya bisa membuat dia terlontar hingga tiga meter dengan begitu mudah.
"Ya, Tuhan." Renata menutup mulut dengan kedua tangan. Bergegas menghampiri Samudera Biru yang tampak mengernyit menahan sakit.
Beruntung pintu kaca tidak pecah, kalau tidak entah apa yang akan terjadi pada lelaki itu.
Renata mengulurkan tangan hendak membantu berdiri, namun tiba-tiba selarik angin panas menghantam, membuat tubuhnya terpelanting hingga pelipisnya menumbuk ubin.
Renata mendongak. Di hadapannya berdiri dua sosok tinggi besar berpakaian serba putih, berambut panjang dan berikat kepala. Mengingatkan gadis itu pada sosok pendekar dalam film kolosal negeri tirai bambu.
Wajah mereka tampan namun dingin dan keras. Tatapannya menusuk sampai ke dalam kepala Renata.
Gadis itu pias seketika. Ia menyilangkan lengan di depan wajah dan memejamkan mata ketika salah satu sosok itu mendatangi dengan pedang terhunus.
Sedetik, dua detik, tiga detik, tidak terjadi apa-apa.
"Hei, Nona. Kau tidak apa-apa?"
Renata membuka mata, mengintip dari balik lengan. Tak ada dua sosok berbaju putih. Hanya ada Samudera Biru yang tampak khawatir.
Renata menurunkan tangan, celingak-celinguk. Ia bernapas lega ketika tak menemukan dua sosok itu di mana pun.
"Hei, Nona?" Panggil Samudera Biru semakin khawatir melihat gadis itu seperti linglung.
"Eh, ya ... saya tidak apa-apa. Kau, kau? Tadi kebentur pintu, ada yang luka, sakit?"
Renata mencicit sambil menyentuh tubuh Samudera Biru di sana sini, persis ibu-ibu sedang memilih sayuran segar di pasar.
“Hei, hei … kondisikan tanganmu Nona.”
Samudera Biru menangkap lengan Renata agar berhenti menggerayanginya.
"Oh, ma .. maaf."
Renata menarik tangannya dengan cepat, wajahnya merah padam.
Samudera Biru mengulurkan tangan, membantu gadis itu berdiri. Dengan ragu Renata menerima. Merasakan hangat mengaliri kulitnya. Ia mendongak, menatap takjub, dalam jarak sedekat ini lelaki itu terlihat begitu mempesona.
"Lihat, sekarang siapa yang mesum?" Samudera Biru berbisik. Bibirnya melengkungkan senyum tipis.
"Sialan!" umpat Renata dalam hati. Segera menarik tangannya dan mundur beberapa langkah ke belakang.
"Maaf, aku tidak bermaksud melukaimu. Aku tidak tahu tenagaku bisa sekuat itu," ucap Renata pelan, kembali menggigit bibir membuat lelaki di hadapannya memalingkan wajah.
"Jangan khawatir, aku tidak apa-apa," jawab Samudera Biru dengan suara sedikit parau. "Paling mati penasaran, jika terus melihatmu melakukan itu pada bibirmu," lanjutnya dalam hati.
"Syukurlah," desah Renata lega. Setidaknya Samudera Biru tidak bersikap keras kepadanya.
"Baiklah, sampai jumpa bulan depan Nona Renata."
Renata mengangguk, menatap kepergian lelaki itu dengan perasaan aneh.
Ia mengamati dari balik kaca. Melihat bagaimana lelaki itu berjalan anggun menuju sedan putih, di mana seorang pria paruh baya setia menunggu.
Pria paruh waktu itu membungkuk hormat, membukakan pintu belakang mobil dan menutup dengan penuh perhitungan.
Sebelum ikut masuk ke mobil, ia menganggukan kepala ke arah Renata yang dibalas gadis itu dengan satu anggukan kaku.
***
Renata menatap sedan putih yang menjauh dengan tatapan rumit. Ia mengamati telapak tangan yang sudah membuat Samudera Biru terlontar seperti daun kering tertiup angin.Ini seperti de javu, otak gadis itu bekerja keras, mencari serpih-serpih ingatan dalam laci memori kenangannya yang kusam dan bertumpuk-tumpuk.Juga tentang rasa hangat dari genggaman lelaki itu. Ia menemukannya di sana, bersama sosok paling ia benci dan rindukan sekaligus.Singgih Wirayuda, lelaki jahat yang meninggalkan ia dan ibunya.***20 Tahun Silam"Rena, Renata!!!"Gadis kecil dengan rambut hitam berbando bunga-bunga mengangkat wajah. Menatap lurus pada wajah ayu yang menghampiri dengan tergopoh.Wanita itu meraup tubuh kecilnya. Menenggelamkan kepalanya dalam pelukan paling nyaman di dunia.Sementara beberapa meter dari sana seorang bocah lelaki tergeletak di tanah. Dua temannya menangis keras, mengundang keriuhan."Dasar bocah setan, kamu
Renata menutup telinga. Pekik tawa makhluk itu membuat telinganya sakit. Bau anyir terus merebak hingga membuat paru-parunya terasa seperti tercekik."Berhentiii!!!" Teriak gadis itu dengan dada naik turunMakhluk di hadapannya menatap lurus. Lidahnya menjulur keluar bersama tetesan liur kental lalu kembali menebar tawa mengerikan."Plak!!! Plak!!! Plakkk!!!"Suara pukulan terdengar. Lalu hening sejenak, hanya terdengar tarikan-tarikan napas tak beraturan."Dasar anak nakal!!! Sudah kubilang jangan muncul di hadapanku dengan wujud seperti itu!" Suara Renata menggema di seantero toko. Sebelah tangannya terangkat ke atas, bersiap untuk pukulan susulan.Makhluk itu meringis, mengusap-usap kepalanya yang kena pukul."Maaf, aku lupa menonaktifkan mode ini."Bola mata Renata berputar, menjatuhkan sebelah tangan yang tadi menggantung di udara. Sambil bersungut ia menuju meja kasir. Makhluk itu mengintilinya."Kak, laki-la
Malam ini terlalu dingin. Angin beraroma hujan melentingkan pepohonan ke satu arah. Entah bagaimana Renata bisa berada di sana, di tepi danau dengan jutaan cyanobacteria. Renata tak mengenal danau itu. Hanya saja warna hijaunya mengingatkan pada puding pandan lembut buatan sang ibu yang sedang menatap lurus. Benar, itu ibunya. Wanita bergaun putih yang berdiri belasan meter di depannya dengan senyum terkembang adalah ibunya. Tapi sedang apa ia di sini? Otak Renata tak bekerja, fokusnya hanya pada dada yang seperti ingin meledak oleh rindu yang keterlaluan. Renata berlari, tak peduli pada dingin yang menyentuh kakinya yang tanpa alas. "Rena," panggil wanita bergaun putih itu. Tangannya melambai lalu melangkahkan kaki, ke tengah danau, bukan ke arah Renata. "Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Renata berteriak, langkahnya tersaruk, mengejar ibunya yang semakin masuk ke dalam danau. "Byurr!!!" Renata menerjang. Merasakan kulitnya seperti d
Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara."Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah
Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangann
Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k
"Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih