Renata menatap sedan putih yang menjauh dengan tatapan rumit. Ia mengamati telapak tangan yang sudah membuat Samudera Biru terlontar seperti daun kering tertiup angin.
Ini seperti de javu, otak gadis itu bekerja keras, mencari serpih-serpih ingatan dalam laci memori kenangannya yang kusam dan bertumpuk-tumpuk.
Juga tentang rasa hangat dari genggaman lelaki itu. Ia menemukannya di sana, bersama sosok paling ia benci dan rindukan sekaligus.
Singgih Wirayuda, lelaki jahat yang meninggalkan ia dan ibunya.
***
20 Tahun Silam
"Rena, Renata!!!"
Gadis kecil dengan rambut hitam berbando bunga-bunga mengangkat wajah. Menatap lurus pada wajah ayu yang menghampiri dengan tergopoh.
Wanita itu meraup tubuh kecilnya. Menenggelamkan kepalanya dalam pelukan paling nyaman di dunia.
Sementara beberapa meter dari sana seorang bocah lelaki tergeletak di tanah. Dua temannya menangis keras, mengundang keriuhan.
"Dasar bocah setan, kamu apain anakku, hah?!" hardik seorang wanita. Tangannya menarik baju Renata tanpa ampun hingga gadis kecil itu meringis kesakitan dan ketakutan.
"Hentikan! Jangan sentuh anak saya!"
Ratri Maheswari menepis jari-jari mengerikan dari tubuh anaknya.
"Plakkk!!!"
Satu tamparan keras mendarat di wajah Ratri. Panas dan perih membuat tangannya terkepal. Namum wanita itu menguatkan hati untuk tidak melakukan hal serupa.
"Lihat itu, anakku dipukul sampai pingsan sama anakmu!!"
"Saya minta maaf, tapi saya yakin Renata tidak melakukan itu dengan sengaja. Pasti ada alasannya."
"Alasan apa? Anakmu itu memang kasar, liar dan aneh!"
"Tolong jaga bicara Anda. Anak Andalah yang kasar dan liar. Anda pikir saya tidak tahu setiap hari anak Anda merundung anak saya. Tapi apa dia membalas? Tidak. Karena saya mengajarkannya untuk tidak menyakiti temannya sendiri. Kalau sekarang dia membalas itu artinya anak Anda sudah melampaui batas toleransinya."
"Heh, apa ini? Kenapa kamu jadi nyalahin anak saya. Jelas-jelas anak kamu yang salah."
"Benarkah? Mari kita cari tahu apa cuma anak saya yang salah di sini."
Ratri Maheswari menatap dingin wanita di hadapannya kemudian berjalan masuk ke dalam kelas. Menulikan telinga dari sumpah serapah wanita itu.
"Ibu, aku minta maaf," Renata kecil berbisik.
"Tidak apa-apa," Ratri mencium kepala putrinya.
"Apa sakit?" Lengan gadis kecil itu terulur, menyentuh tanda kemerahan di pipi ibunya.
"Tidak sama sekali," jawab Ratri sambil menahan air mata agar tidak meluap di depan putrinya.
"Bu Ratri, ada apa ini?" Seorang guru masuk dengan wajah khawatir.
"Anak-anak bertengkar, Bu. Putri saya tidak sengaja memukul temannya sampai pingsan."
"Ya Tuhan, bagaimana kondisi anak itu sekarang?"
"Mungkin masih tak sadarkan diri."
"Astaga, kalau begitu Bu Ratri tunggu di sini. Kita akan menyelesaikan masalah ini secepatnya."
Ratri Maheswari mengangguk setuju. Ia menurunkan Renata, menatap gadis kecilnya dengan senyuman lembut.
"Apa Rena terluka?"
"Tidak."
"Raka bilang apa sih kok Rena sampai mukul dia?"
Renata kecil terdiam.
"Rena?" panggil Ratri lembut.
"Raka bilang Ibu ... Ibu penyihir. Katanya Rena anak setan, bukan anak Ayah."
Helaan napas berat terdengar.
"Rena percaya?"
Gadis itu menggeleng.
"Pinter. Rena itu putri Ibu dan Ayah. Dan Ibu bukan penyihir. Ibu cuma ibunya Rena yang cantik dan gemesin."
Ratri mencubit kecil pipi tembam Renata. Gadis itu tertawa, matanya berbinar terang.
"Bu, kenapa Rena bisa lihat hantu?"
Deg! Jantung Ratri seperti akan berhenti berdegup. Pertanyaan itu akhirnya datang juga, meski rasanya terlalu cepat.
"Karena Ibu juga begitu."
"Ibu tidak takut?"
"Tidak, kenapa takut, mereka juga ciptaan Tuhan sama seperti kita. Rena takut?"
"Sedikit." Gadis kecil itu menyentuh ruas telunjuk dengan jempolnya yang mungil.
"Tapi kenapa orang-orang tidak bisa?"
"Karena itu spesial, hadiah dari Tuhan khusus buat kita."
"Tapi kenapa mereka ga suka Rena?"
"Karena mereka ga tahu."
"Jadi Rena harus ngasih tahu kalau itu hadiah dari Tuhan?"
"Mm ... biar mereka tahu sendiri. Yang terpenting Rena tetep jadi anak baik, mengerti?"
Renata kecil mengangguk.
"Bu, tadi tangan Rena ada cahaya putihnya." Gadis kecil itu mengangkat kedua telapak tangan.
Ratri meraih lengan kecil itu. Menatap lama. Hatinya seketika berdebar.
"Tidak apa-apa, itu rahasia kita, jangan sampai ada yang tahu, oke?"
"Oke."
Ratri kembali mengelus rambut putrinya kemudian memandang berkeliling. Ekor matanya menangkap kehadiran sosok-sosok asing yang tertarik oleh aroma putrinya.
Wanita anggun itu menjentikan telunjuk dan jari tengah ke atas. Membangun perisai kehijauan yang tidak bisa dilihat oleh mata orang biasa.
Ratri menatap kaca, ke arah di mana makhluk-makhluk itu mengintai. Sudut bibirnya terangkat lalu matanya mengerjap.
"Crashh ... crashh ... crashh!!!"
Sinar putih berbentuk pedang melesat dari mata Ratri, memotong sosok-sosok itu menjadi beberapa bagian.
Potongan tubuh mereka berubah menjadi bulir-bulir debu kemudian menghilang di udara.
Renata melihat semua kejadian itu dengan ekspresi penuh kagum. Di mata kecilnya cahaya yang keluar dari mata ibunya sangatlah cantik, ia ingin memilikinya suatu hari nanti.
"Ibu, Rena lapar."
"Ibu punya roti, Rena mau?"
Gadis kecil itu mengangguk, menerima roti yang disodorkan ibunya. Ratri sendiri menatap putrinya dengan hati gelisah.
"Sayang, Rena!"
Seorang lelaki tegap dengan wajah kharismatik masuk.
"Ayahhh!!! Renata menghambur, memeluk pinggang lelaki tersebut.
"Anak Ayah yang cantik." Lelaki itu menggendong Renata, menciumnya bertubi-tubi.
Mereka tertawa lepas diiringi senyum Ratri.
"Sayang." Lelaki itu menghampiri istrinya, memeluk pundaknya dengan sebelah tangan. "Apa yang terjadi, kenapa memamggilku?"
Ratri menarik napas dalam. Ia memang sengaja memanggil suaminya lewat telepati.
"Panca buana," desisnya bergetar.
Wajah Singgih seketika memucat. Ia meraih telapak tangan putrinya, mengusap perlahan.
Sebuah tanda berbentuk bunga lotus putih kebiruan muncul. Cahayanya berpendar indah seperti kilau jutaan pelangi.
Senyum Renata merekah, menatap takjub dengan mata polosnya.
Singgih kembali mengusap telapak tangan Renata dan tanda itu pun seketika menghilang.
"Ayah, Rena mau lihat lagi," rengek gadis kecil itu kecewa.
"Nanti ya, tunggu Rena besar dulu."
"Kenapa? Sekarang Rena udah besar kok."
"Tunggu sampai sebesar Ibu. Sekarang itu jadi rahasia kita bertiga saja, orang lain ga boleh ada yang tahu, mengerti?"
Meski kecewa Renata kecil mengangguk. Kata rahasia terdengar keren di telinganya.
Singgih menatap istrinya, memberi kode untuk meninggalkan tempat itu. Ratri mengangguk, tak peduli lagi pada persoalan Raka dan ibunya. Ia akan meminta maaf secara resmi nanti. Sekalipun permintaan maafnya ditolak atau pihak keluarga Raka mencaci makinya dan menuntut ganti rugi dalam jumlah fantastis, Ratri siap menerimanya.
Mereka berjalan tergesa menuju mobil. Beberapa makhluk berdatangan, mencoba menyerang. Sayangnya mereka bukan tandingan suami istri itu. Mereka hancur bahkan sebelum menyentuh perisai kehijauan yang dibuat Ratri.
Mobil bergerak dengan kecepatan tinggi. Renata yang menyadari perubahan situasi hanya diam sambil memeluk ibunya.
Sesampainya di rumah, Singgih meminta istrinya dan Renata masuk lebih dulu. Sementara ia berdiri di halaman dengan mata terpejam. Kedua lengannya terangkat dengan telapak menghadap ke depan.
Perlahan cahaya perak keluar dari telapak tangan Singgih, melingkupi rumahnya seperti kubah besar. Setelah itu barulah ia masuk ke dalam menyusul istrinya.
"Ayah," Renata berlari menyambut lelaki itu.
Singgih menekuk lutut, merentangkan tangan. Membiarkan putrinya menumbuk tubuhnya dengan keras, ia kemudian mengangkat dan memutarnya sehingga separuh tubuh Renata seperti terbang di udara.
Renata tertawa lebar, memeluk Ayahnya erat-erat. Ia tak ingin berhenti jika Ratri tak memaksanya berhenti.
Wanita ayu itu membawa Renata ke kamar untuk mengganti baju. Sementara Singgih menatap kepergian mereka dengan mata gusar.
Selepas magrib Ratri sengaja membuat putrinya tidur lebih cepat. Singgih membopong tubuh Renata menuju ruang rahasia di balik lemari.
Mereka meletakkan Renata di atas meja batu. Singgih mengibaskan lengan ke atas tubuh putrinya. Secara tiba-tiba tubuh gadis kecil itu mengeluarkan cahaya putih kebiruan bersama aroma bunga lotus.
Suami istri itu saling melempar pandang. Ratri maju satu langkah, jemarinya membuat beberapa gerakan, menghasilkan cahaya kehijauan yang sangat dingin.
Ia mengarahkan cahaya itu ke tubuh Renata, membuat gadis kecil itu melayang hampir satu meter dari atas batu.
Dua cahaya saling bergulung di udara.
Keringat mulai menghiasi wajah Ratri membuat Singgih sangat khawatir. Ia akan mendekat namun Ratri menggelengkan kepala.
Lelaki itu menghembuskan napas berat, hanya bisa menatap istri dan putrinya dengan perasaan was-was.
Setelah satu jam lebih barulah cahaya putih kebiruan di tubuh Renata memudar lalu menghilang seiring aroma lotus yang juga menghilang. Tubuh Renata perlahan turun kembali ke meja batu. Sementara Ratri terjatuh ke lantai, darah mengalir dari sudut bibirnya.
"Sayang!" Singgih berteriak, memeluk tubuh istrinya yang sedingin es.
"Aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Sekarang putri kita akan aman untuk sementara waktu."
"Diamlah, jangan banyak bicara."
Singgih meletakan telapak tangan di dada istrinya. Menyalurkan energi murni untuk mengobati luka dalamnya.
Beberapa saat kemudian tubuh Ratri kembali hangat. Singgih membantunya berdiri.
"Ayah, ibu."
Suara kecil Renata membuat suami istri itu terkejut. Seharusnya Renata tidak akan bangun sampai besok pagi.
"Sayang, sudah bangun?" Ratri memeluk putrinya yang penuh kejutan.
"Dari tadi Rena bangun kok Bu, cuma ga bisa gerak sama ngomong aja."
"Dari kapan Rena bangun?"
"Pas Ayah gendong Rena ke sini."
Ratri dan Singgih saling melempar pandang.
"Ibu, apa Rena sakit? Kenapa Rena di bawa ke sini?"
"Iya sayang, Rena sedikit sakit jadi Ibu dan Ayah bawa Rena ke sini buat diobatin."
"Apa Rena sudah sembuh sekarang?"
Ratri mengangguk membuat gadis kecil itu bersorak senang.
Singgih menggendong putri kecilnya di punggung, membawa kembali ke kamarnya.
"Sekarang waktunya Rena bobo," ucap lelaki itu sambil menurunkan putrinya ke atas tempat tidur.
Renata merajuk namun singgih berhasil membujuknya dengan janji memancing di akhir pekan.
Gadis kecil itu masuk ke dalam selimut, memejamkan mata sementara Singgih menepuk-nepuk kakinya sampai Renata benar-benar terlelap.
***
Setelah malam itu Renata tak pernah melihat ayahnya lagi. Ibunya hanya mengatakan jika ayahnya pergi bekerja. Namun sampai ia dan ibunya pindah ke luar kota pun ayahnya tak pernah menghubungi mereka.
Beranjak remaja Renata berhenti bertanya tentang ayahnya. Selain karena lelah dan merasa dicampakkan ia juga tak tega melihat kesedihan di wajah ibunya setiap kali menyinggung masalah itu.
Mereka memutuskan hidup dalam diam. Menjauh dari orang-orang yang mengenal mereka, bahkan dari keluarga terdekat. Renata merasa disembunyikan dari dunia namun ia tak bisa protes, lagi-lagi demi ibunya.
Sepuluh tahun kemudian ibunya meninggal dunia, tepat di depan matanya. Saat berusaha melindunginya dari makhluk berjubah hitam, bermata semerah darah yang tiba-tiba menyerang kediaman mereka.
Makhluk itu terluka parah dan melarikan diri namun harga untuk itu terlalu mahal. Rasanya Renata tak sanggup menanggungnya seandainya ibunya tidak berpesan untuk melanjutkan hidup dengan benar dan menunggu ayahnya kembali.
Cih, bahkan Renata sangsi lelaki itu masih ingat jalan pulang ke rumah lama mereka.
Meski begitu ia tak menampik, setitik harapan tumbuh di dadanya. Jika ia mati menyusul ibunya bagaimana ia akan tahu jika ayahnya masih hidup dan mungkin sedang mencarinya?
Renata bermain dengan kemungkinan. Tak tanggung-tanggung hingga usianya mendekati dua puluh tujuh tahun atau hampir sepuluh tahun setelah ibunya mangkat.
Tapi sang ayah tak pernah muncul.
Renata mulai sangsi jika lelaki itu masih hidup. Ia juga sangsi pada perkataan ibunya jika kemampuannya melihat makhluk alam lain adalah sebuah hadiah. Karena pada kenyataannya itu lebih mirip kutukan yang merampas kebahagiaannya satu per satu.
"Dia tampan."
Renata terlonjak, lamunannya berceceran dan menguap tanpa sisa. Gadis itu berbalik ke arah sumber suara. Matanya seketika terbelalak dan jantungnya seperti akan berhenti berdegup.
Di hadapannya berdiri sosok gadis berseragam SMA dengan rambut panjang meriap kaku. Wajahnya pucat, hidungnya belah dan bola matamya nyaris menyembul keluar.
Bau anyir menyeruak tajam bersamaan dengan tawa nyaring menusuk gendang telinga.
***
Renata menutup telinga. Pekik tawa makhluk itu membuat telinganya sakit. Bau anyir terus merebak hingga membuat paru-parunya terasa seperti tercekik."Berhentiii!!!" Teriak gadis itu dengan dada naik turunMakhluk di hadapannya menatap lurus. Lidahnya menjulur keluar bersama tetesan liur kental lalu kembali menebar tawa mengerikan."Plak!!! Plak!!! Plakkk!!!"Suara pukulan terdengar. Lalu hening sejenak, hanya terdengar tarikan-tarikan napas tak beraturan."Dasar anak nakal!!! Sudah kubilang jangan muncul di hadapanku dengan wujud seperti itu!" Suara Renata menggema di seantero toko. Sebelah tangannya terangkat ke atas, bersiap untuk pukulan susulan.Makhluk itu meringis, mengusap-usap kepalanya yang kena pukul."Maaf, aku lupa menonaktifkan mode ini."Bola mata Renata berputar, menjatuhkan sebelah tangan yang tadi menggantung di udara. Sambil bersungut ia menuju meja kasir. Makhluk itu mengintilinya."Kak, laki-la
Malam ini terlalu dingin. Angin beraroma hujan melentingkan pepohonan ke satu arah. Entah bagaimana Renata bisa berada di sana, di tepi danau dengan jutaan cyanobacteria. Renata tak mengenal danau itu. Hanya saja warna hijaunya mengingatkan pada puding pandan lembut buatan sang ibu yang sedang menatap lurus. Benar, itu ibunya. Wanita bergaun putih yang berdiri belasan meter di depannya dengan senyum terkembang adalah ibunya. Tapi sedang apa ia di sini? Otak Renata tak bekerja, fokusnya hanya pada dada yang seperti ingin meledak oleh rindu yang keterlaluan. Renata berlari, tak peduli pada dingin yang menyentuh kakinya yang tanpa alas. "Rena," panggil wanita bergaun putih itu. Tangannya melambai lalu melangkahkan kaki, ke tengah danau, bukan ke arah Renata. "Tidak! Apa yang kau lakukan?!" Renata berteriak, langkahnya tersaruk, mengejar ibunya yang semakin masuk ke dalam danau. "Byurr!!!" Renata menerjang. Merasakan kulitnya seperti d
Jam menunjukan pukul sebelas malam tapi Renata masih belum bisa memejamkan mata. Meski memilih untuk tak ikut campur urusan para dedemit gedung dengan Samudera Biru, entah kenapa hatinya tetap gelisah.Bagaimana jika terjadi sesuatu pada para dedemit terutama Shiny? Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Samudera Biru? Ah, kenapa ia peduli, seharusnya biarkan saja, bukankah ia mendapat keuntungan jika terjadi sesuatu pada lelaki itu? Ya, minimal pemugaran gedung akan ditunda sementara."Tidak," Renata menggelang, menepis pikiran liciknya. Ia bukan jenis manusia yang gemar mengambil keuntungan dari kesulitan orang lain. Ia hanya takut pada kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Berdasarkan eksistensinya selama bersinggungan dengan alam lain. Renata sangat paham jika makhluk-makhluk itu, terutama kalangan bawah, cukup impulsif. Ditambah insting purba mereka dalam berebut wilayah dengan sistem "yang terkuat yang berkuasa" maka menahan diri adalah
Samudera Biru meraup tubuh Renata seperti meraup sejumput kapas. Rambut panjang sang gadis terburai jatuh, memperjelas wajah pucatnya. Lelaki itu mendesah lalu melangkah lebar memasuki mansion. Para penjaga menundukan kepala, memberi jalan pada tuannya yang tampak membesi.Lucas datang menghampiri, memberi kode pada salah satu penjaga untuk mengambil alih Renata namun ditampik lewat tatapan tajam menusuk. Ia menaruh Renata di ranjang kamarnya dengan hati-hati. Memeriksa denyut di lengan dan leher gadis itu kemudian sebelah telapak tangann
Renata menatap pantulan dirinya di cermin. Dress selutut warna pastel berkerah V dengan bahan lembut jatuh membuatnya terlihat seperti orang asing. Bagaimana tidak, ia sangat jarang mengenakan dress, bahkan di lemarinya hanya ada dua gaun sederhana berharga murah, sangat jauh berbeda dengan gaun yang sekarang melekat di tubuhnya."Ck, harga memang tidak pernah bohong," gumam Renata, menganyun ujung dress ke kanan dan kiri."Kau terlihat cantik, Nona."Renata menoleh, menemukan Samudera Biru bersandar di dinding dengan tangan terlipat. Rapi dan bertabur aroma kayu serta cherry yang manis."Terima kasih,"sahut Renata acuh tak acuh sambil memasukkan baju kotor ke dalam papper bag yang sebelumnya berisi seperangkat dress bersama underware berwarna senada yang terlihat cantik dan mahal. "Aku akan mengembalikannya setelah kucuci," sambungnya melewati Samudera Biru. Ia mengambil dompet dan ponsel dari nakas."Apa kau memintaku menyimpannya sebagai k
"Tok! Tokk!""Masuk." Samudera Biru melepaskan pandangan dari buku lusuh di atas meja, menukarnya dengan sosok Lucas yang kini berdiri dengan sikap sempurna."Apa sudah ada hasil?""Belum, mungkin siang ini Pangeran."Samudera Biru terdiam, kembali menekuni bukunya, bukan, lebih tepat menekuni gerak Renata yang terpampang dalam buku. Bagaimana dia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi mobil, bagaimana dia menatap ke luar jendela dan bagaimana dia menyentuh dress pemberiannya. Semuanya, setiap detailnya."Pangeran sedang mengawasi, Nona Renata?" tanya Lucas yang sempat melirik dengan ekor mata."Ya, aku ingin memastikan dia pulang dengan selamat." Samudera Biru mencoba memberi alasan logis untuk kelakuannya.Lucas hanya tersenyum, melanjutkan pembicaraan. "Mengenai gedung, apa Pangeran akan benar-benar menghentikan pemugaran?""Itu tergantung dari sikap mereka, terutama dia." Dagu Samudera Biru terangkat pad
Renata menatap mobil yang mengantarnya menjauh. Serangkum angin datang mendekat bersama energi yang familier, Shiny. "Kakak!!!" Pekik gadis itu lalu memeluk erat. Di belakangnya para dedemit gedung berkumpul, wajah-wajah pucat mereka menyiratkan lega. Renata tersenyum, melepaskan tubuh Shiny yang menggayut manja. "Kita bicara di atas," ucap gadis itu pelan, melirik beberapa toko yang sudah buka. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena berbicara tanpa lawan. Semua dedemit seketika menghilang kecuali Shiny. Ia menatap Renata penuh khawatir dan penasaran. "Kakak baik-baik saja? Tadinya kita akan kembali ke sana kalau sampai nanti malam Kakak belum kembali." "Aku baik-baik saja. Kita ke atas sekarang," jawab Renata sambil mengelus pipi Shiny lembut. Gadis itu menurut, mengikuti langkah Renata menuju atap gedung. "Saya bersyukur Anda dalam keadaan baik-baik saja, Nona," sambut Panglima Kuning. "Terima kasih
“Tring!! Tring!! Tring!!”Semua orang menatap ke pintu. Bukan karena dentingan lonceng angin tapi karena sosok yang masuk begitu menyilaukan.Ini sudah tiga hari berlalu sejak insiden dan pangeran peri itu baru menunjukan batang hidungnya lagi.“Selamat malam,” Ken menyapa sopan, sementara Renata diam memperhatikan setiap langkah anggunnya yang mengundang bisik-bisik pembeli.“Selamat malam juga anak kecil.”Wajah imut Ken seketika tertekuk. Lelaki itu melewatinya dengan wajah tanpa dosa.Ia menempatkan diri di kursi, tepat di depan Renata.“Bagaimana kabarmu?” tanyanya dengan mata menelisik.“A ... aku baik,” sahut Renata terbata. Sedikit menjauhkan kursi agar aroma Samudera Biru tidak terlalu mengganggu saraf-sarafnya yang lapar.“Kau tidak rindu padaku kan?”Renata mengerjap, mulut lelaki ini belum berubah sedikit pun.“Tentu s