Share

2. Hadiah Atau Kutukan

Renata menatap sedan putih yang menjauh dengan tatapan rumit. Ia mengamati telapak tangan yang sudah membuat Samudera Biru terlontar seperti daun kering tertiup angin.

Ini seperti de javu, otak gadis itu bekerja keras, mencari serpih-serpih ingatan dalam laci memori kenangannya yang kusam dan bertumpuk-tumpuk.

Juga tentang rasa hangat dari genggaman lelaki itu. Ia menemukannya di sana, bersama sosok paling ia benci dan rindukan sekaligus.

Singgih Wirayuda, lelaki jahat yang meninggalkan ia dan ibunya.

***

20 Tahun Silam

"Rena, Renata!!!"

Gadis kecil dengan rambut hitam berbando bunga-bunga mengangkat wajah. Menatap lurus pada wajah ayu yang menghampiri dengan tergopoh.

Wanita itu meraup tubuh kecilnya. Menenggelamkan kepalanya dalam pelukan paling nyaman di dunia.

Sementara beberapa meter dari sana seorang bocah lelaki tergeletak di tanah. Dua temannya menangis keras, mengundang keriuhan.

"Dasar bocah setan, kamu apain anakku, hah?!" hardik seorang wanita. Tangannya menarik baju Renata tanpa ampun hingga gadis kecil itu meringis kesakitan dan ketakutan.

"Hentikan! Jangan sentuh anak saya!" 

Ratri Maheswari menepis jari-jari mengerikan dari tubuh anaknya.

"Plakkk!!!"

Satu tamparan keras mendarat di wajah Ratri. Panas dan perih membuat tangannya terkepal. Namum wanita itu menguatkan hati untuk tidak melakukan hal serupa.

"Lihat itu, anakku dipukul sampai pingsan sama anakmu!!"

"Saya minta maaf, tapi saya yakin Renata tidak melakukan itu dengan sengaja. Pasti ada alasannya."

"Alasan apa? Anakmu itu memang kasar, liar dan aneh!"

"Tolong jaga bicara Anda. Anak Andalah yang kasar dan liar. Anda pikir saya tidak tahu setiap hari anak Anda merundung anak saya. Tapi apa dia membalas? Tidak. Karena saya mengajarkannya untuk tidak menyakiti temannya sendiri. Kalau sekarang dia membalas itu artinya anak Anda sudah melampaui batas toleransinya."

"Heh, apa ini? Kenapa kamu jadi nyalahin anak saya. Jelas-jelas anak kamu yang salah."

"Benarkah? Mari kita cari tahu apa cuma anak saya yang salah di sini."

Ratri Maheswari menatap dingin wanita di hadapannya kemudian berjalan masuk ke dalam kelas. Menulikan telinga dari sumpah serapah wanita itu.

"Ibu, aku minta maaf," Renata kecil berbisik.

"Tidak apa-apa," Ratri mencium kepala putrinya.

"Apa sakit?" Lengan gadis kecil itu terulur, menyentuh tanda kemerahan di pipi ibunya.

"Tidak sama sekali," jawab Ratri sambil menahan air mata agar tidak meluap di depan putrinya.

"Bu Ratri, ada apa ini?" Seorang guru masuk dengan wajah khawatir.

"Anak-anak bertengkar, Bu. Putri saya tidak sengaja memukul temannya sampai pingsan."

"Ya Tuhan, bagaimana kondisi anak itu sekarang?" 

"Mungkin masih tak sadarkan diri." 

"Astaga, kalau begitu Bu Ratri tunggu di sini. Kita akan menyelesaikan masalah ini secepatnya."

Ratri Maheswari mengangguk setuju. Ia menurunkan Renata, menatap gadis kecilnya dengan senyuman lembut.

"Apa Rena terluka?"

"Tidak."

"Raka bilang apa sih kok Rena sampai mukul dia?"

Renata kecil terdiam.

"Rena?" panggil Ratri lembut.

"Raka bilang Ibu ... Ibu penyihir. Katanya Rena anak setan, bukan anak Ayah."

Helaan napas berat terdengar. 

"Rena percaya?"

Gadis itu menggeleng.

"Pinter. Rena itu putri Ibu dan Ayah. Dan Ibu bukan penyihir. Ibu cuma ibunya Rena yang cantik dan gemesin."

Ratri mencubit kecil pipi tembam Renata. Gadis itu tertawa, matanya berbinar terang.

"Bu, kenapa Rena bisa lihat hantu?"

Deg! Jantung Ratri seperti akan berhenti berdegup. Pertanyaan itu akhirnya datang juga, meski rasanya terlalu cepat.

"Karena Ibu juga begitu."

"Ibu tidak takut?"

"Tidak, kenapa takut, mereka juga ciptaan Tuhan sama seperti kita. Rena takut?"

"Sedikit." Gadis kecil itu menyentuh ruas telunjuk dengan jempolnya yang mungil.

"Tapi kenapa orang-orang tidak bisa?"

"Karena itu spesial, hadiah dari Tuhan khusus buat kita."

"Tapi kenapa mereka ga suka Rena?"

"Karena mereka ga tahu."

"Jadi Rena harus ngasih tahu kalau itu hadiah dari Tuhan?"

"Mm ... biar mereka tahu sendiri. Yang terpenting Rena tetep jadi anak baik, mengerti?"

Renata kecil mengangguk.

"Bu, tadi tangan Rena ada cahaya putihnya." Gadis kecil itu mengangkat kedua telapak tangan.

Ratri meraih lengan kecil itu. Menatap lama. Hatinya seketika berdebar.

"Tidak apa-apa, itu rahasia kita, jangan sampai ada yang tahu, oke?"

"Oke."

Ratri kembali mengelus rambut putrinya kemudian memandang berkeliling. Ekor matanya menangkap kehadiran sosok-sosok asing yang tertarik oleh aroma putrinya.

Wanita anggun itu menjentikan telunjuk dan jari tengah ke atas. Membangun perisai kehijauan yang tidak bisa dilihat oleh mata orang biasa.

Ratri menatap kaca, ke arah di mana makhluk-makhluk itu mengintai. Sudut bibirnya terangkat lalu matanya mengerjap.

"Crashh ... crashh ... crashh!!!"

Sinar putih berbentuk pedang melesat dari mata Ratri, memotong sosok-sosok itu menjadi beberapa bagian.

Potongan tubuh mereka berubah menjadi bulir-bulir debu kemudian menghilang di udara.

Renata melihat semua kejadian itu dengan ekspresi penuh kagum. Di mata kecilnya cahaya yang keluar dari mata ibunya sangatlah cantik, ia ingin memilikinya suatu hari nanti.

"Ibu, Rena lapar."

"Ibu punya roti, Rena mau?"

Gadis kecil itu mengangguk, menerima roti yang disodorkan ibunya. Ratri sendiri menatap putrinya dengan hati gelisah. 

"Sayang, Rena!"

Seorang lelaki tegap dengan wajah kharismatik masuk.

"Ayahhh!!! Renata menghambur, memeluk pinggang lelaki tersebut.

"Anak Ayah yang cantik." Lelaki itu menggendong Renata, menciumnya bertubi-tubi.

Mereka tertawa lepas diiringi senyum Ratri.

"Sayang."  Lelaki itu menghampiri istrinya, memeluk pundaknya dengan sebelah tangan. "Apa yang terjadi, kenapa memamggilku?"

Ratri menarik napas dalam. Ia memang sengaja memanggil suaminya lewat telepati.

"Panca buana," desisnya bergetar.

Wajah Singgih seketika memucat. Ia meraih telapak tangan putrinya, mengusap perlahan.

Sebuah tanda berbentuk bunga lotus putih kebiruan muncul. Cahayanya berpendar indah seperti kilau jutaan pelangi.

Senyum Renata merekah, menatap takjub dengan mata polosnya.

Singgih kembali mengusap telapak tangan Renata dan tanda itu pun seketika menghilang.

"Ayah, Rena mau lihat lagi," rengek gadis kecil itu kecewa.

"Nanti ya, tunggu Rena besar dulu."

"Kenapa? Sekarang Rena udah besar kok."

"Tunggu sampai sebesar Ibu. Sekarang itu jadi rahasia kita bertiga saja, orang lain ga boleh ada yang tahu, mengerti?"

Meski kecewa Renata kecil mengangguk. Kata rahasia terdengar keren di telinganya.

Singgih menatap istrinya, memberi kode untuk meninggalkan tempat itu. Ratri mengangguk, tak peduli lagi pada persoalan Raka dan ibunya. Ia akan meminta maaf secara resmi nanti. Sekalipun permintaan maafnya ditolak atau pihak keluarga Raka mencaci makinya dan menuntut ganti rugi dalam jumlah fantastis, Ratri siap menerimanya.

Mereka berjalan tergesa menuju mobil. Beberapa makhluk berdatangan, mencoba menyerang. Sayangnya mereka bukan tandingan suami istri itu. Mereka hancur bahkan sebelum menyentuh perisai kehijauan yang dibuat Ratri.

Mobil bergerak dengan kecepatan tinggi. Renata yang menyadari perubahan situasi hanya diam sambil memeluk ibunya.

Sesampainya di rumah, Singgih meminta istrinya dan Renata masuk lebih dulu. Sementara ia berdiri di halaman dengan mata terpejam. Kedua lengannya terangkat dengan telapak menghadap ke depan.

Perlahan cahaya perak keluar dari telapak tangan Singgih, melingkupi rumahnya seperti kubah besar. Setelah itu barulah ia masuk ke dalam menyusul istrinya.

"Ayah," Renata berlari menyambut lelaki itu.

Singgih menekuk lutut, merentangkan tangan. Membiarkan putrinya menumbuk tubuhnya dengan keras, ia kemudian mengangkat dan memutarnya sehingga separuh tubuh Renata seperti terbang di udara.

Renata tertawa lebar, memeluk Ayahnya erat-erat. Ia tak ingin berhenti jika Ratri tak memaksanya berhenti.

Wanita ayu itu membawa Renata ke kamar untuk mengganti baju. Sementara Singgih menatap kepergian mereka dengan mata gusar.

Selepas magrib Ratri sengaja membuat putrinya tidur lebih cepat. Singgih membopong tubuh Renata menuju ruang rahasia di balik lemari.

Mereka meletakkan Renata di atas meja batu. Singgih mengibaskan lengan ke atas tubuh putrinya. Secara tiba-tiba tubuh gadis kecil itu mengeluarkan cahaya putih kebiruan bersama aroma bunga lotus.

Suami istri itu saling melempar pandang. Ratri maju satu langkah, jemarinya membuat beberapa gerakan, menghasilkan cahaya kehijauan yang sangat dingin.

Ia mengarahkan cahaya itu ke tubuh Renata, membuat gadis kecil itu melayang  hampir satu meter dari atas batu. 

Dua cahaya saling bergulung di udara.

Keringat mulai menghiasi wajah Ratri membuat Singgih sangat khawatir. Ia akan mendekat namun Ratri menggelengkan kepala.

Lelaki itu menghembuskan napas berat, hanya bisa menatap istri dan putrinya dengan perasaan was-was.

Setelah satu jam lebih barulah cahaya putih kebiruan di tubuh Renata memudar lalu menghilang seiring aroma lotus yang juga menghilang. Tubuh Renata perlahan turun kembali ke meja batu. Sementara Ratri terjatuh ke lantai, darah mengalir dari sudut bibirnya.

"Sayang!" Singgih berteriak, memeluk tubuh istrinya yang sedingin es.

"Aku tidak apa-apa, jangan khawatir. Sekarang putri kita akan aman untuk sementara waktu."

"Diamlah, jangan banyak bicara."

Singgih meletakan telapak tangan di dada istrinya. Menyalurkan energi murni untuk mengobati luka dalamnya.

Beberapa saat kemudian tubuh Ratri kembali hangat. Singgih membantunya berdiri.

"Ayah, ibu."

Suara kecil Renata membuat suami istri itu terkejut. Seharusnya Renata tidak akan bangun sampai besok pagi. 

"Sayang, sudah bangun?" Ratri memeluk putrinya yang penuh kejutan.

"Dari tadi Rena bangun kok Bu, cuma ga bisa gerak sama ngomong aja." 

"Dari kapan Rena bangun?"

"Pas Ayah gendong Rena ke sini."

Ratri dan Singgih saling melempar pandang.

"Ibu, apa Rena sakit? Kenapa Rena di bawa ke sini?"

"Iya sayang, Rena sedikit sakit jadi Ibu dan Ayah bawa Rena ke sini buat diobatin."

"Apa Rena sudah sembuh sekarang?"

Ratri mengangguk membuat gadis kecil itu bersorak senang.

Singgih menggendong putri kecilnya di punggung, membawa kembali ke kamarnya.

"Sekarang waktunya Rena bobo," ucap lelaki itu sambil menurunkan putrinya ke atas tempat tidur.

Renata merajuk namun singgih berhasil membujuknya dengan janji memancing di akhir pekan.

Gadis kecil itu masuk ke dalam selimut, memejamkan mata sementara Singgih menepuk-nepuk kakinya sampai Renata benar-benar terlelap.

***

Setelah malam itu Renata tak pernah melihat ayahnya lagi. Ibunya hanya mengatakan jika ayahnya pergi bekerja. Namun sampai ia dan ibunya pindah ke luar kota pun ayahnya tak pernah menghubungi mereka.

Beranjak remaja Renata berhenti bertanya tentang ayahnya. Selain karena lelah dan merasa dicampakkan ia juga tak tega melihat kesedihan di wajah ibunya setiap kali menyinggung masalah itu.

Mereka memutuskan hidup dalam diam. Menjauh dari orang-orang yang mengenal mereka, bahkan dari keluarga terdekat. Renata merasa disembunyikan dari dunia namun ia tak bisa protes, lagi-lagi demi ibunya.

Sepuluh tahun kemudian ibunya meninggal dunia, tepat di depan matanya. Saat berusaha melindunginya dari makhluk berjubah hitam, bermata semerah darah yang tiba-tiba menyerang kediaman mereka.

Makhluk itu terluka parah dan melarikan diri namun harga untuk itu terlalu mahal. Rasanya Renata tak sanggup menanggungnya seandainya ibunya tidak berpesan untuk melanjutkan hidup dengan benar dan menunggu ayahnya kembali.

Cih, bahkan Renata sangsi lelaki itu masih ingat jalan pulang ke rumah lama mereka.

Meski begitu ia tak menampik, setitik harapan tumbuh di dadanya. Jika ia mati menyusul ibunya bagaimana ia akan tahu jika ayahnya masih hidup dan mungkin sedang mencarinya?

Renata bermain dengan kemungkinan. Tak tanggung-tanggung hingga usianya mendekati dua puluh tujuh tahun atau hampir sepuluh tahun setelah ibunya mangkat.

Tapi sang ayah tak pernah muncul.

Renata mulai sangsi jika lelaki itu masih hidup. Ia juga sangsi pada perkataan ibunya jika kemampuannya melihat makhluk alam lain adalah sebuah hadiah. Karena pada kenyataannya itu lebih mirip kutukan yang merampas kebahagiaannya satu per satu.

"Dia tampan."

Renata terlonjak, lamunannya berceceran dan menguap tanpa sisa. Gadis itu berbalik ke arah sumber suara.  Matanya seketika terbelalak dan jantungnya seperti akan berhenti berdegup.

Di hadapannya berdiri sosok gadis berseragam SMA dengan rambut panjang meriap kaku. Wajahnya pucat, hidungnya belah dan bola matamya nyaris menyembul keluar.

Bau anyir menyeruak tajam bersamaan dengan tawa nyaring menusuk gendang telinga.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status