“Trakk!!”
Tusuk rambut terlepas dari genggaman, patah terhantam gelas perak aromaterapi.
Cyrila menoleh, menatap nyalang Samudera Biru dan Hyang Sagara yang sudah berdiri di sudut kamar. Ia menggeram, kembali menyerang Renata dengan tusuk rambut lain namun gagal karena Hyang Sagara sudah lebih dulu berkelebat, memukul lengan dan dadanya hingga terhuyung.
“Sadarlah!” teriak lelaki itu sambil menotok beberapa bagian tubuh Cyrila hingga tak leluasa bergerak.
Samudera Biru biru melangkah tenang menuju tepi ranjang, mengeluarkan botol kristal kecil lalu menyentuhkan dua jari ke kening Renata. Asap sangat tipis mengepul dari hidung gadis itu, masuk ke dalam botol secara perlahan.
Setelah menutup botol Samudera Biru menatap lembut Renata yang mulai terjaga.
“A ... apa yang terjadi? Dia kenapa?” tanyanya bingung saat melihat Cyrila yang melotot dengan pupil seputih kertas.
“Terkena tenung dan me
Aroma masakan menyebar ke penjuru rumah. Renata dan Cyrila tampak sibuk membuat sarapan. Tak ada kecanggungan di antara mereka seolah malam tadi tak pernah terjadi apa-apa.“Dapurmu sangat lengkap,” puji Renata melihat peralatan masak dan stok bahan makanan yang tersedia di sana.“Sebulan sekali aku keluar untuk berbelanja,” jelas Cyrila menjawab nada heran yang terselip dalam kalimat Renata.“Kau benar-benar berbelanja sendiri?”“Hanya mataku yang buta, keterampilanku yang lain masih bagus.”Renata mengangguk-angguk. Benar, bagaimanapun Cyrila bukan wanita biasa.“Nona Renata, maaf untuk kejadian semalam.”“Tidak, seharusnya aku yang meminta maaf karena sudah menyeretmu ke dalam bahaya.”“Bisa melakukan sesuatu untukmu dan Tuan Singgih adalah sebuah kehormatan. Hanya saja ternyata aku tidak cukup kuat, aku sangat menyesal.”“Sudahl
“Aku belum mau mati!!”Renata berteriak panik saat mereka terlempar keluar dari sampan yang menukik ke tengah pusaran.“Tidak akan! Kau dilarang mati sebelum menikahiku!”Samudera Biru membalas. Ia menyambar tubuh Renata yang tampak kesulitan menahan gravitasi.“Yaa!! Aku juga tidak mau mati dalam keadaan jomblo!!”Renata membelit Samudera Biru, melingkarkan sebelah lengan di lehernya dengan mata terpejam, menahan ngeri melihat inti pusaran yang seperti tak memiliki dasar.“Aku akan menagih ucapanmu!”Samudera Biru tertawa, memeluk pinggang gadis itu erat.“Kalian sungguh tidak tahu situasi!” rutuk Hyang Sagara sambil menatap Cyrila yang berada jauh di depannya.Beberapa menit kemudian, saat sensasi berdebar jantungnya menghilang, saat wajahnya tak lagi merasakan terpaan angin Renata membuka mata.Ia terlongong.Mereka kini berdiri di tepi pantai b
Samudera Biru menatap Renata yang termangu.Sejak meninggalkan istana duyung, gadis itu belum bersuara sama sekali. Bahkan, saat mereka melewati pintu keluar berupa dinding air setinggi puluhan meter, ia tetap diam. Padahal biasanya selalu antusias jika menemukan hal di luar nalarnya.“Aku tak menyangka Ratu Elaine meminta ekstrasi darah ibumu,” ucap Hyang Sagara mencairkan sepi.Samudera Biru hanya menyeringai.“Padahal dia sudah sangat cantik, awet muda dan berumur panjang. Apa itu masih kurang?”“Dia ingin abadi,” jawab Cyrila sembari tersenyum.“Ck, apa bagusnya hidup abadi? Melihat dunia terus berubah, ditinggalkan orang terdekat satu per satu. Bagiku itu sebuah siksaan.”“Tidak semua memiliki pemikiran yang sama dengan Anda, Pangeran,” balas Cyrila tenang tapi cukup menohok, membuat Hyang Sagara terdiam.Renata yang mendengar hanya menarik napas. Ternyata beberap
Beberapa hari kemudian, seusai sarapan, Samudera Biru memberi Renata setumpuk kitab.“Banyak sekali,” keluhnya cemberut.“Itu belum seberapa. Katanya ingin cepat sakti?” Renata berdecak, membuka-buka kitab secara acak lalu menutup kembali tanpa minat.Belakangan ini ia tak bisa tidur nyenyak. Selalu memikirkan keadaan ayahnya.Seribu khawatir bersarang di hatinya seperti kutu. Mengganggu dan gatal. Membuatnya tidak sabar. Terus saja membahas masalah itu di setiap kesempatan, seperti saat ini.“Mm ... Pangeran.”“Hem,” jawab Samudera Biru tanpa mengalihkan fokus dari perkamen yang dibacanya.“Apa kau sudah menemukan cara untuk membebaskan ayahku?”Renata menggigit bibir. Sedikit malu sudah menanyakan hal yang sama berulang kali.Samudera Biru menaruh perkamen dan menatap wajah gelisahnya.“Belum.”“Apa kau tidak bisa
Renata merasakan napas hangat dan harum menyentuh kulit wajahnya. Seperti Samudera Biru, darahnya pun berdesir dan jantungnya bertalu dengan hebat. Ia tahu ini salah. Namun rasa mendamba yang kuat membuatnya menjadi linglung. Sejenak lupa jika berbeda alam.Hanya tinggal sedikit lagi bibir mereka akan bertaut tiba-tiba pintu diketuk dari luar.“Yang Mulia, hamba membawa informasi yang Anda minta.”Suara Ratansa dalam sekejap menyentak kesadaran Renata. Menghancurkan atmosfer intim yang tercipta di antara mereka berdua.Renata mendorong Samudera Biru. Sialnya karena terlalu gugup ia menggunakan sedikit energi lotus sehingga peri itu terjengkang menabrak walk in closet, menghasilkan suara berdebam kencang.“Astaga!” seru Renata panik.Meski pada dasarnya kamar itu kedap suara namun telinga sensitif Ratansa masih bisa mendengar keributan di dalam secara sayup-sayup.“Yang Mulia, Anda tidak apa-
“Apakah Kenzio Timoer bekerja di sini?”Satu alis Renata terangkat. Menyadari sesuatu.Benar, wajah lelaki ini mirip dengan Ken.“Anda siapa?” tanya Renata dengan mata menyipit.Meski mereka mirip Renata tak ingin gegabah. Selama jam kerja maka Ken alias Kenzio Timoer adalah tanggung jawabnya.“Ah, maaf. Perkenalkan saya Lintang Timoer, Kakak Kenzio.” Lelaki itu mengulurkan lengan.Ken punya kakak sekaya ini?Rasanya Renata sedikit tidak percaya, mengingat anak itu selalu bersikap seperti anak kekurangan materi. Ia tak ragu membungkus pulang sisa makanan yang Renata beli dan tak pernah menolak uang jajan pemberiannya yang tak seberapa.Apa dia kabur dari rumah?Renata mengerjap. Menyimpan sementara pikirannya. Menyambut tangan yang terasa sangat lembut seperti tangan bayi.“Saya Renata,” balas Renata lalu buru-buru menarik kembali lengannya, sedikit malu oleh telapak
Hampir seminggu Lintang Timoer datang ke toko untuk membujuk Ken agar mau pulang ke rumahnya.Selama itu pula ia selalu membawakan makanan dan minuman kecil untuk Renata.Sang gadis sudah menolak sejak awal namun tak didengar sama sekali.Dan Lintang Timoer adalah lelaki supel. Dalam waktu singkat mampu membuat Renata merasa terbiasa dengan kehadirannya. Bahkan Shiny begitu memujanya sebagai si tampan yang low profile.Seandainya gadis dedemit itu tidak sedang sibuk belajar gerakan Lalisa Dance di atap, niscaya ia akan mengekori Lintang Timoer seperti anak ayam bertemu bapaknya.“Nona Renata, terima kasih sudah menjaga Kenzio,” ucap Lintang Timoer membuka percakapan disela menunggu kedatangan Ken.“Aku tidak melakukan apa-apa. Dia menjaga dirinya sendiri dengan baik, Tuan Lintang,” sahut Renata diplomatis, karena faktanya ia memang tak melakukan apa pun untuk Ken selain berusaha menjadi bos yang baik.
Rubicon putih yang dikendarai Samudera Biru melaju di jalan Raya dengan kecepatan sedang. Di sebelahnya Renata duduk sambil memainkan gawai.“Kau berdandan untuk siapa?”Renata menoleh, menatap wajah tampan yang melontarkan pertanyaan.“Untuk diriku sendiri.”“Bukan untuk lelaki bermarga Timoer itu?”“Tentu saja bukan, memangnya dia siapa sampai aku harus berdandan untuknya?”Samudera Biru mengulum senyum. Sangat puas dengan jawaban Renata yang terdengar sedikit ketus.“Apa untukku?”Mata Renata berputar. Sebal dengan kenarsisan peri itu.“Anggap saja begitu,” sahutnya malas berdebat.Samudera Biru terkekeh.“Kita akan ke mana?” tanya Renata setelah terjeda sepi sejenak.“Ke luar negeri.”“Kau serius? Aku tidak bawa paspor.”“Itu tidak diperlukan.”“